Mei Zhang selalu bisa mendengar suara air mendidih sebelum orang lain. Pagi itu, ketika embun masih menggantung di ujung daun bambu dan matahari belum sepenuhnya mengintip dari balik Gunung Huangshan, dia sudah berdiri di depan tungku tua di kedai tehnya. Matanya terpejam, telinganya menangkap bisikan pertama gelembung-gelembung kecil yang mulai terbentuk di dasar teko perunggu warisan neneknya.
"Tiga derajat lebih dingin dari yang seharusnya," gumamnya pada diri sendiri, tangannya dengan cekatan menggeser teko dari bagian tungku yang paling panas. Setelah lima tahun menggantikan posisi ayahnya sebagai penyeduh utama di Kedai Teh Langit Senja, Mei telah mengembangkan kepekaan yang nyaris tidak masuk akal terhadap air dan teh.
Di luar, kota Hongcun mulai terbangun. Suara roda gerobak pedagang berderit di atas batu-batu jalan, berbaur dengan teriakan para penjual sayur dan daging yang mulai menata dagangan mereka. Mei membuka pintu kedai, membiarkan udara pagi yang dingin menyapu wajahnya. Matanya menyapu halaman depan yang kecil, di mana dua pohon plum tua masih bertahan, meski sudah tidak pernah berbunga selama tiga musim semi terakhir.
"Pagi ini terasa berbeda," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Ada sesuatu dalam udara—seperti aroma asing yang tak bisa dia kenali. Bukan bau busuk atau manis, tapi sesuatu yang lebih halus, seperti ingatan yang hampir terlupakan.
Rutinitas paginya berjalan seperti biasa. Mei menyapu lantai kayu yang sudah aus, menata meja-meja rendah dengan bantal duduk yang mulai tipis, dan mengeluarkan set-set cangkir keramik dari lemari penyimpanan. Setiap cangkir dia periksa dengan teliti, memastikan tidak ada yang retak atau bernoda. Meski kedainya bukan yang termewah di Hongcun, Mei menjaga standar yang dia warisi dari ayahnya.
"Nona Mei?" Sebuah suara mengejutkannya. Di pintu berdiri Liu Shan, pengantar susu yang selalu menjadi pelanggan pertama setiap pagi. "Maaf, aku tahu masih terlalu pagi, tapi..."
"Masuk saja, Shan," Mei tersenyum. "Air sudah hampir siap."
Liu Shan, dengan wajahnya yang selalu memerah dan senyum malu-malu, duduk di tempatnya yang biasa—meja di sudut dekat jendela yang menghadap ke arah sungai. Mei mengamati pemuda itu sejenak. Ada yang berbeda dari cara dia duduk hari ini, seolah ada beban tak terlihat di pundaknya.
"Teh hitam seperti biasa?" tanya Mei, meski dia sudah tahu jawabannya. Liu Shan telah memesan teh yang sama setiap pagi selama dua tahun terakhir.
"Sebenarnya..." Liu Shan ragu sejenak. "Hari ini, aku ingin mencoba teh yang berbeda. Sesuatu yang... yang bisa membuat seseorang melupakan."
Mei menghentikan gerakannya yang sedang mengambil teh hitam dari toples keramik. Ada nada dalam suara Liu Shan yang membuat hatinya terasa berat. "Melupakan apa tepatnya?"
"Ah, bukan apa-apa yang penting," Liu Shan tertawa kecil, tapi tawanya tidak mencapai matanya. "Hanya... mimpi buruk."
Mei mengangguk perlahan, tangannya bergerak ke bagian belakang rak teh, di mana dia menyimpan campuran khususnya. Dari sebuah kantung sutra kecil, dia mengeluarkan sejumput daun teh yang tampak biasa—campuran teh putih dengan bunga krisan dan sedikit akar valerian. Resep rahasia ibunya untuk mimpi-mimpi yang terlalu berat.
Saat dia mulai menyeduh teh, sesuatu yang aneh terjadi. Air dalam teko, yang biasanya bergerak dengan pola yang sudah dia hafal di luar kepala, tiba-tiba berputar dengan cara yang berbeda. Mei mengerjap, memastikan matanya tidak menipunya. Air itu berputar melawan arah jarum jam, membentuk spiral kecil yang tampak seperti... seperti sisik-sisik yang berkilau.
