Hujan deras mengguyur kota tanpa ampun, menciptakan genangan air di sepanjang trotoar yang sepi. Langit kelabu menambah kesan muram pada sore itu.
Di bawah payung kecil yang hampir tak mampu menahan curahan air, Kinanti berjalan perlahan. Langkahnya berat, seolah beban di hatinya mempengaruhi setiap gerakan. Matanya sembab, sisa-sisa air mata yang bercampur dengan air hujan membasahi pipinya.
Setiap langkah yang diambil terasa penuh kekecewaan. Hari ini, untuk kesekian kalinya, lamaran pekerjaannya ditolak. Harapan yang sempat menguat kembali pupus, meninggalkan rasa pahit di hatinya.
Dengan kepala tertunduk, ia terus melangkah, memikirkan bagaimana ia akan menjelaskan ini kepada ibunya yang sudah menunggu di rumah.
Di tengah kesedihannya, telinganya menangkap suara tangis yang lemah namun memilukan. Ia menghentikan langkah, menoleh ke arah suara itu.
Di sudut jalan, di bawah pohon yang daunnya hampir tidak bisa melindungi dari hujan, seorang anak laki-laki berdiri sendirian. Tubuh kecilnya bergetar, kedinginan, dengan pakaian yang sudah basah kuyup.
Tanpa berpikir panjang, Kinanti mendekat. Hatinya tergerak oleh pemandangan itu. Dia berjongkok di depan anak itu, mencoba membuat kontak mata.
"Kamu kenapa, sayang?" Tanyanya lembut, suaranya berusaha menenangkan.
Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata dan hujan. "Aku... aku mencari ayahku, dia tadi ada di sini, tapi aku tidak bisa menemukannya." Ujarnya dengan suara bergetar.
Kinanti merasakan dorongan kuat untuk melindungi bocah ini. Dia meraih tangan kecil yang dingin itu, mencoba memberikan kehangatan.
"Jangan khawatir, kita akan temukan ayahmu. Siapa nama ayahmu?" Tanyanya dengan senyum hangat.
Sebelum anak itu sempat menjawab, suara langkah cepat terdengar mendekat. Seorang pria tinggi, dengan pakaian basah kuyup dan wajah penuh kekhawatiran, berlari ke arah mereka.
Tatapannya langsung tertuju pada anak laki-laki itu. "Kenzo! Syukurlah, kamu di sini!" Serunya sambil meraih anak itu ke dalam pelukannya.
Kinanti berdiri, memberi ruang untuk pertemuan mereka. Pria itu, setelah memastikan anaknya baik-baik saja, menoleh ke arah Kinanti.
"Terima kasih karena sudah menjaga anak saya. Perkenalkan nama saya Julian." Ucapnya dengan nada penuh rasa syukur.
Kinanti hanya tersenyum kecil, mengangguk sopan. "Sama-sama. Saya senang bisa membantu."
"Nama saya Kinanti." Sambungnya.
Julian menatap Kinanti dengan rasa terima kasih. "Senang bertemu denganmu, Kinanti. Aku benar-benar berterima kasih atas bantuanmu."
Kinanti mengangguk dan mengucapkan salam perpisahan setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Ia lalu melanjutkan langkahnya di bawah derasnya hujan, namun kali ini, perasaan hangat mengisi hatinya. Pertemuan singkat itu memberinya sedikit hiburan di tengah kekecewaan yang ia rasakan. Hanya ia tidak tahu, bahwa pertemuan ini akan menjadi awal dari kisah yang jauh lebih besar dalam hidupnya.
********
Kinanti akhirnya tiba di rumahnya, tubuhnya masih basah oleh hujan yang mengguyur sepanjang perjalanan. Di ambang pintu, ibunya dan adiknya sudah menunggu dengan penuh harap. Mata mereka berbinar, seolah mengharapkan kabar baik yang akan dibawa oleh Kinanti.
"Bagaimana hasilnya, Kak?" Tanya adiknya dengan nada penuh harap.
