NovelToon NovelToon

Desa Terkutuk. Urban Legend

1. Arwah Penasaran.

Tahun 1962. Dimana aku saat ini masih kelas lima SD, tinggal di kota Malang Desa Mulyorejo. Suatu hari di pagi hari yang berkabut, aku di bangunkan dengan paksa oleh ibuku. Tapi, aku masih enggan untuk meninggalkan tempat tidurku yang nyaman.

   "Kalau ga bangun juga, siap-siap tak pukul dengan rotan ya!!" bentak ibukku. Saat itulah, dengan semangat yang membara yang datang entah darimana, aku langsung melesat ke kamar mandi, sekedar untuk cuci muka.

   Setelah siap dengan seragam ku yang mulai menguning, dan celananya mulai pudar, kau mengulurkan tanganku ke arah ibukku. "Mau apa?" Tanya ibukku.

   "Uang saku lah." Jawabku.

   'Plak' rotan lah yang mendarat di telapak tanganku.

   "Aduh! Apaan sih Mak?" aku menjerit kesakitan.

   "Sekarang kamu minta uang jajan, padahal barusan kamu sulit sekali untuk di bangunkan? Sini, tak kasih lagi." Dia menarik tanganku dan memukulkan rotannya sekali lagi.

   Namaku Aditya Hendrik Suherman, sekolah di SDN Mulyorejo 30. Rumahku berada di seberang sekolah itu. Tapi, karena sering kesiangan aku menjadi salah satu murid yang cukup di benci oleh guru. Ok, baiklah itu memang salahku, tapi juga bukan salahku sepenuhnya. Soalnya, hampir setiap malam ada saja kejadian aneh di belakang rumahku.

   Dibelakang rumahku ada perengan yang di dasarnya ada sungai metro yang cukup besar. Banyak bebatuan sebesar gaban di sana. Dan airnya sangat jernih, sehingga banyak orang yang memanfaatkan sungai itu sebagai tempat untuk mencuci baju dan mandi. Salah satunya adalah keluargaku, walaupun cuma sekedar cuci baju saja.

   Untuk menuju ke bawah sana, ada jalan setapak tepat di sebelah barat rumahku, dan di pasangin batu kali oleh kakekku, sehingga memudahkan siapapun yang ingin turun ke bawah sana.

   Seminggu yang lalu, di bawah sana di temukan sosok mayat tanpa identitas. Lha, mulai saat itulah banyak kejadian aneh yang terjadi di belakang rumahku.

Balik ke cerita.

   Sekolahku sedang heboh, salah satu temanku yang bernama Udin, dia bercerita kalau ada penampakan hantu di belakang rumahnya. Hohoho, ga cuma belakang rumahku saja yang angker. Kita senasib brother.

   "Beneran! Aku tidak bohong!" teriak Udin ke Riyono, dia salah satu teman sekelas ku juga. Dia anak cukup bandel, suka keluyuran, suka tidur di dalam kelas, suka bolos dan suka telat datang.

   "Emangnya kamu lihat sendiri setannya?" Tanya Riyono.

   "Bukan, tapi bapakku." Jawab Udin keras.

   "Halah, palingan kamu cuma di takut-takutin sama bapak mu supaya kamu ga keluyuran." Wajah Riyono penuh cemooh saat mengatakan kalimat barusan. Senyumannya menjengkelkan, seandainya aku adalah Udin, mungkin sudah aku bogem itu muka. Tapi, Udin adalah Udin, bukan aku. Dia cengeng, pengecut, tapi suka cari masalah.

   "Kalo ga percaya ya sudah, jangan dengerin ceritaku!." teriak Udin.

   "Benar nih. Kamu ini, jangan pamali seperti itu. Nanti, kami di datangi setan batu tau rasa kau." Sahut Efi, cewek paling cantik di kelas kami. Dia selalu membela siapapun yang lemah, siapapun yang di bully di kelas. Udin salah satunya, karena dia selalu jadi bulan-bulanan oleh teman-teman yang lain.

   "Emangnya, kamu juga pernah di tampakin setan juga, Fi?" Tanya Riyono. Walaupun pertanyaan seolah penasaran, tapi mimik wajahnya tetap mencemooh. Aku jadi geram sendiri dibuatnya. Saat aku mau membela Efi, Efi menjawab pertanyaan Riyono.

"Pernah, tapi bukan sapi penasaran."

"Ceritakan selengkapnya." Ledek Riyono.

