NovelToon NovelToon

PEWARIS

BAB 1

Tahun 2008, pertengahan

Hujan mengguyur kota tanpa henti, menciptakan tirai air yang menyelimuti jalanan. Kilat menyambar langit kelam, disusul gemuruh petir yang menggema. Di antara riuh kendaraan yang berlalu-lalang, seorang pria muda berlari menerobos hujan. Napasnya tersengal, peluh bercampur dengan air yang mengalir di wajahnya. Dalam pelukannya, seorang bayi perempuan terbungkus kain lusuh, menangis lirih di tengah kebisingan malam.

Di belakangnya, sekelompok pria berpakaian serba hitam mengejar tanpa ampun.

"Cepat kejar! Kita tidak boleh kehilangan pria itu!" seru salah satu dari mereka, suaranya nyaring menembus gemuruh hujan.

Pria muda itu mempererat pelukannya pada bayi kecilnya, dadanya sesak oleh ketakutan. "Apa yang harus kulakukan...? Ke mana ayah harus membawamu, Yeon Ji...?" bisiknya, berusaha menenangkan tangisan putrinya meski dirinya sendiri diliputi kepanikan.

Rasa takut mengaburkan fokusnya. Saat menyebrang jalan tanpa berpikir, sorot lampu dari sebuah mobil BMW hitam mendadak menyilaukan pandangannya.

"TIIIIIIIIINNNNNN!!!"

Suara klakson memekakkan telinga, disusul rem mendadak yang menciptakan cipratan air ke segala arah.

Seorang sopir muda keluar dari mobil dengan wajah marah. "Apa matamu buta?! Kenapa kau berlari saat lampu masih hijau?!" hardiknya.

Pria muda itu terhuyung, lututnya hampir menyerah. Tapi ia tidak peduli. Dengan sisa tenaga, ia berlutut di hadapan pria itu, memeluk erat bayinya.

"Maafkan saya, Tuan... Tapi saya mohon, selamatkan bayi ini."

Mata sopir itu menyipit, ekspresi bingung dan tidak percaya terpampang jelas di wajahnya.

"Apa-apaan ini?! Pergi sana! Beraninya kau menghalangi jalan Tuanku—"

Dorongan kasar dari sopir membuat pria itu terjatuh ke tanah. Bayinya kembali menangis, suara kecil itu terdengar memilukan di antara suara hujan dan lalu lintas. Namun, meski tubuhnya gemetar dan kedinginan, pria itu tidak menyerah. Ia bangkit lagi, meraih kaki sopir dengan putus asa.

"Kau boleh melakukan apa pun padaku... Tapi, tolong, selamatkan bayi ini..." suara pria itu bergetar, bercampur dengan isak tangis yang tertahan.

Di balik sorot lampu mobil yang masih menyala, seseorang di kursi belakang memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.

"Apa yang terjadi di luar? Kenapa dia lama sekali?"

Seorang sekretaris yang duduk di kursi depan menoleh dengan ragu. "Saya tidak tahu, Tuan. Tapi jika Anda mau, saya bisa memeriksanya."

Lelaki itu terdiam sejenak, lalu jemarinya mengetuk perlahan pegangan kursi. "Tidak perlu. Biar aku lihat sendiri."

Sementara di luar mobil, hujan terus mengguyur deras. Pria itu masih berlutut di tengah jalan, memeluk bayi dalam dekapannya. Matanya yang penuh keputusasaan menatap ke atas, memohon belas kasihan.

"Tolong kami, Tuan... Hidup kami bergantung pada kebaikan hati Anda..."

Sopir itu menghela napas kasar, wajahnya penuh kejengkelan.

"Haaah... Diamlah! Aku tidak punya waktu untuk mengurus orang sepertimu! Pergi dari hadapanku!"

Dorongan keras kembali membuat pria itu jatuh terduduk di aspal yang basah. Namun, sebelum ia bisa bangkit, sebuah suara berat memecah ketegangan.

"Ada apa ini? Kenapa kau lama sekali?"

