NovelToon NovelToon

LDR

Kiani

Aku mau bercerita sebuah kisah tentang seorang gadis dan masa setelah dia lulus SMA. Nama gadis itu adalah Kiani. Tanggal lahirnya tiga juli dua ribu dua. Golongan darahnya O. tinggi badannya seratus enam puluh. Hobinya membaca. Mbak Kian sangat pintar, dia masuk kuliah dengan beasiswa. mbak Kian suka dengan lagu-lagu yang dimainkan oleh Malik en’di essential dan koldpley. Dia sedikit tomboy, makanan kesukaammya adalah kacang-kacangan dan minuman favoritnya adalah susu

Mbak Kian adalah gadis cantik dengan kulit sawo matang dan rambut panjang lurus ditutupi hijab. Saat sedang kerja, mba Kian menggunakan seragam. Saat sedang libur, dia suka memakai celana panjang, kaus lengan panjang, dan hijab menutupi dada. Kaus kesukaannya itu kaus bernuansa coklat karena dia suka warna coklat. Dia selalu bersemangat. Dia juga bersahabat dan ramah. Seperti gadis lainnya, dia suka mengobrol. Meskipun pembawaan dia dewasa, dia bisa jadi childish di waktu tertentu. Contohnya, ketika berurusan dengan cinta, dia bisa menangis sedih.

Mbak Kian suka menonton. Tontonan favoritnya adalah anime sailor moon. Dia selalu menonton anime sailor moon di layar laptop nya. Setiap dia tidak punya kerjaan dan merasa bosan sendirian dia selalu menonton sailor moon. Dia sampai hapal nama para pemain dan judul-judul sailor moon. Aku tidak begitu mengerti tapi dia teman yang baik

“selamat pagi” pelayan minimarket menyambut

“pagi” balas Kiani sambil tersenyum

Kiani berjalan menuju tempat minuman ringan, dan mengambil sekotak susu

. Lalu dia berjalan menuju tempat cemilan, dan mengambil beberapa bungkus kacang-kacangan

Tiba-tiba Kiani bertabrakan dengan seorang pria

“eh, maaf mba” kata pria itu sambil membantu mengambilkan barang-barang yang jatuh

“maaf maaf, saya yang melamun” balas Kiana sambil mengambil belanjaannya yang jatuh

Saat itu mata mereka bertemu

“ini mbak” kata pria itu

“makasih mas” kata Kiani

“saya kesana dulu ya”

“iya” Kiani tersenyum “eh, mas, mas”

Pria itu sudah menghilang

Yah. Aku belum tau namanya deh, padahal kalo aku tau mau aku traktir. Mungkin lain kali

Kiani segera berjalan menuju kasir dan membayar belanjaannya. Sesampainya dirumah, Kian segera melepas sandal dan menaruh kantung keresek berisi susu dan kacang yang dia beli di minimarket

Lalu Kian segera masuk ke kamarnya di lantai dua dan menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Kian membuka handphonenya dan membuka tuiter nya. Dia menulis

Tadi ada mas mas ganteng dan baik di minimarket, tapi ga sempet kenalan

Lalu Kian post

Trilililit

“ya ? waalaikumsalam” Kiani terbamgum saat jandphone nya berbunyi, dari nomer tidak diikenal

“selamat, anda diterima untuk kuliah di universitas gambar maung jalur beasiswa, kami tunggu kehadirannya untuk konnfirmasi pada tanggal delapan belas agustus nanti”

“baik pak, terimakasih”

“assalamualaikum?

“waalaikumsalam”

Kiani langsung turun dari ranjangnya untuk sujud syukur

“Alhamdulillah, terimakasih ya allah” Kiani menuruni tangga dan berteriak dengan gembira

“perhatian semuanya, Kiani baru saja diterima kuliah di universitas gambar maung jalur beasiswa”

“Alhamdulillah, anak mama hebat”

“ini baru anak papa” mama papa Kiani bangga

“berarti nanti kakak bakal ngekos di jogja dong” kata adiknya

“iya, jangan kangen ya” balasku

“gakkan, wlee”

“eee.. sini tak kelikitik”

“ampun kak” adiknya berlari sambil tersenyum

Bulan Agustus

“kamu gapapa disana sendiri Ki ?” tanya mama sambil membantu mengemasi barang – barang yang akan Kiani bawa

“gapapa ma” jawab Kiani

“kalo butuh apa – apa hubungi kami ya”

“iya ma”

“yak udah dimasukkin mobil semua, ayo berangkat”

Di mobil menuju stasiun, dengan papa yang menyetir dan mama disebelahnya lalu Kiani dan adiknya duduk di belakang. Kami berbincang seputar universitas. Kadang aku melihat ke jendela

Seperti apa ya kehidupan disana nanti ?