Tapi, Efi tidak terpancing emosi kali ini. Dia hanya tersenyum sedikit lalu menjawab. "Kamu tahu kan pohon beringin kembar yang ada di depan kelurahan. Saat malam hari, sepulang dari menggaji di masjid Al-Barkah, Bapak tidak menjemput ku seperti biasanya. Aku jadi terpaksa harus pulang sendiri. Aku harus melewati pohon beringin kembar itu saat pulang. Nah, saat aku lewat di bawahnya, aku mendengar ada sesuatu yang jatuh ke tanah di dekat salah satu pohon beringin itu. Tau apa yang jatuh tadi?" Efi melihat teman-teman sekelas satu-persatu. Kami semua menggeleng sebagai jawabannya. "Yang jatuh itu adalah kemamang!!" Di akhir kata-katanya, dia berbicara dengan nada tinggi.

Riyono tertawa terbahak bahak mendengar cerita Efi lalu berkata. "Kemamang? Apaan lagi itu! Bwahahaahaha!!"

"Kamu ini ya. Semoga kamu di tampakin setan beneran!!" Teriak Efi. Dan kami mengumpat dia bersama-sama. Tapi, apa mau dikata, dia adalah anak paling bebal sedunia. Dia tidak menghiraukan ucapan kami dan terus mencemooh Efi.

Acara kami harus bubar karena Pak Nur sang wali kelas kami datang dengan wajah angker. "Bisa tenang anak-anak?" Kami berhamburan ke bangku kami masing-masing. "Lalu, serahkan PR kalian kemarin."

Riyono Maju dengan wajah tertunduk. Mampus Lu Yon. Makan tuh. Makanya jangan sok jagoan.

Nex

Siang itu, sepulang dari sekolah, aku mandi di Kali Lanang, dekat rumahnya Riyono dan Udin. Perdebatan mereka masih seputar penampakan di belakang rumahnya Udin. Tapi, menurutku cerita Udin juga tidak masuk akal. Bagaimana tidak, ada seekor sapi yang mati, arwahnya jadi penasaran. Pantas saja kan si Riyono tidak percaya. Tapi, kisahku tidak ecek-ecek begitu. Kisahku lebih wauh gitu.

Saat Udin dan Riyono sedang bertengkar, aku dan teman yang lain mengobrol kan kisah horor versi kami sendiri. "Kami percaya setan Dit?" Tanya Joni, dia teman sekelas ku, sama dengan yang Riyono dan Udin tadi.

"Percaya, lah." Jawabku. "Kamu sendiri?"

"Sama, aku juga percaya. Tapi tidak dengan sapi penasaran yang diceritakan oleh Udin." Jawab Joni.

"Hahaha. Aneh-aneh saja si Udin. Pantaslah si Riyono tidak percaya." Aku terkekeh sendiri dengan omonganku.

"Tapi, dia heboh sekali saat bercerita. Seperti dia pernah melihatnya secara langsung. Kalo boleh tau, kamu ada kisah apa Dit?"

"Yah. Banyaklah, salah satunya penampakan di Kali Metro yang ada di belakang rumahku. Minggu kemarin, kan ada mayat seseorang yang tidak dikenal. Mayatnya ditemukan terjepit di antara bebatuan yang ada di sana. Tiap malam selalu terdengar suara teriakan minta tolong."

"Cuma gitu doank?" Protes Joni.

"Ga lah. Masih banyak lagi. Tapi, teriakan itu hampir setiap malam selalu terdengar. Makanya aku ceritakan pertama kali."

"Hei! Sudah mulai Magrib nih!" teriak Udin. "Pulang yuk, ingat. Disini angker kalo malam."

"Kamu percaya sama gituan ya Din?" Teriak Riyono.

"Kamu ini, semoga kamu di tampakin setan!" Sahut Udin penuh emosi.

"Sudah, jangan hiraukan mereka. Kita bawa obor, aman kok. Lanjutkan ceritamu." Kata Joni.

"Serius? Rumahmu jauh lho. Di Tebo Selatan kan? Dekat rumah Belanda yang angker itu kan?" Jawabku. "Mending besok saja di sekolah, biar bisa aku ceritakan selengkapnya."

"Halah. Bilang saja kamu takut dengan cerita Udin kan?" Ledek Joni. "Tapi, kalo mereka bubar, kita juga bubar ya?"

"Jiyaah. Kamu sendiri juga takut. Dasar kepet."

