NovelToon NovelToon

Dikuasai Pria Dingin

Ch~

Lilythiana, atau Lily, berjalan tergesa-gesa dengan kotak makan pagi di tangannya. Pagi itu ia merasa sedikit lebih ceria, mencoba memberikan kejutan manis untuk tunangannya, Hugo.

Setelah seminggu penuh rutinitas yang menjemukan, ia berharap hari itu bisa menjadi momen istimewa. Croissant hangat dan kopi segar, mungkin, bisa membangkitkan semangat Hugo yang sering kali terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Namun, semua perasaan positif itu dengan cepat sirna begitu ia membuka pintu apartemen Hugo. Apa yang ia lihat membuat tubuhnya serasa membeku di tempat.

Hugo, tunangannya, sedang tertidur lelap di tempat tidur, dan di sampingnya, Daisy, teman kantornya yang selama ini terlihat begitu ramah, juga terbaring begitu dekat.

Mereka tertutup selimut putih, tubuh mereka begitu dekat, tidak ada jarak sedikitpun yang membedakan antara keduanya. Itu cukup untuk membuat jantung Lily terhantam kuat-kuat.

Lily terdiam di ambang pintu, tak bisa berkata apa-apa. Semua kebimbangan yang sudah lama mengganggunya, kecurigaan yang tak bisa ia hilangkan, kini terbukti dengan jelas.

Hatinya rasanya hancur, namun amarah mulai menguasainya. Segera ia menyadari, ini adalah momen yang sudah ia takutkan selama ini.

Lily melangkah masuk dengan hati yang dipenuhi kekosongan dan kemarahan. "Hugo…" suaranya serak, mencoba memanggil tunangannya. Namun, Hugo masih terlelap, dan Daisy juga tak menyadari kehadirannya.

Tanpa pikir panjang, Lily mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto, menampilkan bukti-bukti yang selama ini ia kumpulkan.

Pesan-pesan antara Hugo dan Daisy, foto-foto kedekatan mereka yang lebih dari sekadar teman. Ini bukan lagi tentang kecurigaan. Ini adalah kenyataan yang menyakitkan.

"Lily…" akhirnya Hugo terbangun, bingung melihat Lily berdiri di hadapannya. "Kenapa kamu—"

"Jangan coba-coba berbohong lagi, Hugo," potong Lily dengan suara yang bergetar penuh amarah. "Aku sudah mengetahui semuanya. Jangan anggap aku bodoh."

Hugo terdiam, mencoba meraih tangan Lily yang hendak pergi. "Lily, tunggu! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, aku—"

Lily menatap Hugo tajam, suaranya kini penuh ketegasan. "Cukup, Hugo. Aku sudah cukup dibohongi," ucapnya sambil menunjuk ponselnya yang menampilkan bukti pengkhianatan itu. "Semua ini bukti yang tidak mungkin kamu sangkal lagi."

Hugo masih mencoba mencari alasan, wajahnya cemas. "Lily, itu hanya sebuah kesalahan! Aku mabuk, Daisy juga mabuk! Kami tidak sadar apa yang kami lakukan!"

Lily menatap Hugo dengan penuh kebencian yang mulai meledak. "Berhenti mencari alasan, Hugo!" serunya dengan nada tegas. "Aku sudah cukup menjadi wanita yang terus-terusan kamu bohongi! Semua ini jelas, dan aku tidak ingin lagi menjadi bagian dari hidupmu."

Tanpa kata-kata lagi, Lily berjalan cepat menuju pintu. Hugo berlari mengejarnya, hanya mengenakan celana boxer, panik dan terkejut. "Lily, jangan pergi begitu saja!" teriak Hugo. "Kita masih bisa menyelesaikan ini!"

Lily berhenti sejenak, berbalik menatap Hugo dengan tatapan penuh kebencian. "Apa lagi yang harus dibicarakan, Hugo? Segala sesuatunya sudah jelas. Aku tidak akan lagi terjebak dalam kebohongan ini!"

