Malam itu, di saat hujan rintik-rintik dan di area yang cukup sepi, terlihat sebuah mobil warna hitam yang di dalamnya terisi empat pria, terparkir sendirian di tepi jalan dan di dekat hutan kota
"Mana anaknya? Kok nggak nongol-nongol?"
"Tunggu sebentar, katanya, dia bias dia pulang jam segini kalau lewat sini."
"Iya, Xel, kita tunggu aja. Bukankah di sini tempat yang pas untuk melancarkan rencana kita?"
"Benar. Apa lagi sekarang gerimis dan jalanan juga sepi. Sepertinya, alam mendukung kita untuk memberi pelajaran pada anak sialan itu."
Keempat pria yang usianya masih muda, sepertinya tengah memantau, menjalankan rencana yang sudah mereka susun sebelumnya.
Axel, Marvin, Brian dan Denis, terus menatap pada satu arah, berharap orang yang sedang mereka tunggu segera menampakan diri.
Dari raut wajah yang tergambar saat ini, nampak jelas keempat anak muda itu, geram pada seseorang, hingga mereka rela menunggu, tanpa mempedulikan kondisinya.
"Itu anaknya, Xel!" tunjuk Brian.
Serentak, semua mata langsung melempar ke arah yang sama. Benar juga, tak jauh dari mereka nampak seseorang yang sedang berjalan kaki pelan pelan sembari mendorong sebuah gerobag.
"Kita bergerak sekarang, Xel," titah Denis.
"Oke!" Axel tersenyum miring. Pria itu langsung menyalakan mobil yang mereka dia kemudikan.
Sedangkan tak jauh dari mereka, seorang anak muda, berjalan perlahan, ditemani rintik hujan, setelah seharian berkililing menjual jajanannya.
Karena terlalu menikmati suasana serta merasa lelah juga, anak muda itu tidak menyadari, ada mobil yang melaju ke arahnya. Begitu mobil itu semakin dekat, anak muda itu baru menoleh dan seketika matanya melebar dengan langkah kaki yang langsung bergenti.
"Aaaa..." anak muda berteriak kencang sampai matanya terpejam. Namun dia tidak merasakan apapun. Anak muda itu pun langsung membuka mata.
Anak muda itu terkejut, karena mobil berhenti tepat, menghadang jalannya. Anak muda itu penasaran sampai keningnya berkerut. Namun begitu kaca mobilnya dibuka, mata anak muda itu langsung melebar.
Satu persatu, keempat anak itu keluar dari mobil dan mereka kompak memandang remeh pada pemuda yang wajahnya agak memucat.
"Jadi ini, usaha sampingan mahasiswa yang berani mengusik ketenangan kita?" ucap Axel dengan bersandar pada mobilnya. "Hidup susah aja banyak gaya kamu, Jun."
Anak muda itu mencoba bersikap tenang. "Apa mau kalian?"
"Hohoho... santai, Bos," balas Axel. "Bukankah kamu yang lebih tahu, apa yang kita ingin kan?"
"Sudahlah, Xel, sikat aja langsung," Brian memprovokasi. "Tanganku sudah sangat gatal ini."
"Sabar dulu dong, Bro, santai," balas Axel. "Bukankah kalian penasaran, alasan anak ini memiliki niat membongkar kebiasan kita?"
"Ya pastinya cari muka," balas Denis. "Kuliah jalur beasiswa aja, berani-beraninya mengusik kita. Apa kamu sudah bosan hidup, hah!"
"Sabar, Denis, sabar," Axel masih bersikap kalem.
"Saya kan, hanya menyampaikan sesuatu, yang menurut saya benar," anak pendorong gerobag itu membela diri.
"Benar? Menurutmu, tindakanmu, benar?" Alis Axel sampai terangkat satu. Pemuda itu melangkah, mendekati Juna. "Berarti kamu sengaja, ingin membuat kami di keluarkan dari kampus, gitu?" Axel berbicara tepat di depan muka si pendorong gerobag.
