Malam terasa sunyi dan gelap, sebab rembulan tak lagi bercahaya, karena tertutup awan kelabu.
Hujan turun rintik-rintik dan semakin lama terlihat deras, menambah suasana semakin mencekam.
Dikejauhan, terlihat seseorang sedang berjalan ditengah kegelapan malam yang sepi sembari matanya mengawasi setiap arah untuk melihat apakah ada orang yang mengawasinya.
Ia semakin jauh berjalan. Langkah kakinya menuju sebuah pemakaman umum yang ada didesa dan siang tadi baru saja ada dua orang yang dikebumikan karena meninggal kecelakaan.
Langkahnya semakin jauh membawanya kedalam area pemakaman, entah apa yang sedang dilakukannya selama beberapa malam ini, dan tampaknya ini adalah malam terakhir ia berada dipemakaman itu.
Ia tak lagi memperdulikan pakaiannya yang basah dan berlumpur dan juga rasa takut seolah sudah mati dari hatinya, yang tersisa hanyalah dendam yang membara didalam hatinya.
Seorang pria yang menggunakan penutup kepala duduk bersila dan memejamkan kedua matanya dengan kedua tangan mengatup didepan dada, dan ia terlihat sangat berkonsentrasi sembari membaca mantra khusus yang terdengar dibathinnya saja.
Pria itu sedang melakukan Batarak, atau disebut dengan semedi. Ia ingin mencari petunjuk untuk mendapatkan tengkorak mana yang akan ia gali kuburnya.
Sesaat sebuah petunjuk mengarah pada makam yang telah puluhan tahun lamanya berada dibawah pohon beringin yang tumbuh subur ditengah area pemakaman.
Pria itu membuka matanya. Lalu beranjak dan melangkah menuju makam yang telah diberi petunjuk melalui bisikan ghaib.
Langkah kakinya terlihat begitu bersemangat menapaki area makam yang becek dan itu tak menjadi penghalang baginya.
Ia berjongkok dan mulai menggalinya dengan menggunakan tangannya.
Gerakannya sangat cepat, sehingga menemukan apa yang ia cari. Sepertinya malam ini sebuah keberuntungan baginya.
Hujan yang turun semakin deras, membuat tanah yang ia gali semakin mudah saja. Lalu ia mengambil sebuah tengkorak kepala seseorang yang dulunya hidup sebagai seorang pecundang.
Sesekali suara petir dan kilatan halilintar membelah malam dan tak menyurutkan niatnya.
Dengan sigap ia membawanya, dan tak lupa kembali menguruk tanah yang telah ia gali sebelumnya.
Ia menatap tengkorak yang sudah berada ditelapak tangannya dengan tatapan penuh dendam dan merasa jika semuanya telah dimulai.
Setibanya dirumah, ia membersihkan tengkorak tersebut dengan menggunakan air khusus ramuan dan melakukan ritual lainnya berupa membakar kemenyan untuk mengasapi benda mengerikan itu sembari membacakan mantra khusus untuk membuat tengkorak tersebut berfungsi sebagaimana yang diinginkannya.
Setelah ritualnya selesai, ia mengambil tali yang terbuat dari kain kafan dan mengikat tengkorak tersebut untuk dijadikan sebuah benda yang nantinya dapat berputar, dan permainan itu disebut dengan 'Gasiang Tangkorak'.
Suasana terlihat semakin mencekam setelah gasing itu terpasang tali yang merupakan dari kain kafan. Ia membawa benda itu keluar dari rumah ditengah malam yang sunyi.
Saat sebelumnya, ia menoleh ke arah sebuah kamar yang terkunci. Disana terdengar suara jeritan wanita yang menyayat pilu. Sepertinya sang wanita mengalami depresi karena sebuah trauma masa lalu yang sangat begitu menyiksa bathinnya.
Pria itu menatap nanar, lalu berjalan dengan tatapan penuh api dendam. "Tenanglah, Sayang. Aku akan membalaskan semua rasa sakit yang pernah ada. Dia harus merasakan kesakitan ini lebih dari apa yang pernah ia perbuat sebelumnya!" gumamnya dengan sorot mata yang berkaca-kaca.
Suara tangisan dan jeritan yang kerap kali ia dengar dikala malam hari, membuat sang pria bertekad membalaskan semua noda yang pernah tercipta pada seseorang yang sudah merusak kebahagiaan mereka.