Kinanti tersenyum lemah, lalu menggeleng pelan. "Maaf, aku belum diterima." Jawabnya lirih, mencoba menahan rasa kecewa yang kembali menyeruak.
"Tapi aku akan melamar lagi besok. Aku tidak akan menyerah."
Ibunya menghela napas panjang, ada sedikit rasa kecewa yang terpancar di wajahnya. Namun, ia segera menguasai diri dan tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, Nak. Yang penting kamu sudah berusaha. Kami tahu kamu sudah melakukan yang terbaik." Ucap ibunya lembut.
Adiknya pun menimpali, "Iya, Kak. Jangan sedih. Kamu pasti bisa mendapat pekerjaan lain. Kami selalu mendukungmu."
Kinanti merasakan kehangatan menyelimuti hatinya. Dukungan dan pengertian dari keluarga membuatnya merasa lebih kuat. Ia bersyukur memiliki ibu dan adik yang selalu mendampinginya, meski dalam situasi sulit.
"Terima kasih, Ibu, Dinda. Aku beruntung memiliki kalian berdua." Katanya dengan suara yang penuh rasa syukur.
Malam itu, meskipun gagal mendapatkan pekerjaan, Kinanti merasa dikuatkan oleh cinta dan dukungan keluarganya. Ia bertekad untuk terus berusaha demi masa depan mereka yang lebih baik.
Sesampainya di rumah, Julian dan Kenzo disambut oleh suasana hangat dari lampu-lampu yang menerangi interior mewah rumah mereka. Meski rumah itu besar dan penuh fasilitas, ada kehampaan yang tidak bisa diisi dengan kemewahan. Kenzo, yang telah mengganti pakaian basahnya, duduk di sofa ruang keluarga, mengayun-ayunkan kakinya dengan tatapan sendu.
Julian yang baru saja selesai mengganti pakaian, mendekati anaknya dan duduk di sampingnya. "Kenzo, ada apa? Kamu terlihat murung sayang." Tanyanya lembut, menyentuh pundak kecil anaknya.
Kenzo menatap ayahnya dengan mata penuh harap. "Daddy, aku menyukai Kakak itu."
Julian mengerutkan kening, sedikit bingung. "Kakak siapa, sayang?"
"Kakak yang tadi menolong aku di jalan. Dia baik sekali. Aku menyukainya Daddy." Jawab Kenzo dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.
Julian teringat pada wanita muda yang ia temui di tengah hujan, yang dengan sabar menjaga Kenzo sampai ia datang.
"Kinanti? Kenapa kamu menyukainya sayang?" Tanya Julian, mencoba memahami perasaan anaknya.
Kenzo menundukkan kepala, suaranya melembut. "Dia sangat baik, Dad. Aku menyukainya karena dia tidak membuat aku merasa sendiri. Aku selalu sendirian di rumah. Nenek dan kakek ada di sini, tapi mereka sibuk. Daddy juga sibuk di kantor. Aku hanya ingin punya teman main."
Hati Julian tersentuh mendengar ungkapan jujur anaknya. Ia sadar, meski ada banyak orang di rumah, Kenzo tetap merasa kesepian.
"Maafkan Daddy, Kenzo. Daddy tahu Daddy sering sibuk dan tidak selalu ada waktu untukmu." Ucapnya penuh penyesalan.
Kenzo mengangkat wajahnya, matanya berbinar penuh harap.
"Daddy, apakah Kak Kinanti bisa tinggal di sini? Aku ingin dia menemani aku. Aku tidak ingin sendirian lagi."
Julian terdiam, memikirkan permintaan anaknya. Ia tahu Kinanti bukan hanya sekadar sosok yang membantu Kenzo di jalan, tetapi seseorang yang mungkin bisa membawa kebahagiaan bagi anaknya.
"Daddy akan mencoba berbicara dengannya. Kalau dia setuju, mungkin dia bisa tinggal di sini dan menemanimu." Janjinya.
Wajah Kenzo cerah, senyum lebar menghiasi wajah mungilnya. "Benarkah? Terima kasih, Daddy!" Serunya gembira dan memeluk ayahnya erat.