"Tapi perbuatan kalian sudah sangat keterlaluan," anak itu pun tak mau kalah.
"Halah, banyak omong kamu!" Marvin melangkah cepat dengan tangan terkepal. "Ini urusan kami, kamu nggak perlu ikut campur, bededah!"
Dakh!
Marvin langsung melayangkan kepalan tangan dan berhasil mendarat di pipi sang target. Tubuh anak itu terhuyung. Marvin pun kembali mengulang perbuatannya, namun kali ini, anak itu berhasil menahan serangan lawan.
"Kamu melawanku? Hah! Oke, aku ladenin."
Perkelahian pun tak bisa dihindari. Bahkan, teman-teman Marvin juga ikut menyerang anak itu secara membabi buta.
Awalnya anak bisa mengatasi keadaan. Namun, karena tenaganya yang sudah terkuras habis oleh kuliah dan jualan keliling, anak itu pun mulai kehilangan fokusnya.
Ketika anak itu tersudut di tepi jalan, dengan penuh semangat, salah satu dari empat pria muda langsung mengangkat kaki dan mendorong telapak sepatunya dengan kencang sampai menghentak dada si pendorong gerobag.
Seketika anak itu terhuyung, dan dia kehilangan keseimbangan. Di saat itu juga sebuah kepalan tangan mendarat di pipi kanan anak itu dan kepalan itu sukses menumbangkan si pendorong gerobag, bahkan sampai tubuh anak itu terguling dan terjebur ke dalam sungai.
"Waduh! Juna tenggelam!" seru Denis. "Bagaimana ini?" Seketika dia pun panik. "Mana sungainya dalam lagi."
"Gimana ini, Xel? Kalau Juna mati bagaimana?" ucap Marvin panik.
"Tunggu-tunggu, jangan panik," ucap Axel. "Kita tunggu beberapa saat lagi. Pasti dia bakalan muncul."
Semua setuju. Dengan dada yang berdegup kencang, semua berharap kalau dugaan mereka salah. Namun, beberapa menit waktu berlalu, mereka justru semakin terlihat frustasi.
"Gimana, Xel? Juna nggak muncul-muncul?" Brian semakin panik.
"Ah, sial! Kenapa jadi kaya gini sih?" umpat Marvin frustasi. "Aku nggak mau di penjara, nggak, aku nggak mau!"
Iya, Xel, gimana ini?" Denis pun sama paniknya.
"Kalian pikir, aku juga nggak bingung apa?" Axel pun kesal pada sikap teman-temannya. "Lagian, siapa coba tadi yang menendang dan menghantam Juna terakhir kali?"
"Udah-udah, jangan ribut," ucap Brian. "Mending, kita secepatnya pergi dari sini, ayo!"
"Benar, sebaiknya kita segera pergi, mumpung jalanan masih sepi, ayok!"
Keempat anak muda itu langsung bangkit dan bergerak cepat menuju mobil mereka. Tanpa pikir panjang, mereka langsung kabur ketakutan.
Sementara itu, tak jauh dari tempat kejadian, dan masih satu aliran sungai di tempat seseorang tenggelam, Arjuna, nama anak muda si pendorong gerobag justru sekuat tenaga naik permukaan di sisi sungai yang lain.
Beruntung, saat tercebur ke dalam sungai, Juna masih dalam keadaan sadar. Dengan segala sisa tenaga yang dia miliki, Juna memilih menenggelamkan diri dan perlahan bergerak mengikuti arus sungai hingga berhasil menjauh dari lokasi.
Setelah berhasil mendarat, Juna berbaring sejenak untuk mengatur nafas dan mengumpulkan segenap tenaga yang ada.
Di saat Juna sedang terdiam, tiba-tiba dia dikejutkan dengan sesuatu yang menimpa kepalanya.