Sensasi gatal yang samar muncul di pergelangan tangan kanannya, tepat di tempat di mana dia memiliki tanda lahir berbentuk seperti tetesan air. Mei mengabaikannya, memaksa dirinya untuk fokus pada tehnya. Tapi saat dia menuangkan air panas ke atas daun teh, aroma yang muncul bukan aroma yang seharusnya tercium.
Alih-alih aroma lembut teh putih dan krisan, yang menguar adalah wangi yang tidak pernah dia cium sebelumnya—seperti hujan di musim semi, seperti salju yang baru turun, seperti... seperti kenangan yang belum terjadi.
"Ada yang salah, Nona Mei?" tanya Liu Shan, menyadari keraguannya.
Mei menggeleng cepat. "Tidak, tidak ada apa-apa." Dia menuangkan teh ke dalam cangkir dengan hati-hati, berusaha mengabaikan bagaimana cairan itu tampak berkilau dengan cara yang tidak natural di bawah cahaya pagi yang redup.
Liu Shan mengangkat cangkirnya, menghirup aromanya dengan mata terpejam. Seketika, ketegangan di wajahnya mengendur. "Ini... berbeda," bisiknya. "Seperti mencium aroma rumah yang sudah lama ditinggalkan."
Mei hanya tersenyum, meski dalam hatinya ada sejuta pertanyaan yang berputar. Bagaimana Liu Shan bisa mencium aroma yang sama seperti yang dia cium? Itu tidak mungkin—tehnya seharusnya beraroma seperti krisan dan embun pagi, bukan seperti... seperti ingatan.
Hari berlanjut dengan lebih banyak keanehan kecil. Setiap teh yang Mei seduh memiliki aroma yang berbeda dari yang seharusnya. Teh oolong yang biasanya beraroma seperti bunga peach tua kini mencium seperti kayu yang terbakar. Teh hijau yang seharusnya segar dan ringan kini memiliki kedalaman yang mengingatkannya pada lorong-lorong kuno yang belum pernah dia kunjungi.
Menjelang sore, saat matahari mulai condong ke barat dan bayangan pohon plum semakin memanjang, pintu kedai terbuka. Mei, yang sedang membersihkan teko, mengangkat wajahnya dan seketika membeku.
Seorang pria berdiri di ambang pintu, sosoknya tinggi dan ramping dalam balutan jubah gelap yang tampak mahal tapi sederhana. Yang membuat Mei terpaku bukan penampilannya yang menarik perhatian, tapi cara cahaya sore seolah menghindar darinya, menciptakan bayangan yang terlalu gelap di sekitar sosoknya.
"Selamat sore," suaranya dalam dan tenang, seperti air danau yang dalam. "Saya mencari teh yang sudah lama hilang."
Mei menelan ludah, tangannya tanpa sadar mengusap pergelangan tangan kanannya yang kini terasa seperti terbakar. "Maaf, kami hanya menjual teh biasa di sini."
Pria itu—Wei An, dia memperkenalkan dirinya—tersenyum. Bukan senyum yang mencapai mata, tapi senyum yang membuat Mei teringat akan cermin yang retak. "Tidak ada yang namanya teh biasa, Nona Zhang. Setiap daun teh memiliki ceritanya sendiri, dan setiap cerita memiliki rahasianya."
Mei tersentak. Dia tidak ingat pernah menyebutkan nama keluarganya. "Bagaimana Anda—"
"Kedai Teh Langit Senja milik keluarga Zhang sudah berdiri di sini selama empat generasi," Wei An melangkah masuk, gerakannya sehalus sutra yang tertiup angin. "Dan selama empat generasi, kedai ini menyimpan sesuatu yang seharusnya tidak hilang dari dunia."
"Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan."
Wei An berhenti di depan rak teh, matanya menelusuri toples-toples keramik dengan cara yang membuat Mei merasa seolah dia sedang membaca kisah kuno yang tertulis di udara. "Tentu saja," dia mengangguk perlahan. "Kau belum seharusnya mengerti. Tapi tanda di tanganmu itu—" dia menunjuk ke pergelangan tangan Mei tanpa melihat, "—sudah mulai bangun, bukan?"
Mei secara refleks menyembunyikan tangannya di balik punggung. Rasa terbakar di pergelangan tangannya kini menjalar ke seluruh lengan. "Itu hanya tanda lahir biasa."
