NovelToon NovelToon

My Lecture, Like My Sugar Daddy

Tetangga Baru

Aku berlari masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang sulit dijelaskan—senang, lega, dan bersemangat.

Bagaimana tidak? Aku baru saja mendapat kabar yang benar-benar menggembirakan. Sesuatu yang selama ini aku impikan akhirnya menjadi nyata. Aku ingin segera menemui Bunda, memberitahunya supaya dia juga bisa ikut merasakan kebahagiaan ini.

“Bunda!” panggilku keras. “Jihan lulus!”

Tidak ada jawaban. Aku melangkah cepat ke ruang tengah, tetapi tetap tidak kutemukan sosok Bunda. “Ih, Bunda di mana, sih?” gerutuku sambil mengedarkan pandangan. Aku mencoba lagi, kali ini lebih kencang, “BUNDAAA!”

“Astaga, Jihan!” terdengar suara Bunda dari arah dapur. “Jangan teriak-teriak kayak gitu!”

Aku menghela napas. Padahal Bunda juga sering teriak sendiri. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Segera aku melangkah ke dapur, dan di sana aku melihatnya sedang sibuk dengan adonan kue.

“Bunda! Bunda!” seruku antusias, mendekatinya.

Bunda menoleh sekilas, tampak tidak terkesan. “Ada apa, sih? Udah dibilang jangan teriak-teriak,” ujarnya sambil melanjutkan pekerjaannya.

“Bunda, Jihan lulus! Jihan diterima!” kataku penuh semangat.

Bunda menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatapku dengan alis terangkat. “Lulus apa?”

Aku menghela napas, sedikit gemas. “Itu loh, SNBP!” jawabku sambil tersenyum lebar. “Jihan lulus SNBP pilihan pertama, Bun! Keperawatan!”

Namun, bukannya ikut senang, Bunda malah mengernyitkan dahi. Ini Bunda enggak ngerti kali, ya? pikirku. Aku langsung menambahkan penjelasan, “SNBP itu seleksi masuk kuliah jalur rapot kalau Bunda enggak tahu.”

Lalu, aku hampir berteriak karena tidak bisa menahan rasa gembira. “Dan Jihan lulus, Bun! Pilihan pertama! Keperawatan! Aaaa, Jihan seneng banget, sumpah!” Aku memeluknya erat, meskipun tangan Bunda penuh tepung. Tapi dia hanya diam. Tidak ada reaksi apa pun.

Aku melepas pelukan dan menatap wajahnya. “Bunda kok enggak ikutan senang, sih? Masih enggak paham, ya?” tanyaku, setengah bercanda.

Bunda akhirnya bersuara. “Bunda ngerti. Enggak perlu kamu jelasin juga, Bunda tahu maksudnya.”

“Terus kenapa enggak senang?” tanyaku bingung. “Ini anaknya diterima, lho! Jurusan keperawatan pula! Harusnya Bunda bangga dong?”

Bunda menghela napas panjang sebelum menjawab. “Jihan, kita bukannya udah bahas ini sebelumnya? Bunda udah bilang, kamu enggak bisa kuliah dulu tahun ini.”

Aku terdiam seketika. Rasanya seperti tersambar petir. “Tapi, Bun ....” Aku mencoba membantah, tapi Bunda memotong dengan nada tegas.

“Kamu ikut SNBP tanpa sepengetahuan Bunda?” tanyanya dengan tatapan tajam.

Aku tercekat. Memang benar aku mendaftar diam-diam karena tahu kalau Bunda tidak akan setuju. Tapi aku tidak menyangka reaksinya akan seperti ini.

“Bunda, aku mau kuliah ...,” gumamku pelan.

“Dan siapa yang akan biayain kamu?” tanya Bunda dingin. “Bunda? Kamu bikin keputusan sendiri tanpa memikirkan keadaan kita?”

Aku menggeleng pelan, mencoba mencari kata-kata. “Tapi, Bun, ini cita-citaku! Aku mau jadi perawat. Nilai rapotku bagus, sayang kalau enggak dicoba. Dan ternyata aku bisa lulus!” Aku menatapnya penuh harap. “Bunda, aku pintar, kan? Aku bisa jadi perawat yang baik.”

Bunda hanya mendengus. “Jihan, kita enggak punya cukup uang untuk itu. Lagipula, kuliah itu enggak menjamin masa depan. Banyak orang bergelar tinggi tapi tetap enggak jadi apa-apa.”

“Bunda pikir gampang cari kerja cuma dengan ijazah SMA?” Aku mulai kesal.

“Banyak yang bisa, kok,” balasnya datar.

“Tapi aku enggak mau kerja sembarangan, Bun! Aku mau jadi perawat!” seruku, hampir menangis.

Bunda menggelengkan kepala. “Itu cuma cita-citamu waktu kecil. Kamu pikir jadi perawat itu enak? Lihat darah aja kamu masih gemetaran.”