Pletak!
"Aduh!" Juna reflek memegang kepalanya yang tertimpa sesuatu. Saat itu juga, tatapannya tertuju pada benda yang baru saja mengenai kepalanya.
"Apa ini?" Juna memungutnya. "Cincin batu akik?" Juna pun memperhatikan benda yang kini ada di tangannya. "Aku yakin pemilik perhiasan ini, pasti sengaja membuangnya. Cincin kaya gini, mana laku mahal? Mending aku buang saja."
Juna pun bersiap untuk melemparnya. Namun, sebel cincin itu terlempar, tiba-tiba Juna ingat sesuatu. "Bapak kan suka cincin akik kaya gini, mending aku kasih Bapak aja deh."
Juna tersenyum, lalu dia bangkit dan menaruh cincin di saku celananya. Dia pun segera naik dan kembali menuju tempat semula untuk mengambil gerobagnya.
Tak lama setelah Juna pergi, datanglah sebuah mobil berhenti di sana. Lalu, muncullah dua orang dari mobil tersebut dengan raut wajah yang
"Kemana tadi kamu melempar cincin saya, hah!"
"Ke sekitar sini, Tuan!"
"Dasar, wanita tak tahu diuntung. Cepat cari cincin itu sampai ketemu. Kalau tidak, aku pastikan tamat riwayatmu!"
Dengan ketakutan, wanita itu bergegas menjalankan perintah dari si pria.
"Arjuna!" seorang wanita nampak histeris kala matanya menangkap sosok pemuda yang bajunya basah kuyup dengan muka penuh luka lebam.
Wanita itu segera bangkit dan menghampiri Arjuna yang baru saja masuk ke dalam rumahnya. "Kamu kenapa? Kok wajahmu kaya gitu?"
"Lagi apes, Bu," balas Juna agak lemas. Dia melangkah masuk, karena ingin segera membersihkan diri. "Bu, ada air panas nggak?"
"Ada tuh. Kebetulan, Ibu sudah menyiapkannya buat kamu," jawab sang Ibu. "Itu kamu apes kenapa? Dipalak preman lagi?"
"Ya, siapa lagi," jawab Juna sedikit dusta. "Aku mandi dulu , Bu."
Sang Ibu mengangguk. Segala pertanyaan yang ingin dia lontarkan, terpaksa harus dia tahan dan wanita itu kembali duduk dan fokus dengan acara tv yang sedang dia tonton.
Juna memilih langsung ke kamar mandi karena bajunya basah semua. Bahkan tas berisi uang hasil jualan juga ikut basah. Beruntung, ponselnya ditaruh di gerobag, jadi aman.
Selain uang, Juna juga mengamankan cincin yang baru saja dia temukan. Setelah dirasa semuanya beres, Juna pun segera mandi dengan air hangat.
Begitu urusan mandi selesai, Juna langsung makan meski hanya mengenakan celana kolor saja, yang dia ambil di keranjang dekat meja makan.
"Bapak belum pulang, Bu?" tanya Juna, disela-sela menikmati hidangan yang sudah ada di meja dekat ruang nonton televisi.
"Sudah, tapi lagi pergi sama adikmu. Adikmu rewel minta beli perlengkapan sekolah lagi," balas sang Ibu. "Itu tubuh kamu kenapa? Dipukulin preman lagi?"
Juna tersenyum garing.
"Kenapa harus kaya gitu sih, Jun? Kalau preman minta uang dikasih aja lah. Daripada kamu yang kenapa-kenapa."
"Enak aja. Yang ada preman-preman itu makin ngelunjak, Bu," tolak Juna.
"Yang penting kan kamu selamat," balas Ibu. "Jangan sampai gara-gara harta yang nggak seberapa, kamu malah jadi korban kekerasan. Di dunia ini, nggak ada toko yang jualan onderdil tubuh berikut nyawanya loh, Jun."