Lily melangkah keluar dari kamar apartemen itu dengan langkah tegas yang tak bisa dibendung. Di belakangnya, Hugo terus berteriak, namun kali ini tidak ada lagi penyesalan yang bisa mengubah keputusan Lily.

"Lily, kamu tidak bisa melakukan ini! Aku tidak akan membatalkan rencana pernikahan kita. Kita masih bisa—"

"Tidak, Hugo," potong Lily tanpa menoleh lagi. "Aku tidak peduli dengan rencana pernikahanmu. Aku pergi."

Lily keluar apartemen, pintu tertutup dengan keras, dan Hugo tetap berdiri di sana, terdiam, wajahnya penuh penyesalan, tetapi terlambat.

Lily sudah melangkah pergi, meninggalkan kisah yang begitu penuh pengkhianatan dan rasa sakit, dan untuk pertama kalinya, Lily merasa benar-benar bebas.

Walaupun begitu, Lily menahan sakit hati yang begitu dalam sepanjang jalan menuju halte bus. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah-olah dunia ini terlalu besar untuk dirinya yang sekecil ini.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga, meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. Kecewa, marah, dan patah hati, perasaan-perasaan itu saling bertabrakan, membuatnya merasa terpecah-pecah.

Hugo, yang pernah ia percayai dengan sepenuh hati, kini telah mengkhianatinya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Semua harapan dan impian yang mereka bangun bersama runtuh dalam sekejap.

Ia terus berjalan, berusaha tidak menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, namun air mata tak bisa dibendung. Bahkan ketika beberapa orang menatapnya dengan penuh rasa iba, ia hanya menunduk, menghapus air mata dengan cepat, dan melanjutkan langkahnya.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain terus maju, meskipun hatinya terasa kosong dan sepi. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah badai yang tidak bisa dihindarinya.

Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya Lily sampai di halte bus. Tanpa berpikir panjang, ia segera naik ke dalam bus yang datang, berharap bisa sampai ke rumah dan menyendiri sejenak.

Begitu duduk, Lily merasa sedikit lega, meskipun kepedihan di hatinya tetap ada. Ia menggenggam tasnya erat-erat, mencoba menenangkan diri di tengah keramaian.

Namun, tangisannya yang sudah tak tertahankan itu kembali pecah begitu bus mulai bergerak. Lily tak bisa lagi menahan air matanya.

Ia menangis pelan, menyandarkan kepala di jendela bus, memandang ke luar, berharap rasa sakit ini bisa hilang entah ke mana.

Semua orang yang ada di dalam bus mulai menoleh, beberapa menatap dengan rasa prihatin, sementara yang lain tampak bingung melihat seorang wanita muda menangis begitu saja tanpa bisa berhenti.

Di tengah kesedihannya, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam bus. Seorang pria tampan, dengan masker hitam dan topi yang menutupi sebagian besar wajahnya, berdiri di dekat pintu.

Tanpa mengatakan apa-apa, ia berjalan dengan tenang menuju tempat duduk yang kosong di dekat Lily. Namun, alih-alih duduk langsung, pria itu berhenti di hadapan Lily. Dengan lembut ia melepas topinya dan tanpa kata menutupi kepala Lily yang masih tertunduk, berusaha menenangkan dirinya.

Lily terkejut, matanya masih kabur karena air mata, namun ia merasa terharu dengan kebaikan pria itu. Tanpa berkata-kata, pria itu kembali duduk di belakangnya, menatap ke luar jendela, sedikit menunduk.

Lily terdiam, merasa ada kehangatan yang datang dari tindakan pria itu. Meski tak ada kata-kata yang terucap, kebaikan pria itu seperti mengalir langsung ke dalam hatinya, membuatnya merasa sedikit lebih baik meski hatinya masih remuk.

Lily menatap topi pria itu di atas kepalanya, berusaha mengucapkan terima kasih, namun bibirnya terasa berat. Saat bus berhenti di halte, Lily memutuskan untuk mengembalikan topi pria itu.

Namun, saat ia berbalik, sebuah kerumunan penumpang yang hendak turun tiba-tiba membuat situasi menjadi kacau. Orang-orang saling berdesakan, dan dalam sekejap, pria itu menghilang.