Nex

Malam harinya, setelah mengerjakan tugas sekolah. Aku sepertinya tertidur di ruang tamu. Eem. Aku ceritakan kisi-kisi rumahku dulu deh. Rumahku Berlantai dua, bukan orang kaya kok, rumah ini juga peninggalan Belanda. Tapi, tidak se bagus rumah Belanda yang ada di Tebo Selatan. Seperti rumah bergaya Belanda pada umumnya yang memiliki atap yang tinggi. Rumahku juga begitu. Ada dua kamar di lantai bawah, dan dua kamar lagi di lantai atas. Dapur ada di bangunan utama di lantai satu. Kamar mandi berada di ruangan terpisah. Aku harus keluar rumah dulu kalau ada hajat atau ritual segala umat.

Setiap pintu kamar memiliki angin-angin di atas kusen pintunya. Dulu, di angin-angin itu ada jendelanya, tapi entah kenapa jendela-jendela itu sudah di lepas. Jadi, bisa melihat plafon kamar dari luar kamar.

Dua kamar yang ada di lantai satu itu berdampingan tepat di sebelah kiri ruang tamu. Karena rumahku menghadap ke arah selatan, jadi kamar-kamar itu berad di sebelah barat.

Balik ke cerita.

Aku tertidur pulas, dan bangun ketika mendengar suara orang mengetuk pintu rumahku. Saat aku bangun, rumahku begitu gelap. Karena jaman ini masih belum ada yang namanya listrik. Kami memakai lampu templek dan lilin. Kalau sudah malam, kami sudah terbiasa untuk memadamkan api penerangan kami.

Ketukan ke tiga lah yang membuatku benar-benar terbangun. "Dih, siapa pula malam-malam begini bertamu?" Aku berjalan menuju pintu depan. "Siapa?" Aku berteriak ke arah luar.

"Ini Bapak le. Bukakan pintu." Ternyata itu adalah bapakku yang bernama Rahmadi Suherman. Dia bekerja sebagai penjaga palang pintu kereta api di kota.

"Oh, ya. Tak kira siapa." Aku membukakan pintu. Dan bapakku masuk ke dalam dengan langkah gontai.

"Ibukmu sudah tidur?" Tanya bapakku.

"Kayaknya sudah. Aku tertidur di sini, dan dia tidak terlihat."

"Ya sudah, aku langsung tidur. Kamu juga, cepat segera tidur. Sudah malam, jangan sampai besok kamu telat ke sekolah. Malu, masa rumah di depan sekolah masih bisa telat."

"Iya Pak. Tak beres-beres bukuku dulu."

Karena gelap, aku menyalakan sebuah lilin yang tadi aku pakai untuk menerangi ku ketika mengerjakan tugas sekolah.

Lagi asyik-asyiknya berberes. Aku merasakan merinding yang datang secara tiba-tiba. Aku tidak tahu kenapa, dan tidak tahu harus bagaimana. Tubuhku tiba-tiba membeku di tempat. Tapi, anehnya, ada suatu dorongan kuat untuk menyuruhku menoleh ke arah angin-angin kamar bapak ibukku. Tapi, aku berusaha untuk menahannya. Karena perasaanku tidak enak, merinding ini benar-benar tidak wajar.

Tapi, semakin ditolak, semakin kuat dorongan untuk menoleh ke arah itu. Lalu, seolah-olah kepalaku ada remot kontrolnya, dan entah siapa pula yang mengontrol nya. Kepalaku menoleh ke arah angin-angin dengan perlahan.

Setiap gerakan, nafasku semakin berat. Dan merinding yang aku rasakan semakin kuat. Hingga wajahku terasa tebal karena merinding ini.

Lalu, ketika aku menatap angin-angin kamar itu dengan sempurna.....

Ada sosok wajah laki-laki yang tak aku kenal sedang tersenyum lebar ke arahku.

"Waaaahhhhh!!!" Aku berteriak sekencang kencangnya.

"Allahu Akbar!!!" Bapakku teriak dari dalam kamarnya. "Ada apa?"

"Set.... Setan!!!!" Aku terjatuh ke lantai. Dan kakiku begitu lemas bagaikan tak bertulang. Bapakku keluar dengan mengenakan celana dalam saja, dan berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.

"Apa? Ada apa?" Tanyanya.

"Ada setan! Setan!!! Ngintip lewat angin-angin." Jawabku.

"Mana? Tidak ada." Kata bapakku sambil melihat ke arah angin-angin tadi.

"Ta... Tapi...."

"Kamu kecapean karena kebanyakan belajar. Kamu salah lihat, nak. Sana, cepat tidur, biar bapak yang beresin Buku-buku mu."

"I... Iya..." Dengan langkah lemas lunglai, aku berjalan menuju kamarku. Merinding yang aku rasakan masih ada. Jantungku berdetak kencang, seperti habis berlari ribuan kilometer. Nafasku masih terengah-engah saat membuka pintu kamarku.

