Haifa berjalan sendirian di tengah kota yang asing, rasa penasaran membawanya keluar tanpa rencana. Tapi kini, dia hanya merasa panik dan menyesal.
"Kenapa aku nekat jalan sendirian? Kalau tahu begini jadinya, aku lebih baik di rumah saja," gumamnya dengan cemas, matanya mencari arah yang benar di tengah hiruk-pikuk jalanan.
Saat hendak menyeberang, suara klakson motor yang melengking memecah konsentrasinya.
TIIIITTT!!!.....
Dari kejauhan, sebuah motor sport hitam melaju dengan kecepatan tinggi.
“Heeeeyyy! Cegil, awas!!!” teriak seorang lelaki dari kejauhan.
Haifa mematung. Brakkkk! Motor itu tiba-tiba oleng, pengendaranya membanting setir ke arah pohon besar untuk menghindari Haifa.
“Astaghfirullah, ya Allah!” Haifa tersentak, tubuhnya gemetar. Butuh beberapa detik sebelum dia sadar sepenuhnya.
“Ya Allah... tidak mungkin!” Haifa berlari menuju lelaki yang tergeletak di dekat pohon, darah mengalir dari kepalanya.
“Apa kau tidak apa-apa?! Ouhh... tidak, kau pendarahan!” ucap Haifa panik sambil mengguncang bahu lelaki itu. Nafasnya memburu.
Tanpa berpikir panjang, dia segera meminta bantuan orang-orang di sekitar dan membawa lelaki itu ke rumah sakit.
Sesampainya di ruang gawat darurat,
Haifa berteriak:
“Suster! Cepat, tolong pria ini, dia pendarahan!” Suaranya pecah, matanya memerah menahan tangis.
Tim medis segera membawa lelaki itu ke ruang UGD. Haifa berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Jubah hitamnya kini kotor dengan bercak darah.
Dia mondar-mandir, menggigit bibirnya cemas. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tidak tahu siapa dia..." ucapnya dalam hati.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Ya Allah... aku harus bagaimana? Ini salahku... andai aku lebih hati-hati..." Haifa menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Lalu terlintas sebuah ide. Dia meraih ponselnya dengan tangan gemetar. “Aku harus menghubungi Abiy.”
Telepon pun tersambung. “Assalamu'alaikum, Abiy...” Suaranya serak, hampir menangis.
“Wa’alaikumussalam. Ada apa, Ifa? Suaramu kenapa?” tanya suara Abiy di ujung telepon, terdengar khawatir.
“Abiy... Ifa kesasar pas jalan-jalan. Ifa hampir ketabrak motor, tapi orang yang menghindari Ifa malah nabrak pohon besar.
Sekarang Ifa di rumah sakit, dia... dia terluka parah, Abiy...” Haifa terisak, suaranya bergetar.
“Astaghfirullah... Ifa nggak apa-apa?” suara Abiy meninggi.
“Alhamdulillah, Ifa nggak papa, tapi... orang itu, dia berdarah banyak sekali, Abiy!” Haifa hampir menangis keras.
“Tenang, Ifa. Share lokasi sekarang. Abiy akan segera ke sana!” kata Abiy dengan tegas, mencoba menenangkan anaknya sebelum menutup telepon.
Haifa menatap pintu UGD dengan mata yang basah. Perasaan bersalah membebaninya. Dia teringat ekspresi lelaki itu sebelum semuanya terjadi tatapan tajam yang penuh kekhawatiran meski tubuhnya menuju bahaya.
“Ya Allah... tolong selamatkan dia. Dia terluka karena aku...” lirih Haifa, menggenggam erat tangannya sendiri. Air mata yang mengalir di pipinya tak lagi bisa ia tahan.
Abiy Hamzah datang berlari menyusuri lorong rumah sakit, matanya langsung tertuju pada sosok anak semata Wayang nya yang duduk dengan wajah kusut penuh kecemasan.
“Haifa!” serunya, langsung memeluk gadis itu erat.
“Abiy...” suara Haifa pecah, tangisnya tak terbendung lagi. “Haifa takut...” Dia menggenggam baju ayahnya, berusaha mencari rasa aman.
“Tenang, Nak. Semua akan baik-baik saja,” kata Hamzah lembut, membelai kepala Haifa untuk menenangkannya.