Ketika sampai di stasiun surabaya, papa menurunkan koperku dari bagasi mobil. Aku melihat jam di handphone, pukul tujuh belas. keberangkatan pukul tujuh belas lewat empat puluh lima

Berarti masih lama

mereka duduk di kursi yang ada di dalam stasiun sambil makan nasi padang yang kami beli tadi di jalan sambil menunggu kereta

Setelah makanan habis, kereta datang. Kiani beranjak dari tempat duduknya lalu mencium punggung tangan papa dan mamanya bergantian

“pa, ma, aku berangkat ya” pamit Kiani

“ya, hati-hati selama di jogja ya” nasehat mama sambil menangis dan memeluk Kiani

“belajar yang bener ya nak disana” papa menepuk pundakku

koper sudah diletakkan di kabin kereta dan mama papa Kiani turun dari kereta. Kereta itu akhirnya melaju. Kiani melihat keluar jendela, kearah orang tua nya

“assalamualaikum, aku berangkat”

Sampai jumpa Lumajang, Surabaya, jawa timur. Aku tidak akan melupakanmu

Di kereta Kiani tayamum lalu solat di tempat duduknya. Kiani kembali melihat keluar jendela untuk menikmati pemandangan selama perjalanan/ sesampainya di stasiun jogja, Kiani turun. Ada beberapa supir taksi menawarkan tumpangan. Kiani menaiki salah satunya

"nyari kosan mba ?”

“iya, kosan yang deket universitas gambar maung, mas tau ?”

“oh tau, mau kosan campur or kosan putri ?”

“kosan putri aja mas”

“mba bukan orang sini ya ?”

“bukan”

“asli mana ?”

“saya asli lumajang mas”

“oh”

hening sampai kosan putri. Tempatnya tidak terlalu jauh dari universitas gambar maung. Ada wifi, dapur, wc dan kasur, dan harga sewa perbulannya tidak terlalu mahal. Serta ibu kosnya ramah. Makanan yang dijual disekitar kampus pun murah-murah. Ah.. indahnya jogja

Trililit

Handphone Kiani berbunyi tertulis “mama” tanda ada telepon dari mama

“assalamualaikum ma ?”

“waalaikumsalam Ki”

“ada apa ma ?’

“selamat hari kemerdekaan Indonesia”

“kirain ada apa ma”

“kamu sehat disana ?”

“Alhamdulillah sehat”

“gimana ? udah ketemu kosannya ? kira – kira betah ga “

Kiani bercerita tentang semuanya, panjang kali lebar. Intinya dia betah di jogja

“udah, mama mau masak makan malem dulu, ayo kamu tidur dulu supaya besok ga telat konfirmasi beasiswanya”

“baik ma, aku tutup telpponnya ya, assalamualaikum”

Tanggal delapan belas. Hari itu sangat penting, yap. Karena para penerima beasiswa akan berkum[ul untuk meng-konfirmaasi beasiswa yang mereka terima

“yang namanya disebutkan silahkan maju” ucap staff kampus dengan memegang microphone “Kiani Putri” Kiani maju

“tanda tangan disini” staff itu menunjuk sebuah garis

“selanjutnya Danuh Syahreza”

Para perempuan disana langsung berbisik riuh

“wah..”

“tampannya..”

“udah punya pacar belum ya ?”

“tinggal dimana ya ?”

“jurusan apa ya ?”

“dikelas apa ya ?”

Dan semacamnya.