"Iya, iya, iya," Juna memilih mengalah. Sepandai apapun dia melawan, ucapannya akan tetap kalah jika sudah berhadapan dengan ibunya.
Arjuna terlahir dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya memiliki usaha yang sama, seperti yang dilakukan anaknya. Cuma mereka mangkal di depan rumah, karena di seberang jalan rumah Juna, berdiri tiga sekolah. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama negeri dan swasta."
Juna yang usianya sudah menginjak angka 18 tahun lebih beberapa bulan, memiliki adik perempuan berusia 6 tahun dan sekarang baru kelas satu sekolah dasar.
"Jun, kuliah kamu gimana? Lancar kan?" Ibu kembali bertanya kala acara kesayangannya terjeda karen iklan.
"Ya lancar, Bu," jawab Juna disela-sela kunyahan terakhirnya.
"Kalau kamu berhenti jualan aja gimana? Kamu fokus kuliah aja. Biar kamu nggak babak belur terus."
Sebelum menjawab, Juna memilih menenggak segela air bening terlebih dahulu. "Nggak lah, Bu, ngapain berhenti, sayang kan. Kalau bukan karena beasiswa juga, aku lebih milih dagang daripada sekolah."
"Jangan ngomong seperti itu, pendidikan juga penting bagi masa depan kamu," sungut Ibu.
"Juna tahu, Bu, pendidikan emang penting. Tapi tidak seharusnya, hanya karena pendidikan, sampai tega mencoret nama anak sendiri, dari kartu keluarga."
"Jun..."
"Sudah lah, Bu, Juna ke kamar dulu," anak muda itu langsung bangkit dan bergegas menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Ibunya hanya bisa menatap sang anak dengan perasaan yang berkecamuk.
Rumah Juna memang sederhana. Karena di lantai utama cuma ada dua kamar, dan tidak memungkinan untuk menambah satu kamar lagi. Bapak juna memutuskan, menambah satu kamar di atas rumah tersebut.
Beruntung, area dapurnya cukup luas karena di sana tidak hanya untuk memasak saja, jadi Juna dibuatkan kamar dia atas dapur.
Juna menghembus nafasnya secara kasar. Anak muda itu duduk di tepi kasur tanpa ranjang dengan perasaan yang sama berkecamuknya.
Begitu perasaannya lebih segera meraih ponselnya. Namun, mata Juna terusik dengan cincin yang baru saja dia temukan. Juna pun meraih cincin yang dia letakkan di atas meja dekat ponsel.
"Ternyata bagus juga nih cincin," gumam juna kala memperhatikan cincin yang kini ada di tangannya.
Cincin dari ukiran kayu dengan mata cincin terbuat dari batu akik warna hijau botol tapi agak kusam. Juna pun menggosok cincin tersebut serta dengan jempolnya agar lebih mengkilap meniupnya.
"Nah, kalau kaya gini kan bagus," ucap Juna nampak senang dan mencobanya sebentar.
Setelah puas menikmati keindahan cincin yang dia temukan, Juna meletakkan cincin tersebut di atas meja yang sama, dan anak muda itu segera berbaring sembari bermain ponsel.
"Bagaimana dengan Axel dan kawan-kawan ya? Apa mereka mengira aku sudah mati?" Juna kembali bergumam, kala mengingat tentang empat teman kampusnya yang tadi mengeroyoknya.
"Sepertinya mereka memang sengaja menghadangku. Benar-benar keterlaluan, orang salah, bukannya menyadari kesalahannya, malah tidak terima, aneh."
"Memang kebanyakan begitu."
"Iya, orang-orang jaman sekarang memang aneh," balas Juna. Namun saat dia menyadari sesuatu, Juna langsung terlonjak. "Siapa itu?"
Juna sontak celingukan. Namun dia sama sekali tidak menemukan sosok yang baru saja menyahuti ucapannya. Juna bangkit dan membuka jendela kamarnya. "Ah, gelap," gerutunya, sembari kembali menutup jendela.