"Tidak ada yang biasa dari tanda yang baru muncul tiga hari yang lalu, tepat saat bulan purnama terakhir." Wei An kini menatapnya langsung, dan Mei harus menahan diri untuk tidak mundur. Ada sesuatu dalam tatapannya yang terlalu tua, terlalu dalam, seperti sumur yang tidak memantulkan cahaya.
"Bagaimana Anda—" Mei berhenti. Memang benar, tanda itu baru muncul tiga hari lalu. Dia mengira itu hanya lebam atau bekas luka yang tidak dia ingat bagaimana mendapatkannya. Tapi bagaimana orang asing ini bisa tahu?
"Buatkan aku teh," kata Wei An tiba-tiba, nada suaranya berubah menjadi lebih ringan. "Teh apa saja, pilihan Nona sendiri. Tapi gunakan air dari sumur belakang, bukan air yang sudah kau rebus sejak pagi."
Mei ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa kedai sudah hampir tutup, atau bahwa dia tidak melayani permintaan aneh-aneh. Tapi ada sesuatu dalam cara Wei An berbicara yang membuatnya merasa ini bukan sekadar permintaan untuk secangkir teh.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mei pergi ke sumur belakang. Air di sana selalu sedikit lebih dingin, sedikit lebih dalam dari yang seharusnya. Ayahnya selalu mengatakan untuk tidak menggunakan air itu untuk menyeduh teh—"Ada yang berbeda dengan airnya," dia selalu berkata, tanpa pernah menjelaskan apa yang berbeda.
Saat Mei menimba air, dia melihat pantulan wajahnya di permukaan air yang gelap. Untuk sesaat, dia mengira melihat sesuatu bergerak di bawah sana—seperti bayangan yang berenang, seperti sisik yang berkilau. Tapi ketika dia mengerjap, yang ada hanya airnya sendiri, segelap dan setenang biasanya.
Kembali ke dalam, Wei An sudah duduk di meja paling ujung, tepat di bawah lukisan naga tua yang sudah memudar yang selalu tergantung di sana sejak Mei bisa mengingat. Mei mulai menyiapkan peralatan menyeduh teh dengan gerakan yang sudah menjadi naluri kedua baginya.
Tapi saat dia membuka lemari teh, tangannya terhenti. Di sudut paling belakang, tersembunyi di balik toples-toples lain, ada sebuah kantung sutra kecil yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Kantung itu berwarna biru tua, dengan sulaman emas yang tampak seperti awan dan... naga?
"Ah," suara Wei An terdengar dari belakangnya. "Kau menemukannya."
Mei berbalik, kantung itu masih di tangannya. "Ini... ini bukan milik kedai kami."
"Tentu saja milik kedai ini. Milik keluargamu, lebih tepatnya. Hanya saja, sudah lama sekali tidak ada yang bisa melihatnya." Wei An tersenyum lagi, kali ini senyum yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. "Buka saja."
Dengan jari-jari yang gemetar, Mei membuka kantung itu. Di dalamnya, daun-daun teh yang tampak biasa—kering dan menggulung seperti daun teh pada umumnya. Tapi saat dia mendekatkannya ke hidung, tidak ada aroma sama sekali.
"Teh tanpa aroma?" Mei mengerutkan kening.
"Atau mungkin," Wei An mencondongkan tubuhnya ke depan, "teh yang menunggu aroma yang tepat untuk bangun."
Mei menatap daun-daun teh di tangannya, lalu pada Wei An, kemudian pada lukisan naga yang tiba-tiba saja tampak lebih jelas dari biasanya. Ada cerita di sini, dia bisa merasakannya—cerita yang sudah lama menunggu untuk ditemukan kembali.
Di pergelangan tangannya, tanda yang tadinya seperti tetesan air kini berkilau samar, membentuk pola yang tampak seperti sisik naga.
Mei menatap teh yang baru diseduhnya dengan campuran rasa takut dan penasaran. Air dari sumur belakang yang biasanya jernih kini memiliki rona keperakan yang aneh, seperti cahaya bulan yang tertangkap dalam kristal. Di hadapannya, Wei An tetap duduk dengan tenang, seolah waktu adalah sahabat yang sangat akrab dengannya.
"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Mei akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
"Tidak ada," jawab Wei An, matanya terfokus pada teko. "Biarkan teh itu yang memilih apa yang ingin dia tunjukkan padamu."