Lily berusaha mencari-cari pria itu, menatap sekeliling dengan kebingungan. Namun, pria itu sudah tidak ada di sana. Tidak ada tanda-tanda dirinya, hanya ada kerumunan penumpang yang bergegas keluar dari bus.

Lily menatap jalanan yang kosong, merasa sedikit bingung dan kecewa. Ia ingin mengucapkan terima kasih, ingin tahu siapa pria baik hati itu, tetapi kesempatan itu sudah hilang begitu saja.

Ia merasa ada sesuatu yang hilang, namun ia tidak bisa menjelaskan apa. Pria itu, yang dengan baik hati menutupi aibnya dan memberinya sedikit ketenangan, kini sudah menghilang tanpa jejak.

Lily merasa kebingungannya semakin dalam, namun satu hal yang pasti, kebaikan pria itu, meskipun sesaat, telah menghapus sebagian dari kesedihannya.

Ch~

Lily berjalan tanpa tujuan di sepanjang jalan yang terasa begitu panjang dan sunyi. Malam semakin larut, dan udara kota yang dingin mengingatkannya pada kesendirian yang selalu hadir di dalam hidupnya.

Rumah kontrakan yang terletak di atap sebuah bangunan tua itu, yang selalu menjadi tempat persembunyian untuknya, kini terasa begitu jauh, seolah-olah tempat itu tidak lagi mampu memberi kenyamanan.

Hari itu, seperti banyak hari sebelumnya, hanya dipenuhi dengan kebingungan, kekecewaan, dan kehilangan.

Langkahnya semakin lambat seiring dengan berlarinya waktu. Pikiran-pikiran itu terus berputar, berlarian tanpa kendali, kembali ke masa lalu, saat segala sesuatu masih terasa penuh harapan.

Ia ingat dengan jelas bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Hugo, seorang teman kuliah yang selalu ada untuknya.

Dulu, Hugo adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa tidak sendirian, yang memberi arti pada setiap hari yang dilaluinya.

Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang banyak hal, dan perlahan hubungan mereka berubah menjadi lebih dari sekadar persahabatan.

Mereka mulai berpacaran, dan meskipun begitu banyak yang mereka jalani bersama, Lily selalu menjaga jarak dalam hubungan fisik mereka.

Ia selalu percaya bahwa cinta sejati harus dihargai, dan ia ingin hubungan mereka terjaga dengan baik hingga hari pernikahan mereka tiba.

Setiap kali mereka berbicara tentang masa depan, apartemen yang mereka rencanakan menjadi tempat tinggal mereka setelah menikah selalu menjadi bagian dari impian itu.

Hugo, dengan segala kebaikan dan perhatian yang diberikan, membuat Lily merasa bahwa mungkin, akhirnya, hidupnya bisa sempurna. Namun, harapan itu kini hancur dalam sekejap.

Lily menghentikan langkahnya dan menunduk, merasakan sakit yang kembali melanda hatinya. Ia teringat saat baru saja membuka pintu apartemen Hugo dan melihat pemandangan yang tidak pernah ia duga, Hugo, tidur di atas tempat tidur bersama Daisy, teman kantornya.

Ada begitu banyak yang ingin ia katakan saat itu, begitu banyak kata yang ingin ia teriakkan, tetapi yang keluar hanyalah kesedihan yang semakin dalam.

Kebenaran itu datang begitu menghancurkan, seperti pisau yang menembus langsung ke dalam hatinya. Semua yang ia percaya ternyata hanya ilusi belaka.

Malam semakin larut, dan Lily tahu ia harus kembali ke rumah. Namun, setiap langkahnya terasa begitu berat. Dalam kegelapan malam, hanya suara langkahnya yang terdengar, dan angin dingin yang bertiup lembut.

Lily merasa seperti melangkah di antara dunia yang tidak mempedulikannya dan masa depan yang tak pasti. Tiba-tiba, bayangan masa kecilnya muncul di benaknya—kenangan tentang orang tuanya yang telah pergi begitu lama.