Beberapa menit berlalu, seorang dokter keluar dari ruang UGD. Wajahnya tenang, memberikan harapan.
“Dok, bagaimana keadaan lelaki itu?” tanya Hamzah cepat, sorot matanya penuh kecemasan.
“Alhamdulillah, lukanya tidak terlalu serius. Ada beberapa memar di kepala, tapi tidak ada cedera internal yang parah. Hanya saja, dia membutuhkan waktu beberapa hari untuk pemulihan total,” jawab dokter sambil tersenyum.
Hamzah menghela napas lega. “Alhamdulillah. Terima kasih, Dok.”
Setelah itu, pasien dipindahkan ke ruang inap. Haifa duduk di sofa yang agak jauh dari tempat tidur, matanya terus menatap pemuda yang masih terbaring lemah. Rasa bersalah masih menyelimuti hatinya.
“Abiy... kenapa dia nggak bangun-bangun dari tadi?” tanya Haifa cemas, tatapannya tidak lepas dari wajah lelaki itu.
“Kata dokter itu efek obat, Ifa. Supaya dia tidak merasa sakit, terutama di bagian kepalanya,” jawab Hamzah, berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Oh...” Haifa mengangguk kecil, tapi kegelisahannya belum mereda.
Hampir dua jam berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Haifa melihat pemuda itu bergerak pelan. Matanya perlahan terbuka, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan bingung.
“Abiy, dia sudah siuman!” seru Haifa, langsung bangkit dari sofa dan mendekat ke tempat tidur.
Lelaki itu mencoba menggerakkan tubuhnya, lalu mengisyaratkan sesuatu. “H... HP-ku...” suaranya lemah, tapi jelas menunjuk jaketnya yang tergantung di dekat tempat tidur.
Tanpa berpikir panjang, Haifa langsung mengambil ponsel itu dari kantong jaketnya dan menyerahkannya.
Lelaki itu menggenggam ponsel dengan lemah, ekspresi wajahnya sedikit lebih tenang. Namun, Haifa tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Kau... kau baik-baik saja? Maaf... ini salahku...” ucapnya pelan, rasa bersalah memenuhi nada suaranya.
Lelaki itu menatap Haifa sejenak, lalu mengangguk tipis. “Aku baik-baik saja...” jawabnya singkat, sebelum kembali menatap layar ponselnya, mengetik sesuatu dengan lambat.
Haifa berdiri canggung di sisinya, ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Dalam hati, dia berdoa agar pemuda itu benar-benar pulih dan tidak menyimpan dendam atas apa yang terjadi.
Setelah beberapa menit hening, Hamzah akhirnya membuka percakapan dengan suara pelan namun penuh perhatian, "Nak, maafkan anak Om ya. Gimana keadaan kamu sekarang? Udah mendingan, kan?" Wajahnya terlihat jelas mengkhawatirkan.
Pemuda yang terbaring di hadapannya tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan rasa sakit.
"Om nggak usah khawatir. Aku udah nggak papa kok, Om. Cuma butuh istirahat sedikit lagi." Suaranya terdengar lemah, tapi ia berusaha menunjukkan ketegaran.
Hamzah mengangguk perlahan, tatapannya penuh dengan rasa bersalah. "Om tahu kamu kuat, tapi Om tetap nggak bisa tenang kalau ninggalin kamu sendirian di sini," ucapnya tulus.
Nathaniel, pemuda itu, menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Om, beneran nggak apa-apa. Kalau Om mau pulang, nggak papa kok. Temen-temen aku juga bakal nemenin di sini nanti," katanya mencoba meyakinkan.
Hamzah terdiam sejenak, matanya menatap Nathan dengan kagum dan penuh haru. "Makasih ya, Nak. Kamu anak yang luar biasa. Ngomong-ngomong, siapa namamu, Nak? Om belum sempat nanya."
Pemuda itu tersenyum kecil, meski tampak kelelahan. "Nathaniel El-Ghara, Om. Panggil aja Nathan."
Hamzah tersenyum hangat, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hmm... nama yang bagus. Cocok sama orangnya, ganteng dan tangguh," ucap Hamzah sambil mengangguk-angguk. Namun, pikirannya seolah tertahan pada sesuatu. "Tapi... nama itu familiar sekali. Seperti pernah Om dengar di suatu tempat..."