Kamarku tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu kecil. Ada dipan di tengah-tengahnya, ada lemari di dinding sebelah barat.

Karena Kamarku gelap gulita, dan lilin berada di ruang tamu, hal itu menciptakan sebuah bayang-bayang hitam yang menari-nari di sekeliling kamar.

Aku berjalan menuju kasurku, dan ketika sudah mau naik ke kasur. Di ujung dipan kasurku, ada sosok wajah pria yang tadi. Dia masih tersenyum lebar seperti tadi. Dan, aku tidak ingat apa-apa lagi.

2. Hom-pim-pa alahium-gambreng

"Nak? Kamu ga bangun? Sudah pagi nih." Ibuku membangunkan aku dengan lembut. Waktu aku membuka mataku, aku melihat wajahnya penuh dengan rasa cemas. "Ayo nak. Sudah lagi. Sarapan sudah siap, cepat mandi dan siap-siap untuk pergi ke sekolah."

   "Aku pusing sekali, Mak." Jawabku. "Aku mau libur saja."

   "Tapi, Aku dan bapak harus kerja. Kalau kamu sendirian di rumah...." Dia tersenyum jahat. "Ingat tadi malam ya...." Lalu dia tertawa pelan penuh ancaman.

   Seketika ingatanku kemarin malam langsung teringat. Tubuhku langsung menggigil hebat dan rasa pusingku langsung hilang seketika lalu berlari ke arah kamar mandi.

   "Anak pintar."

Nex

   Dasar, semelekete, Mbokne sarip. Tak kira beneran cemas. Ternyata ibukku memanfaatkan kejadian kemarin malam.

  Eh, tunggu, tau darimana dia kalau aku...

  "Mak. Kemarin malam aku kenapa?" Aku bertanya ketika sarapan.

   "Kata bapak, kamu pingsan. Katanya, kamu habis lihat setan." Jawab ibukku. "Sudah, cepat di habiskan sarapannya. Jangan bicara terus saat makan. Bisa tersedak."

    Setelah memberikan aku uang saku. Bapak dan ibu pamit duluan karena aku masih ada beberapa suap lagi hingga sarapanku habis.

Nex

   "Beneran! Aku ga di tampakin setan!" teriak Riyono.

   "Halah. Kamu mau bohong? Aku tahu sendiri kok, kemarin kamu lari sambil teriak-teriak dari arah Kali Gimun kan?" Sahut Udin dengan wajah mencemooh. Oi, ada apa ini? Kenapa situasinya berbanding terbalik dengan kemarin? "Kamu berlari sambil kecirit-cirit kan? Lagipula, tadi pagi aku sebelum berangkat ke sekolah, aku bertanya kepada Pak Komat, kata dia kamu habis di tampakin setan. Hahahaha."

   "Astaga. Riyono kena batunya." Kata Ajeng salah satu teman sekelas ku yang berjenis kelamin betina.

   "Heboh banget ya?" Sahut Siti. Aku memperhatikan mereka tanpa berkata apa-apa. Mau mendukung siapa, aku tidak tahu. Karena kemarin malam aku juga di tampakin setan, di rumahku sendiri pula.

   "Oi, Dit. Mukamu pucet sekali." Joni muncul di antara kedua betina tadi.

   "Yo, Jon. Iya, kemarin aku gak bisa tidur." Jawabku.

   "Kamu habis di tampakin setan juga?" tanya Joni.

   "Benarkah?" Tanya Ajeng dan Siti bersamaan.

  "Ah, enggak kok. Cuma..."

   "Ceritakan saja, siapa tahu kita bisa membantu." Potong Joni.

   "Iya benar." Ajeng memberikan persetujuannya. Dan Siti mengangguk tanda setuju dengan mereka berdua.

   "Sebenarnya....." Aku menceritakan awal kisah penemuan mayat, suara tangisan dan minta tolong. Lalu di sambut dengan tragedi kepala senyum kemarin malam.

   "Hiii. Ngeri." Kata Ajeng.

   "Bapak kamu ga melihatnya juga tah?" Tanya siti. Aku menggeleng.

   "Lalu, apa yang terjadi?" Tanya Joni.

   "Ya ga tau lah. Kan aku langsung pingsan. Saat bangun, tau-tau udah pagi."

   "Ok anak-anak. Waktu ngerumpi nya sudah selesai. Waktunya pelajaran dimulai." Pak Nur memasuki ruangan kelas. Dan kami berhamburan ke bangku kami masing-masing seperti kemarin pagi.

Nex

   "Dit. Nanti malam kamu tahlilan dan yasinan di rumahnya Pak Rawi ya. Bapak kamu tadi bilang mau lembur." Kata ibukku ketika aku baru saja memasuki rumah.