Suara itu berasal dari seorang pria yang baru saja keluar dari dalam mobil. Langkahnya mantap, tatapannya dingin, menatap kejadian di hadapannya dengan penuh evaluasi.

Sopir itu segera menundukkan kepala dengan canggung. "Maafkan saya, Tuan. Tapi pria ini terus memohon agar saya menyelamatkan putrinya..."

Pria yang berlutut itu langsung mengangkat wajahnya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Tolong selamatkan putri saya... Saya bersumpah akan melakukan apa pun sebagai gantinya..."

Sekali lagi, sang sopir memutar bola matanya dengan kesal. "Benar-benar tidak tahu malu! Berani sekali kau menghalangi jalan Tuanku!"

Ia baru akan menyingkirkan pria itu dengan kasar, namun sebelum sempat melangkah, sebuah gerakan tangan menghentikannya.

Do Hyun mengangkat satu tangan, memberi tanda agar sopirnya tidak bertindak lebih jauh. Tatapan tajamnya tertuju pada pria yang berlutut di hadapannya, seakan menimbang sesuatu dalam pikirannya.

"Jika aku membantumu, apa yang bisa kau berikan padaku?" tanyanya dengan nada tenang, tetapi ada ketajaman di balik suaranya.

Pria itu mengangkat wajahnya, tatapannya penuh keputusasaan. Air hujan terus mengguyur, membasahi rambutnya yang sudah lepek.

"Aku tidak tahu, Tuan… Tapi aku siap melakukan apa pun asalkan putriku tetap bersamaku…" suaranya hampir bergetar, tetapi ada keteguhan di dalamnya.

Do Hyun mengalihkan pandangannya ke bayi kecil dalam dekapan pria itu. Tangisan lirih bayi itu bercampur dengan suara hujan dan gemuruh petir di kejauhan. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, sekelompok pria berbaju gelap datang mendekat.

Lampu merah yang tadi menahan mereka kini berubah hijau, memberi mereka kesempatan untuk bergerak.

Salah satu pria maju, ekspresinya tak ramah.

"Maaf, Tuan. Anda tidak ada urusan dengan hal ini. Kami harus membawa pria ini sekarang."

Do Hyun menoleh ke pria itu dengan tatapan dingin. "Urusan apa?"

Pria itu, pemimpin dari kelompok tersebut, menegakkan bahunya. "Nama pria ini Kim Woon. Dia berhutang delapan ratus juta pada bos kami."

Mata Do Hyun sedikit menyipit. "Delapan ratus juta?"

Tatapannya kembali turun pada pria yang masih tersungkur di kakinya.

Kim Woon menggeleng cepat, suaranya terdengar putus asa. "Tidak, Tuan! Saya hanya meminjam dua ratus juta untuk membeli rumah kecil di desa. Tapi mereka mencurangi saya! Mereka memaksa saya menandatangani perjanjian yang tidak saya pahami!"

Pemimpin kelompok itu mendengus. "Apa pun itu, kau sudah menandatanganinya. Dan itu sah secara hukum. Hutang adalah hutang."

Ia lalu menambahkan dengan nada yang terdengar kejam, "Sesuai perjanjian, jika kau tidak mampu membayarnya, maka putrimu akan dijadikan jaminan sampai semuanya lunas."

"TIDAK!!!" Kim Woon berteriak histeris, memeluk putrinya lebih erat seolah takut seseorang akan merebutnya saat itu juga. "Aku tidak akan pernah menyerahkannya! Kau tidak pernah menjelaskan ini di awal perjanjian! Jika aku tahu dari awal, aku tidak akan pernah mengambil pinjaman itu!"

Pria itu mendengus kasar, tampak muak dengan keluhan Kim Woon. "Aku tidak punya banyak waktu untuk mendengarkan ocehanmu. Cepat seret dia ke mobil!"

Beberapa pria di belakangnya mulai maju. Namun sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh.

"Tunggu."

Suara Do Hyun yang tenang tetapi penuh otoritas menghentikan langkah mereka seketika.