Sebelum Hamzah sempat menyambungkan pikirannya, Haifa yang berdiri di sampingnya menepuk pelan lengannya.
"Abiy, udahlah. Banyak kok orang yang namanya mirip. Kita pulang aja, ya. Kasihan Nathan butuh istirahat," bisiknya lembut, berusaha mengalihkan perhatian Hamzah.
Hamzah akhirnya mengangguk pelan, meski matanya masih menyiratkan rasa penasaran yang belum terjawab.
"Istirahat yang cukup, ya, Nak. Kalau ada apa-apa, langsung kabari Om. Jangan sungkan, ya."
Nathan mengangguk perlahan, senyum tipisnya masih terlihat meski tubuhnya tampak lelah. "Terima kasih, Om. Hati-hati di jalan."
Hamzah berjalan keluar bersama Haifa, namun pikirannya terus dihantui oleh nama Nathaniel.
Nama yang terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap, menyimpan kisah yang tak pernah ia duga.
...----------------...
Setelah keluar dari rumah sakit, Haifa mengikuti langkah Abi menuju parkiran. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertuju pada seseorang yang terlihat berdiri di dekat mobil.
Sosok itu begitu familiar, dan Haifa hampir tak percaya dengan penglihatannya.
"Hmmm... apa itu Gus Zayn Ibrahim? Masya Allah, kalau benar, ternyata beliau jauh lebih tampan dibandingkan di foto-foto di media sosial," batinnya berbisik kagum, sembari tetap mencoba bersikap tenang.
Ia menatapnya beberapa detik sebelum suara Abiy membuyarkan lamunannya.
"Haifa? Ayo masuk mobil, Nak. Nanti kita jenguk Nathan lagi," panggil Hamzah seraya membuka pintu mobil.
Haifa mengangguk cepat, meskipun pikirannya masih tertinggal di tempat itu.
Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, memandang ke luar jendela sambil menghela napas.
"Abiy ngapain sih tiba-tiba ngajak Haifa ke Malang? Biasanya kalau urusan bisnis, Haifa nggak pernah diajak," protesnya, sedikit cemberut.
Hamzah tersenyum tipis, melirik putrinya dari sudut mata. "Kan Abiy mau ngajak Haifa jalan-jalan juga. Sekalian nanti kita mampir ke Pondok Pesantren Darul-Ihsan, tempat teman Abiy, Kiai Ibrahim."
Haifa mendadak membelalakkan mata, tubuhnya menegang. "Kiai Ibrahim?!" serunya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
Hamzah mengerutkan kening, bingung dengan reaksi putrinya. "Iya, kenapa? Kamu kenal?"
Haifa segera tersadar, berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum kecil. "Hehe... nggak apa-apa, Biy. Cuma kaget aja."
Hamzah mengangguk pelan, meski tatapannya menunjukkan sedikit rasa penasaran. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Haifa mengalihkan pembicaraan.
"Biy, itu resto kelihatannya enak banget! Yuk makan di situ aja. Tadi Haifa mau ke sana, tapi keburu ketabrak Nathan, hehe." Ucapannya diselingi tawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Hamzah tergelak, sambil menggelengkan kepala. "Untung aja Nathan nggak marah sama kamu. Kalau dia marah, Abi biarin aja, hahaha!" jawabnya sambil menjahili Haifa.
"Ih, Abi kok gitu sih! Dasar," Haifa mendengus, meskipun bibirnya melengkung dalam senyuman kecil.
Hamzah menghentikan mobil di depan restoran yang dimaksud. "Yaudah, ayo makan enak! Perut Abi udah keroncongan nih!" katanya bersemangat.
Haifa tersenyum lebar, mengikuti Abi masuk ke restoran. Momen-momen kecil seperti ini membuatnya sadar bahwa meskipun keluarganya sibuk, kasih sayang Abi selalu terasa nyata.
Keluarga Haifa memang termasuk terpandang di kalangan menengah ke atas. Hamzah Al-Asadi, ayahnya, adalah seorang pebisnis sukses sekaligus doktor di bidang agama.
Ibunya, Shofiah, adalah sosok independen yang mengelola jaringan perusahaan pakaian muslimah dengan brand Az-Zahra, yang kini memiliki banyak cabang.