Rumah tangga yang awalnya mereka jalani dengan begitu indah dan penuh cinta, harus terkoyak oleh seseorang yang memiliki ilmu kanuragan dan bertujuan untuk merusak rumah tangga seseorang. Ia sangat tersakiti akan hal ini, dan pembalasan dendamnya akan segera dimulai.
Pria itu membawa tengkorak kepala yang sudah ia beri tali dan melalui proses yang sangat panjang keluar dari pintu belakang.
Ditengah hujan yang turun semakin deras, ia tak perduli dengan dinginnya malam dan juga suara petir yang menyambar dengan menggelegar.
Ia terus berjalan menyusuri jalanan yang sepi dan tujuannya adalah hutan dipinggir kali yang malam ini pastinya tidak akan orang yang datang kesana.
Setibanya ditempat yang ia tuju. Pria itu berhenti tepat dibawah sebuah pohon nan rindang. Suasana yang begitu mencekam tak menyurutkan niatnya untuk melakukan ritual yang sangat mengerikan.
Rasa dendam dan sakit hati pada seseorang yang telah merusak pagar ayu rumah tangganya, membawanya pada jalan sesat yang membuatnya harus menyekutukan Rabb-Nya. Baginya, pembalasan ini adalah kepuasan baginya.
Ia memegang tengkorak ditangannya, lalu membacakan mantra yang begitu samar dan memanggil semua iblis yang ada disekitarnya ataupun berada ditempat lain untuk membantunya membalaskan dendam yang teramat dalam.
Ia memulai memainkan permainannya. Tengkorak yang berada ditangannya ia putarkan menjadi gasing yang berputar dengan kencang dan membuat suasana semakin mengerikan.
Malam semakin mencekam. Suasana semakin tidak nyaman karena suara-suara samar dan rintik hujan bersatu membelah kesunyian malam.
Bersamaan dengan itu, para iblis dan jin yang berkumpul dari berbagai arah datang memasuki gasing tersebut dan siap mematuhi segala perintah yang akan dilakukan oleh sang pria yang kini sebagai pengendali mereka.
Diantara para iblis dan jin yang berkumpul, salah satunya adalah qorin seorang wanita yang tewas karena kecelakaan bermotor saat mengejar seorang pria yang sangat dicintainya untuk meminta dinodai.
Karena tragedi itu, sang qorin menjelma menjadi sesat dan ikut bergabung didalam perkumpulan permainan gasing yang dilakukan oleh sang pria.
Pria itu menyebutkan nama seserang. "Buatlah pria bernama Adjie agar terkena penyakit mengerikan dan buat ia menderita lebih lama, dan jangan lupa, rudalnya jadikan membusuk," titahnya pada jin yang kini sedang bersekutu padanya.
Para iblis itu mematuhi perintah sang pria. Mereka mulai menyebar dan menuju satu titik seseorang yang saat ini sedang tertidur dengan pulas.
Disisinya terlihat seorang wanita yang sedang hamil juga tertidur pulas. Namun tidak ada perintah untuk menyakiti wanita itu, maka tujuan awal mereka adalah sang pria.
Satu jin bersarang dihatinya, satu bersarang dibagian rudalnya, dan lainnya bersarang diperut dan otaknya.
Pria bernama Adjie yang sedang tertidur pulas tersentak kaget saat merasakan sesuatu yang sangat sakit dibagian kepalanya dan rasanya ingin pecah.
Saat bersamaanya, perutnya juga terasa melilit dan hatinya seolah berdenyut tak karuan, ditambah dengan rudalnya yang seolah terkena sengat lebah dan membuatnya meringis kesakitan.
"Aaaargh," erangnya. Ia memegangi kepalanya yang seolah seperti ditusuk ribuan jarum dan tubuhnya seolah sulit digerakkan.
Ia semakin mengerang kesakitan saat rudalnya kembali berdenyut dan membuat sekujur tubuhnya seolah dihantam oleh palu yang sangat besar.
Saat bersamaan, terlihat satu sosok wanita berambut panjang sedang menatapnya dari arah depan pintu.
Sosok itu tersenyum seringai, lalu menghampirinya, dan tanpa diduga, ia melayangkan sebuah cakaran tepat dibagian rudal milik sang pria yang saat ini sudah merasakan sakit yang teramat sangat.