Aku menatapnya dengan mata memerah. “Tapi, Bun, aku bakal belajar dulu. Aku bakal ngelatih mental. Pokoknya aku mau jadi perawat!”

“Kalau mau tetap kuliah, silakan cari orang lain yang mau biayain kamu. Bunda enggak bisa,” katanya dingin.

Kata-katanya bagai tamparan keras di wajahku. Aku menatapnya tidak percaya. “Kok Bunda ngomong gitu, sih?”

“Karena kamu juga enggak menghormati pendapat Bunda,” jawabnya tanpa ragu. “Bunda sudah bilang dari awal. Kuliah itu percuma. Setelah menikah nanti, kamu bakal berhenti kerja dan jadi ibu rumah tangga. Jadi, buat apa?”

Aku benar-benar terpukul mendengar itu. Bunda kemudian menyerahkan sepiring kue kepadaku. “Nih, antar ini ke rumah sebelah. Ada tetangga baru.”

Aku menatapnya tajam. “Aku belum selesai ngomong, Bun!”

“Enggak ada yang perlu dibahas lagi,” potongnya tegas. “Cepat antarkan kuenya. Jangan lupa, sopan sama orang.”

Aku mendengus kesal, meraih piring berisi cookies itu dengan kasar, dan berjalan keluar dari dapur sambil menghentakkan kaki. Rasanya ... semua semangatku hilang begitu saja.

Aku kesal, benar-benar kesal. Rasanya dada ini seperti ditusuk-tusuk.

“Bunda kenapa sih pikirannya pendek banget!” seruku lirih, menahan gejolak yang semakin meledak.

Aku menghela napas panjang. “Aku, kan, pengen kuliah. Pengen jadi perawat!” lanjutku, suaraku mulai bergetar.

Kalau aku berhasil, siapa yang bakal bangga? Dia juga, 'kan? Tapi kenapa dia enggak mikirin perasaanku? Apa dia enggak mau lihat aku bahagia?

Langkahku semakin berat saat aku keluar rumah, membawa sepiring cookies yang Bunda buat. Sesak di dadaku memuncak. Aku berhenti di depan pagar, memandangi jalan kosong sambil berbisik pelan, “Bunda enggak sayang sama aku, ya?”

Air mata tiba-tiba tumpah. Deras. Aku buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. Jangan sampai cookies ini basah. Cookies cokelat yang harusnya manis, jangan sampai asin karena air mataku.

Mataku beralih ke rumah besar di sebelah. Rumah itu benar-benar megah, jauh berbeda dari rumah kami. Setahun terakhir kosong, setelah pemilik lamanya pindah. Baru-baru ini ada penghuni baru.

“Yang beli pasti orang kaya juga,” gumamku sambil melangkah masuk ke halaman rumahnya. Untungnya, gerbangnya terbuka.

Begitu sampai di depan pintu, aku menekan bel. “Permisi! Saya tetangga sebelah!” seruku.

Tak lama, terdengar suara laki-laki dari dalam rumah. “Tunggu sebentar!”

Aku mengernyit. Suaranya dalam dan ... ganteng? Eh, tidak mungkin. Bukankah Bunda bilang dia orang tua?

"Om-om, ya," pikirku.

Pintu terbuka. Aku langsung terpaku.

Pria di depanku tinggi, berkulit cerah, dengan rambut hitam sedikit berantakan. Ia mengenakan kaos putih dan celana training, sementara jaket olahraganya diikat di pinggang. Ada keringat tipis di pelipisnya. Mungkin baru selesai olahraga? Tapi aku malah terpaku pada lengannya. Tegas dan berurat—eh? Ah, sudah, jangan lihat lagi!

“Iya, ada apa, ya?” tanyanya.

Aku masih terpana beberapa detik sebelum akhirnya sadar. “K-kok yang keluar malah sugar daddy, sih?” ucapku tanpa sadar.

Dia mengerutkan dahi. “Kamu bilang apa?”

Aku langsung menutup mulut dengan tangan. “Maaf, Om. Salah ngomong!”

Aku buru-buru menyodorkan piring cookies-nya. “Ini ada cookies bikinan Bunda saya. Katanya, untuk tanda kenalan.”

Dia menerima piring itu dengan senyum tipis. “Oh, begitu. Terima kasih. Kamu siapa?”

“Saya kan tadi bilang, Om. Saya anak dari tetangga sebelah,” jawabku cepat.

Dia mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, ya.”

Aku memberanikan diri bertanya, “Om namanya siapa? Biar sekalian kenalan.”

“Marlino,” jawabnya singkat.

Pendek banget. Aku langsung berkomentar, “Cuma itu? Kok pendek banget, Om?”

Dia tersenyum tipis. “Kalau saya sebut nama panjang saya, kamu nanti berkomentar lagi.”

“Panjang banget, ya?”