Sementara itu, Haifa Az-Zahra Harasta, anak semata wayang mereka, adalah mahasiswa berprestasi yang sudah menghafal 30 juz Al-Qur’an sejak usia 12 tahun, saat masih menempuh pendidikan di pesantren.
Kini, di usia 19 tahun, Haifa tak hanya aktif di dunia akademik, tetapi juga membantu ibunya mempromosikan pakaian muslimah yang elegan dan syar’i.
Namun, di balik semua prestasi itu, Haifa tetap seorang gadis biasa yang terkadang merasa terbebani oleh harapan tinggi orang di sekitarnya.
Perjalanan ke Malang kali ini, meski awalnya terasa biasa saja, perlahan mulai menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menunggunya.
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyusup di antara dedaunan, menyambut kedatangan mereka di lingkungan pesantren Al-Ihsan.
Haifa duduk di dalam mobil, merapikan pakaian hitam elegannya dengan raut wajah yang mencoba menenangkan diri.
Matanya yang tajam berwarna kebiruan memantulkan sinar matahari pagi, membuatnya terlihat seperti lukisan hidup yang memukau.
Kulit putih bersihnya semakin bercahaya, membuat siapa saja yang melihat terpesona, meski ia sendiri tengah berusaha meredakan kegugupan yang mendesak dadanya.
“Haifa, ayo keluar. Lihat itu, santri-santri sudah ramai menunggu. Banyak yang cowok, lho,” goda Hamzah, ayahnya, sambil tersenyum penuh arti.
“Abi, ih! Jangan kayak gitu, dong,” sahut Haifa, suaranya setengah protes, setengah malu.
Pipinya memerah ketika ia melirik sekilas keluar jendela. Puluhan, mungkin ratusan pasang mata sudah tertuju pada mobil mereka, menanti dengan penuh antusias.
Hamzah tertawa kecil, lalu membuka pintu mobil. Dengan menarik napas panjang, Haifa akhirnya mengikuti, melangkah keluar dari Alphard putih itu dengan langkah perlahan.
Di sekelilingnya, suara gendang rebana menggema, diiringi Qasidah yang mengalun syahdu. Para santri berdiri rapi di kedua sisi jalan masuk, menyambut kedatangan mereka dengan senyuman hangat dan penuh hormat.
Haifa, yang berjalan di belakang ayahnya, menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan yang terasa terlalu banyak dan terlalu intens. “Ya Allah, kenapa harus semeriah ini sih… Malu banget,” gumamnya pelan, hanya untuk dirinya sendiri.
Namun, setiap langkah yang diambilnya membawa gemuruh tepuk tangan dan tatapan kagum yang semakin membuatnya merasa kecil.
Dalam hati, ia hanya bisa berdoa agar perjalanan ini segera berakhir. Tetapi ada sesuatu yang tak bisa ia pungkiri perasaan campur aduk antara bangga dan gugup, antara hormat dan rasa ingin bersembunyi dari dunia.
Sementara itu, Hamzah melangkah tegap di depannya, senyum bijaksana menghiasi wajahnya.
Kehadirannya di tempat itu membawa wibawa yang tak terbantahkan, membuat setiap orang membungkuk hormat.
Di belakangnya, Haifa berusaha mengikuti langkah itu, meski hatinya masih penuh kegelisahan.
Dan di tengah semua sorotan itu, Haifa tetap menunduk, menyembunyikan perasaan gugup di balik wajah yang dingin.
Hanya sinar matanya yang kebiruan yang sesekali berkilau, memberi tanda bahwa gadis itu tengah berjuang keras untuk terlihat tenang di tengah sorak-sorai sambutan yang begitu meriah.
Di ujung jalan yang dipadati santri, terlihat Kiyai Ibrahim berdiri dengan kharismanya yang tenang.
Di sampingnya, seorang lelaki muda berwajah teduh berdiri dengan senyuman tipis, mengenakan baju koko putih yang bersih. Itulah Gus Zayn Ibrahim, anak sulung Kiyai Ibrahim yang dikenal banyak orang sebagai sosok berwibawa sekaligus rendah hati.
Pandangan Haifa tak sengaja terhenti pada Gus Zayn.