Sejak mereka meninggal dalam kecelakaan tragis dua puluh tahun lalu, hidup Lily selalu dipenuhi kesendirian. Neneknya yang tinggal di desa jauh selalu ada untuk memberikan kasih sayang, tetapi perasaan kesepian itu tetap ada, seolah-olah mengikutinya ke mana pun ia pergi.

Seiring berjalannya waktu, Lily berusaha mengatasi segala kesulitan dengan cara yang hanya bisa ia pahami sendiri. Meskipun hidupnya penuh dengan kehilangan, ia selalu berusaha untuk bertahan, bahkan ketika ia merasa dunia ini terlalu besar dan keras untuk seorang gadis kecil yang telah kehilangan segala-galanya.

Setelah beberapa lama berjalan, Lily akhirnya sampai di rumah kontrakannya. Malam semakin larut, dan pikirannya terus menerus dihantui oleh kenangan itu, Hugo, Daisy, dan semua kebohongan yang selama ini ia percayai.

Dengan langkah yang perlahan, Lily berjalan menuju pagar rumah kontrakannya, berharap bisa menemukan kedamaian dalam kesendirian malam itu.

Tetapi begitu ia melihat ke depan, bola matanya membulat. Di sana, di depan pagar, Hugo berdiri, menatap ke arah lain dengan penuh harapan.

Lily sudah menebak, pria itu pasti ingin merayunya lagi, mencoba membuatnya percaya bahwa semuanya bisa diperbaiki.

Namun, hati Lily sudah terlalu hancur untuk bisa mendengarkan kata-kata manis itu lagi. Hatinya begitu sakit, lebih sakit dari apapun yang pernah ia rasakan.

Tidak ada lagi ruang bagi Hugo dalam hidupnya, tidak ada lagi kesempatan untuk kebohongan atau penyesalan yang tidak pernah datang tepat waktu.

Dengan langkah yang cepat, Lily mundur dan berbalik arah, tidak ingin bertemu dengan siapa pun malam itu, terutama dengan Hugo. Ia tak mau lagi mendengar alasan atau permintaan maaf yang kosong.

Kata-kata itu tidak akan menghapus pengkhianatan yang baru saja ia alami. Tanpa menoleh, ia berjalan menjauh, meninggalkan sosok pria yang pernah ia cintai, yang kini hanya menjadi kenangan pahit dalam hidupnya.

Lily tahu ia tidak bisa berlari selamanya. Suatu saat, ia harus menghadapi kenyataan dan melanjutkan hidupnya. Tapi untuk malam ini, ia hanya ingin pergi, menghindari semua orang dan segalanya.

Ia ingin bersembunyi di dunia kecilnya sendiri, di tempat yang bisa memberinya ketenangan sementara, meski hanya untuk beberapa saat.

Saat ia melangkah lebih jauh, langit malam yang gelap semakin menyelimuti kota, seolah memberikan perlindungan bagi Lily yang terluka.

Dalam sepi dan kesedihan, Lily berjalan sendirian, dengan hati yang penuh luka dan pikiran yang kosong. Namun di dalam kegelapan malam itu, ada satu hal yang ia tahu pasti, meskipun dunia ini terasa begitu berat, ia akan bertahan. Ia harus bertahan, demi dirinya sendiri.

Suara deringan ponsel Lily memecah keheningan malam yang semakin pekat. Nama Emma muncul di layar, sang nenek yang tinggal di desa jauh.

Lily tahu betul apa artinya panggilan ini. Pasti Hugo yang menghubungi neneknya dan memberitahunya bahwa mereka hanya bertengkar soal masalah kecil.

Itu adalah cara Hugo untuk menenangkan semua pihak, meyakinkan orang-orang yang peduli padanya bahwa semuanya baik-baik saja, meskipun kenyataannya jauh dari itu.

Lily memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong, jari-jarinya terhenti sejenak di atas tombol terima panggilan.

Pikirannya berputar, namun hati kecilnya sudah tahu, ia tidak ingin berbicara dengan siapapun saat itu. Terutama dengan nenek yang selalu berusaha mengerti dan menenangkan hatinya.