Dia mengangguk, lalu menyebutkan namanya dengan jelas, “Marlino Samudera Alvarendra.”

Aku terpana. “Iyaya, lumayan panjang banget! Kalau nama saya mah gampang, Om. Jihana Soraya. Panggil aja Jihan.”

“Baiklah, Jihan. Sampaikan terima kasih saya pada Bunda kamu, ya.”

“Siap, Om Lino! Dadaah! Semoga betah!”

Aku berbalik, melangkah pulang dengan pikiran yang masih bercampur aduk. Bahkan Aku menggerutu sepanjang perjalanan pulang.

“Om tadi kaku banget. Kayak ngomong sama KBBI aja.”

“Ih, baru inget. Males banget ketemu Bunda lagi!” omelku. Rasanya semua perkataannya tadi masih terngiang-ngiang di telingaku.

“Pengen ngambek rasanya,” gumamku sambil mengetuk-ketukkan jari di dagu.

Aku berhenti sejenak di depan pintu rumah. “Oke, mending aku ngambek deh. Siapa tahu nanti Bunda jadi luluh dan kasih izin aku kuliah.”

Ketika aku masuk ke rumah, aroma makanan langsung menyeruak. Bunda sedang sibuk mengatur piring dan lauk-pauk di meja makan. Beliau tidak menoleh ke arahku, tapi jelas menyadari kedatanganku.

“Jihan, ayo makan,” ajaknya singkat, tanpa basa-basi.

Aku pura-pura tak peduli. “Enggak. Gak lapar,” jawabku sok dingin, lalu melengos ke arah kamar.

Aku bisa merasakan tatapannya yang seolah ingin menembus punggungku. Tapi bukannya memanggilku lagi, Bunda malah berkata dengan nada datar, “Ya udah, Bunda habiskan aja semua. Kalau nanti kamu lapar, masak sendiri.”

Aku langsung berhenti di tengah langkahku. Hatiku mendidih. Ih, kan makin kesel jadinya!

“Bunda jahat!” pekikku, tak peduli bunda akan mengomel nantinya.

Pintu kamar kututup keras-keras, meski aku tahu itu tidak sopan. Tapi aku tidak peduli. Aku butuh ruang untuk mengelola emosiku. Hari ini aku benar-benar ingin merajuk sepuasnya.

Situasi Konyol

Semenjak lulus SMA, aku jadi manusia paling santai sedunia. Tidur sampai jam sepuluh pagi? Standar. Kadang malah lewat. Tapi ya nggak setiap hari juga, sih. Karena kalau keseringan, Bunda bisa ngomel panjang lebar.

“Rezeki dipatok ayam!” katanya suatu pagi.

Aku cuma ketawa kecil. Dalam hati, aku mikir, Bunda, masa percaya sama yang begituan, sih?

Seperti sekarang, misalnya. Aku sudah bangun, tapi tetap malas beranjak dari dalam selimut. Malam tadi hujan deras, bikin pagi ini terasa dingin menggigit. Rasanya, enak banget kalau cuma rebahan sambil memeluk guling.

Tiba-tiba—

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu. Aku refleks menutup mataku lebih rapat, berharap orang di luar itu bakal menyerah.

“Jihan! Bangun!” suara Bunda terdengar tegas dari balik pintu.

Aku mendengus. Duh, pengganggu datang.

“Jihan, bantuin Bunda!” serunya lagi.

Masih setengah sadar, aku menjawab, “Masih ngantuk, Buuun! Lagian aku kan masih ngambek, ya!”

“Gak usah sok ngambek-ngambek segala! Mau makan gak nanti?!” suara Bunda makin keras.

Aku tahu, kalau sudah begini, tidak ada gunanya melawan. Tapi aku mencoba peruntungan terakhir. “Ih, gak mau! Dingin, aku masih mau bobo!”

Bunda tidak menyerah. “Cepet mandi dan belanja! Bunda sibuk, ada banyak orderan. Kamu beliin bahan-bahan buat bikin kue. Tepung, telur, mentega, sama keju juga. Udah Bunda list semuanya. Kamu tinggal beli!”

“Males, Buuun!” balasku sambil menggeliat malas.

“Jihan! Mau bantuin Bunda nggak sih?”

“Enggak,” jawabku tanpa berpikir panjang.

“Ya udah, Bunda coret nama kamu dari kartu keluarga!”

“Ah, Bundaaa!” keluhku. Kok jadi main ancam segala?

Akhirnya aku bangkit, menyerah pada perintah Yang Mulia Ratu.

 

Setelah mandi kilat, aku sudah di depan rumah sambil memegang daftar belanjaan. Aku membacanya pelan-pelan.

“Tepung terigu tiga kilo, telur dua rak, mentega, keju, cokelat batang, gula .…” aku terdiam. “Buset, banyak banget? Ini belum termasuk bahan lain! Bahkan deterjen, sampo, dan sabun mandi aja dimasukin. Habis semua, apa, isi rumah?”