Matanya yang kebiruan melebar, dan detak jantungnya seolah melompat. “Ya Allah, itu beneran Gus Zayn? Kok tiba-tiba aku ngerasa salah kostum gini… Mau taruh di mana mukaku?” gumamnya dalam hati, berusaha menguasai kegugupan yang tiba-tiba melanda.
Sementara itu, Abiy Hamzah melangkah maju dengan santai dan menjabat tangan Kiyai Ibrahim dengan erat.
Setelah berbasa-basi, Kiyai Ibrahim mempersilakan mereka masuk ke kediamannya.
Haifa mengikuti dari belakang, langkahnya terasa berat di tengah rasa malu yang masih menyelimuti.
Di ruang tamu, percakapan berlangsung hangat.
Suasana penuh keakraban membuat Haifa merasa sedikit lega, meski pandangannya tetap mencuri-curi ke arah Gus Zayn yang duduk di sudut ruangan.
“Jadi ini Haifa? Wah, sudah besar juga, ya. Terakhir kali lihat, kamu masih kecil banget,” ujar Kiyai Ibrahim, menatap Haifa dengan senyum penuh kebapakan.
Haifa tersentak kecil, wajahnya memerah. “Hehe, iya, Kiyai,” jawabnya gugup, sambil memainkan ujung kerudungnya.
Tiba-tiba, suara tawa kecil terdengar. Gus Zayn menahan senyum sambil menatap Haifa dengan pandangan yang sulit diartikan.
Haifa semakin salah tingkah, dan rasanya ingin menghilang dari ruangan itu.
“Eh, jangan panggil Kiyai dong. Panggil saja Abi, seperti Zayn memanggil Abi mu,” ucap Kiyai Ibrahim santai, membuat Haifa semakin tercengang.
Ia melirik ayahnya, penuh tanda tanya. “Abi? Apa maksudnya ini?” pikir Haifa, bingung dengan hubungan yang tiba-tiba terasa lebih dekat dari yang ia bayangkan.
“Hmm, pasti bingung, ya,” ujar Abi Hamzah, seolah bisa membaca pikiran Haifa.
“Sebenarnya, Zayn ini sudah sering ke Kalimantan, ke rumah kita. Tapi karena kamu lama mondok, kamu nggak tahu kalau dia biasa datang,” tambah Hamzah sambil tertawa kecil.
Haifa hanya tersenyum kaku, menyembunyikan semua pikiran yang berseliweran di kepalanya.
Matanya sekali lagi melirik ke arah Gus Zayn, yang tampaknya masih menyembunyikan senyum kecilnya.
Sesuatu di dalam dada Haifa terasa bergetar seperti firasat bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa.
“Haifa, mau lihat-lihat pondok putrinya?” tanya Kiyai Ibrahim dengan nada lembut, memecah suasana.
Haifa yang masih berusaha menenangkan diri hanya tersenyum kaku. “Hehe, boleh, Kiyai... eh maksudnya, Abi Ibrahim,” ucapnya dengan nada sedikit gugup, membetulkan ucapannya dengan cepat.
Hamzah yang duduk di sampingnya ikut tersenyum lebar. “Iya, sekalian ngawasin mereka, kalau ada yang macam-macam,” candanya sambil melirik ke arah Haifa.
“Haifa ini dulu terkenal galak di pondok lamanya. Saking garangnya, dia sampai ditunjuk jadi bagian keamanan pondok. Hahaha!”
Haifa hanya bisa menunduk, malu dengan cerita ayahnya. Ia tidak berani menatap siapa pun, terutama Gus Zayn yang sepertinya menahan tawa di sudut ruangan.
Kiyai Ibrahim tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, Zayn, ajak Haifa lihat-lihat pondok putri. Sekalian antar kitab Adab Suluk Al-Murid ke Umi kamu, ya.”
“Hah?” seru Haifa dan Gus Zayn hampir bersamaan, saling melirik dengan ekspresi terkejut.
“Maksudnya Zayn nganterin Haifa ke sana?” tanya Gus Zayn, seolah tak percaya dengan instruksi tersebut.
“Iya, kalian itu saudara juga, kan? Jadi nggak usah ribet,” ucap Hamzah santai.
Haifa semakin salah tingkah. “Saudara?” pikirnya dalam hati, bingung dengan hubungan yang mendadak terasa begitu dekat.