Lily tahu, jika dia mengangkat telepon itu, neneknya akan meminta penjelasan yang akan semakin membuatnya merasa terpojok. Perasaan yang begitu rapuh, hancur dan tak ingin dibebani lebih jauh.

Dengan satu napas panjang, Lily mengirimkan pesan singkat kepada Emma, memberitahunya bahwa ia sedang sibuk bekerja dan akan menelepon kembali setelah pekerjaannya selesai.

Setelah mengirimkan pesan tersebut, Lily menundukkan kepalanya, merasakan berat di dadanya yang semakin mencekik.

Ada sesuatu yang sangat menyakitkan dalam kata-kata itu, kebohongan yang harus ia sampaikan agar tidak mengecewakan neneknya, dan kebohongan itu seperti memisahkannya lebih jauh dari kenyataan yang sebenarnya.

Lily merasa kesepian di tengah keramaian kota, meskipun tidak ada seorang pun di dekatnya. Tanpa bisa menahan lagi, ia duduk jongkok di pinggir jalan, berusaha melawan perasaan yang semakin membanjir.

Dan akhirnya, air matanya pun jatuh, tak terbendung lagi. Tangisnya begitu keras, seolah-olah seluruh dunia ikut menangis bersamanya. Lidahnya kaku, tidak bisa berbicara apa-apa selain isak tangis yang tak henti-henti.

Seketika, kenangan tentang masa kecilnya muncul di pikirannya. Kepergian orang tuanya yang begitu tragis, hidupnya yang selalu merasa kesepian, dan kini, pengkhianatan dari orang yang sangat ia percayai.

Semua itu mengalir begitu deras, membuatnya merasa seolah-olah tidak ada lagi tempat untuknya di dunia ini.

Air mata Lily terus mengalir, seolah-olah ia ingin mengeluarkan semua rasa sakit yang menumpuk selama bertahun-tahun. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menangis, merasakan kepedihan yang terlalu besar untuk dipikul sendiri.

Lily ingin berteriak, ingin melawan semua ini, namun suara hatinya tertutup oleh kesedihan yang begitu dalam. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah ruang kosong, tanpa harapan, tanpa jalan keluar.

Lily tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari itu. Ia merasa hancur, seperti segala sesuatunya telah runtuh begitu saja, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk bangkit.

Namun, dalam kesedihannya yang mendalam, ada satu hal yang tetap ada, keinginan untuk melupakan dan melangkah jauh dari semua yang telah terjadi. Tapi entah bagaimana, dalam kekosongan itu, Lily tahu ia harus tetap bertahan.

Ch ~

Lily akhirnya menyeret langkahnya ke sebuah klub malam yang ramai di tengah kota. Tempat itu penuh dengan pengunjung yang berdansa di bawah lampu-lampu neon yang berkedip, mengikuti irama musik EDM yang menggema hingga menusuk telinga.

Udara di dalam klub terasa berat oleh campuran asap rokok, aroma parfum mahal, dan bau alkohol.

Namun, Lily dengan kacamata bundar dan rambut kuncir satu yang selalu menjadi ciri khasnya, tampak begitu kontras di antara keramaian itu.

Ia menemukan sebuah meja kecil di pojok ruangan yang agak gelap. Dengan langkah ragu, ia duduk dan memesan minuman tanpa berpikir panjang.

Gelas pertama datang, dan ia meminumnya tanpa ragu. Rasanya pahit, menyengat di tenggorokan, membuat perutnya sedikit panas.

Lily tidak terbiasa dengan minuman seperti itu. Biasanya, ia hanya datang ke tempat ini untuk menemani Elyza, sahabatnya yang sering minum untuk melupakan patah hati. Tapi kali ini, Elyza sedang tidak ada, ia pergi keluar kota untuk urusan bisnisnya sebagai desainer.

Lily menatap kosong ke arah gelas yang kini kosong di tangannya. Musik berdentum semakin keras, membuatnya merasa semakin kecil dan tidak terlihat.