"Aaargh, pergi, pergi," usirnya pada sosok mengerikan itu.
Adjie yang kesakitan, tiba-tiba merasa digerakkan oleh sesuatu yang berasal dari dalam tubuhnya, dan membuat ia berjalan keluar dari kamar, lalu menuju dapur.
Ia terus berjalan tanpa dapat dicegah dengan tangannya yang menjulur kedepan untuk meraih sebuah pisau yang terdapat dirak bumbu.
Pria itu mengerang kesakitan dan merasakan kedua tangannya terus meraih pisau yang berada dirak bumbu dan kini mencacah lengannya sendiri.
"Aaaaarrrgggh....," teriak pria bernama Adjie dengan rasa sakit yang begitu perih. Sesaat belatung berjatuhan dari lukanya dan membuat ia semakin merasakan sakit yang teramat sangat.
Wati yang mendengar suara teriakan itu tersentak dari tidurnya dan bergegas keluar dari kamar, lalu menuju dapur tempat dimana suara sang suami terpekik kesakitan. Perutnya yang membuncit membuat ia harus berhati-hati berjalan karena ingin menjaga kandungannya.
Saat tiba diambang pintu penghubung, ia dikejutkan oleh pemandangan yang mengerikan, dimana sang suami terduduk dilantai dengan lengan tangannya yang tercacah dan darah yang berceceran dilantai sertai banyaknya belatung yang berjatuhan dan bergerak kesana kemari.
Wati yang meihat pemandangan itu berteriak histeris dengan wajah takut dan pucat. Tentu saja ia takut karena hewan larva itu sangat begitu menakutkan baginya.
Akan tetapi, darah yang semakin merembes, membuat sang pria semakin memucat dan ia terpaksa menghampiri untuk membantu sang suami menyingkirkan pisau tersebut agar tak terjadi luka yang lebih parah karena takut berbuat lebih jauh.
Suara burung bud-bud terus saja nyaring berbunyi dan semakin menambah ke heningan malam dan suasana yang mencekam.
"Kang, apa yang kamu lakukan?! Mengapa menyakiti dirimu sendiri?!" tanyanya ditengah kebingungannya. Tatapan nanar dan Ia membantu sang suami yang terduduk lemah diatas lantai, lalu memapahnya ke dalam kamar dan membalut luka tersebut dengan kain dasternya agar menghentikan pendarahan yang terjadi.
Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi pada suaminya. Tatapan pria itu terlihat nanar, dan tiba-tiba ia mengeluh kesakitan dengan memegangi kepalanya.
"Sakit, sakit, sakit!" teriaknya sembari memegangi kepalanya yang terasa bagaikan dihantam sebuah palu.
Ia bahkan tak perduli dengan rasa sakit dibagian lengannya, sebab kepalanya begitu berdenyut hebat.
Wati sang istri kebingungan dengan apa yang dialami oleh sang suami, dan kali ini ia sampai bergelung dilantai untuk meredakan rasa sakitnya.
Wanita itu menaruh iba padanya, meskipun selama ini begitu banyak pengkhianatan dan kesalahan yang dilakukan oleh sang pria, namun ia tak tega rasanya melihat sang suami terlihat semenderita itu, bahkan teriakan kesakitannya terdengar menyayat hati.
Ia terduduk dilantai. Lalu mendekap sang suami yang saat ini merapatkan giginya untuk mengurangi rasa sakit yang begitu menyiksanya.
Saat bersamaan, terlihat sesuatu melintas dari pintu kamar menuju warung. Wanita itu merasakan bulu kuduknya meremang, namun ia juga merasa penasaran, apakah ada maling yang sedang masuk ke rumahnya?
Ia melepaskan pelukannya pada sang suami, dan membiarkannya mengerang kesakitan. Ia berjalan mengendap dengan membawa sebatang penyapu yang tersimpan dibalik pintu.
Ia merasakan takut didalam hatinya, namun ia juga ingin tahu siapa yang menuju warungnya.
Ia merasakan bulu kuduknya meremang, lalu dengan sisa keberaniannya menghidupkan saklar dan membuat suasana yang tadinya gelap menjdi terang benderang.
Sesaat hening tak ada sesiapapun didalam warung sembako miliknya yang menyatu dengan rumahnya.
Ia mengatur nafasnya yang tersengal, menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan, tak ada sesiapapun disana, dan saat bersamaan, hembusan angin yang begitu semilir menyapa tengkuknya dan menimbulkan hawa yang begitu sangat dingin bagaikan suhu freezer.