Belum sempat keduanya melontarkan protes, Kiyai Ibrahim melambaikan tangan santai. “Sudah, sana berangkat. Nanti kalau kelamaan, makin panas loh harinya,” ujarnya dengan nada menggoda.
Dengan sedikit enggan, Haifa dan Gus Zayn akhirnya keluar dari rumah. Namun, di luar, sambutan yang mereka dapatkan jauh dari tenang.
Puluhan, bahkan ratusan santri yang tengah beraktivitas di halaman pondok segera menghentikan apa pun yang mereka lakukan, menatap keduanya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Siapa cewek itu? Jangan-jangan dia tunangan Gus Zayn?” bisik seorang santri kepada temannya.
“Oh, aku tahu dia! Bukannya dia brand ambassador pakaian muslimah Az-Zahra?” tambah yang lain dengan nada tak kalah heboh.
Haifa yang memiliki pendengaran tajam langsung mendengar setiap bisikan itu. Wajahnya memerah, dan ia semakin menunduk, merasa sangat tidak nyaman.
Di depan, Gus Zayn berjalan dengan langkah cepat, berusaha tak memedulikan tatapan santri yang tertuju pada mereka. Meski begitu, Haifa tahu, lelaki itu pun merasakan hal yang sama.
“Kenapa jadi begini sih?” gumam Haifa dalam hati, masih menunduk mengikuti Gus Zayn dengan langkah hati-hati.
Hati mereka sama-sama diliputi rasa malu dan tak nyaman, sementara ratusan pasang mata terus mengawasi, seolah mencari jawaban dari keberadaan mereka bersama.
Setelah sampai di depan parkiran pondok, Haifa berdiri mematung, tubuhnya terasa kaku seperti tiang. Matanya menerawang kosong, pikirannya melayang entah ke mana.
“Ayo, silakan masuk,” suara Gus Zayn membuyarkan lamunannya. Nada suaranya datar namun tegas, membuat Haifa tersadar dari kebingungannya.
“Oh, iya, Gus. Maaf,” jawab Haifa terbata-bata. Ia segera melangkah masuk dan duduk di kursi tengah penumpang.
Gus Zayn hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam mobil dan menghidupkan mesin. Suasana di dalam mobil hening, hanya terdengar suara mesin dan sedikit deru angin dari luar.
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mereka berdua. Haifa menunduk, memainkan ujung kerudungnya, sementara Gus Zayn fokus pada kemudi, meski sesekali melirik Haifa dari sudut matanya.
Ketika akhirnya sampai di pondok pesantren putri, dari kejauhan terlihat Ummi Zainab berdiri di depan gerbang, tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka.
Haifa turun lebih dulu. “Assalamu’alaikum, Ummi,” sapanya dengan lembut sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman.
“Wa’alaikumsalam, Nak. Hmm, Haifa, sudah besar saja, ya. Dan makin cantik, nih,” ujar Ummi Zainab dengan nada penuh sayang, lalu mencium kedua pipi Haifa.
“Hehehe, Ummi bisa saja,” balas Haifa, tersenyum malu-malu.
Gus Zayn yang baru turun dari sisi lain mobil ikut menyapa. “Assalamu’alaikum, Ummi.”
“Wa’alaikumsalam. Hmmm, mukanya dingin banget, Zayn. Ganteng-ganteng tapi serem, ya, mukanya?” canda Ummi Zainab sambil melirik ke arah Haifa. “Kan, Haifa?” tambahnya dengan nada menggoda.
“Hehehe, iya, Mi,” jawab Haifa dengan canggung, tidak tahu harus merespons seperti apa. Wajahnya sedikit memerah, merasa salah tingkah.
Ummi Zainab tertawa kecil, lalu melambaikan tangan ke arah mereka. “Zayn, Haifa, ayo kita masuk. Dari tadi banyak santri yang memperhatikan, penasaran mereka sama kamu, Ifa. Hahaha!” ucapnya penuh canda.
Haifa hanya bisa menunduk sambil tersenyum kecil, berusaha tetap tenang meskipun langkahnya terasa berat.
Sementara Gus Zayn berjalan di sampingnya dengan ekspresi datar seperti biasa, meski ada sedikit gerakan canggung di pundaknya. Perhatian para santri terasa seperti beban tak kasat mata yang terus mengikuti langkah mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!