"Apa tadi, aku salah dengar ya?" Juna bertanya-tanya sambil bersiap untuk merebahkan tubuhnya kembali.
"Mungkin."
Seketika Juna kembali terperanjat. "Siapa itu?" Juna celingukan. "Tunjukkan dirimu, settan?"
"Setan gundulmu."
Juna terhenyak. Wajahnya sontak panik dan tanpa pikir panjang, Juna bergegas keluar dari kamarnya. "Ada hantu!"
Suara Juna berhasil mengusik ketenangan sang Ibu. "Ada apa sih, Jun? Teriak-teriak malam-malam?" tanya wanita tersebut kala melihat sang anak menghampirinya.
"Ada hantu, Bu, ada hantu."
"Hantu? Hantu apaan?"
"Ya nggak tahu, Bu, pokoknya hantu."
"Ada apa Ini?" Sang bapak yang baru saja datang, langsung bertanya kala matanya menyaksikan Juna bersikap aneh di dekat istrinya.
"Di kamarku ada hantu, Pak," balas Juna.
"Hantu? Hantu apaan?" Bapak pun reaksinya hampir sama seperti istrinya.
"Tadi aku mendengar sendiri, Pak, dia menyahuti semua ucapanku."
"Kamu ngigau kali," balas Ibu.
"Ya ampun, Bu, aku belum tidur, ngigau dari mana?"
"Dih, udah gede, masa takut sama hantu," sang adik malah mencibir, membuat Juna langsung melotot ke arahnya. Sang adik cengengesan dan dia bergegas masuk ke kamarnya.
"Itu wajah kamu kenapa? Dipukulin preman lagi?" Sang Bapak malah melempar pertanyaan yang membuat Juna terperanjat.
"Bapak tanya Ibu aja," balas Juna dan dia segera kabur menuju kamarnya.
Dengan langkah pelan dan dada yang berdegup kencang, Juna bersikap waspada kala menuju kamarnya lagi. Di depan kamar Juna ada teras yang biasa di gunakan untuk menjemur pakaian dan Juna memperhatikan tempat itu, nampak sepi.
Langkah Juna pun sampai di depan pintu kamar yang terbuka. Di saat Juna memutuskan untuk melongok kamarnya sendiri, mata anak itu seketika melebar kala menyaksikan kain terbang di depan wajahnya
"Aaaaa... hhhppp..."
"Aaaa... hhppp.." suara teriakan Juna langsung lenyap dan berubah menjadi suara tak jelas karena mulut Juna tersumpal oleh kain yang melayang ke arah mulutnya.
Mata Juna makin melebar kala dia merasakan ada yang menarik salah satu tangannya, memaksa Juna untuk masuk ke dalam kamar.
Wajah Juna memucat dan otaknya seperti tidak berfungsi. Juna sama sekali tidak bisa berpikir jernih karena terlalu panik dan takut.
Brak!
Pintu tertutup dengan sendirinya, membuat Juna semakin takut setengah mati. Tubuh Juna menegang kala kain yang menutup mulutnya terlepas.
"To... hpp..." kain itu kembali menyumpal mulutnya.
"Jangan teriak," sosok tak kasat mata itu bersuara, semakin menambah rasa takut Arjuna. "Kalau kamu teriak, kamu akan selamanya seperti itu."
Juna langsung menggeleng cepat.
"Janji jangan berteriak! Kalau mau janji, aku akan buka penutup mulutmu."
Seketika Juna mengangguk patuh. Sosok tak kasat mata pun langsung melepas sumpalan mulut Juna.
"Ba...hpp..."
"Udah saya bilang, jangan berteriak!" Sosok tak kasat mata terdengar marah. "Kalau kamu tidak menuruti saya, maka kamu dalam bahaya, mengerti!"