Do Hyun menatap pria di hadapannya dengan tatapan dingin sebelum mengalihkan pandangannya ke kelompok yang baru datang.

"Kalian tidak bisa membawanya sebelum dia menjawab tawaranku."

Ucapannya membuat semua orang di sana terdiam sejenak. Bahkan Lee Choi, pemimpin kelompok itu, tampak ragu.

"Tuan?" gumamnya bingung.

Do Hyun melangkah mendekati Kim Woon yang masih berlutut.

"Dengarkan aku baik-baik, karena aku tidak akan mengulanginya atau bermurah hati menjelaskannya kembali." Suaranya tegas, tanpa nada keraguan.

Hujan terus mengguyur, membasahi wajah Kim Woon yang kini menatap Do Hyun dengan penuh harap dan ketakutan.

"Kau memiliki masalah dengan hutang. Uang bukanlah masalah bagiku."

Do Hyun menatap Kim Woon sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan, "Aku bisa membayar semuanya saat ini juga dan menjamin kehidupan kalian berdua. Tapi..."

Kim Woon segera mengangguk cepat, hampir terisak. "Saya siap melakukan apa pun untuk Anda, Tuan. Sekalipun harus mengorbankan nyawa saya sendiri, asalkan Anda bisa membantu saya..."

Do Hyun tersenyum tipis, ekspresi yang tak terbaca. "Daripada membantu, saya lebih suka memelihara."

Kim Woon menatapnya bingung. Ada sesuatu yang menggetarkan hatinya mendengar pilihan kata itu.

"Aku tidak membutuhkan nyawa orang miskin," lanjut Do Hyun santai. "Tidak ada nilainya. Tapi kesetiaan? Itu hal lain."

Tatapan pria itu seketika berubah tajam. "Jika kau bersedia menjadi anjing untukku dan setia pada keluargaku, maka aku akan menjamin kehidupanmu dan putrimu."

Hening sejenak.

Lee Choi sebagai ketua penangkapan itu begitu terkejut mendengar apa yang do hyun katakan. "Apa?" tanyanya hampir tak percaya.

Kim Woon menunduk, kedua tangannya mengepal. Ia tahu tak ada pilihan lain.

"Baiklah, aku setuju." Suaranya bergetar, tetapi ada keteguhan di dalamnya. "Asalkan putriku tidak dipisahkan dariku, aku tidak masalah menjadi apa pun dan berjanji akan selalu setia pada Anda, Tuan."

Do Hyun mengangkat dagunya, menatapnya dengan ekspresi puas. "Aku senang dengan ketegasanmu."

Ia lalu melirik sopirnya. "Bawa mereka ke mobil. Dan panggil sekretarisku."

"Baik, Tuan."

Sopir itu segera membantu Kim Woon berdiri, sementara seorang pria lain meraih bayi kecil itu dengan hati-hati. Dalam beberapa menit, mereka sudah dimasukkan ke dalam mobil.

Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi menghampiri Do Hyun.

"Tuan, Anda memanggil saya?" tanyanya sopan.

Do Hyun mengangguk. "Segera lunasi hutang pria itu pada mereka."

"Baik, Tuan. Silakan ikut saya." Sekretaris itu menoleh pada Lee Choi dan kelompoknya.

Lee Choi menatap Do Hyun, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang terasa salah, tetapi ia tak bisa mengabaikan perasaan itu.

"Siapa dia...?" gumamnya pelan, menatap punggung Do Hyun yang berjalan pergi. "Kenapa aku merasa dia sangat berbahaya?"

Pengenalan karakter :

![](contribute/fiction/9849361/markdown/45214715/1740401042381.jpeg)

Do Hyun bukan sekedar seorang investor. Ia adalah penguasa di balik layar, pemegang saham terbesar di berbagai perusahaan ternama di Korea Selatan. Kekayaannya yang melimpah hanya sebagian kecil dari pengaruhnya yang sebenarnya.