Danuh

Sekarang aku mau bercerita tentang seorang pemuda dan masa setelah dia lulus SMA. Nama pemuda itu adalah Danuh. Tanggal lahirnya tujuh Juni dua ribu. Golongan darahnya A. tinggi badannya seratus tujuuh puluh delapan. Hobinya main basket dan membaca. Mas Danug sangat pintar, dia masuk kuliah dengan beasiswa.

Mas Danuh suka dengan lagu-lagu yang dimainkan oleh Avenged Sevenfold dan Samson. Dia cukup gentle, makanan kesukaammya adalah ubi bakar dan minuman favoritnya adalah kopi

Mas Danuh adalah pemuda tampan dengan kulit sawo matang dan rambut cepak. Saat sedang kuliah, mas Danuh menggunakan jas almamater. Dia adalah osis. Saat sedang libur, dia suka memakai celana panjang, kaus lengan panjang, dan topi. Kaus kesukaannya itu kaus bernuansa hitam karena dia suka warna hitam.

Dia selalu bersemangat. Dia juga tegas dan ramah. Seperti pemuda lainnya, dia suka mengobrol. Meskipun pembawaan dia dewasa, dia bisa jadi childish di waktu tertentu. Contohnya, ketika berurusan dengan perasaannya, dia bisa tiba – tiba menangis sedih.

Mas Danuh suka menonton. Tontonan favoritnya adalah pertandingan basket. Dia selalu menonton pertandingan basket di GOR. Setiap dia tidak punya kerjaan dan merasa bosan sendirian dia selalu menonton siaran ulang pertandingan basket. Dia sampai hapal nama para pemain dan dia follow instagrem Pascawira, tim basket kesukaannya.

Mas danuh menyukai basket sejak dia masih duduk di jenjang sekolah menengah pertama. Aku tidak begitu mengerti tapi dia teman yang baik

“Kiani Putri”

Hari penerimaaan beasiswa tiba

“widih, manis juga” salah satu mahasiswa berbisik

“iya ya, dia jurusan apa ya ?” bisik mahasiswa satunya

“udah punya cowok belum ya ?”

“nomer wasap nya berapa ya ?”

“tinggal dimana ya ?” bisik mereka riuh

“Danuh Syahreza”

Satu persatu nama calon penerima beasiswa disebut. Acara serah terima beasiswa itu berlangsung hingga sore hari. Ditutup dengan lukisan warna jingga di langit

Begitu Danuh keluar dari gedung tempat penerimaan beasiswa, wajahnya penuh senyum. Di tangannya tergenggam piagam penghargaan dan amplop berisi detail beasiswanya. Langkahnya terasa ringan, seolah tak menginjak tanah. Ketika hendak memasukkan piagam itu ke dalam tas, ponselnya berdering. Layar ponsel menunjukkan nama yang sangat dikenalnya—“Mama”.

Danuh segera mengangkat telepon.

“Hallo, Ma,” sapanya, mencoba menyembunyikan antusiasme.

“Selamat ya, Nak!” terdengar suara Mamanya di seberang, penuh haru dan kebanggaan.

Danuh tersenyum lebar, meski tidak ada yang bisa melihatnya.

“Terima kasih, Ma. Ini semua berkat doa Mama juga,” balasnya dengan suara penuh syukur.

Mamanya terdiam sesaat, sebelum akhirnya berkata dengan suara bergetar, “Mama tahu kamu pasti bisa, Danuh. Kamu anak Mama yang hebat.”

Percakapan itu membuat hati Danuh hangat. Seolah pencapaiannya hari itu menjadi lebih bermakna karena dukungan Mamanya. Langit yang tadi cerah kini terasa lebih indah, seakan semesta ikut merayakan kebahagiaannya.

Danuh terbangun saat fajar baru saja menyingsing di langit Jogja, kota yang dikenal dengan julukan "kota pendidikan" dan juga kota budaya. Udara pagi terasa segar, membawa aroma khas dedaunan basah dan tanah yang baru saja diguyur embun malam. Ia membuka jendela kamar penginapannya, membiarkan angin lembut mengalir masuk, membawa serta suara kokok ayam jantan dari kejauhan.

"Ah, ini dia. Udara Jogja yang selalu aku rindukan," gumamnya sambil menghirup dalam-dalam aroma pagi yang menenangkan.