Juna kembali mengangguk cepat.
"Awas, kalau teriak lagi," sosok tak kasat mata pun kembali melepas sumpalan di mulut Arjuna.
"Ka-kamu siapa? Ke-kenapa ka-mu meng-hantui-ku?" Suara Juna sampai tergagap. Bahkan dia seperti orang yang hendak menangis karena terlalu panik dan takut.
"Saya bukan hantu," bantah sosok tak kasat mata. "Saya adalah... penghuni cincin itu."
Juna terperangah dan dia langsung melempar pada pandangannya ke arah cincin.
"Ka-kamu Jin?" tanya Juna.
"Terserah kamu mau menyebu saya apa. Yang pasti saya sudah sejak lama menempati cincin itu. Kalau kamu tadi tidak mengusik saya, mungkin saya tidaka akan keluar."
"Me-ngusik?" Juna tercengang.
"Iya," jawab sosok tak terlihat, terdengar begitu tegas. "Kamu tadi mengusap permukaan cincin itu dan meniupnya dengan udara dari mulutmu. Benar kan?"
"I-iya."
"Karena itu lah, saya jadi terusik dan bangun."
"Ma-maaf."
"Sudahlah, tidak masalah. Tapi terima kasih juga, karena kamu sudah menolong saya."
"Menolongmu?" kali ini Juna malah terlihat bingung. "Menolongmu karena apa?"
"Karena membebaskanku."
Kening Juna berkerut.
"Tidak perlu bingung. Suatu saat aku akan kasih tahu."
"I-iya," balas Juna.
"Apa kamu suka bertarung?"
"Hm?" Juna agak terkejut mendengar pertanyaan sosok yang keberadaannya entah ada di sebelah mana.
"Tidak," kali ini suara Juna terdengar lancar meski rasa takut masih tersirat pada wajahnya.
"Terus itu wajah kamu kenapa? Jangan-jangan kamu habis dikeroyok?"
Arjuna sedikit tersentak.
"Udah aku duga. Apa kamu tidak memiliki ilmu bela diri?"
"Buat apa?" Arjuna malah balik bertanya.
"Pantas kamu dikeroyok. Pasti kamu laki-laki lemah?"
"Sembarangan," Juna jelas tak terima. "Mereka aja, yang beraninya main keroyokan. Kalau satu lawan satu, aku nggak bakalan kaya gini."
Mungkin saat ini sosok tak kasat mata itu sedang tersenyum, meremehkan Juna.
"Yang namanya pendekar itu harus siap dalam kondisi apapun. Tidak peduli seberapa banyak musuh yang harus dihadapi, pendekar harus berani menghadapinya."
"Aku bukan pendekar, aku hanya manusia biasa," kali ini bahkan Juna bersikap ketus karena dari nada bicara yang Juna dengar, sosok tak kasat mata itu seperti sedang mengejeknya.
"Hahaha..." benar, sesuai dugaan Juna, sosok tak terlihat itu memang mengejeknya. "Apa kamu mau, aku ajari ilmu bela diri?"
"Bagaimana caranya? Kamu aja tidak kelihatan wujudnya."
"Gampang kalau begitu. Besok, saya akan tunjukan caranya."
"Hmm..."
"Karena kita sama-sama pria, lebih baik saya keluar ya? Takut terjadi hal-hal yang tidak terduga dan mengerikan."
"Hal tak terduga dan mengerikan? Apa maksud kamu?" Arjuna tercengang mendengarnya.
"Hahaha... nggak perlu dipertanyaan. Aku pergi dulu." Tiba-tiba pintu yang sudah tertutup, mendadak terbuka sejenak lalu tertutup lagi.
Nampak jelas terasa helaan nafas lega dari raut wajah Arjuna, begitu sosok tak kasat mata itu tidak bersuara.
"Apa dia beneran pergi?" gumamnya. Lalu dia menoleh ke arah cincin dan bergeser sedikit, mendekat dan meraih cincin tersebut.