Mei ingin bertanya apa maksudnya, tapi kemudian sesuatu mulai terjadi. Uap yang mengepul dari teko mulai membentuk pola-pola aneh—bukan spiral biasa yang selalu dia lihat, tapi lengkungan-lengkungan yang mengingatkannya pada tulisan kuno yang pernah dia lihat di kuil tua di kaki Gunung Huangshan.
"Saya..." Mei terdiam sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Saya bisa mencium sesuatu. Tapi bukan aroma teh."
Wei An mengangguk perlahan. "Apa yang kau cium?"
"Seperti... seperti perpustakaan tua. Kertas-kertas kuno dan tinta yang sudah mengering. Tapi juga seperti..." Mei mengerutkan keningnya, "...seperti hujan yang turun di atas batu-batu panas. Dan ada sesuatu yang lain... sesuatu yang mengingatkan saya pada..."
"Pada apa?"
"Pada mimpi yang saya lupakan saat bangun tidur."
Untuk pertama kalinya sejak dia melangkah masuk ke kedai, seulas senyum tulus muncul di wajah Wei An. "Kau benar-benar putri ayahmu."
"Anda mengenal ayah saya?"
"Aku mengenal banyak hal, Nona Zhang. Termasuk mengapa ayahmu memilih untuk pergi tiga tahun lalu, tepat saat festival musim semi."
Mei hampir menjatuhkan cangkir yang dipegangnya. "Ayah... ayah tidak pergi. Dia..." Dia berhenti, menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi. Suatu pagi, ayahnya hanya... tidak ada. Tidak ada pesan, tidak ada penjelasan. Bahkan tidak ada tanda-tanda dia pernah berkemas.
"Kau pernah bertanya-tanya mengapa dia selalu melarangmu menggunakan air dari sumur belakang?" Wei An mengalihkan pembicaraan dengan mulus. "Atau mengapa lukisan naga itu—" dia menunjuk ke dinding, "—selalu tampak berbeda setiap kali kau melihatnya di bawah cahaya yang berbeda?"
Mei mengangkat wajahnya ke arah lukisan. Benar saja, dalam cahaya senja yang semakin redup, naga dalam lukisan itu tampak lebih... hidup. Seolah-olah sisik-sisiknya bergerak perlahan, berkilau dengan warna yang tidak bisa dia jelaskan.
"Ini semua... tidak masuk akal," Mei menggeleng pelan.
"Tidak semua hal perlu masuk akal untuk menjadi nyata, Nona Zhang. Terkadang, hal-hal yang paling nyata adalah hal-hal yang paling sulit dijelaskan oleh logika." Wei An mengangkat cangkir tehnya, menghirup aromanya dengan khidmat. "Seperti bagaimana kau selalu bisa mendengar air mendidih sebelum orang lain. Atau bagaimana kau bisa tahu teh mana yang tepat untuk setiap pelanggan, bahkan sebelum mereka menyebutkan apa yang mereka inginkan."
Mei merasakan dingin menjalar di punggungnya. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang hal-hal itu?
"Tanda di tanganmu," Wei An melanjutkan, "bukan sekadar hiasan. Itu adalah segel—atau lebih tepatnya, kunci."
"Kunci untuk apa?"
"Untuk membuka sesuatu yang seharusnya tetap tertutup." Suara Wei An berubah serius. "Atau mungkin, untuk menutup sesuatu yang tidak seharusnya terbuka. Tergantung dari mana kau melihatnya."
Tiba-tiba, angin dingin bertiup masuk melalui jendela yang tertutup, memadamkan lilin-lilin di meja. Untuk sesaat, kedai tenggelam dalam kegelapan. Ketika Mei berhasil menyalakan lilin kembali, Wei An sudah tidak ada di kursinya.
Di atas meja, di samping cangkir teh yang masih penuh, tergeletak sebuah amplop tua dari kertas yang tampak mahal. Di bagian depannya, tertulis dalam kaligrafi yang indah: "Untuk saat bulan bersembunyi di balik awan."
Mei mengambil amplop itu dengan tangan gemetar. Tepat saat itu, dia mendengar suara gemerincing lonceng dari arah Kuil Naga Tidur di atas bukit—sesuatu yang aneh, mengingat kuil itu sudah ditutup dan ditinggalkan selama lebih dari seratus tahun.