Malam sebelumnya, Danuh tiba di Jogja setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Kepalanya masih penuh dengan pikiran tentang alasan dia datang ke kota ini. Ada tugas besar yang harus diselesaikan, dan Jogja memegang kunci dari semuanya. Tapi pagi itu, dia memutuskan untuk menyingkirkan segala beban pikiran dan menikmati momen kecil yang membawa kedamaian.

Di luar, sinar matahari mulai merayap pelan di antara dedaunan pohon mangga di halaman penginapan. Danuh mengganti pakaian dengan kaus putih dan celana pendek, lalu mengambil sepasang sepatu lari yang sudah lama tak disentuhnya. Dia memutuskan untuk jogging di sekitar Malioboro.

Saat melangkah keluar, kota Jogja mulai hidup dengan caranya yang khas. Penjual gudeg sudah membuka warung mereka di pinggir jalan, aroma manis dan gurih mulai tercium. Beberapa becak berlalu-lalang, sementara tukang andong sibuk menyiapkan kuda mereka untuk menarik penumpang.

Sambil berlari santai, Danuh mengamati bangunan-bangunan tua yang penuh cerita, warisan kolonial yang masih berdiri tegak di sepanjang jalan. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke kenangan-kenangan yang pernah ia simpan di kota ini. Jogja bukan sekadar kota baginya, tetapi tempat di mana ia pernah menemukan cinta, kehilangan, dan juga pelajaran hidup yang berharga.

Dalam pikirannya, nama seorang wanita muncul—Kiani.

"Bagaimana kalau aku bertemu dengannya lagi?" gumam Danuh dalam hati. malam itu Danuh menggosok giginya di kamar mandi dalam kos tempat Danuh singgah untuk beberapa tahun kedepan dan tidur

Danuh menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara pagi yang segar memenuhi paru-parunya. Jalan setapak yang mengelilingi universitas baru ini terlihat begitu menggoda, membentang lurus dengan dikelilingi pepohonan rindang yang memberi keteduhan. Sepatu larinya yang masih terlihat baru menjejak ringan di permukaan jalan, mengeluarkan suara kecil yang teredam. Dia baru saja pindah ke kota ini untuk melanjutkan pendidikannya, dan ini adalah hari ketiganya di kampus.

"Mulai dari mana ya?" gumamnya pelan. Sebenarnya, Danuh bukanlah orang yang terbiasa berolahraga. Dia memutuskan untuk jogging pagi ini karena merasa canggung berada di lingkungan baru, tanpa teman, tanpa siapa pun yang dia kenal. Lari-lari kecil ini adalah caranya untuk mengenal kampus sambil menenangkan pikirannya.

Dia mulai melangkah perlahan, berjalan lebih dulu sebelum akhirnya mempercepat langkahnya menjadi lari kecil. Udara pagi yang sejuk terasa nyaman di kulitnya, tetapi tubuhnya yang belum terbiasa dengan aktivitas fisik mulai memberi perlawanan. Nafasnya terdengar berat setelah hanya beberapa menit berlari.

"Kok... capek banget, ya," pikirnya sambil berhenti di bawah sebuah pohon besar di pinggir jalan setapak. Dia menunduk, menumpukan tangan di lutut, mencoba mengatur napas. Pandangannya menyapu ke sekeliling. Kampus ini memang indah, jauh lebih besar dari sekolah lamanya. Ada taman bunga kecil di dekatnya, beberapa bangku kayu tempat mahasiswa duduk membaca buku atau sekadar bercengkerama, dan lapangan basket yang sudah mulai dipenuhi mahasiswa.

Namun, rasa kagum itu hanya sebentar mengalihkan pikirannya. Hatinya kembali teringat pada kenyataan: dia adalah anak baru di sini, dan perasaan asing itu tak kunjung hilang.

"Harusnya aku tadi ikut orientasi," gumamnya menyesali keputusan untuk menghindari keramaian. "Tapi... aku enggak nyaman di tengah banyak orang."