Aku mendengus kesal sambil melangkah keluar kompleks perumahan. Tujuanku adalah supermarket di ujung jalan.

Tapi kemudian sebuah pertanyaan menghantamku. “Gimana caranya aku bawa semua barang ini, ya? Aku kan cuma naik ojol.” Aku mendongak, menatap jalanan yang mulai ramai.

“Masa iya pesen GrabCar, sih? Duh, mahal banget,” gumamku sambil mengeluh.

Di sepanjang jalan, aku terus mendumel sambil meremas lembar kertas berisi daftar belanjaan itu. Di satu sisi, aku tahu ini demi membantu Bunda. Tapi di sisi lain, apa gak ada orang lain yang bisa gantiin aku?

Ah, sudahlah. Demi makan siang enak, apa sih yang gak kulakukan?

Tin tin!

Aku tersentak kaget. Gara-gara terlalu fokus baca daftar belanjaan, aku nggak sadar kalau jalan di tengah-tengah. Mobil di belakang terpaksa berhenti karena aku menghalangi jalannya. Dengan buru-buru, aku pindah ke pinggir jalan sambil nyengir lebar ke pemilik mobil.

Ternyata itu tetangga baru, Om Lino.

“Jihan, kan?” tanya Om Lino sambil menurunkan kaca jendela mobilnya.

“Iya, Om.” Aku mengangguk.

“Kamu ingin pergi ke mana?” lanjutnya.

“Mau ke supermarket, Om.”

“Jalan kaki?” Om Lino mengernyit, seperti tak percaya. “Bukannya supermarket jauh dari sini?”

Aku terkekeh kecil. “Enggak, Om. Saya nggak jalan kaki kok. Nanti mau pesan ojol di depan.”

Dia terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu menatapku lagi. “Kebetulan saya juga ingin ke supermarket. Kamu ingin sekalian pergi bersama saya?”

Aku tersenyum kecut mendengar nada bicaranya yang kaku. Ih, kayak robot, Om. Kaku banget, kek kanebo kering!

“Maksudnya, saya mau dikasih tumpangan nih, Om?” tanyaku, memastikan.

“Iya. Kalau kamu mau,” jawabnya singkat.

“Ya mau aja, Om. Yang penting gratis.” Aku terkekeh, senang karena duitku nggak jadi kepotong buat pesan ojol.

“Ya sudah, ayo masuk,” katanya, sambil membuka pintu mobil.

Aku langsung masuk dan tersenyum lebar. “Makasih, Om.”

“Sama-sama.”

 

Sepanjang perjalanan, kami sama-sama diam. Aku bingung mau ngomong apa. Lagipula, kami baru kenal, jadi aku merasa agak canggung. Apalagi Om Lino ini orangnya kelihatan serius banget. Pasti nggak sefrekuensi sama aku.

Akhirnya, kami sampai di supermarket. Sebelum keluar dari mobil, aku memastikan sesuatu.

“Om, pulangnya nanti saya nebeng Om lagi, kan?” tanyaku, setengah berharap.

Om Lino mengangguk. “Iya, boleh.”

“Asik! Makasih, Om! Saya masuk duluan, ya. Barang yang dibeli banyak banget soalnya,” sahutku penuh semangat.

Dia hanya mengangguk lagi sambil melepas seatbelt. Aku langsung bergegas masuk ke dalam supermarket, troli di tangan, dan mulai mencari barang-barang di daftar. Tepung, telur, mentega, cokelat batang, hingga deterjen dan sampo semuanya masuk ke troli.

“Buset, banyak banget!” gumamku saat melihat tumpukan barang di dalam troli. Tapi aku sadar, nggak boleh ada satu pun yang tertinggal. Kalau nggak, Bunda pasti ngomel.

Karena aku nebeng orang, aku berusaha belanja secepat mungkin. Takut Om Lino kelamaan nunggu. Setelah semua barang masuk, aku segera menuju kasir.

“Mbak, ini semua belanjaannya,” kataku sambil mendorong troli.

Kasir itu tampak kaget melihat troliku yang penuh sesak. Tapi dia tetap profesional dan mulai menghitung.

“Totalnya 567 ribu,” katanya akhirnya.

Aku merogoh tas selempangku untuk mengambil kartu kredit yang tadi Bunda beri. Tapi, setelah mencari-cari, kartu itu nggak ada.

“Jangan bilang ketinggalan, dong, please,” gumamku panik. Aku mengeluarkan semua isi tas, tapi tetap nggak ketemu. Orang-orang di antrean belakang mulai mengeluh.

“Mbak?” Kasir itu memanggil, terdengar nggak sabar.

“Sebentar, Mbak! Kartu saya mungkin keselip,” jawabku, berusaha tetap tenang meski kepanikan makin merayap.