   "Waduh. Jauh Mak." Protes ku.

   "Siapa tahu makan Rawon nguling?" Iming-iming ibukku membangkitkan gairah makan ku. Jadi, aku mengiyakan tanpa memprotes lagi.

   Aku adalah murid yang rajin sebenarnya. Aku selalu mengerjakan PR setelah pulang sekolah, ataupun sehabis mengaji. Seperti sekarang ini, karena nanti malam ada acara tahlilan. Aku langsung mengerjakan PR dan setelah selesai aku langsung keluar untuk bermain.

Nex

   "Kamu mainnya jauh juga." Kata Joni, kami sekarang berada di sebelah makam Tebo Selatan yang saat ini ada sebuah pembangunan pondok pesantren di sebelahnya.

   "Mau gimana lagi, geng nya Riyono sudah asyik sendiri di depan kelurahan. Makanya aku main kesini." Jawabku.

   "Ya udah, kita maen petak umpet. Ada Singgih tuh dan geng nya dari Desa Kocek."

Nex

   Yang jaga untuk pertama kalinya adalah aku. Dalam suit Jawa alias hom-pim-pa alahium-gambreng. Diriku lah yang satu-satunya melakukan gerakan yang berbeda.

   Maka dari itu, saat ini aku sedang berada di tengah-tengah pemakaman umum Desa Tebo Selatan seorang diri.

   Saat mencari mereka yang sedang bersembunyi. Aku menemukan Singgih yang sedang nangkring di atas pohon Kamboja. Dia adalah orang pertama yang aku temukan. Lalu, Joni. Dia bersembunyi di dalam penyimpanan keranda mayat. Lalu, tiga orang lainnya. "Sudah semuanya kan?" Tanya ku ke Joni.

   "Masih ada seorang lagi." Jawabnya enteng.

   "Kayaknya kita cuma berenam deh."

   "Ada, satu lagi. Coba lihat di rumah terbengkalai yang ada di belakang pondok pesantren yang sedang dibangun itu." Kata Singgih.

   Saat aku menuju arah yang mereka maksud, aku mendengar kalau mereka cekikikan. Saat aku toleh, mereka pura-pura tidak ada apa-apa. Cih, aku sepertinya sedang di kerjain nih.

   Tapi, daripada permainan ini ga selesai-selesai, dan waktu sudah hampir Maghrib. Aku terus saja menuju ke arah rumah terbengkalai yang mereka maksud.

   "Oi!!" Teriakku ke arah Joni dan yang lain. "Siapa nama yang belum aku temukan?"

   "Teguh!" Teriak... Entahlah, siapa yang menyahut aku tidak tahu. Karena mereka sudah tidak terlihat lagi dari tempatku berada.

   "Ok. Suwon.!" aku memberikan katak terima kasih kepada yang menjawab tadi.

Nex

   Rumah terbengkalai itu sangat besar, tapi atapnya sudah hilang. Saat aku lihat ke dalam rumah itu, genting genting sudah berserakan di mana-mana. Sepertinya atap rumah itu sudah roboh beberapa waktu yang lalu.

   Hari sudah semakin gelap, aku harus cepat-cepat menemukan Teguh dan segera mengakhiri permainan ini lalu pulang.

    Kamar pertama. Kosong....

   Kedua.... Nihil...

    Ketiga. Ada kucing lagi kawin, kucing itu langsung menyerang ku karena waktu enak-enak mereka telah aku ganggu. Aku langsung kabur menuju kamar mandi yang ada di luar ruangan.

   Ada sumur yang di tutup dengan seng yang sudah berkarat. Dan kamar mandinya ada di sebelahnya persis. Aku yakin, teguh ada di sana. Karena tempat itu adalah satu-satunya tempat yang belum aku jamah.

   Aku berjalan berjinjit, berhati-hati supaya tidak menimbulkan suara. Menahan nafas, dan jantungku berdetak kencang. Keringat bercucuran deras di keningku, tanda aku terlalu bersemangat untuk menemukan target terakhir ku.

   Saat ini, aku sudah di depan pintu kamar mandi itu, menyentuhnya dengan lembut. Lalu menghitung dalam hati. Satu.... Dua....

   "Teguh!! Kamu kena!!!" teriakku sangat kencang sambil mendobrak pintu kamar mandi itu. Tapi, betapa terkejutnya aku saat melihat bagian dalam kamar mandi itu. Tidak ada anak seusia diriku di dalamnya. Yang ada....