Dia memutuskan untuk kembali berlari. Langkahnya pelan, tapi kali ini lebih teratur. Sambil berlari, dia memperhatikan detail-detail kecil di sepanjang jalan. Ada poster kegiatan mahasiswa yang tertempel di tiang lampu, warung kopi kecil di sudut kampus, dan sekumpulan burung merpati yang mencari makan di dekat air mancur. Setidaknya, pemandangan ini menghiburnya sedikit.

Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki lain mendekat. Seseorang mendahuluinya, berlari dengan ritme yang cepat namun teratur. Mahasiswa itu—seorang pria bertubuh tegap dengan kaus olahraga hitam—menoleh sebentar ke arah Danuh, lalu tersenyum tipis.

"Baru mulai, ya?" tanya pria itu tanpa menghentikan langkahnya.

Danuh hanya mengangguk, terlalu terengah-engah untuk menjawab.

"Semangat, jangan berhenti! Lama-lama juga terbiasa," pria itu berkata lagi sebelum melanjutkan larinya, meninggalkan Danuh yang tertegun.

Kata-kata sederhana itu entah kenapa terasa menyemangati. Danuh melanjutkan larinya, mencoba menjaga ritme yang sama. Mungkin, pikirnya, dia bisa mulai dari hal kecil seperti ini—melangkah satu demi satu, mengenal lingkungan baru ini dengan perlahan.

kiani's family

Kiani adalah anak bungsu. Kiani mempunyai dua orang kakak laki-laki. kakak laki-laki yang pertama bernama Fajar, kakak laki-laki yang kedua bernama Lazuardi. Ibunya bernama Bu Poppy, bapaknya bernama pak Dede. Mereka hidup bahagia di Lumajang.

Matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, menciptakan semburat jingga di langit pagi. Udara segar menguar, membawa aroma embun dan wangi dedaunan yang masih basah. Burung-burung berkicau riang, seperti memulai simfoni alam yang menenangkan jiwa. Rumah Pak Dede, sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas, mulai dipenuhi aktivitas pagi.

Mas Lazuardi, pria bertubuh tinggi dengan rambut hitam yang selalu disisir rapi, mengenakan kaos olahraga berwarna biru langit dan celana pendek. Ia memegang seutas tali skipping yang sudah lusuh tetapi masih kokoh. Dengan gerakan penuh semangat, ia mulai melompat. Tali itu berputar dengan ritme yang konsisten, menghasilkan bunyi “srek-srek” setiap kali menyentuh tanah. Keringat mulai membasahi dahinya, tapi senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya.

“Lazu, jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, hari ini kamu harus ke bengkel juga, kan?” seru Pak Dede dari teras rumah. Ia sedang duduk santai, menyeruput secangkir kopi hitam sambil membaca koran.

“Tenang saja, Pak. Saya cuma pemanasan,” jawab Lazuardi sambil terus melompat. “Lagipula, olahraga pagi itu penting, biar tubuh tetap bugar.”

Di dapur, Kiani, putri bungsu keluarga itu, sibuk membantu Bu Poppy menyiapkan sarapan. Gadis remaja itu mengenakan apron kuning dengan motif bunga-bunga kecil. Ia sedang memotong roti menjadi bentuk segitiga, sambil sesekali mencuri pandang ke arah halaman melalui jendela dapur.

“Mas Lazuardi itu rajin sekali ya, Bu,” ujar Kiani sambil tersenyum.

“Memang. Lazu itu orangnya disiplin. Kamu harus belajar banyak dari dia,” jawab Bu Poppy sambil mengaduk adonan pancake. Tangannya cekatan, mencampur tepung, susu, dan telur hingga adonan itu mengental sempurna.

Di sisi lain halaman, Mas Fajar, kakak tertua Lazuardi, sedang membantu Pak Dede mencuci mobil. Fajar adalah pria berusia tiga puluhan dengan tubuh tegap dan senyum ramah yang selalu menghiasi wajahnya. Ia mengenakan kaos putih polos yang kini basah di beberapa bagian karena cipratan air.

“Pak, kalau bagian bawahnya ini sudah cukup bersih, ya?” tanya Fajar sambil menunjuk ke arah bumper mobil.