Di pergelangan tangannya, tanda berbentuk sisik naga itu kini bersinar lebih terang, membentuk pola yang tampak seperti peta ke suatu tempat yang tidak dia kenal. Dan dari sumur belakang, samar-samar terdengar suara seperti nyanyian kuno dalam bahasa yang tidak pernah dia dengar sebelumnya.
Mei menatap amplop di tangannya, lalu ke arah lukisan naga yang kini tampak sepenuhnya berbeda—bukan lagi lukisan usang yang memudar, tapi sebuah karya yang hidup dan bernapas. Dia tahu bahwa membuka amplop itu akan mengubah hidupnya selamanya. Pertanyaan dalam benaknya, apakah dia siap untuk perubahan itu?
Dengan jari-jari yang sedikit gemetar, Mei mengangkat amplop itu ke arah cahaya lilin. Kertas tuanya tampak hampir transparan, dan untuk sesaat dia mengira melihat tulisan-tulisan kuno bergerak seperti air di baliknya. Saat dia membaliknya, segel lilin yang menahannya tertutup memiliki lambang yang sama dengan tanda di pergelangan tangannya—sisik naga yang disusun dalam pola melingkar.
"Belum," bisik sebuah suara dalam kepalanya. Bukan suara Wei An, bukan pula suaranya sendiri. Suara itu terdengar seperti gemerisik daun teh kering yang tertiup angin, seperti bisikan air yang mengalir di bawah tanah. "Tunggu sampai bulan benar-benar bersembunyi."
Mei meletakkan amplop itu di dalam laci meja tehnya, di bawah buku catatan resep teh warisan ibunya. Saat dia melakukan itu, matanya menangkap sesuatu yang aneh di halaman belakang buku—tulisan tangan yang tidak dia kenali, muncul seolah-olah baru saja ditulis dengan tinta yang masih basah: "Rahasia tersembunyi dalam tiga tetes air yang tidak pernah jatuh."
Di luar, suara lonceng dari Kuil Naga Tidur kembali terdengar, kali ini lebih keras dan lebih jelas. Mei berjalan ke jendela, menatap ke arah bukit tempat kuil tua itu berdiri. Dalam keremangan senja, dia melihat sesuatu yang membuatnya menahan napas—cahaya-cahaya kecil, seperti kunang-kunang keperakan, menari-nari di sekitar menara kuil yang sudah runtuh.
Mendadak, aroma teh yang masih tersisa di cangkir Wei An berubah. Mei mendekat dan menghirupnya perlahan. Kali ini, yang tercium adalah aroma yang membuatnya teringat akan sesuatu yang belum terjadi—seperti kenangan dari masa depan yang mengalir mundur. Dalam aroma itu, dia melihat dirinya berdiri di depan sebuah gerbang batu kuno, tangannya terangkat, dan tanda di pergelangan tangannya bersinar seperti bulan purnama.
"Nona Mei?" Sebuah suara mengejutkannya. Liu Shan berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat. "Maaf mengganggu, tapi... ada yang aneh dengan teh yang Anda berikan tadi pagi. Saya... saya mulai mengingat hal-hal yang tidak pernah saya alami. Mimpi-mimpi tentang naga dan perpustakaan kuno dan..." dia berhenti, matanya melebar saat melihat tanda di pergelangan tangan Mei yang masih berpendar samar.
Mei cepat-cepat menyembunyikan tangannya, tapi terlambat. Liu Shan sudah melihatnya, dan dari cara dia menatap, Mei tahu bahwa pemuda itu juga terlibat dalam apapun misteri yang sedang terbentang di hadapannya. "Shan," dia berkata perlahan, "ceritakan padaku tentang mimpi-mimpi itu."
"Saya melihat Anda," Liu Shan berbisik, suaranya bergetar. "Dalam mimpi itu, Anda berdiri di depan lima cermin kuno, dan dari setiap cermin, seekor naga menatap balik. Tapi yang paling aneh adalah..." dia menelan ludah, "salah satu naga itu memiliki mata yang sama persis dengan milik tuan Wei An."
Di luar, awan-awan mulai bergerak menutupi bulan, dan dalam kegelapan yang perlahan turun, Mei Zhang dalam kebingungan. Dia harus membuat keputusan yang akan mengubah tidak hanya takdirnya, tapi juga takdir dunia yang bahkan dia sendiri tidak tahu dan menyadarinya.