"Tadi perasaan ada yang melintas, tapi siapa ya?" gumamnya dengan lirih sembari mengusap leher belakangnya.
Perlahan ia mendengar suara desisan dari hewan melata. Sesaat ia teringat akan beberapa hari yang lalu jika rumahnya baru saja kemasukan hewan melata tersebut.
Ia dengan batang sapu ditangannya mencari keberadaan hewan berbisa tersebut diiringi suara erangan kesakitan dari sang suami yang masih bergelung dilantai kamar.
Kini pandangan matanya tertuju pada tumpukan karung beras yang mana terdapat seekor ular bersisik hitam, sama persis dengan yang pernah ia bunuh waktu itu, dan tanpa mengindahkan peringatan tetangganya agar ia tak membunuh hewan saat sedang mengandung, lalu mengayunkan batang penyapu ijuk tepat dibagian kepala ular dan membuatnya remuk seketika, sebab kualitas kayu tersebut sangat kuat.
Ia terus mengayunkan batang penyapu dengan kalap sehingga membuat hewan melata tersebut tak lagi begerak dan tubuhnya hancur remuk redam.
Nafasnya memburu setelah berhasil membuat ular tersebut mati. Ia memundurkan langkahnya saat mendengar suara teriakan kesakitan dari sang suami yang terdengar semakin pilu.
Ia bergegas menuju ke ruang kamar hanya bersebelahan dengan tempat usahanya itu. Ia melihat sang suami bergelinjang memegangi perkututnya yang terasa sangat sakit bagaikan dirajam sesuatu.
"Kang, tenanglah, aku disini," ia mencoba menenangkan sang suami yang terlihat sangat menderita sembari mendekap sang pria. Hatinya hancur luluh lantak. Bukankah siang tadi dokter sudah menjelaskan jika tidak ada penyakit apapun, lalu mengapa semiris itu kondisi suaminya?
Bahkan ia sudah membawa ke dua rumah sakit berbeda, dan hasilnya tetap sama, jika tidak ada ditemukan penyakit yang dikhawatirkan, sebab sang suami mengalami muntah darah saat siang tadi.
Pria ia menggigit ujung pakaiannya untuk meredam rasa sakitnya. Namun semua usahanya sia-sia, karena rasa sakit tersebut begitu dahsyat dan membuat ia semakin terpuruk.
Sesaat Wati mengibaskan sesuatu yang berjalan dilengannya, sedangkan erangan suami masih terdengar memilukan.
Ia tersentak kaget saat melihat belatung berjalan dilengan tangannya, dan ia bergidik ngeri, lalu menjauh dari tubuh suaminya.
Jemari suaminya yang terpotong beberapa hari yang lalu dan mengeluarkan belatung masih terbungkus kain kasa, dan begitu juga dengan lengannya barusan. Tetapi darimana lagi datangnya larva tersebut?
Sesaat matanya tertuju pada celana boxer sang suami dan ia melihat hewan itu berasal dari sana.
Kedua matanya membeliak, lalu dengan sisa keberaniannya dan mencoba membunuh rasa takut yang begitu dalam, ia menarik celana tersebut dan melihat dari dalam semvak koyak sang suami banyak benda kecil berwarna putih yang berjentik ria bergerak kesana kemari dibalik rambut yang tumbuh keriting.
Wanita tersebut membuka penutup anu suaminya. Dan pemandangan mengerikan terjadi saat ia menarik CD tersebut, ada ratusan belatung yang mengerubungi batang kecil yang sedang mengkerut itu dengan begitu suka cita, seolah mendapat sumber makanan yang diinginkannya.
Seketika Wati bergidik ngeri dan merasakan mual yang mengaduk isi perutnya, dan sang suami terus saja meringis menahan sakit, sebab tangannya berpindah memegangi perutnya, terkadang dikepalanya, dan terkadang juga dianunya yang sudah dipenuhi oleh hewan kecil mungil tetapi sangat menjijikkan.
Aroma busuk menguar seketika dari anu sang suami yang seolah santapan lezat bagi para makhluk kecil berwarna putih itu.
Wati mengambil cairan alkohol dan memercikkannya pada batang anu sang suaminya.
Seketika para belatung itu berjatuhan dan menggiat, lalu tak bergerak lagi.