Julian membalas pelukan itu dengan hangat, bertekad untuk melakukan yang terbaik demi kebahagiaan putranya. Meski masih banyak hal yang harus dipertimbangkan, ia tahu bahwa kebahagiaan Kenzo adalah yang terpenting.
Dan mungkin, Kinanti adalah jawaban untuk mengisi kekosongan dalam hidup mereka.
Setelah mendengar permintaan Kenzo yang begitu tulus tadi, Julian merasa hati kecilnya tergerak. Ia tahu bahwa kebahagiaan anaknya adalah yang terpenting, dan kini ia merasa perlu untuk segera bertindak agar Kenzo tidak merasa kesepian lagi.
Julian menatap Kenzo yang tengah asyik bermain dengan mainannya di ruang tamu, tampak senang meskipun ada sedikit kesedihan yang masih tersirat di matanya.
Dengan tekad bulat, Julian memutuskan untuk menghubungi asistennya, David. Ia perlu mencari tahu lebih lanjut tentang Kinanti, wanita yang telah membantu Kenzo dan yang kini telah berhasil membuat anaknya merasa lebih baik.
Julian tahu, untuk membantu Kenzo mendapatkan teman yang diinginkannya, ia harus segera menghubungi Kinanti.
Tanpa ragu, Julian meraih ponselnya dari meja di sampingnya. Ia menekan nomor David, asistennya yang selalu sigap dan dapat diandalkan. Telepon pun tersambung dengan cepat.
"David." Suara Julian terdengar tenang, namun penuh dengan keseriusan.
"Aku butuh bantuanmu. Coba cari tahu di mana wanita yang bernama Kinanti tinggal. Wanita itu yang menolong Kenzo tadi di jalan. Aku ingin memastikan bagaimana caranya agar dia bisa datang ke sini dan menemani Kenzo."
David, yang sudah lama bekerja dengan Julian, langsung mengenali nada suara bosnya yang serius.
"Tentu, Pak Julian. Saya akan segera mencari tahu." Jawabnya cepat dan penuh perhatian.
"Terima kasih, David. Segera kabari aku jika sudah ada informasi." Ujar Julian sebelum menutup telepon.
Julian meletakkan ponselnya di meja dan duduk kembali di sofa. Ia menatap Kenzo yang masih sibuk bermain, merasa sedikit lega melihat anaknya bisa tersenyum lagi.
Namun, perasaan itu hanya bertahan sejenak karena pikiran Julian kembali melayang pada permintaan Kenzo yang begitu sederhana, namun begitu bermakna.
Ia tahu, jika Kinanti bisa datang dan tinggal bersama mereka, hal itu akan memberikan Kenzo teman yang sangat dibutuhkannya.
Julian meraih gelas di meja dan menyesap sedikit air, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai bergejolak. Dalam waktu singkat, David pasti sudah dapat mencari tahu di mana Kinanti tinggal, dan Julian harus siap untuk mengambil langkah selanjutnya.
Ia kembali memandang Kenzo. Anak kecil itu, meskipun hidup dalam kemewahan dan dikelilingi banyak orang, tetapi dia masih merasa kesepian. Tidak adanya sosok seorang ibu yang selalu ada di sisinya membuatnya merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan.
Terkadang, semua kemewahan yang dimilikinya tidak bisa menggantikan kehadiran seorang ibu—seseorang yang bisa memberikan kasih sayang, perhatian, dan menemani setiap langkah hidupnya.
Sementara itu, di balik layar, David bekerja cepat. Ia tahu betul betapa pentingnya ini bagi Julian, jadi ia langsung melacak informasi tentang Kinanti. Dengan sumber daya yang dimiliki, David berhasil menemukan alamat tempat tinggal Kinanti dalam waktu singkat. Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, ia segera menghubungi Julian.
Tak lama setelah telepon dengan David, ponsel Julian berdering kembali. Ia segera mengangkatnya.
"Pak Julian, saya sudah mendapatkan informasi yang Anda butuhkan." Kata David, suara di ujung telepon terdengar cepat dan efisien.