Tapi hasilnya nihil. Aku menelan ludah, lalu mengaku, “Maaf, Mbak ... kartu ATM saya ketinggalan. Saya juga nggak bawa uang cash.”

Rasanya mau nangis. Malu banget dilihat banyak orang. Aku ingin kabur, tapi begitu berbalik, aku malah menabrak seseorang.

“Ada apa?” Suara Om Lino terdengar di belakangku.

“Om ....” Aku ingin menjelaskan, tapi suara Mbak kasir lebih cepat.

“Mbaknya lupa bawa kartu, jadi nggak bisa bayar.”

Om Lino menatapku sekilas. Wajahku sudah memerah karena malu dan aku yakin mataku berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, dia mengeluarkan dompetnya dan memberikan kartunya ke kasir.

Aku melongo. “Om?”

“Ambil belanjaanmu, bawa ke mobil,” katanya sambil tetap tenang.

“Tapi, kok Om yang bayar?” tanyaku, bingung.

“Katanya kamu tidak bisa bayar?”

“Iya, sih. Tapi—”

“Daripada kamu menangis di sini,” katanya singkat.

Astaga, aku benar-benar malu. Tapi aku hanya bisa patuh dan segera membawa semua barang ke mobil. Setelah semua selesai, aku berusaha meminta maaf lagi.

“Om, sekali lagi makasih, ya. Maaf merepotkan,” kataku pelan.

“Iya,” jawabnya singkat, lalu langsung masuk ke mobil.

Duh, bilang ‘nggak apa-apa’ kek, Om! Jangan bikin suasana makin awkward!

Meskipun begitu, aku bisa menilai kalau Om Lino ini orangnya baik banget. Walaupun minim ekspresi dan kaku, dia rela membantu orang lain. Tapi tetap aja, kalau ngobrol sama dia rasanya bikin deg-degan sendiri.

“Kamu masih SMA?” tanyanya sambil melirik ke arahku sekilas.

Pertanyaannya membuatku tersentak. “Hah?” Aku menoleh cepat, masih kaget karena sejak tadi suasana benar-benar sunyi seperti kuburan, lalu tiba-tiba dia mengajakku berbicara. “Enggak, Om. Saya udah lulus, kok. Baru aja sih.”

Dia mengangguk kecil. “Kuliah?”

Aku tersenyum pahit. “Maunya sih gitu …,” jawabku pelan.

“Maunya?” alisnya sedikit terangkat.

Aku menghela napas panjang. “Gak dikasih izin sama Bunda.”

Suaraku mulai terdengar getir saat melanjutkan. “Padahal saya udah daftar SNBP, loh, Om. Dan udah lulus juga.”

Dia tampak tertarik dengan penjelasanku. “Benarkah? Prodi apa?”

“Keperawatan.” Aku menoleh sebentar ke arahnya, penasaran dengan reaksinya.

“Mengingat keperawatan banyak saingannya, berarti kamu sangat pintar, ya?” katanya, terdengar tulus.

Aku sedikit tersenyum, merasa dihargai. “Alhamdulillah, ranking saya selama lima semester di sekolah gak pernah keluar dari tiga besar, Om. Saya dari dulu emang menargetkan masuk jalur rapor. Makanya itu belajar mati-matian biar nilainya gak turun.”

Aku menunduk, memandangi tanganku sendiri. “Berhasil sih, tapi ternyata gak dibolehin kuliah sama Bunda.…”

“Kenapa?” Dia bertanya pelan, tampaknya benar-benar ingin tahu. Tapi takut terlalu banyak bertanya.

Aku mengedikkan bahu, berusaha terlihat biasa saja. “Katanya percuma kuliah. Bahkan ....” Aku menggigit bibir bawahku, ragu melanjutkan. “Bunda bilang, kalau saya ngeyel mau kuliah, ya mending nikah aja biar punya suami yang biayain.”

Om Lino menghela napas pendek, wajahnya seakan berpikir keras mencari jawaban. “Mungkin kamu bisa bicara lagi sama bunda kamu. Pastikan apa benar dia tidak mengizinkan, atau ada alasan lain yang belum kamu pahami.”

Aku hanya menatapnya tanpa menjawab, merasa sedikit tersentil. Dia melanjutkan, “Kuliah keperawatan itu butuh biaya yang tidak sedikit. Bisa jadi ini alasan sebenarnya. Kamu harus tahu pasti, supaya tidak menyalahkan bunda kamu sepenuhnya.”

Kata-katanya membuatku diam seribu bahasa. Aku baru sadar, aku selama ini terlalu fokus pada tujuanku sendiri tanpa memikirkan beban finansial keluarga. Dalam hati, aku mengutuk diriku. Astaga, Jihan! Lo pikir kuliah itu gratis apa?!

Suara dering ponsel tiba-tiba memecah pikiranku. Om Lino segera menepikan mobilnya dan mengambil ponsel dari dashboard. “Sebentar, ya.”