Adjie masih meringis kesakitan. Rasa sakitnya teramat sangat hingga rasanya seolah membuat nyawanya tercabut, dan penderitaannya berakhir saat adzan subuh berkumandang.
Seorang pria duduk disebuah kursi yang terlihat santai dan terdapat disebuah teras rumah yang sangat sederhana.
Lantainya terbuat dari ubin batu berwarna kusam. Pria itu menyesap zat nikotinnya dengan sangat dalam.
Suasana malam yang begitu sepi dan gelap, hanya ditemani suara jangkrik yang terus menyanyikan lagu kesedihan, seolah mengetahui hati sang pria yang saat ini sedang dilanda kepiluan.
Asap mengepul diudara saat ia menghembuskan karbonmonoksida sisa dari pembakaran zat adiktif tersebut.
Sekeliling rumahnya hanya ada pepohonan yang tumbuh dengan subur dan rindang yang menambah kesan angker serta menjadi saksi betapa hancurnya hidupnya saat ini.
Ia dan istrinya harus mengungsi diperbukitan yang jauh dari pemukiman warga. Sebab suara teriakan dan tangisan istrinya mengganggu mereka yang berada didekatnya.
Bahkan sang istri kerap kali mengejar para anak kecil yang ia temui, dan terkadang ia larikan saat lengah dari pengawasan orangtuanya dengan menggendongnya dan membawanya pulang ke rumah, sehingga membuat para ibu-ibu merasa cemas dengan keselamatan anak-anak mereka.
Ditambah lagi dengan peristiwa kelam saat dimana wanita itu memasukkan puterinya yang masih bayi ke dalam bak mandi. Ia mengira jika bayi itu sedang bermain dan berenang hingga membuatnya tewas tenggelam.
Terkadang ia juga membuka pakaiannya dan berjalan tanpa sehelai benangpun diluaran. Hal tersebut membuat warga menjadi jengah dan takut jika hal itu akan membawa dampak buruk terhadap mental anak sekitarnya.
Pria itu kembali menyesap zat nikotinnya. Fikirannya menerawang jauh. Ia mengingat masa silam yang begitu indah, penuh kebahagiaan dan penuh cinta. Ia dan istrinya sedang membangun impian dengan membuka warung makan nasi Padang yang mana mereka rintis dengan keahlian sang istri yang memang pandai memasak.
Namun semuanya harus hancur, saat seseorang yang memanfaatkan istrinya dengan segala tipu daya ajian pelet jaran goyang, dan membuat sang istri harus rela menyerahkan mahkotanya pada pria brengsek tersebut.
Setelah tersadar dari tipu daya sang pria, wanita itu merasa jijik jika mengingat perbuatannya dan juga pria yang telah memanfaatkannya, sehingga membuatnya depresi, ditambah lagi dengan baby blues, sebab ia baru beberapa bulan melahirkan.
Hingga akhirnya kini mereka harus berakhir dipengungsian, sebab warga dan juga keluarganya sudah tak sudi lagi untuk menerima sang istri yang dianggap gila dan membahayakan.
"Kaaaaang...," teriak wanita itu dari dalam kamar. Sepertinya ia sedang buang air. Sang pria melemparkan puntung rokoknya dan beranjak dari tempat duduknya lalu menuju kamar tempat dimana sang istri ia kurung agar tidak kabur. Sebab beberapa kali kabur dan ia temukan dipinggir jurang.
Melihat pintu terbuka, wanita bertubuh kurus itu berlari menyambut kepelukannya. "Mana intan?" tanyanya dengan manja, mempertanyakan keberadaan puteri mereka yang sudah berada disurga.
"Intan dirumah ibu, nanti diantar kemari," jawabnya berbohong, sembari membelai rambut wanita yang dicintainya sama seperti saat mereka baru pertama kali bertemu.
"Bener ya, Kang," ucapnya manja, dengan senyum manis tanpa beban yang kini menghiasi bibirnya.
Rasa perih menjalar direlung hati pria tersebut, sebab sang istri tak kenal lagi siapa dirinya sendiri.
Meskipun depresi, ia tidak kehilangan wajah cantiknya, dan pria bernama Anton itu masih tetap merawatnya dengan baik.
Hembusan angin yang semilir dan suasan sepi, membuat ia inginkan sesuatu saat melihat sang istri yang berpakaian berantakan.