"Kinanti tinggal di sebuah rumah di kawasan daerah Timur. Saya juga sudah mencari tahu beberapa informasi tentang latar belakangnya. Jika Anda butuh bantuan lebih lanjut, saya siap membantu."
Julian merasa sedikit lega mendengar kabar itu. "Bagus, terima kasih, David. Kamu sudah melakukan pekerjaan yang sangat baik. Segera atur pertemuan untukku dengan Kinanti. Aku ingin bertemu langsung dengannya."
"Segera, Pak Julian," jawab David sebelum menutup telepon.
Dengan informasi yang sudah didapatkan, Julian merasa siap untuk melangkah ke tahap berikutnya. Ia tahu bahwa jika ia ingin Kenzo benar-benar bahagia, ia harus bertindak cepat.
Sambil menatap Kenzo yang masih sibuk bermain, Julian membayangkan bagaimana rasanya jika Kinanti benar-benar menjadi bagian dari hidup mereka. Mungkin ini adalah jalan yang tepat untuk memberi Kenzo sosok yang bisa mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan.
Hari ini, Kinanti duduk di meja makan kecil di ruang tamu rumahnya yang sederhana, memandangi layar ponselnya yang terasa sepi dari panggilan atau pesan. Di depannya, beberapa berkas lamaran pekerjaan tersebar, sebagian besar sudah ia kirimkan ke berbagai perusahaan, namun hasilnya selalu mengecewakan.
Wajahnya tampak lelah, pikirannya berputar, bingung memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu bahwa ia harus terus berusaha, tetapi tidak ada yang lebih menyakitkan daripada menerima penolakan yang tidak ada habisnya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan rumah yang sunyi. Nomor yang muncul di layar tampaknya tidak dikenal. Kinanti merasa ragu sejenak, namun akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
"Hallo?" Suara Kinanti terdengar agak ragu, mencoba menyapa penelepon yang tidak ia kenal.
"Selamat malam, ini David, asisten dari Pak Julian." Suara di ujung telepon terdengar sopan namun tegas.
"Pak Julian ingin bertemu denganmu malam ini. Apakah kamu memiliki waktu untuk bertemu di sebuah restoran?"
Kinanti terkejut mendengar nama Julian. Ia tidak tahu harus merasa senang atau bingung. Julian, pria yang ia temui di jalan beberapa hari lalu, anaknya tampak merasa nyaman dengannya. Namun, ia tidak mengerti mengapa Julian ingin bertemu dengannya.
"Eh, saya... saya bingung, Tuan David. Mengapa saya harus bertemu dengan Pak Julian?" Tanya Kinanti dengan suara pelan, merasa sedikit cemas.
David menanggapi dengan tenang, "Pak Julian ingin berbicara denganmu secara pribadi mengenai sebuah hal penting. Apakah kamu bersedia untuk bertemu dengan beliau malam ini? Jika iya, saya akan menjemputmu."
Kinanti merasa sedikit tertekan, namun ia tidak bisa menolak. Dalam kondisi keuangannya yang semakin sulit, ia tahu bahwa mungkin ini adalah kesempatan yang datang tanpa diduga.
"Baiklah, saya akan bertemu dengan Pak Julian malam ini. Terima kasih atas informasinya."
David mengucapkan terima kasih dan menutup telepon, meninggalkan Kinanti dengan perasaan campur aduk. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Apa yang sebenarnya diinginkan Julian darinya?
Apakah ini ada hubungannya dengan Kenzo, anaknya yang pernah ia temui? Ia tidak tahu pasti, namun ia berharap pertemuan ini bisa memberikan kejelasan.
*******
Malam pun tiba, dan Kinanti bersiap-siap dengan pakaian sederhana yang ia miliki. Ia tidak tahu harus mengenakan apa, namun akhirnya ia memilih pakaian yang nyaman namun tetap terlihat rapi.
Beberapa saat kemudian, suara mobil berhenti di depan rumahnya. Kinanti segera membuka pintu dan melihat sebuah mobil hitam yang elegan terparkir di luar. Dari dalam mobil, David keluar dengan senyuman yang ramah.