   Orang gila sedang merenges lebar ke arahku. Pakaiannya compang camping. Baunya tidak karuan. Mukanya penuh kotoran yang menghitam. Rambutnya sangat kusut. "Hehehe. Aku kena." Jawabnya. "Ayok main lagi." Dia langsung menerjang ke arahku.

    "Waahhh!!!" Aku menghindar dan langsung berlari menuju Joni dan yang lain. "Jancok kalian!" Aku mengumpat Joni dan yang lain. Mereka ngakak bersama-sama saat melihatku berlari ketakutan. Tapi, mereka tidak tahu kalau orang gila tadi mengejar ku. Dan aku tidak memberitahu mereka, dan terus berlari meninggalkan mereka.

   "Oi.. Dit! Jangan marah?" teriak Singgih. "Kita cuma bercanda."

   "Benar Dit. Maaf!" Sahut Joni. Tapi, aku tidak mendengarkan mereka, cuma melirik ke arah mereka sedikit. Orang gila itu sudah berdiri di samping mereka. Dan mereka sama sekali tidak menyadarinya.

   "Bodoh amat dengan kalian. Aku pulang! Dadah!!" teriakku ketika sudah keluar dari gerbang makam umum Desa Tebo Selatan itu. Lalu, beberapa saat kemudian terdengar teriakan ketakutan dari arah Joni dan yang lain. "Mampus kalian." Guman ku sambil terus berlari pulang.

Nex

Tanpa lelah, aku berlari pulang. Melewati tanjakan yang cukup terjal, lalu ada belokan tajam. Di ujung belokan tajam itu ada rumah Belanda yang aku ceritakan di bab pertama. Rumah itu begitu kokoh berdiri di tengah-tengah persawahan yang luas. Di seberang jalannya ada hutan belantara yang masih belum terjamah.

Di depan gerbang rumah itu, aku melihat ada sosok wanita yang berpenampilan aneh. Rambutnya kuning keemasan, berbaju gaun putih yang di padu dengan rumbai biru muda. Memakai pita biru muda di rambutnya. Kulitnya begitu putih dan bersih. Disampingnya ada kakek-kakek yang sedang menyapu halaman rumah Belanda itu.

Ah, majikan dan babu nya. Jaman sekarang masih ada yang seperti itu ternyata.

Saat sudah dekat, aku mulai bisa melihat wajah mereka berdua. Kakek-kakek itu wajahnya berkeriput, tapi dia selalu tersenyum walaupun tidak ada siapapun. Sedangkan wanita itu, wajahnya datar, mulutnya pucat dan matanya sebiru langit. Cantik sekali pokoknya.

Aku berlari melewati mereka. Dan si kakek tua itu menyapaku. Saat aku menoleh ke arah dia, sosok wanita tadi sudah hilang entah kemana. Karena ketakutan, aku hanya mengangguk ke kakek tua itu dan berlari kencang meninggalkan tempat itu.

Hiii. Penampakan Noni Belanda. Untung cuma sekilas.

3. Arwahnya Masih Penasaran

"Yassin, wal-qur anil-hakim, innaka laminnal-mursalin, ala sirotim-mustaqim.." Ustadz Fatkhur Rohman memulai membaca surah Yasin saat tahlilan di rumahnya Pak Rawi, sang lurah. Saat itulah aku melihat Riyono langsung terlelap dalam tidurnya di pojokan tembok. Dasar bebal, ga punya aturan tuh anak.

   Setelah yasinan, tahlilan dan doa selesai, makanan datang. Rawon dengan irisan daging sapi yang cukup besar di sajikan. Sampai semua selesai makan, Riyono masih lelap dalam tidurnya.

   Satu persatu orang berpamitan, dan aku orang terakhir yang keluar, kecuali si Riyono. Dia masih ngorok di tempatnya. Aku ingat dia membawa obor saat ke sini. Niat isengku mulai membara, aku ambil obornya. Biar tau rasa dia. Hihihi.

Nex

   "Bukannya itu obor milik Riyono?" Tanya Ustadz Fatkhur Rohman saat melihat aku membawa dua obor.

   "Hehehe. Soalnya dia nyebelin banget Ustadz. Aku mau isengin dia dikit." Jawabku.

   "Astaghfirullah, kalian ini memang ga ada yang bener. Lain kali ga boleh begitu, ya?"

   "Iya Ustadz. Kalo boleh tau, Ustadz mau kemana? Kita sudah lewat dari masjid Al-Barkah lho."

   "Mau kerumahmu. Aku di undang oleh Pak Rahmadi."

"Di undang bapak? Buat apa?" Aku keheranan mendengar jawaban Ustadz Fatkhur Rohman tadi.