Aku mengangguk pelan, membiarkan dia menjawab telepon.

“Ada apa, Ma?” Aku hanya bisa mendengar potongan percakapannya. Dari panggilannya, aku tahu itu mamanya Om Lino.

“Ah, iya, maaf. Sempat lupa.” Dia menatap jalan sebentar sebelum menambahkan, “Iya, nanti Lino ke sana, Ma.”

Aku menahan senyum saat mendengar dia menyebut dirinya sendiri dengan nama. Gemas rasanya.

Eh? Astaga, Jihan! Fokus! Aku segera menegur diriku dalam hati.

“Tidak bisa sekarang, Ma. Lino harus pulang dulu ke rumah untuk menaruh barang,” katanya lagi. Setelah beberapa saat, dia menoleh ke arahku, tampak sedikit ragu. “Iya, iya, Lino ke sana sekarang.”

Dia menghidupkan mobil lagi, tapi kali ini berputar arah. Aku mengerutkan kening. “Loh, Om? Ini kita mau ke mana, ya?”

Dia menghela napas, wajahnya terlihat canggung. “Maaf, saya lupa kalau hari ini ulang tahun pernikahan orang tua saya. Ibu saya marah karena saya terlambat.”

Aku merasa tidak enak mendengar itu. “Oh, ya udah, Om. Turunin saya di sini aja. Gak apa-apa, beneran.”

Dia menggeleng cepat. “Saya tidak mungkin menurunkan kamu di sini. Apalagi belanjaan kamu banyak.”

“Tapi, Om .…” Aku berusaha protes, tapi dia memotong. “Tenang saja. Kita ke rumah orang tua saya sebentar. Setelah itu, saya antar kamu pulang.”

Aku langsung gugup. “Tapi, Om, penampilan saya kayak gini. Gak enak, dong, ketemu orang tuanya Om?”

Dia tersenyum kecil, tapi cukup menenangkan. “Kenapa harus khawatir? Saya tidak akan mengenalkan kamu sebagai calon istri juga, kan?” katanya santai.

Aku langsung tersentak malu. Astaga, Jihan! Jangan kepedean dulu, ya!

Dia melanjutkan, “Tenang saja. Orang tua saya cukup baik.”

Lah terus si Om kenapa pakai bilang kayak gitu segala coba?!

Walau kata-katanya sederhana, entah kenapa membuat dadaku berdebar. Aku mencoba menenangkan diriku, meski pikiranku terus berputar.

Situasi macam apa ini? Kenapa juga aku jadi deg-degan gini? Aduh, Bunda! Jihan berasa pengen ditemuin sama mertua rasanya!

“Memangnya saya setua itu?”

Aku masih tak percaya akhirnya masuk ke rumah megah ini. Dari luar saja sudah terlihat seperti istana, dengan pilar-pilar tinggi berlapis marmer putih dan taman luas yang tertata sempurna. Saat aku masuk, interiornya lebih memukau lagi. Lantai marmer mengilap memantulkan lampu kristal besar di tengah ruangan. Sofa berbahan beludru dan karpet Persia terhampar di ruang tamu. Semua terlihat elegan, namun terasa begitu asing bagiku yang sekarang terbiasa tinggal di rumah kecil nan sederhana.

Ya ... aku sebenarnya dulu pernah jadi anak orang kaya juga, sih. Tapi tidak sekaya ini juga! Om Lino sepertinya anak konglomerat deh?

Sekarang, aku duduk di meja makan panjang yang penuh dengan makanan mewah. Mulai dari steak wagyu, salmon panggang, hingga kue-kue manis yang terlihat seperti karya seni.

Seorang wanita paruh baya dengan riasan sempurna menatapku penuh selidik dari seberang meja. Dialah Jenna Mehrunnisa, ibu Om Lino. Meski tersenyum, aura otoritas terpancar jelas darinya.

“Jadi, kamu ini namanya Jihan, ya?” tanyanya dengan nada lembut namun tegas.

Aku tersentak sedikit, lalu buru-buru menjawab, “I-iya, Tante. Saya Jihan.”

Dia menyipitkan mata, tampaknya mencoba membaca lebih dari sekadar namaku. “Beneran bukan pacarnya Lino?”

Aku hampir tersedak mendengarnya. “Bu-bukan, Tante. Saya cuma tetangganya Om Lino, kok,” jawabku cepat, nyaris terbata.

Aku melirik Om Lino, berharap dia segera membantu menjelaskan. Tapi lelaki itu justru tampak sibuk memotong steaknya, seolah-olah perbincangan ini bukan urusannya.

“Apa iya?” Tante Jenna menaikkan alisnya, tidak tampak yakin.