Di dunia bisnis dan politik, Do Hyun dikenal sebagai sosok yang tak tersentuh—pria yang menyimpan rahasia bisnis gelap kalangan atas dan memiliki kendali atas siapa yang boleh naik ke tampuk kekuasaan. Dengan satu perintahnya, seseorang bisa melesat ke kursi pemerintahan atau jatuh ke dalam kehancuran. Kekayaannya adalah alat, tetapi kekuasaannya adalah senjata yang membuatnya tak tergoyahkan.

BAB 2

Waktu berlalu dengan cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, Kim Woon telah menjelma menjadi sosok yang tak tergantikan di sisi Do Hyun. Ia bukan sekadar tangan kanan, melainkan bayangan gelap yang bergerak di balik layar—mengurus berbagai bisnis ilegal yang dijalankan oleh pria itu. Lebih dari itu, ia menjadi tameng pelindung bagi keluarga Do Hyun, memastikan tak ada satu pun ancaman yang mampu menyentuh mereka.

Meskipun tidak memegang jabatan resmi dalam perusahaan Do Hyun, keberadaan Kim Woon sudah cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi. Tatapan tajamnya, sikapnya yang dingin, serta reputasi yang mengikutinya ke mana pun ia pergi membuat namanya dikenal bukan karena posisi, melainkan karena kekuasaan yang ia miliki dalam senyap.

Pagi itu, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela kaca besar di belakang meja kerja Do Hyun, menyinari ruangan luas dengan interior mewah dan elegan. Aroma kopi hangat samar tercium, menyatu dengan udara pagi yang masih sejuk.

Di balik meja kerjanya yang besar, Do Hyun duduk dengan tenang, matanya terfokus pada pria yang berdiri di depannya.

"Jadi, kau berhasil membuat mereka setuju?" Suara Do Hyun terdengar datar, nyaris tanpa emosi.

Kim Woon mengangguk. "Ya, Tuan. Mereka sepakat menjual empat puluh persen saham perusahaan itu kepada Anda."

Senyuman tipis tersungging di sudut bibir Do Hyun. "Bagus. Berarti tinggal tiga puluh persen lagi, dan kita bisa menguasai perusahaan itu sepenuhnya."

Sejenak, ruangan kembali hening. Kim Woon tampak ragu sebelum akhirnya berbicara. "Tuan, jika Anda mengizinkan… bisakah saya libur besok?"

Do Hyun mengangkat alis. "Putrimu sakit?"

"Tidak, Tuan. Hanya saja usianya sudah cukup untuk mulai bersekolah, jadi saya berpikir untuk mendaftarkannya besok."

Mata Do Hyun sedikit menyipit, tetapi ekspresi wajahnya sulit terbaca. "Itu ide yang bagus," ujarnya pelan, sebelum menambahkan, "Seandainya saja kau tidak melakukan semua pekerjaan ini, Kim..."

Dahi Kim Woon berkerut. "Apa maksud Anda, Tuan? Saya tidak mengerti."

Do Hyun menyesap kopinya dengan tenang sebelum melanjutkan, "Pendidikan memang baik untuk anak-anak. Tapi pekerjaanmu sekarang telah memberimu begitu banyak musuh yang tak terlihat. Mereka tidak mencelakaimu karena kau ada di sisiku."

Tatapan Do Hyun yang semula tenang kini tampak lebih dalam, seolah menelisik hingga ke dasar jiwa lawan bicaranya. "Jika dia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan mulai memahami semua yang kau lakukan… apakah kau siap menjawab semua pertanyaannya, Kim? Tentang pekerjaanmu saat ini?"

Malam telah tiba, membawa keheningan yang membalut rumah mewah milik Do Hyun. Cahaya lampu dari jendela-jendela besar memantulkan kilauan lembut ke halaman yang tertata sempurna, memberikan kesan hangat meskipun udara terasa dingin. Di sisi rumah utama, tersembunyi di balik pepohonan rindang, berdiri sebuah paviliun kecil nan elegan—tempat yang telah disediakan khusus untuk Kim Woon dan putrinya, Yeon Ji.