Pak Dede melirik ke arah yang ditunjuk Fajar. “Coba gosok lagi sedikit. Biasanya kotoran itu suka menempel di bagian bawah. Pakai sikat yang ini saja, biar lebih bersih.”

Fajar mengangguk dan segera mengambil sikat yang dimaksud. Ia jongkok, lalu mulai menyikat bagian bawah mobil dengan teliti.

“Mas, ini handuknya,” Kiani datang menghampiri sambil membawa handuk kecil.

“Wah, makasih, Ki. Pas banget lagi butuh,” ujar Fajar sambil menyeka keringat di wajahnya.

Di tengah semua kesibukan itu, suasana rumah tetap terasa hangat. Setiap orang tampak menikmati perannya masing-masing, menciptakan harmoni yang sulit dijelaskan dengan kata-kata

Mas Lazuardi adalah sosok pria bertubuh tinggi dengan postur tubuh yang tegap, mencerminkan kedisiplinan yang tertanam kuat dalam dirinya. Rambutnya hitam legam, selalu disisir rapi ke samping, memberikan kesan elegan dan teratur. Wajahnya oval dengan kulit yang sedikit kecokelatan akibat sering terpapar sinar matahari. Mata hitamnya tampak tajam namun teduh, seperti mampu menenangkan siapa saja yang melihatnya.

Setiap gerakannya terlihat mantap dan penuh perhitungan, mencerminkan kepribadian yang tenang namun tegas. Saat berbicara, suaranya terdengar jelas dan berwibawa, menambah karisma yang sudah dimilikinya. Pilihan pakaian yang ia kenakan pun sederhana namun rapi, menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang menghargai penampilan tanpa harus berlebihan.

Di tengah kesibukannya, senyum hangatnya selalu hadir, memancarkan keramahan yang membuatnya mudah disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Ia adalah pribadi yang disiplin dan penuh dedikasi, baik dalam menjalani aktivitas sehari-hari maupun dalam menjaga hubungan dengan keluarga dan teman-temannya.

Fajar, seorang pria di awal usia tiga puluhan, memiliki tubuh tegap yang mencerminkan kekuatan dan kesehatan fisiknya. Wajahnya yang berbentuk oval tampak berseri, dihiasi dengan senyum ramah yang seolah tak pernah lepas dari bibirnya. Senyum itu, hangat dan tulus, mampu menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Matanya yang tajam memancarkan semangat, namun di balik ketegasannya terselip kelembutan yang membuat orang merasa nyaman. Setiap kali ia berbicara, suaranya yang tenang dan penuh keyakinan membuat orang lain mudah percaya dan menghormatinya. Kehadirannya memancarkan aura positif, membuatnya menjadi sosok yang selalu dirindukan dalam setiap pertemuan.

Bu Poppy adalah sosok ibu yang penuh kasih sayang dan selalu memancarkan kebaikan hati dalam setiap tindakannya. Dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya, ia menjadi tempat perlindungan bagi keluarganya. Bu Poppy dikenal sebagai pribadi yang rajin menabung, mengelola keuangan dengan bijak demi masa depan yang lebih baik. Kebijaksanaannya terlihat dalam setiap keputusan yang diambil, selalu memikirkan kepentingan bersama. Meskipun memiliki banyak kelebihan, Bu Poppy tetap rendah hati dan tidak sombong. Ia mudah bergaul dengan siapa saja, selalu menghargai orang lain tanpa memandang latar belakang. Kehadirannya tidak hanya membawa kehangatan di rumah, tetapi juga menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya.

Pak Dede adalah sosok bapak yang dikenal dengan kepribadiannya yang unik, menggabungkan sifat humoris dan tegas dalam dirinya. Ia selalu berhasil mencairkan suasana dengan candaan ringan yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya tertawa lepas. Wajahnya sering kali dihiasi senyum ceria, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan ketegasan yang tidak bisa diabaikan. Dalam setiap keputusan, Pak Dede selalu tegas dan adil, memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Namun, di balik ketegasannya, ia memiliki hati yang hangat dan selalu siap membantu orang lain. Kepribadiannya yang penuh warna membuatnya dihormati sekaligus disukai oleh banyak orang.