Kata-kata Liu Shan tentang cermin dan naga menggantung di udara seperti kabut pagi yang enggan pergi. Mei menatap pemuda itu lekat-lekat, mencari tanda-tanda kebohongan atau kebingungan di wajahnya. Yang dia temukan hanyalah ketakutan murni dan kebingungan yang tulus.
"Duduklah," Mei menunjuk ke kursi di dekat jendela. Di luar, langit senja telah sepenuhnya berganti menjadi malam, dan bulan perlahan-lahan mulai bersembunyi di balik awan-awan gelap. "Ceritakan semuanya dari awal."
Liu Shan duduk dengan gugup, tangannya yang gemetar memainkan ujung lengan bajunya yang mulai lepas jahitannya. "Setelah meminum teh tadi pagi, saya pulang seperti biasa untuk mengantar susu. Tapi di tengah jalan, semuanya mulai terasa... berbeda. Bayangan-bayangan tampak lebih dalam, suara-suara terdengar lebih jernih. Dan kemudian, saat saya melewati cermin tua di toko Nyonya Wu..."
"Cermin apa?" Mei menahan napas. Sesuatu dalam nada suara Liu Shan membuat bulu kuduknya meremang.
"Cermin perunggu tua yang selalu ada di sana. Yang katanya dibawa dari ibu kota lama ratusan tahun lalu." Liu Shan menelan ludah. "Saya sudah melewatinya ribuan kali, tapi hari ini... hari ini pantulannya berbeda."
"Berbeda bagaimana?"
"Bayangan saya... bukan saya. Maksud saya, itu masih saya, tapi saya yang... berbeda. Saya memakai pakaian kuno, seperti yang ada dalam lukisan-lukisan tua. Dan di belakang saya..." Liu Shan berhenti sejenak, matanya terpejam seolah mencoba mengingat sesuatu yang sangat sulit untuk diingat. "Di belakang saya berdiri seseorang yang sangat mirip dengan tuan Wei An, tapi dia juga memakai pakaian kuno. Dan matanya..."
"Seperti mata naga," Mei menyelesaikan kalimatnya.
Liu Shan mengangguk perlahan. "Tapi bukan hanya itu. Dalam pantulan itu, saya melihat ruangan ini—kedai teh ini. Tapi bukan seperti sekarang. Dindingnya dipenuhi tulisan-tulisan kuno yang bersinar, dan di tempat lukisan naga itu..." dia menunjuk ke dinding, "ada sebuah cermin besar yang menampilkan pemandangan yang tidak ada di dunia ini."
Mei merasakan tanda di pergelangan tangannya berdenyut pelan. Dia berjalan ke arah lukisan naga dan mengamatinya lebih dekat. Dalam keremangan cahaya lilin, dia bisa melihat bahwa cat yang membentuk sisik-sisik naga itu memiliki tekstur yang aneh—seperti logam yang ditempah dengan sangat halus.
"Shan," Mei berkata perlahan, "apa yang kau ketahui tentang Kuil Naga Tidur?"
"Hanya cerita-cerita tua yang diceritakan para tetua. Katanya, ratusan tahun lalu, kuil itu adalah tempat para pendeta naga melakukan ritual mereka. Tapi suatu malam, semua pendeta menghilang tanpa jejak, meninggalkan kuil dalam keadaan terkunci rapat." Liu Shan terdiam sejenak. "Tapi dalam mimpi saya tadi... saya melihat kuil itu masih utuh dan aktif. Dan di dalamnya..."
Sebelum Liu Shan bisa menyelesaikan kalimatnya, suara lonceng dari kuil kembali terdengar—kali ini lebih keras dan lebih jelas dari sebelumnya. Bersamaan dengan itu, lukisan naga di dinding bergetar pelan, dan untuk sesaat, Mei yakin dia melihat sisik-sisik dalam lukisan itu bergerak seperti air yang mengalir.
"Amplop itu," Liu Shan tiba-tiba berkata, matanya terfokus pada laci tempat Mei menyimpan amplop dari Wei An. "Dalam mimpi saya, Anda membukanya saat bulan sepenuhnya tertutup awan, dan ketika Anda melakukannya..."
"Apa yang terjadi?" Mei bertanya, meski sebagian dari dirinya tidak yakin ingin mendengar jawabannya.