Ia tahu, ini bukan dirinya. Lily tidak pernah menjadi orang yang lari dari masalah, apalagi dengan alkohol. Tapi malam ini berbeda. Semuanya terasa begitu salah.

Hidupnya seperti spiral yang berputar cepat ke arah kehancuran. Ia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi rasa sakitnya. Bahkan Elyza, yang biasanya selalu mendengar, tidak bisa ia ganggu kali ini. Jika ia cerita, Hugo dan Daisy akan dalam masalah besar.

“Aku benci ini…” bisiknya pada dirinya sendiri, suara kecil yang tenggelam dalam keramaian.

Gelas kedua datang, lalu gelas ketiga. Lily tidak lagi peduli. Kepalanya mulai terasa ringan, dan pikiran-pikiran menyakitkan yang terus menghantuinya perlahan-lahan memudar.

Tapi rasa sakit itu tidak benar-benar hilang. Ia hanya terkubur sementara di bawah lapisan alkohol yang mengaburkan kenyataan.

Lily menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya sedikit bergoyang mengikuti dentuman musik. Air mata yang tadi sempat berhenti kembali mengalir.

Betapa ironisnya, pikir Lily. Dia datang ke sini untuk melupakan, tapi justru rasa sakit itu semakin dalam.

Pikirannya melayang ke masa lalu. Ke senyum hangat Hugo ketika mereka pertama kali bertemu. Kepada janji-janji manisnya yang kini terasa seperti lelucon.

Kepada Daisy yang selama ini ia percayai sebagai rekan kerja yang tulus. Bagaimana bisa mereka mengkhianatinya dengan begitu mudah?

“Apa aku terlalu bodoh? Terlalu naif?” gumamnya, suara itu tertelan oleh dentuman musik.

Di sudut lain ruangan, beberapa pasang mata mulai memperhatikannya. Wanita berkacamata bundar dengan gaya culun itu tampak begitu tidak pada tempatnya.

Seorang pria bertubuh besar dan berwajah kasar mendekatinya, membawa gelas minuman di tangannya. “Hei, kamu sendirian?” tanyanya dengan nada yang terdengar terlalu akrab.

Lily mendongak, matanya yang berkaca-kaca bertemu dengan pria itu. Ia tidak menjawab, hanya menggeleng lemah dan kembali menunduk.

Tapi pria itu tidak menyerah. Ia menarik kursi di sebelah Lily dan duduk tanpa diundang. “Mau aku temani? Kelihatannya kamu sedang butuh teman bicara,” ucapnya, suaranya terdengar seperti pura-pura peduli.

Lily merasa tidak nyaman, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk memprotes. Ia hanya menggeser sedikit kursinya, mencoba menjaga jarak.

Pria itu tersenyum tipis, lalu mencoba menyentuh gelas kosong di depan Lily. “Kamu belum terbiasa minum ya? Nanti aku pesankan yang lebih ringan.”

“Tidak, terima kasih,” jawab Lily pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Pria itu tertawa kecil, lalu bersandar di kursinya. “Kamu manis tau. Tidak seperti orang-orang di sini. Gimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang?”

Lily menatap pria itu dengan mata yang lelah. Ada ketakutan kecil yang mulai merayap di hatinya, tapi tubuhnya tidak cukup kuat untuk bangkit dan pergi. Namun, sebelum pria itu sempat melanjutkan pembicaraannya, seorang bartender mendekat dengan langkah cepat.

“Tuan, meja Anda sudah siap di sisi lain,” ucapnya dengan nada tegas, memberi isyarat kepada pria itu untuk pergi. Pria itu menggerutu, tapi akhirnya bangkit dan meninggalkan Lily sendirian.

Bartender itu melirik Lily sekilas. “Anda baik-baik saja, Nona?” tanyanya dengan nada lembut.

Lily hanya mengangguk, meskipun jelas-jelas ia tidak baik-baik saja. Setelah memastikan bahwa pria itu tidak kembali, bartender itu pergi.

Lily kembali tenggelam dalam pikirannya, memandangi gelas kosong di hadapannya. Bau parfum manis dari topi yang masih ia bawa sejak tadi malam tercium samar-samar, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan ini.