Om Lino akhirnya angkat bicara. “Sudah cukup, Ma,” katanya sambil mendesah. “Lino sudah bilang berkali-kali, dia hanya anak tetangga. Tadinya mau ke supermarket bersama, lalu ikut karena Mama memaksa Lino datang sekarang juga.”

Tante Jenna mendengus, menyandarkan tubuh ke kursinya. “Kamu tuh ya, sudah diwanti-wanti dari tadi malam kalau hari ini ada acara di rumah. Masih saja lupa,” katanya sambil melipat tangan di depan dada. “Memangnya kamu gak perhatian sama orang tua?”

Om Lino hanya menghela napas panjang. Aku hampir tertawa kecil melihat ekspresinya yang seperti sudah menyerah dengan ibunya.

“Udahlah, Ma.” suara bariton terdengar dari ujung meja. Ayah Om Lino, Aditya Buana Alvarendra, akhirnya bicara. “Gak usah diungkit terus. Ngomongin yang lain aja.”

Aku menoleh ke arah beliau. Dari tadi aku merasa segan hanya karena auranya yang begitu karismatik. Wajahnya yang tegas tanpa banyak ekspresi sedikit mengintimidasi, tapi saat bicara, suaranya terdengar hangat.

“Gimana rumah baru kamu, Lino?” tanyanya santai.

“Baik-baik saja, Pa,” jawab Om Lino. “Barang-barang dari apartemen sudah dipindahkan. Tinggal menyusun perabotan.”

“Kamu gak mau nyewa pembantu aja?” Ayahnya menambahkan.

“Bukan pembantu, Pa,” potong Tante Jenna cepat. “Harusnya nanyanya begini, kamu gak mau cari istri aja?”

Refleks aku mengangkat kepala dan menatap Om Lino. “Oh? Om Lino belum nikah toh?” ucapku tanpa sadar.

Plak! Aku langsung menutup mulut sendiri dengan tangan. Semua mata tertuju padaku. Aku ingin menghilang saja rasanya.

Tante Jenna tersenyum tipis, tapi sorot matanya tajam. “Iya, Lino emang belum nikah,” katanya sambil melirik ke anak lelakinya. “Mama sudah bilang berkali-kali, cari pendamping secepatnya. Sampai kapan kamu mau melajang kayak gini?”

Om Lino menghela napas panjang. “Ma, tolong jangan bicara seolah Lino sudah sangat tua.”

“Tua sih enggak,” balas Tante Jenna cepat. “Tapi umur kamu sudah 27 tahun. Kamu pikir umur segitu masih muda?”

“Itu masih terbilang muda, Ma.”

“Enggak!” potong Tante Jenna tegas. “Mama nikah sama Papa dulu umur Papa masih 23 tahun! Itu umur yang pas buat menikah!”

Om Lino memijat pelipisnya, tampak frustrasi. “Itu namanya menikah muda, Ma.”

Tante Jenna hanya mendengus, melipat tangan lagi. “Pokoknya Mama gak mau kamu jadi bujang lapuk, Lino. Ganteng, mapan, tapi tetap aja sendirian. Kamu pikir kamu selamanya muda?”

Aku berusaha menahan tawa melihat debat kecil itu. Tapi, di balik semua ini, aku jadi paham kenapa Om Lino sering menghela napas. Ibunya benar-benar keras kepala.

Aku kembali menundukkan kepala, mencoba fokus pada makananku. Tapi, entah kenapa, perutku terasa terlalu penuh untuk menelan makanan ini. Suasana meja yang hangat sekaligus penuh tekanan membuatku ingin cepat-cepat keluar dari rumah megah ini.

“Mama nggak mau tahu! Kalau kamu nggak nemuin calon istri secepatnya, Mama yang bakal cariin pendamping buat kamu!” ujar Tante Jenna, dengan nada penuh tekad.

Aku menoleh ke Om Lino, yang langsung melayangkan tatapan protes ke ibunya.

“Mama tahu Lino paling tidak suka dipaksa berhubungan dengan perempuan mana pun,” kata Om Lino sambil menahan nada suaranya tetap tenang. “Apalagi perempuan yang tidak Lino kenal.”

Tante Jenna mendengus sambil melipat tangan. “Intinya Mama nggak mau tahu. Kalau kamu nggak nemuin perempuan pilihan kamu sendiri, Mama bakal jodohin kamu sama anak temen Mama.”

Wajah Om Lino berubah tegang. “Lino tidak setuju—”

“Kalau kamu nolak, itu artinya kamu sudah jadi anak durhaka!” potong Tante Jenna dengan dramatis. “Sia-sia Mama besarin kamu selama ini. Mama cuma mau lihat kamu bahagia dan segera dapat cucu sebelum Mama mati. Itu aja, nggak bisa?!”

Aku melirik Om Lino yang tampak menarik napas panjang. “Mama ini bicara apa?” tanyanya, nyaris seperti berbisik.