Aroma pancake yang baru matang menyebar memenuhi ruangan, menggugah selera siapa saja yang menciumnya. Wangi manis dari adonan yang kaya akan mentega bercampur sempurna dengan harum hangat vanila. Aroma karamel yang lembut muncul dari bagian tepi pancake yang sedikit renyah karena panggangan sempurna. Jika ditambah siraman maple syrup atau olesan mentega, wangi manisnya semakin intens, mengundang imajinasi rasa yang lembut, manis, dan sedikit gurih. Bau ini seperti pelukan hangat di pagi hari, membawa kenyamanan dan rasa lapar yang tak tertahankan.

Keringat di dahi Lazuardi membentuk butiran kecil yang perlahan-lahan mengalir di kulitnya yang kecokelatan. Di bawah sinar matahari yang terik, butiran itu memantulkan cahaya seperti kristal, memberikan kesan mengilap. Beberapa tetes menggantung di ujung alisnya sebelum akhirnya jatuh, meninggalkan jejak tipis di wajahnya yang memerah karena panas. Setiap gerakan kecilnya membuat butiran keringat itu berkilauan seolah berlomba untuk menarik perhatian, menambah kesan dramatis di tengah suasana yang terik dan melelahkan.

Di lantai garasi yang basah, air mengalir pelan membentuk alur kecil yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Tetesan air dari spons yang digunakan Fajar jatuh dan memercik, meninggalkan jejak lingkaran-lingkaran kecil pada lantai keramik abu-abu. Suara gemericik lembut terdengar saat ia memeras spons, memercikkan butiran air yang berterbangan seperti kristal sebelum lenyap menyatu dengan genangan.

Fajar berdiri dengan kaki sedikit tertekuk, celana olahraga hitamnya mulai lembap di ujung karena cipratan. Bau sabun cuci mobil yang segar bercampur dengan aroma basah dari beton garasi memenuhi udara. Di dekatnya, selang hijau mengular, ujungnya memuntahkan aliran air yang menghantam ban mobil dan memantul, menciptakan percikan-percikan kecil seperti gerimis. Setiap gerakannya menghasilkan suara yang serasi—gesekan spons, bunyi air menetes, dan langkah kakinya yang sesekali menyentuh lantai yang licin.

Lazuardi: "Pagi, Kiani. Jadi, gimana rencananya hari ini? Kita tetap ke pameran seni dulu atau langsung ke taman kota?"

Kiani: "Pameran seni dulu, dong. Aku penasaran sama karya instalasi yang katanya bisa interaktif itu. Tapi, kita nggak kelamaan, ya. Aku juga pengin ke taman buat piknik."

Lazuardi: "Setuju. Kalau kita berangkat pagi, bisa sampai sana sebelum ramai. Terus, untuk pikniknya, kamu udah siapin apa?"

Kiani: "Aku bawa sandwich, salad buah, sama jus jeruk. Oh, sama aku bawa selimut buat duduk juga. Kamu bawa apa?"

Lazuardi: "Aku bawa termos kopi sama beberapa camilan ringan. Lagian, aku tahu kamu bakal siapin makanan utamanya, jadi nggak mau terlalu ribet."

Kiani: (tertawa kecil) "Tahu banget, ya, siapa yang suka repot di sini. Tapi jangan lupa, mas yang tanggung jawab bawain gitar, ya."

Lazuardi: "Tenang aja. Gitar udah aku set di mobil sejak semalam. Kita bakal bikin taman itu jadi konser kecil, nih."

Kiani: *(tersenyum) "Oke, kalau gitu kita berangkat jam sembilan, ya? Biar nggak buru-buru."

Sementara itu, pak Dede dan Fajar sedang asik membahas tentang masa lalu

Pak Dede: "Fajar, kamu tahu nggak? Waktu dulu, pas saya seumuran kamu, hidup itu nggak semudah sekarang."

Fajar: "Memangnya dulu kenapa, Pak? Bukannya dulu nggak banyak aturan kayak sekarang?"

Pak Dede: "Betul, aturan nggak sebanyak sekarang. Tapi, fasilitas juga nggak ada. Mau sekolah aja, saya harus jalan kaki tujuh kilometer tiap hari."