Lily menghela napas panjang, lalu berdiri dengan langkah gontai. Ia tahu, tempat ini tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tapi ke mana ia harus pergi? Tidak ada jawaban. Ia hanya tahu, untuk malam ini, ia ingin melarikan diri, sejauh mungkin dari rasa sakit yang tak henti-hentinya mengejarnya.

Di tengah langkah yang gontai, Lily berjalan keluar dari klub malam, masih dengan perasaan kacau dan alkohol yang mengaburkan pikirannya.

Udara malam yang dingin menerpa wajahnya, membuatnya sedikit tersadar, meskipun tubuhnya masih terasa ringan. Ia berjalan tanpa arah, hingga tanpa sengaja tubuhnya menabrak seseorang.

Brak!

“Maaf…” gumam Lily, suaranya lemah, namun pandangannya yang kabur menangkap sosok pria dengan masker hitam di hadapannya.

Ada sesuatu yang familiar pada pria itu. Meskipun penglihatannya buram, hati kecilnya berbisik bahwa ini adalah pria yang memberikannya topi di bus pagi tadi. Mata pria itu menatapnya tajam, seolah mempelajari setiap gerakannya.

Lily mengerjap, mencoba fokus, lalu dengan cepat melepas kacamatanya, seakan ingin mengaburkan segalanya lebih jauh. “Ah, kamu,” gumamnya, suaranya sedikit bergetar.

Ia tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tetapi dorongan dalam dirinya berkata untuk mendekat. Tanpa memikirkan konsekuensinya, Lily merangkul leher pria itu dengan erat, menarik tubuhnya lebih dekat. "Aku akan membalas kebaikanmu," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar di antara suara angin malam.

Pria itu terdiam, tampak terkejut dengan perlakuan tiba-tiba dari Lily. Sorot matanya tajam, penuh dengan emosi yang sulit ditebak, namun ia tidak bergerak untuk menolak.

Lily yang setengah kesadarannya, menatap pria itu, lalu dengan tindakan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, mencium pria itu meskipun bibir mereka masih terhalang masker.

"Ini... gila," pikir Lily, tapi ia tidak peduli. Dunia sudah terasa seperti lelucon baginya. Dengan cepat, ia meraih tali masker pria itu dan menariknya hingga putus.

Masker itu terlepas, dan Lily menatap wajah pria di hadapannya. Wajahnya tampak samar-samar dalam penglihatannya yang buram, tetapi satu hal yang jelas, pria itu sangat tampan, dengan rahang yang tegas dan mata yang menusuk.

Lily tersenyum, senyum yang terlihat campuran antara kesedihan dan kekacauan. "Gila... kamu sangat tampan," ucapnya dengan suara yang sedikit serak. “Maukah kamu tidur denganku malam ini?” lanjutnya, nadanya setengah bercanda, setengah serius.

Ia merasa seperti wanita yang sudah kehilangan semua pertahanan dirinya. Malam ini, ia hanya ingin kebebasan, melupakan semua rasa sakit yang menghantuinya.

Pria itu tetap diam, matanya masih menatap Lily dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tapi alih-alih menjawab, ia tiba-tiba membungkuk, mengangkat tubuh Lily dengan mudah.

Lily yang sudah lemah tidak berusaha melawan. Sebaliknya, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada leher pria itu, membiarkan dirinya terbawa.

"Hei... kamu kuat juga ya," gumam Lily, setengah tertawa, meskipun matanya mulai menutup perlahan. Alkohol dan kelelahan mulai mengambil alih tubuhnya.

Ia tersenyum kecil, merasa anehnya nyaman di pelukan pria itu. "Kalau kamu nggak keberatan... biarkan aku tidur... sebentar saja…" bisiknya, sebelum akhirnya kepalanya bersandar di bahu pria itu.

Pria itu tetap diam, hanya melangkah mantap, membawa Lily entah ke mana. Tidak ada protes, tidak ada kata-kata. Namun dalam diamnya, ada sesuatu yang terasa intens, seperti badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!