Ombak Keraguan
Cahaya matahari pagi yang menyelinap masuk melalui jendela dengan pemandangan laut yang membentang di luar rumah mereka. Rumah itu berdiri megah di atas tebing, sebuah simbol kesuksesan Kael Lancaster, suaminya yang tak hanya komandan Angkatan Laut tapi juga pengusaha besar.
Pagi itu, Aeliana membersihkan ruangan kerja suaminya sendiri. Hal yang tak biasa Aeliana lakukan namun kali ini, ia ingin melihat-lihat ruang kerja suaminya dengan nyaman, sendirian. Tempat favorit Kael saat pulang tugas. Aeliana mulai merapikan laci meja suaminya. Nyatanya Aeliana berharap menemukan sesuatu di ruang kerja yang menunjukkan perasaan Kael.
Aeliana menelan ludah saat membuka laci pertama, meskipun dia mempercayai suaminya, ia agak gugup. Ia ingin tahu seperti apa sisi dalam suaminya tapi di sisi lain, ia takut mengetahui niat tersembunyi suaminya.
Namun setelah membuka laci pertama dan kedua, tidak terjadi apa-apa. Yang ditemukan hanyalah dokumen perusahaan, catatan logistik angkatan laut dan alat tulis. Apa yang diharapkan Aeliana bukanlah seperti bisnis dan juga hal formal melainkan hal yang sedikit pribadi yang mempunyai sisi manis.
Aeliana lantas membuka laci yang ketiga saat itu terdapat beberapa dokumen yang berserakkan. Aeliana berniat untuk merapikannya, ia mengeluarkan semua dokumen dan saat dia memindahkan setumpuk kertas laci ketiga. Setumpuk kertas dari dokumen itu terjatuh di kakinya.
Ia segera mengambil dokumen yang tak sengaja ia jatuhkan. Pada saat itu ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Aerliana meletakkan dokumen di satu sisi sebelum mengambilnya. Ia membukanya, tulisan tangan di atas kertas putih itu begitu rapi namun isi surat tersebut cukup membuat hati Aeliana tergunjang.
Matanya menyipit, senyum miring di selingi helaan napas adalah mekanis pertahanan terakhirnya untuk menyangkal kenyataan. Aeliana mencoba mengabaikannya, membujuk dirinya bahwa itu mungkin hanya salah paham. Tapi bayang-bayang keraguan sudah terlanjur masuk.
Tangan Aeliana yang memegang surat tersebut bergetar seolah ia sedang diterjang ombak. Itu adalah surat yang ringan tapi isinya bisa mendatangkan gelombang besar yang berakibat malapetaka.
Aeliana langsung bangkit dan langsung mencari sesuatu yang terlewat. Ia memutuskan untuk memeriksa seluruh isi ruangan kembali. Rasa penasaran mengalahkan logika. Ia membuka rak buku, menarik laci-laci kecil, bahkan memeriksa pigura foto keluarga mereka. Semua itu hanya menghasilkan keheningan.
Ia kembali memeriksa surat itu kembali dan kembali membaca ulang tangan tersebut.
Kael tersayang
Kau tahu betapa berharganya waktu bersamamu bagiku. Aku tidak tahu apakah kamu juga sesekali mengenang hari-hari itu. Sungguh rasanya ada yang kosong tanpa kehadiranmu di hidupku sekarang.
Terima kasih untuk semua perhatian mu. Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpa kehadiranmu. Aku harap kita akan selalu bergantung satu sama lain seperti dulu.
Aku baru-baru ini mendengar dari ibumu bahwa kamu sedang mencari pasangan. Aku khawatir, kamu tidak tertarik dengan pernikahan. Jika ada kandidat yang bagus, beliau memintaku untuk memperkenalkannya. Padahal kandidat yang bagus adalah aku. Eh, aku hanya bercanda.
Aku menceritakan kandidat yang pas untukmu adalah Aeliana Winter. Jadi aku bercerita tentangnya. Kamu tahu betapa manis dan cantiknya Aeliana. Tentu aku tidak tahu apa kamu sudah mengenalnya atau bahkan pernah mendengar namanya. Tapi aku benar-benar berharap kebahagiaanmu. Bahkan jika itu berarti melihatmu bersanding dengan seseorang yang bukan aku.
Eh, tunggu! Jangan salah paham dulu, maksudku bukan berarti aku- ah, sudahlah mungkin aku banyak bicara. Aku mengakhiri surat ini di sini. Aku berharap hanya hal-hal baik untukmu. Kalau kamu punya waktu, mungkin kita bisa bertemu. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu.