“Udah, Lino. Turutin aja,” sahut Om Aditya, yang sejak tadi diam. Suaranya tenang, tapi ada nada tegas di baliknya.

“Papa .…” Om Lino memprotes, tapi Om Aditya hanya mengangkat bahu.

“Kamu tahu sendiri, kalau Mama kamu mau sesuatu, harus dituruti. Kalau enggak, ancamannya biasanya benar-benar jadi kenyataan.”

Om Lino hanya bisa menghela napas dan memilih diam setelahnya. Dia sepertinya sudah sangat lelah menghadapi orang tuanya. Aku pun hanya diam, tidak berani ikut campur.

Setelah acara selesai, kami pun pamit pulang meski masih sempat ada sedikit drama dari mamanya Om Lino. Tapi akhirnya kami berhasil lolos dan sekarang sudah di mobil Om Lino.

“Maaf.” suara Om Lino memecah keheningan setelah mobil dijalankan.

Aku menoleh ke arahnya, bingung. “Minta maaf karena apa, Om?”

Om Lino menatap lurus ke depan, tangannya mantap di setir. “Karena saya sudah menyita waktu kamu dengan membuat kamu menunggu terlalu lama. Juga karena kamu harus melihat drama keluarga saya.”

“Oh …” Aku menggigit bibir, sedikit merasa bersalah sudah menyaksikan semuanya tadi. “Tenang aja, Om. Lagian saya dapat bonus makan-makan enak tadi.”

Om Lino menoleh sebentar, senyum tipisnya terlihat. Lalu dia kembali fokus mengemudi. Aku jadi merasa suasana lebih santai sekarang.

“Om!” aku memanggil, iseng.

“Iya?” Om Lino menjawab tanpa menoleh.

“Emangnya Om belum nikah, ya? Saya kira, Om udah punya istri, lho.”

Om Lino mendengus kecil. “Saya memang belum tertarik menikah.”

“Oh …” Aku mengangguk-angguk, lalu ber-oh ria. “Tapi kayaknya mamanya Om udah kebelet lihat Om kawin, tuh.”

Om Lino hanya menarik napas panjang, lalu menjawab, “Ibu saya memang terus mendesak saya menikah sejak tahun lalu.”

“Kenapa nggak diturutin aja, Om?” tanyaku polos. “Nggak takut nyesal, apa, kalau nggak nurutin kemauan orang tua?”

Om Lino langsung melirikku, tajam.

Aku lantas menujukkan cengiranku. “Iya-iya, maaf, Om. Om udah jawab tadi kalau Om nggak tertarik menikah.”

“Benar,” jawabnya singkat.

“Tapi kenapa nggak tertarik, deh, Om?” tanyaku lagi, walau sadar aku mulai banyak bertanya.

Om Lino mendesah pelan. “Saya masih ingin menikmati waktu sendiri. Tanpa menanggung tanggung jawab atas orang lain.”

Aku mengangguk, mencoba memahami. “Tapi kalau Om nggak buru-buru cari pasangan, nanti tante Jenna bakal jodohin Om, kan?”

“Iya,” jawabnya, singkat dan lelah.

“Turut berdukacita, Om,” ucapku spontan.

Om Lino menoleh, menatapku aneh. “Kamu kira saya sedang terkena musibah?”

“Kan emang iya? Dipaksa nikah emang enak? Itu artinya Om lagi kena musibah sekarang,” jawabku santai.

Om Lino menggeleng pelan. “Ada-ada saja kamu ini.”

Aku terkekeh kecil, lalu tiba-tiba bertanya lagi, “Om! Masa sih cowok kayak Om nggak ada yang suka? Ganteng, mapan, baik. Kayaknya Om bakal jadi rebutan.”

Setelah diam beberapa saat, Om Lino akhirnya menjawab, “Setelah saya pikir-pikir, kamu ternyata cukup cerewet, ya, Jihan.”

Aku langsung nyengir lebar. “Hehe … maaf, Om.”

Om Lino menghela napas lagi. “Kamu memanggil saya ‘Om’, seolah saya setua itu.”

Aku nyengir lagi. “Keliatan tua, sih, enggak. Tapi umur Om jauh di atas saya, kan? Kalau manggil nama langsung, nggak sopan. Jadi, ya udah, Om aja.”

Dia menarik napas panjang, seperti kebiasaan. “Kamu bicara seolah saya benar-benar sudah tua.”

“Yang pasti umur Om udah otw 30, kan? Jadi saya panggil Om, dong,” jawabku sambil mengangkat bahu.

“Masih ada beberapa tahun lagi sebelum umur saya menginjak kepala tiga,” katanya datar. “Tapi sudahlah, terserah kamu saja.”

Aku terkekeh pelan. “Hehehe .…”

Percakapan itu berakhir dengan aku yang masih senyum-senyum sendiri. Entah kenapa, meski awalnya canggung, aku merasa sudah lumayan akrab dengan Om Lino.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!