"Benarkah dia berasal dari sini? Lalu, apa maksudnya aku telah menyelamatkan dia?" Juna pun jadi bertanya-tanya.
Sementara itu sosok yang tadi mencari cincin itu saat ini terlihat begitu murka di kediamannya.
"Dasar, perempuan sialan! Tidak tahu diuntung! Hanya gara-gara masalah sepele, kamu berani membuang benda berharga milik keluargaku!"
Seblak!
"Aaaa...." seorang wanita teriak kesakitan. "Ampun, Tuan, ampun," rintihnya memohon.
"Ampun, kamu bilang, hah! Ampun! Dasar tak berguna!"
Dak!
"Aaaa...." tidak hanya menerima sabetan dari sabuk, wanita itu menerima tendangan, pukulan dan lainnya.
"Aku mau kencan dengan seribu wanita, itu bukan urusanmu! Bukankah kamu juga sudah mendapat harta yang sangat banyak dari aku, hah! Berani-beraninya kamu melabrak wanita lain yang dekat denganku. Kamu benar-benar cari mampus, wanita murah!"
Dak!
"Aaaa... ampun, Tuan, ampun..."
"Sarjo, Sarno! Buang wanita ini ke tempat pembuangan sampah. Rampas semua harta yang sudah aku berikan pada dia, cepat!"
"Siap, Tuan besar!"
"Tidak! Jangan, tolong, ampuni saya, Tuan, ampuni saya!"
Sang Tuan sama sekali tidak peduli. Pria yang usianya diperkirakan sudah menginjak angka 60 tahun itu, sudah melebihi batas murka dari yang biasa dia tunjukan.
Namun amarah pria itu itu berangsur hilang, kala binatang kesayangannya, menggonggong minta duduk di pangkuannya.
"Maaf Pudel, sudah membuatmu takut," ucap pria tua tersebut.
"Tuan Bratawali, apa yang terjadi?" tanya seorang wanita kala dia baru datang dan menghampiri pria tua yang saat ini sudah terduduk, di atas sofa mewahnya. "Apa yang terjadi dengan Siska"
"Wanita itu memang pantas mendapatkannya, Tarmini. Dia telah lancang, melakukan kesalahan yang tidak bisa diampuni," geram Bratawali.
Wanita bernama Tarmini nampak mengerutkan keningnya. "Apa yang telah dia lakukan? Apa dia telah mengkhianatimu?"
"Lebih dari itu," ucap Bratawali. "Wanita itu telah melempar cincin peninggalan keluargaku."
"Apa? Cincin peninggalan keluarga?" Tarmini nampak berpikir. "Maksud kamu cincin..."
"Ya. Cincin Batu Klawing."
"Astaga! Bagaimana bisa?" Tarmini nampak tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Bagaimana bisa dia berani melakukan itu? Apa dia tidak tahu, kalau cincin itu sangat berharga?" Tarmini pun nampak kesal.
"Karena dia tidak tahu tentang cincin itu, jadi dia seenaknya membuangnya"
"Ya ampun... terus bagaimana? Cincin itu di mana jatuhnya?" tanya Tarmini.
"Di sekitar kali tengah. Aku sudah nyuruh orang-orang untuk mencarinya."
"Huh! Dasar wanita tak berguna! Dia pikir, selama ini dia mendapatkan uang banyak dari siapa," sungut Tarmini kesal.
"Aku ke kamar dulu, Tar. Jika ada kabar baik, segera kasih tahu aku," Bratawali langsung bangkit dan beranjak menuju kamarnya.
Tanpa Bratawali sadari, wanita yang baru saja ngobrol dengannya saat ini justru tersenyum jahat sembari menatap kepergiannya.
"Aku harus bisa menemukan cincin itu, agar aku bisa mengusai seluruh hartamu, Bratawali."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!