Teman masa kecilmu, Lista
“Jadi dia hanya menjadi suami yang baik karena rasa kewajiban dan tanggung jawab. Apakah dia menikahiku hanya karena disuruh oleh wanita ini? Apakah dia mencintaiku?”
Pikirannya sudah menyadari dan selaras dengan itu, air matanya pun terjatuh. Semua yang dia bangun dengan kokoh selama lima tahun kini hancur. Kekuatan sebagai seorang ibu dan kebahagiaan sebagai istri.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, usaha Aeliana sia-sia karena nama yang melintas di kepalanya.
“Lista. Kael Lancaster menikahi Aeliana Winter atas permintaan Lista tercinta.”
Senyum remeh muncul di wajah cantiknya. “Lucu sekali.”
Ia menjadi curiga setiap kata yang diucapkan dan setiap tindakan suaminya sampai sekarang adalah kepalsuan.
...…....
Ketika malam tiba, Kael pulang ke rumah dengan langkah ringan. Ia membawa sesuatu dalam tas kerjanya sebuah hadiah kecil untuk Aeliana.
“Kamu sudah pulang.”
Aeliana menyambut suaminya seperti biasa.
“Ya, dimana anak-anak.”
“Mereka tidur lebih awal.”
“Mandilah dan istirahatlah. Aku akan menyiapkan makan malam.”
Kael mendekat membuat Aeliana harus mendongak untuk melihatnya.
“Apa yang terjadi?”
“Apa?” Aeliana berbalik bertanya.
“Apa sesuatu terjadi padamu hari ini?”
Kael menatap mata Aeliana yang merah seperti baru saja menangis.
“Tidak ada.”
Kael mengerutkan kening berusaha menemukan sesuatu dalam manik mata istrinya. Ia tahu bahwa istrinya sedang berbohong, bahwa istrinya sedang menyembunyikan sesuatu.
Keesokan harinya.
Kael sedang berada di atas kapal patroli, memimpin timnya untuk inspeksi perairan. Meski ia terlihat sepenuhnya fokus pada tugas, pikirannya tak henti-hentinya melayang pada Aeliana. Ia tahu akhir-akhir ini istrinya tampak lebih pendiam.
“Komandan, laporan dari kru selesai,” suara letnan pertama membuyarkan lamunannya. Kael mengangguk singkat, menerima laporan itu dan kembali tenggelam dalam pekerjannya. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang menganggu hubungan mereka.
Di tempat lain, Aeliana pergi ke ruang perpustakaan kecil di rumah mereka, tempat yang jarang di sentuh Kael. Aeliana menyembunyikan surat di sana.
Ia mengambil surat itu kembali. Semakin ia membacanya dan mengingat kata-kata di surat itu, semakin hatinya terasa sesak.
“Aku harus tahu kebenarannya. Siapa wanita bernama Lista.”
Saat Aeliana hendak keluar dari ruang perpustakaan, matanya tak sengaja melihat kotak kecil tergeletak begitu saja di atas meja.
“Hm, kotak apa itu?”
Aeliana mengambil kotak tersebut dan mengamatinya. Tidak ada yang aneh dengan kotak itu, itu seperti kotak hadiah biasa tapi ia tak tahu siapa pemilik kotak tersebut.
Aeliana langsung berbalik begitu pintu ruang perpustakaan terbuka. Ia segera menyembunyikan surat yang dia pegang.
“Nyonya, anda di sini,” ucap Serin, pelayan Aeliana.
“Ada apa Serin?”
“Tuan muda dan Nona muda mencari anda.”
“Julian dan Juvel, mereka dimana?”
“Mereka saat ini berada di taman.”
Aeliana langsung mengangguk dan teringat kotak hadiah yang baru saja dia temukan.
“Serin, apakah ini punyamu?”
“Tidak nyonya, itu bukan milik saya.”
“Lalu punya siapa?”
“Mungkin itu punya nyonya namun nyonya lupa.”
“Ah, mungkin saja. Serin, letakkan di laci kamarku.”
“Baik Nyonya.”
Aeliana pun, pergi menemui kedua anaknya.