Ia membelai lembut rambut panjang tersebut. Merapatkan tubuhnya dan mulai mengecup bibir sang wanita. Ia masih mencintainya.
Perlahan ia menyingkapkan daster sang istri, inginkan sesuatu disana, dan ketika benda yang sudah mengeras itu mencari sarangnya, tiba-tiba sang istri mendorongnya dengan cepat. Ia selalu ketakutan saat setiap kali suaminya ingin menjamahnya.
Rasa trauma begitu dalam dihidupnya, sehingga kerap kali akan berteriak jika sang suami inginkan anu.
Lagi-lagi pria itu harus menahan kecewanya, meski hasrat sudah berada diujung ubun-ubunnya.
"Jangan, jangan sentuh aku, pergi, pergi," usirnya dengan suara tangisan yang begitu pilu sembari berlari dan duduk sudut ruang kamar.
Pria itu akhirnya memaksa masuk sang perkututnya, dan menatap iba pada sang istri.
"Maaf, Akang tidak akan melakukannya lagi." ia merentangkan tangannya, dan berusaha menenangkan sang istri.
Wanita itu meringkuk dengan wajah ketakutan. Anton menghela nafasnya dengan berat, ada sejuta dendam didalam hatinya, dan ia harus memastikan jika targetnya menderita lebih dalam dari yang dialami oleh sang istri.
*****
Mentari bersinar. Wati membuat sarapan apa adanya. Perutnya yang membuncit, ditambah lagi dengan kondisi suaminya yang memburuk, membuat ia harus kuat dengan mentalnya.
Siang ini ia akan membawa sang suami kembali memeriksakan kondisinya, sebab erangan kesakitan kerap kali mengganggu tidurnya.
Setelah menyelesaikan sarapannya, ia membuka warungnya, dan tiba-tiba teringat akan ular yang ia bunuh malam tadi.
Ia kembali melihat keatas tumpukan karung beras, lagi-lagi bangkai itu sudah menghilang, sama seperti kejadian sebelumnya.
Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan bangkai ular tersebut, namun tak ia temukan.
Wati menghela nafasnya dengan berat. Ia menatap warungnya yang mulai tampak kosong, sebab dagangannya terpaksa ia masak sendiri sebagai kebutuhannya, karena tidak ada perputaran modal disebabkan sepi pembeli.
Sementara itu, Adjie-suaminya masih terdengar merintih menahan sakit. Wati merasakan beban hidupnya cukuplah berat, sebab hidup diperantauan tanpa sanak saudara dan orangtua yang sudah tiada membuat ia harus kuat untuk menjalani hidupnya.
Wanita itu kembali menjenguk sang suami didalam kamar. Ia membersihkan semua belatung yang berada dibagian anu sang suami. Benda yang dulu tegak menegang dan menjadi kebanggan sang pria yang telah mencicipi banyak anu wanita, kini terkulai lemas dan terlihat banyak nanah yang keluar bercampur darah, dengan aroma yang menyengat.
"Apa kamu terkena HIV and aids, Kang?" tanyanya dengan lirih, sembari membersihkan belatung yang menggerogoti luka tersebut.
Adjie hanya menggelengkan kepalanya. Ia masih mengerang kesakitan, dan tiba-tiba dibagian perutnya terasa seperti disayat-sayat dan ia buang angin sembari menyemburkan cairan pekat berbentuk jelly dari liang belakangnya.
Wati tersentak kaget melihat apa yang dialami sang suami. Ia bahkan sampai terjungkal kebelakang. Anehnya darah berbentuk jelly itu berbau sangat busuk, meskipun kondisinya segar.
"Aaaarrrgh... Sakit, sakit..., tolong, Dik... Ini sakit sekali," teriak Adjie dengan wajahnya yang semakin pucat.
Wati merasakan hidupnya benar-benar berantakan. Cobaan terlalu besar baginya.
Ia beranjak bangkit dengan kesusahan, dan memesan taksi online untuk membawa sang suami pergi ke dokter.
Adjie memegang perutnya. Rasanya bagaikan disayat-sayat sembilu, perih, dan terkadang seolah seperti dipelintir.
Wajahnya kian memucat menahan semua penderitaan yang saat ini sedang ia alami.
Wanita itu mencari ponselnya. Saat ini hanya benda pipih tersebut yang dapat ia andalkan untuk mengatasi masalahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!