"Katanya, kemarin malam kamu di tampakin setan. Aku di suruh merukyah rumah kamu."

"Oh, gitu ya? Bener Ustadz, kemarin-kemarin sebelumnya cuma suara-suara aneh, tapi kemarin malam beneran nampakin wajahnya itu setan."

"Kamu ga doa sebelum mengerjakan apa-apa?" Aku menggeleng. "Perbanyak berdoa, kan kamu bisa mengaji, ga seperti si Riyono."

"Iya Ustadz. Maaf..." Saat ini, kami sedang berada di tikungan jalan raya Mulyorejo. Sebentar lagi jalan akan mulai menurun, di tengah-tengah turunan jalan itulah rumahku berada.

"Waaahhhhh!!! TOOLLOONGG!!!" Teriakkan seseorang terdengar dari arah ringin kembar yang ada di depan kelurahan. "Setaaan!!!"

"Astaghfirullah. Apa lagi ini?" Tanya Ustadz Fatkhur Rohman. "Dik Adit, pulang duluan ya? Aku mau memeriksa yanh di sana sebentar. Bilang ke bapak kamu, nanti aku pasti akan ke sana."

"Baik Ustadz."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam..." Dan Ustadz Fatkhur Rohman kembali ke arah beringin kembar itu. Jadi, di sisa perjalananku aku harus berjalan sendirian.

Dari tikungan tajam tadi menuju ke rumahku itu sekitar dua ratus meter an. Ayolah boy, jaman segitu tidak ada yang namanya penerangan jalan. Tidak ada listrik, jarak antar rumah sangat berjauhan. Di jalan Mulyorejo ini, hanya ada beberapa rumah saja salah satunya rumahku itu. Bayangan kalian menjadi diriku, sendirian di tengah kegelapan dan keheningan malam. Hanya ada obor saja yang menemani. Ngeri kan?

Saat mulai berjalan, aku menyalakan obor milik Riyono yang aku ambil tadi, saat menyala, cahaya semakin terang dan hati mulai sedikit tenang.

Tapi, sangking terangnya cahaya obor yang aku bawa, semakin silau mataku dan jarak pandang ku semakin memendek. Karena api obor selalu bergoyang terkena hembusan angin, bayang-bayang di sekitar ku menjadi bergerak-gerak seirama dengan api obor. Bayangan itu menciptakan kesan tersendiri. Seperti orang-orang yang sedang menari-nari di balik kegelapan malam.

Aku mempercepat langkah kakiku. Berharap segera sampai di rumah, masuk ke kamarku yang aman dan sembunyi di balik selimut. Tapi, waktu seolah-olah berhenti, semakin aku mempercepat langkahku, aku merasa jalan raya ini semakin memanjang. Semakin lama semakin jauh rumahku, itu yang aku rasakan.

Aku mulai kehabisan nafas, dan berhenti di tempat ku saat ini berdiri. Dan ternyata, begitu aku melihat ke sekeliling ku, aku menyadari kalau aku sama sekali tidak beranjak dari tempat ku berpisah dengan Ustadz Fatkhur Rohman tadi.

Saat nafas ini sudah mulai teratur lagi, aku mulai melangkahkan kakiku lagi. Kali ini, aku merasakan bahwa langkah kaki ku sudah normal. Jalan mulai menurun, dan aku semakin cepat melangkah. Semakin menurun, semakin cepat pula langkah kakiku hingga terasa aku mulai berlari tanpa aku sadari.

Semakin cepat, dan semakin cepat. Aku berlari sangat kencang, sangking kencangnya aku sampai melewati rumahku sendiri, dan ketika berada di ujung turunan yang juga ada tikungan tajamnya, aku melesak ke dalam semak-semak.

Karena merasakan rasa sakit yang tiada Tara, aku pun menangis di balik rerumputan liar. Berdiri, lalu mulai melangkah ke arah darimana aku ndelosor tadi.

Nex

"Ya Allah. Kamu ini kenapa?" Tanya ibukku saat melihatku yang berantakan dan penuh lumpur di sekujur tubuhku.

"Habis jatuh Mak." Jawabku. "Hueee!!" Aku mulai menangis lagi.

"Cup, cup, cup. Anakku cayang. Ayo, kita bersihkan tubuhmu." Ibukku menuntunku ke arah kamar mandi. Memandikan aku dan.... "Sebentar, aku lupa bawa handuk. Tunggu di sini ya?" Dan ibukku kembali kedalam rumah sambil membawa lampu templek yang di jadikan penerang di kamar mandi.