Jejak dalam diam
Hari-hari berlalu perlahan, tapi Aeliana setiap detiknya terasa seperti beban yang menekan dada. Aerliana masih menyimpan surat itu, karena ia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
Kael tetap menjalani hari-harinya seperti biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya di pelabuhan dan perusahaan pelayarannya. Sikapnya tak berubah, masih hangat dan perhatian, meski sering kali dalam cara tak kentara. Tapi bagi, Aeliana semua itu kini terasa seperti bayang samar dari kehidupan mereka yang dulu.
Aeliana memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang masa lalu Kael dan Lista. Dan satu-satunya petunjuk adalah rumah mertuanya, tempat Kael tumbuh besar.
“Nyonya, kenapa mendadak pergi?” Tanya Serin saat menyiapkan keperluan majikannya.
“Ini tidak mendadak, Serin. Anak-anak rindu kakek dan neneknya.”
“Apakah Tuan sudah tahu bahwa Nyonya akan pergi ke sana?”
“Sudah dan dia mengizinkannya,” ucap Aeliana berbohong.
“Nyonya saya akan ikut dengan nyonya.”
“Tidak usah.”
“Nyonya akan kerepotan.”
“Tidak, aku bisa mengurus mereka.
Aeliana menatap kedua anaknya yang sudah duduk manis di dalam mobil. Ia pun duduk bersama mereka.
“Aku pergi.”
“Nyonya harus hati-hati. Segera hubungi Tuan jika ada sesuatu jika Tuan tidak merespon, segera hubungi saya.”
“Baiklah.”
Mobil itu perlahan menjauh dari kediaman rumahnya. Aeliana menghela napas panjang sebelum ia menyandarkan punggungnya.
“Ibu..”
Suara Juvel langsung terdengar, gadis kecil manis itu langsung mengambil lengannya dan bersandar di sana dengan manja.
“Ada apa sayang?”
“Kenapa ayah tidak ikut?”
“Ayah sedang sibuk.” Aeliana mengelus pucuk kepala Juvel.
Juvel mendengus dan mengeluh. “Ayah selalu sibuk. Pasti seru jika ayah juga ikut. Benar kan Julian?”
Julian yang tadinya hanya memandang keluar jendela mobil, kini menatap adiknya yang hanya beda beberapa detik saja.
“Meskipun tidak ada ayah, juga akan seru.”
“Kamu selalu tidak berpihak padaku.”
Juvel langsung cemberut.
Mobil mereka perlahan berjalan lambat, dan Aeliana sudah bisa melihat rumah yang berdiri megah di atas tanah yang luas. Tempat itu adalah saksi tumbuhnya Kael dari seorang bocah kecil menjadi pria dewasa yang kini ia kenal.
Aeliana dan kedua anaknya langsung disambut dengan hangat oleh ibu Kael, yang meski berusia lanjut tetap memiliki energi yang memikat.
“Ah Aeliana, senang sekali kamu datang. Lihat, siapa anak-anak ini. Makin besar saja!” Seru ibu Kael, memeluk cucunya dengan hangat.
“Terima kasih bu, Juvel bilang dia merindukan neneknya. Jadi aku mengajak mereka ke sini.”
“Wah Juvel, kau merindukan nenek.”
“Lebih tepatnya aku merindukan pie stroberi buatan nenek,” ucap Juvel sambil tersenyum.
“Juvel! Jangan katakan niat terselubung kita,” Julian memperingatkan Juvel sambil berbisik namun masih bisa di dengar orang di sekitarnya.
Melihat tingkah Julian dan Juvel membuat ibu Kael dan Aeliana tertawa.
Setelah beberapa obroloan ringan di ruang tamu dan juga Julian dan Juvel mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aeliana memberanikan diri mengutarakan niatnya.
“Bu, kalau tidak merepotkan, aku ingin melihat album foto Kael saat kecil? Julian dan Juvel sering bertanya bagaimana ayah mereka dulu dan aku pikir ini bisa jadi cerita yang menarik untuk mereka.”
“Tunggu sebentar ya, ibu sedikit lupa menyimpannya dimana.”
Sementara ibu mertuanya sibuk mencari, Julian sedang sibuk dengan dunia keingintahuannya mengenai kupu-kupu yang terjebak di dalam rumah. Kupu-kupu itu tidak bisa keluar dan hanya mengepakkan sayap dan terus membenturkan diri di jendela.
Sementara Juvel dengan polos bertanya, “Ibu, apakah ayah dulu suka bermain seperti kami?”