"Dunia berubah," Liu Shan berbisik. "Atau mungkin... kita yang melihat dunia yang sebenarnya."
Mei berjalan ke laci dan mengeluarkan amplop itu. Dalam cahaya lilin yang bergoyang, segel lilinnya tampak berkilau dengan cara yang tidak natural. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, mencoba melihat isinya, tapi yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan yang tampak bergerak dengan sendirinya.
"Ada yang aneh dengan teh yang Anda berikan pada saya tadi pagi," Liu Shan melanjutkan. "Bukan hanya mimpi itu... tapi sejak meminumnya, saya mulai melihat hal-hal yang seharusnya tidak ada. Seperti tulisan-tulisan kuno yang muncul di dinding-dinding tua, atau bayangan-bayangan yang bergerak melawan arah cahaya."
"Dan air yang mengalir ke atas?" Mei bertanya pelan, mengingat apa yang dia lihat di sumur belakang.
Liu Shan tersentak. "Bagaimana Anda tahu?"
Sebelum Mei bisa menjawab, sesuatu yang aneh terjadi dengan buku catatan resep teh di atas meja. Halaman-halamannya mulai membalik dengan sendirinya, berhenti di sebuah halaman yang Mei yakin tidak pernah ada sebelumnya. Di sana, tertulis dalam tulisan tangan yang sangat mirip dengan tulisan ibunya:
"Lima cermin untuk lima naga Lima kunci untuk lima gerbang Saat bulan bersembunyi dalam kegelapan Rahasia yang tertidur akan terbangun kembali"
"Itu tulisan ibu saya," Mei berbisik, tangannya gemetar saat menyentuh halaman itu. "Tapi ini tidak mungkin. Ibu meninggal saat saya masih kecil, sebelum dia sempat menulis apapun dalam buku ini."
Liu Shan bangkit dan berjalan ke arah jendela, matanya terfokus pada kuil di kejauhan. "Nona Mei," dia berkata dengan suara yang berubah serius, "saya rasa kita perlu membicarakan tentang apa yang sebenarnya terjadi lima ratus tahun lalu di Kuil Naga Tidur."
"Apa maksudmu?"
"Dalam mimpi itu, saya tidak hanya melihat masa lalu atau masa depan. Saya melihat kebenaran." Liu Shan berbalik menghadap Mei, dan dalam cahaya lilin yang redup, matanya tampak lebih tua dan lebih bijak dari yang seharusnya. "Tentang mengapa para pendeta naga menghilang. Tentang mengapa air di sumur belakang berbeda. Dan tentang siapa sebenarnya Wei An."
Tepat saat itu, angin kencang bertiup masuk melalui jendela yang tertutup, memadamkan semua lilin dalam sekejap. Dalam kegelapan total yang mengikuti, Mei bisa mendengar suara-suara bisikan dalam bahasa kuno yang tidak dia kenal, tapi entah bagaimana bisa dia pahami:
"Penjaga telah kembali. Segel akan segera pecah. Lima cermin harus dipersatukan sebelum bulan ketiga bersembunyi, atau keseimbangan akan selamanya terganggu."
Ketika lilin-lilin akhirnya berhasil dinyalakan kembali, Liu Shan telah menghilang. Di tempat dia berdiri tadi, hanya tersisa selembar kertas tua dengan gambar sebuah cermin kuno, dan di bawahnya tertulis dalam huruf-huruf yang tampak bergerak-gerak:
"Cermin pertama tersembunyi di tempat di mana air mengalir melawan gravitasi. Temukan dia sebelum fajar, atau kehilangan dia untuk selamanya."
Mei menatap amplop di tangannya, lalu ke arah bulan yang kini hampir sepenuhnya tertutup awan. Dia tahu dia harus membuat keputusan—membuka amplop itu sekarang dan mungkin mengubah segalanya, atau menunggu dan mungkin kehilangan kesempatan untuk mengetahui kebenaran selamanya.
Di pergelangan tangannya, tanda sisik naga itu kini bersinar lebih terang dari sebelumnya, membentuk pola yang tampak seperti peta menuju suatu tempat yang tersembunyi di bawah Kuil Naga Tidur. Dan dari kejauhan, suara lonceng kuil kembali terdengar—kali ini seperti panggilan yang tidak bisa diabaikan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!