Di balik jendela yang mulai berembun, seorang anak kecil menempelkan dahinya pada kaca dingin itu. Matanya yang besar dan penuh harap menatap pekarangan yang semakin gelap.

"Kenapa Ayah belum pulang? Aku sangat lapar…" gumamnya pelan, lalu menoleh ke boneka beruang kesayangannya yang ia dekap erat. "Teddy, apa kau juga lapar?"

Sementara itu, di perjalanan pulang, Kim Woon berjalan dengan langkah berat. Perkataan atasannya tadi masih bergema di kepalanya, menolak untuk hilang, memenuhi pikirannya dengan keraguan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Bagaimana jika yang Tuan katakan benar? Aku tidak ingin kehilangan kepercayaan putriku…"

Ketika rumah kecil itu akhirnya terlihat di kejauhan, ia bisa melihat sosok mungil Yeon Ji di balik jendela. Gadis kecil itu tampak bersemangat, wajahnya bersinar penuh kegembiraan saat melihatnya mendekat.

"Lihat, Teddy! Itu Ayah!" serunya riang, tetapi senyumnya perlahan memudar. "Tapi… kenapa wajah Ayah terlihat sedih?"

Kim Woon menarik napas panjang. Keraguan kembali menyergapnya.

"Tapi jika dia tidak bersekolah atau memahami apa pun, bagaimana putriku akan hidup?"

Matanya menatap ke arah rumahnya yang kecil namun nyaman. Di tempat itulah ia telah membesarkan Yeon Ji seorang diri.

"Sejak lahir, ibunya meninggalkannya demi pria lain. Hanya aku yang ada untuknya."

Langkahnya semakin melambat.

"Dan jika suatu hari terjadi sesuatu padaku… bagaimana dia akan bertahan?"

BAB 3

Saat pintu kayu itu berderit pelan, Kim Woon nyaris belum sempat melangkah masuk ketika sebuah suara kecil menyambutnya.

Yeon Ji sudah berdiri di sana, menatapnya dengan mata lebar yang dipenuhi rasa ingin tahu.

"Ayah, apa kau bersedih karena terjatuh lagi?"

Kim Woon mengerutkan kening. "Ayah tidak mengerti, apa maksud Yeon Ji?"

Yeon Ji menunjuk luka samar di wajahnya, ekspresinya penuh kekhawatiran. "Itu, Ayah terjatuh lagi, kan?"

Kim Woon terdiam sejenak. Bagaimana aku bisa lupa mengenai hal ini… Luka itu bukan karena jatuh, tentu saja. Tapi ia tak mungkin menjelaskan kebenarannya pada gadis sekecil ini.

Yeon Ji menatapnya lekat-lekat, lalu bertanya lagi dengan suara lembut, "Apa lukanya begitu sakit hingga membuat Ayah bersedih?"

Kim Woon tersenyum tipis, menatap putrinya yang masih berdiri di hadapannya dengan wajah polos. Dengan satu gerakan ringan, ia mengusap kepala gadis kecil itu.

"Lupakan soal itu. Sekarang, katakan, Yeon Ji ingin makan malam apa dengan Ayah?"

Yeon Ji tampak berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. "Aku tidak tahu namanya, tapi aku sangat menyukai makanan pedas berwarna merah yang beberapa hari lalu Ayah bawa..."

Kim Woon terkekeh kecil. "Kau mau tteokbokki?"

Mata Yeon Ji berbinar lebih lebar. "Pokki? Jadi itu namanya? Iya, aku mau itu!"

Kim Woon mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Selagi Ayah memesan, kau mandi dulu, ya? Setelah itu, Ayah akan membantu menata rambutmu."

"Baik, Ayah!"

Dengan semangat, Yeon Ji langsung berlari kecil menuju kamar mandi.

Seperti biasa, Kim Woon selalu meminta putrinya menunggu sampai ia tiba sebelum mandi. Bukan karena Yeon Ji belum cukup mandiri, tetapi karena kekhawatiran seorang ayah yang tak pernah surut.