Aeliana tersenyum kecil, “Mungkin, kita akan melihat di foto nanti. Tapi dalam hatinya, ia meresakan kecemasan. Apakah ia akan menemukan petunjuk tentang Lista di sini.
Tidak lama kemudian Ibu Kael membawa sebuah kotak kayu kecil dari lemari di ruang keluarga.
“Ini dia semua foto dan barang-barang kecil dari masa lalu Kael ada di sini.”
Aeliana membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada berbagai benda seperti foto, medali kecil dari perlombaan olahraga, bahkkan surat-surat lama dari teman-teman Kael saat remaja. Tetapi perhatiannya tertuju pada sebuah kartu kecil bewarna biru, tertulis dengan tangan yang rapi.
“Untuk Kael,
Semoga kita tetap seperti ini selamanya. Cinta, Lista Claudine”
Aeliana langsung menyembunyikan surat tersebut dan beralih pada album foto dengan sampul yang sudah usang. Aeliana membuka halaman pertama, menampilkan Kael kecil dengan senyum cerah, bermain di pantai, memanjat pohon atau berdiri dengan bangga mengenakan seragam sekolahnya.
“Ibu, ini ayah?” Tanya Juvel, menunjuk salah satu foto.
“Iya, sayang. Itu ayah waktu masih kecil,” jawab Aeliana.
“Julian, ke sini! Lihat foto ayah kecil. Rupanya ayah dulu kecil juga!” Ucap Juvel.
Julian yang mendengar itu langsung tertarik sebelum dia berlari untuk melihatnya bocah kecil itu membantu kupu-kupu untuk keluar dengan cara membuka jendela. Setelah kupu-kupu itu bebas, baru dia berlari dan duduk di dekat ibunya.
“Mana?” Tanya Julian.
“Ini,” tunjuk Juvel.
“Lebih tampan aku daripada ayah,” ucap Julian.
Halaman demi halaman terus digulir sampai pada akhirnya di salah satu foto, Kael berdiri di samping seorang gadis kecil dengan senyum cerah. Mereka tampak sangat akrab. Ada tulisan di sana. “Kael dan Lista.”
“Ibu siapa ini?” Tanya Aeliana, mencoba terdengar santai sambil menunjuk foto tersebut.
“Oh itu, Lista Claudine. Dia teman kecil Kael. Mereka dulu sangat dekat. Tapi mereka berpisah karena Lista harus pindah ke luar kota.”
Aeliana hanya mengangguk, meski pikirannya kini dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Lista bukan hanya bagian dari masa kecil, ia adalah bayang-bayang yang kini menghantui pernikahan mereka. Dan Aeliana harus menemukan kebenarannya apa pun risikonya.
...…....
Sepanjang perjalanan pulang dari kantor pelayaran, pikirannya dipenuhi rasa lelah bercampur rindu. Hari itu cukup berat, tapi bayangan senyum Aeliana dan tawa ceria Julian dan Juvel selalu menjadi obatnya.
Namun begitu Kael membuka pintu depan, ia tidak mendengar suara khas biasanya menyambutnya. Tidak ada langkah kecil Juvel yang berlari menghampirinya sambil mengeluh atau Juvel yang mengintip dari sofa dengan buku di tangannya.
“Aelaian? Julian? Juvel?” Panggilnya dengan suara yang penuh harapan.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan dan sepi.
Serin muncul dari dapur dengan langkah tenang dan membungkuk hormat.
“Tuan, Nyonya dan anak-anak pergi ke rumah ibu anda tadi siang.”
Kael mengernyit “Ke rumah ibu? Apa mereka bilang kenapa?”
“Apa? Saya kira Tuan sudah tahu, karena Nyonya bilang sudah mendapatkan izin dari Tuan.”
Kael mengangguk kecil tapi hatinya tetap terasa ganjil. Aeliana biasanya selalu memberitahunya jika hendak pergi bahkan untuk hal sederhana seperti ini. Tapi mengapa ia sampai berbohong pada pelayan agar ia bisa keluar.
Kael mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mencoba menghubungi istrinya tapi panggilannya hanya berakhir di pesan suara.
Keputusan yang berat
Aeliana melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan, tangannya mengenggam erat jemari Juvel, sementara Julian berjalan sedikit di depannya. Kedua anaknya tampak riang setelah menghabiskan waktu di rumah nenek mereka, tetapi Aeliana tampak lelah dengan pikiran yang terus dihantui nama dan wajah Lista.