"Selamat malam, Nona Kinanti. Pak Julian sudah menunggu di restoran. Mari, saya antar." Ujar David, membuka pintu mobil untuk Kinanti.
Kinanti hanya mengangguk pelan, sedikit gugup. Ia memasuki mobil dan duduk di kursi penumpang. Mobil melaju dengan tenang menuju restoran yang dimaksudkan.
Di sepanjang perjalanan, Kinanti masih merasa bingung. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Julian? Mengapa ia harus bertemu dengan pria itu malam ini?
Setibanya di restoran yang cukup mewah, Kinanti keluar dari mobil dan mengikuti David masuk ke dalam. Restoran itu cukup ramai, namun suasananya terasa tenang dan intim.
Beberapa meja di sudut ruangan sudah terisi, dan di salah satu meja, Julian tampak duduk dengan tenang, menunggu kedatangan Kinanti. Ia mengenakan jas hitam rapi, dan matanya langsung tertuju pada Kinanti ketika ia memasuki restoran.
"Selamat datang, Kinanti." Sapa Julian dengan senyum ramah.
"Terima kasih sudah datang."
Kinanti tersenyum ragu, mengangguk sebagai tanda hormat. "Terima kasih, mengapa Pak Julian ingin bertemu dengan saya? Apakah ada yang bisa saya bantu?"
Julian mengisyaratkan Kinanti untuk duduk di hadapannya. Setelah Kinanti duduk, suasana di sekitar mereka seolah terhenti sejenak, hanya ada suara rendah dari percakapan di meja lain dan alunan musik lembut di latar belakang.
"Aku ingin berbicara denganmu mengenai Kenzo." Kata Julian, suaranya serius namun penuh perhatian.
"Kenzo terlihat sangat menyukaimu, dan aku melihat bagaimana kamu begitu baik padanya. Aku ingin kamu untuk menjadi pengasuh anakku. Aku harap kamu bisa tinggal bersama kami di rumah."
Kinanti terkejut mendengar permintaan itu. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia akan ditawari pekerjaan sebagai pengasuh anak.
"Saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan, Pak Julian." Jawab Kinanti, suaranya agak gemetar.
"Saya belum pernah bekerja sebagai pengasuh sebelumnya."
Julian mengangguk, mencoba meyakinkan Kinanti. "Aku mengerti, Kinanti. Namun, Kenzo membutuhkan teman, dan aku tahu kamu adalah orang yang tepat. Aku sangat sibuk dengan pekerjaan, dan sering kali tidak punya cukup waktu untuk menemani Kenzo. Aku ingin kamu tinggal bersama kami untuk menjaga dan menemani Kenzo."
Kinanti terdiam sejenak, hatinya diliputi perasaan bingung. Di satu sisi, ia merasa ragu, namun di sisi lain, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang sangat dibutuhkan. Perusahaan-perusahaan sudah menolaknya, dan ia membutuhkan pekerjaan ini demi keluarga tercinta.
"Baiklah." Akhirnya Kinanti mengangguk perlahan, meski perasaan campur aduk masih ada dalam dirinya.
"Aku setuju. Kapan aku bisa mulai bekerja Pak?"
Julian tersenyum lega, matanya berbinar. "Terima kasih, Kinanti. Kamu bisa bekerja mulai besok. Kami akan mengatur semuanya, termasuk tempat tinggalmu di rumah kami."
Kinanti mengangguk, merasa sedikit lega namun tetap tidak bisa menutupi kegugupannya. Meskipun ia merasa ragu, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang harus diambil.
Ia berharap dengan bekerja di rumah Julian, ia bisa memberi kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya, sekaligus menemani Kenzo yang tampaknya sangatlah kesepian.
"Terima kasih atas kepercayaanmu, Pak Julian." Kata Kinanti dengan suara lembut, merasa bersyukur meski ada sedikit kekhawatiran di dalam dirinya.
Malam itu, setelah pertemuan yang cukup tegang, Kinanti pulang dengan perasaan yang campur aduk. Ia tahu bahwa hidupnya akan berubah mulai besok.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!