Ia tahu betul, satu kesalahan kecil—terpeleset di kamar mandi, salah mengatur pemanas air—bisa berakibat fatal. Dan jika sesuatu terjadi pada Yeon Ji ketika ia tidak ada di sana untuk menjaganya, ia tahu, ia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.

Setelah Yeon Ji selesai mandi, Kim Woon membawanya ke kamar dan duduk di atas ranjang dengan handuk di tangannya. Gadis kecil itu duduk diam di depannya, membiarkan ayahnya mengeringkan rambutnya dengan lembut. Setiap helai rambut hitamnya terurai, mengeluarkan aroma sabun yang menenangkan.

Saat jemari Kim Woon perlahan menyisir rambut putrinya dengan handuk, sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur dari bibir kecil itu.

"Ayah, sekolah itu seperti apa?"

Kim Woon menghentikan gerakannya sejenak. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya, Nak?"

"Ayah bilang kemarin akan mengirimku ke sekolah. Karena itu, aku ingin tahu apa itu sekolah."

Yeon Ji menatapnya penuh rasa ingin tahu, lalu melanjutkan, "Apakah di sana ada anak-anak sebesar diriku? Apakah sekolah itu seperti halaman Tuan? Atau lebih besar dari rumah Tuan?"

Kim Woon tersenyum tipis. "Yang pasti, sekolah akan mengajarkanmu banyak hal—mulai dari menulis, berhitung, hingga membaca."

Mata Yeon Ji berbinar. "Benarkah, Ayah? Jadi aku akan bisa menulis dan membaca seperti Ayah?"

"Itu benar, Nak. Kau juga akan mendapatkan banyak teman dan tak lagi merasa kesepian."

Yeon Ji mengerutkan kening. "Teman? Apa itu, Ayah? Apakah itu sejenis makanan?"

Kim Woon tertawa kecil. "Bukan, Nak. Teman adalah seseorang yang bisa kau ajak bermain dan menghabiskan waktu bersama selama Ayah bekerja."

Yeon Ji menepuk kedua tangannya dengan penuh semangat. "Wah! Itu hebat sekali! Pasti menyenangkan! Aku mau sekolah, Ayah! Aku mau… Aku mauuuu!"

Gadis kecil itu terkekeh sendiri, lalu menambahkan, "Saat aku sekolah nanti, aku akan minta diajarkan tanda tangan biar bisa jadi seperti Ayah!"

Kim Woon tersenyum samar, mengusap rambut putrinya dengan lebih lembut.

"Aku juga akan meminta diajarkan cara menjadi cepat besar," lanjut Yeon Ji penuh antusias. "Agar bisa menyalakan air panas sendiri, jadi Ayah tidak perlu lagi khawatir saat aku mandi, dan—"

Suara gadis itu terdengar begitu polos dan penuh semangat, namun di sisi lain, batin Kim Woon terasa sesak.

“Aku tidak tahu seberapa buruk yang bisa terjadi nanti. Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu tanpa bekal. Kau bisa membenci atau meninggalkanku setelah memahami segalanya.”

“Namun sebelum itu…”

“…kau harus menjadi seseorang. Kau harus memiliki pendidikan dan bekal yang cukup untuk hidup nanti. Ayah tidak keberatan, bahkan jika kau memilih pergi, namun Ayah tidak akan pernah membiarkanmu hancur hanya karena rasa takut kehilanganmu.”

Tiba-tiba, suara bel rumah memecah keheningan.

Kim Woon tersentak dari lamunannya, sementara Yeon Ji langsung menoleh dengan mata berbinar. "Ayah, apa makanannya sudah sampai?"

Kim Woon mengusap kepala putrinya sekali lagi sebelum bangkit berdiri. "Biar Ayah periksa. Kau bantu Ayah ambil piring saja di dapur, ya?"

"Baik, Ayah!" seru Yeon Ji penuh semangat sebelum melompat turun dari ranjang dan berlari ke dapur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!