Kael sudah menunggu di ruang tamu sejak sore. Ketika ia mendengar suara pintu terbuka, ia segera bangkit dari sofa, langkahnya cepat menghampiri mereka.
“Kalian sudah pulang,” ucap Kael dengan nada lega, meski ia menyadari sesuatu yang tidak beres pada istrinya.
Julian dan Juvel langsung lari ke arah Kael, memeluknya dengan ceria. “Ayah! Tadi kami melihat foto ayah waktu kecil!” Seru Juvel.
“Oh ya?”
“Ayah tak setampan diriku waktu kecil.”
“Tapi ayah lebih tinggi saat seusiamu,” balas Kael sambil mengusap putranya dengan jenaka.
Namun pandangannya segera beralih pada Aeliana yang hanya berdiam diri.
“Apa kamu baik-baik saja?” Tanyanya, mendekat dan memegang tangan Aeliana.
Aelian tersenyum samar tapi wajahnya pucat. “Hanya sedikit lelah.”
“Harusnya kamu memberitahuku, aku bisa menjemput kalian. Kamu perlu istirahat,” ucap Kael khawatir. Ia meraih tas dari tangan Aeliana dan membawanya ke meja.
Aeliana mengangguk perlahan. “Aku akan naik sebentar ke kamar.”
Kael terus memperhatika punggung Aeliana yang perlahan menjauh. Ia merasa seakan ada jarak yang tak kasat mata diantara dirinya dan keluarganya belakangan ini. Aeliana adalah wanita yang selalu menjadi pelabuhan hatinya, tapi Kael merasa bahwa ada sesuatu yang berubah. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa akhir-akhir ini Aeliana tampak lebih pendiam, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia katakan tetapi selalu tertahan.
Kael mengingat kembali momen-momen kecil yang mungkin terlewatkan. Pandangan mata Aeliana yang kadang menghindarinya, senyum yang tidak sehangat biasanya dan cara dia menyibukkan diri dengan hal-hal kecil.
“Apa terjadi sesuatu pada ibu kalian tadi?” Tanya Kael pada kedua anaknya.
“Tidak ada, kami menikmati perjalanan tadi.”
...…...
Saat sampai di kamar, Aeliana langsung menutup pintu kamar. Ia langsung duduk di tepi ranjang dan mengambil ponsel di saku bajunya. Ia menghabiskan sisa waktunya untuk mencari informasi Lista Claudine secara online. Setelah beberapa kali mencoba kombinasi nama dan kata kunci, ia akhirnya menemukan akun media sosialnya.
Foto profilnya menampilkan seorang wanita dewasa dengan rambut panjang bergelombang. Meski wajahnya terlihat lebih matang, Aeliana yakin ini adalah gadis yang ada di foto bersama Kael.
Aeliana menemukan postingan terbaru dari Lista, dan matanya langsung membulat sempurna tatkala tak asing dengan tempat Lista berfoto. Ia langsung menoleh tatkala suara ponsel dari Kael berbunyi. Ia menjadi penasaran dengan pesan yang baru saja datang.
Pelan-pelan, ia meraih ponsel itu. Ia menekan layar itu, dan untungnya Kael tak pernah mengunci ponselnya dengan yang rumit. Aeliana langsung membuka pesan dan memeriksa percakapan terbaru. Pesan yang baru saja datang rupanya adalah nomor tak dikenal.
Pesan itu berbunyi
“Kael, ini aku Lista. Aku baru saja pulang. Bisakah kita bertemu, aku benar-benar merindukanmu.”
Aeliana merasa darahnya seolah berhenti mengalir. Jemarinya gemetar. Hatinya terasa perih seolah-olah ada sesuatu yang menusuknya tanpa ampun. Air matanya perlahan turun namun ia harus kuat dan tenang untuk menanggapinya.
Ia langsung mencatat nomor tersebut dan langsung menghapus pesan tersebut lalu memblok nomor itu. Lalu langkah kaki Kael terdengar mendekat. Dengan cepat, ia mematikan layar ponsel dan meletakkannya kembali di nakas.
Ia langsung berbaring dan menyelimuti dirinya sendiri. Mencoba menenangkan napasnya yang memburu.
“Aeliana?” Panggil Kael dari ambang pintu. Ia masuk dengan secangkir teh jahe. “Aku bawakan ini. Kamu tampak pucat tadi.”
Aeliana menoleh, wajahnya berusaha untuk tenang. “Terima kasih. Aku hanya butuh istirahat.”