Fajar: "Serius, Pak? Jalan kaki tujuh kilometer? Kalau hujan, gimana?"

Pak Dede: "Ya diterjang saja, nak. Kalau nggak gitu, kapan saya mau pintar? Beda sama kamu sekarang, ada motor, ada ojek online. Dulu, mana ada semua itu."

Fajar: "Iya juga, sih. Tapi, dulu kayaknya orang-orang lebih saling bantu, ya, Pak?"

Pak Dede: "Itu benar. Waktu saya kecil, kalau ada tetangga panen, mereka suka bagi-bagi hasil ke semua orang. Sekarang, kalau panen, langsung dijual ke pasar, nggak ada cerita bagi-bagi lagi."

Fajar: "Iya, Pak. Sekarang kayaknya individualistis banget. Tapi zaman dulu kayaknya seru, ya?"

Pak Dede: "Seru? Hahaha, ya seru kalau dipikir sekarang. Dulu sih capek, nak. Tapi ya, memang kenangan itu selalu jadi indah kalau sudah berlalu."

Fajar: "Iya, saya setuju, Pak. Cerita Bapak ini bikin saya sadar, saya harus lebih bersyukur dengan apa yang saya punya sekarang."

Pak Dede: "Bagus kalau kamu bisa ambil pelajaran. Hidup itu harus pandai-pandai bersyukur dan berbagi, Fajar. Supaya nggak cuma kamu yang bahagia, tapi orang di sekelilingmu juga."

Lazuardi menatap lapangan kosong di depannya, rumputnya yang hijau tersapu cahaya sore. Sepi. Namun, dalam keheningan itu, kenangan mulai menyeruak, membawanya kembali ke masa kecilnya—masa yang dulu terasa berat dan penuh pergulatan batin.

Saat itu, Lazuardi hanyalah seorang anak kecil yang sering merasa terkucil. Tubuhnya tak sekuat teman-temannya, langkahnya sering tertinggal saat bermain di halaman sekolah. Ia tak pernah dipilih lebih dulu untuk bergabung dalam tim olahraga. Hatinya sering teriris, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.

Namun, semuanya berubah pada suatu sore, ketika ia sedang duduk di tangga sekolah, mengamati teman-temannya bermain bola di lapangan. Kakinya yang kecil mengayun pelan, menciptakan irama tak beraturan di lantai semen. Tiba-tiba, seorang guru olahraga menghampirinya.

“Lazuardi, kenapa cuma duduk di sini? Kenapa nggak main?” suara lembut tapi tegas itu membuatnya menoleh. Guru itu, Pak Haris, terkenal karena kesabarannya.

Lazuardi menunduk, menggenggam ujung bajunya. “Saya nggak bisa, Pak. Saya lemah… Teman-teman nggak suka kalau saya ikut main.”

Pak Haris tersenyum kecil, lalu jongkok di hadapannya. “Kamu tahu, olahraga itu bukan cuma soal menang atau kuat. Ini soal kamu lawan dirimu sendiri. Mau coba?”

Awalnya, Lazuardi ragu. Tapi, dorongan kecil dari Pak Haris mengubah segalanya. Hari itu, Pak Haris mengajarinya menggiring bola. Setiap langkah kecil yang berhasil ia ambil di lapangan terasa seperti kemenangan besar di hatinya. Ketika kakinya akhirnya mampu menendang bola ke gawang, tawa kecil meluncur dari bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya berharga.

Sejak saat itu, olahraga menjadi dunia baru bagi Lazuardi. Lapangan yang dulu tampak asing kini menjadi tempat di mana ia merasa hidup. Meski tubuhnya tak sempurna, ia belajar mengandalkan semangatnya. Tak peduli seberapa banyak ia jatuh, ia selalu bangkit kembali.

Kembali ke masa kini, Lazuardi menghela napas panjang. Ia mengangkat bola di tangannya, lalu melemparkannya tinggi ke udara. Matahari yang hampir tenggelam mengukir bayangan dirinya di rumput hijau.

“Terima kasih, Pak Haris,” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada angin. “Karena Bapak, aku tahu caranya mencintai diriku sendiri.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!