Awalnya, aku masih tidak memikirkan apapun karena masih merasakan kesakitan di sekujur tubuhku. Tapi, setelah sekitar tiga menit kemudian, aku baru menyadari bahwa aku sendirian di kamar mandi yang berada di ruangan yang berbeda dengan rumah utama. "Mak!!!" Aku mulai berteriak kencang. "Cepetan!!!"

Tidak ada jawaban dari ibukku. Hanya hembusan angin yang sepoi-sepoi menerpa dedaunan pohon bambu yang ada di belakang rumahku lah yang menjawabnya. "Maaaakkkkkk!!!" teriakkan menunjukkan kepanikan yang tiada Tara. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus masuk ke dalam rumah sendiri. Bodoh amat telanjang bulat, toh ini juga rumah-rumah ku sendiri. Lagi pula ini juga malam hari, ga mungkin ada orang yang bakalan melihatku BerBugil ria.

Saat aku mendorong pintu kamar mandi, jantungku langsung berhenti sesaat. Pintunya tidak mau terbuka!!!

"Maaaakkkk!!!" aku menggedor-gedor pintu kamar mandi. "TOOLLOONGG!!!! MAAAAAKKKK CEPETAN!!!!!"

Masih ga ada jawaban, dan pintu masih tidak mau terbuka. Ku semakin panik, malam yang dingin itu mulai terasa panas. Keringatku bercucuran sangat deras.

"MAAAAKKKKKK!!!!" Aku semakin kencang menggedor pintu kamar mandi, bahkan sampai berupaya untuk mendobrak nya. Tapi, apalah daya, karena pintu terbuka kalau di tarik, sedangkan aku mendorongnya sekuat tenaga. Mungkin, otakku saat itu sedang konslet.

Pintu terbuka saat ibuku mendorongnya dari luar. "Kenapa sih berisik sekali?" bentak ibukku.

"Takut Mak. Gelap, pintunya aku dorong ga mau terbuka." Jawabku.

"Dasar anak sableng. Harusnya kamu menariknya, bukan mendorongnya. Ini handuknya. Keringkan tubuhmu."

Wajahku memanas. Malu sekali. Bodoh amat diriku ini. Bisa-bisa aku lupa dengan cara membuka pintu kamar mandi ku sendiri.

Nex

"Ada apa teriak-teriak?" Tanya Bapakku saat melihatku memasuki kamar tidurku. Aku ga menjawabnya, dan masuk ke dalam kamar tanpa menoleh.

"Anakmu kok makin lama makin goblok sih." Gerutu ibukku, aku bisa mendengarnya dengan jelas karena mereka berdua berdiri di depan pintu kamarku. "Bisa-bisa dia lupa bagaimana caranya membuka pintu kamar mandi."

"Haa?" Bapakku keheranan mendengar jawaban ibukku.

"Harusnya dia menarik pintunya kalau dari dalam. Dia malah mendorongnya sekuat tenaga. Ya mana bisa terbuka lah. Aneh-aneh saja."

"Wahahah. Somplak."

Sialan, kepalaku semakin panas mendengar omongan kedua orang tuaku. Malu banget, aku bisa seminggu tidak keluar kamar nih sampai rasa maluku hilang.

Ketika mereka berdua sibuk menertawakan aku, aku sibuk mencari baju ganti. Lemari ku berantakan, ibukku selalu ngomel akan hal itu. Tapi, aku selalu masa bodoh. Saat mau mengambil salah satu baju, tanganku menyentuh sesuatu yang berlendir dan lengket.

Apaan cok? Aku melihat tanganku di dalam keremangan cahaya lampu templek yang ada di meja kamarku.

Baunya anyir, dan busuk. Saat aku mendekatkan tanganku ke lampu templek.... Merinding langsung menyerbu. Darah. Yang aku sentuh tadi adalah darah!!!

"Tolong..." Suara rintihan terdengar ketika aku menyadari apa yang aku sentuh tadi. Jantungku berdetak kencang, keringat kembali bercucuran deras. "Sakit...." Suara itu terdengar dari dalam lemari ku! "Tolong....."

"Mak?" Aku berteriak, tapi tidak terlalu kencang. "Tolong Mak."

"Apa lagi sih? Sudah malam, jangan teriak-teriak melulu." Sahut ibukku dari ruang tamu.

"Tapi Mak..."

"Tolong...." Suara itu kembali terdengar, dan di saat itu juga pintu lemari ku terbuka dengan sendirinya secara perlahan. "Tolong....." Ada kepala buntung bertengger di dalam lemari ku. Dialah yang sedari tadi meminta tolong.

"Maaaakkkkkk!!!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!