Aeliana membutuhkan lebih banyak waktu untuk berpikir. Ia tak tahu harus dari mana atau bagaimana berbicara dengan suaminya.
“Apakah sesuatu terjadi padamu? Katakan padaku.”
“Itu..”
Aeliana tidak dapat berbicara. Kata-kata mencapai ujung lidahnya tapi suaranya tidak keluar dari mulutnya.
“Apakah kamu menikah denganku karena permintaan Lista? Surat apa ini? Kenapa kamu menyimpannya?”
Itu yang ingin dia luapkan tapi dia terlalu takut dengan jawaban yang harus dia dengar.
“Aku mau pulang.”
“Apa? Pulang? Tapi ini rumahmu.”
“Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku.”
Mendengar itu Kael mengernyit, ekspresinya berubah serius.
“Kenapa? Apa yang terjadi?”
“Aku hanya butuh perubahan suasana. Belakangan ini banyak hal yang membuatku sulit untuk fokus.”
Kael menatapnya mencoba menangkap maksud di balik kata-kata itu.
“Kalau kamu merasa lelah, kita bisa liburan bersama. Atau aku bisa mengurangi pekerjaanku untuk lebih banyak waktu di rumah.”
“Kael, aku hanya butuh waktu sendiri. Aku hanya pergi beberapa hari, bukan selamanya.”
Kael menggeleng keras. “Tidak Aeliana. Rumah ini adalah tempatmu, anak-anak membutuhkanmu di sini. Jika ada yang menganggumu, kita bisa bicarakan. Kamu tak harus pergi.”
Aeliana mulai diam, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kael, kumohon.”
Kael menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Bagaimana jika kau terluka saat perjalanan.”
“Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Aeliana, pergi dari rumah bukanlah solusi.”
“Kael, aku hanya ingin pergi ke rumah orang tuaku. Kenapa kamu tidak mempercayaiku?”
“Aku percaya padamu tapi aku tak mau kamu pergi. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya menganggumu?”
Aeliana merasa terpojok tapi ia tak punya alibi. Jika ia mengatakan orang tuanya sedang sakit, pasti detik itu juga dia akan menelepon orang tuanya dan memastikannya.
“Kael, kumohom hm.” Aeliana sudah memohon dan bahkan menangis untuk menyakinkan suaminya.
Mata merah, telinga merah, pipi merah. Dengan wajah yang sedih dan memelas, Kael tidak bisa untuk tidak mendengarkan permintaannya.
“Jika aku tidak pergi, apakah kamu akan menangis setiap hari?”
“Kumohon.” Suaranya bergetar dan air mata mengalir.
Kael menatap istrinya dengan tatapan penuh konflik. Melihat Aeliana menangis membuat hatinya mencelos. Ia ingin menahannya, ingin menyakinkannya bahwa ia tak perlu pergi tapi ia tidak ingin memperburuk keadaan.
“Aeliana kamu tahu, aku tak ingin kamu pergi tapi aku tidak tahan melihatmu seperti ini. Jadi aku mengizinkanmu.”
“Benarkah?”
Kael mengangguk, meskipun hatinya seperti ditusuk. “Aku berharap kamu segera kembali. Aku dan anak-anak membutuhkanmu.”
...…...
Keesokan paginya, Aeliana mulai bersiap-siap untuk pergi. Ia memasukkan beberapa pakaian dan kebutuhan lainnya ke dalam koper kecil. Julian dan Juvel tampak bingung melihat ibu mereka berkemas.
“Ibum kenapa ibu harus pergi?” Tanya Juvel dengan mata berkaca-kaca.
Aeliana menghentikan gerakannya, lalu berlutut di depan anak-anak.
“Ibu tak akan pergi lama, sayang. Ibu hanya ingin mengunjungi kakek dan nenek kalian. Kalian tetap di sini bersama ayah ya?”
Julian mengenggam tangan ibunya erat. “Ibu aku mau ikut.”
“Sayang, tetap di sini ya, bersama ayah. Awasi ayahmu,”
“Ibu!” Julian langsung memeluk ibunya begitu pula dengan Juvel.
Kael langsung mendekatinya. Semalam ia langsung menyuruh Ethan orang yang dipercayai untukk mengawasi Aeliana dengan sangat hati-hati. Dia hanya ingin memastikan bahwa Aeliana baik-baik saja.
Itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga Aeliana tanpa melukai kepercayaannya secara langsung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!