"Pergi pergi pergi orang buta gak berhak sekolah di sini!"
"Lagian aneh banget, udah buta bukannya diam di rumah malah keluyuran!"
"Cantik doang punya mata gabisa di gunain ups sorry!"
Beberapa cemoohan dari orang-orang masuk ke dalam Indra pendengarannya, tak terasa air matanya menetes begitu saja. Apakah semenyedihkan itu tidak bisa melihat dunia dan seisinya? Mengapa, kalimat tidak menyenangkan selalu ia dengar.
Gadis itu kemudian melangkahkan kakinha dengan sebuah tongkat khusus untuk membantunya berjalan, selama dia berjalan orang-orang terus saja mencemooh dirinya.
Selama hampir 16 tahun dia tidak bisa melihat, tapi beruntungnya karena takdir di tahun ini ada pendonor yang bersedia memberikan kedua matanya, besok adalah hari dimana dia akan menerima operasi donor mata.
Akhirnya penantiannya selama bertahun-tahun membuahkan hasil yang begitu memuaskan.
Ghazala Ciara Humaira merasa sedikit tidak siap dengan operasi matanya. Tentu yang pertama dia takut ini akan gagal, dan yang kedua Zala takut kehidupannya akan berubah 180°, tapi untungnya selalu ada seseorang yang bisa menenangkan rasa takutnya.
Sekarang Ghazala duduk di atas bangku taman, lalu dia melamun. Ketika Sedang asik-asiknya melamun, tiba-tiba bahunya di tepuk pelan oleh seseorang, dengan cepat Zala mengusap sisa-sisa air mata yang masih tersisa.
"Kamu kenapa?" tanya seseorang, raut wajahnya terlihat begitu sangat khawatir.
Ghazala adalah tipe gadis yang tidak cengeng, dia akan menangis jika hatinya memang benar-benar sudah terluka.
Hasbi Danisha Osama menatap Ghazala dengan tatapan yang begitu melekat, ada rasa sakit di dalam dadanya saat melihat gadis yang begitu dia cintai terlihat tertekan seperti ini.
"Apa kamu menangis karena takut menjalankan operasi besok?" Ghazala menggeleng pelan, tak kuasa menahan air matanya dia kembali menangis.
"Aku bisa menerima ini semua kak, aku tahu aku buta t---api aku tidak kuat mendengar cemoohan-cemoohan dari orang lain, apakah orang buta sepertiku tidak berhak bahagia?" Hasbi tak kuasa saat melihat Ghazala mengeluarkan air matanya, apa yang bisa dia perbuat selain marah kepada orang-orang itu.
Segera dia menarik Ghazala kedalam dekapannya, tangan kekar Hasbi mengelus pelan surai panjang milik Ghazala, bibirnya tidak bisa berkata-kata. Hasbi tahu saat ini Ghazala hanya ingin bercerita.
"Zala rasa, setelah Zala bisa melihat keadaan tidak akan pernah berubah kak," penuturan Zala di penuhi rasa putus asanya.
"Shuttt—jangan berbicara seperti itu, ini impian kamu kan. Manusia itu baik, hanya saja kamu belum menemukan orang yang tepat selain Azela, kamu tidak boleh berubah saat kamu sudah melihat, janji?"
"Tapi kak Abhi harus terus ada di samping Zala ya?" pintanya dengan raut wajah sedih, hidungnya bahkan memerah karena terlalu lama menangis.
Hasbi menatap Zala sejenak, tidak dia tidak boleh lemah. Senyuman kecil berusaha dia berikan, walaupun Zala tidak melihatnya Hasbi tetap harus tersenyum.
"Jika memang kita di takdirkan bersama, suatu saat kita akan di pertemukan kembali Zala."
Dalam hidup ini tidak ada yang namanya keabadian dalam kebersamaan, Hasbi mengelus surai Zala dengan lembut. Perasaannya di selimuti rasa sedih, setelah ini mungkin ia tidak bisa menemnui Zala-nya kembali dengan mudah.
Hai?
Bagaimana dengan prolog nya?
Jangan tertipu oleh awal, jangan lupa baca sampai akhir!
Kamu tahu kan kata-kata "Jangan melihat hanya dari cover nya saja?"
Nah kamu harus teliti membaca, jangan sampai tertipu oleh tulisan tangan ku!
Oke, selamat membaca bab selanjutnya!
"Kita sepakati saja Tante, mau bagaimanapun aku gak rela liat Zala di bully terus menerus." keputusan sepihak itu membuat mereka serentak menatap ke arah Hasbi dengan tatapan tidak terimanya, bagaimana mungkin Hasbi yang begitu menantang hal ini tiba-tiba menerimanya begitu saja.
"Tidak, Tante gak mau kehidupan Zala kelak di penuhi oleh kejahatan Adlin. Tante gak mau!" sanggah Dania tidak terima.
"Saat ini kita semua sedang berusaha mencari pendonor mata untuk Zala, kita semua tidak boleh menerima mata dia begitu saja." Danu si penengah masalah ini mulai berbicara.
"Percuma! Semuanya akan terasa sia-sia saja."
"Bagaimana mungkin kamu berkata seperti itu, nak?" Dera benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan anak sulungnya.
"Paman Tio sangat kejam, bagaimana mungkin ada orang yang bisa menjual matanya untuk Zala. Perjuangan kita terasa sia-sia, hanya ada satu pilihan yaitu menerima mata dia."
"Apakah kalian tega melihat Zala yang terus-menerus berharap kepada kita, 16 tahun tidak bisa melihat itu sudah sangat lama. Zala harus bisa hidup normal seperti orang-orang pada umumnya."
"Kita semua menolak keras karena sebuah alasan, dan alasan ini sangat sulit terutama untuk kamu Hasbi," penuturan dari Dania, membuat Danu dan Dera saling bertatap muka. Hasbi seketika menatap Dania, lalu dia mulai bertanya.
"Memang nya ada apa?" bingung Hasbi.
"Mata dia akan di berikan, apabila kamu pergi dari hadapan Zala untuk selama-lamanya."
°
5 Tahun kemudian.
Sudah hampir lima tahun, dia terus saja mengingat kejadian di masa lalu. Kenangan bersama gadis tercintanya tidak pernah pudar sedikitpun, andai saja takdir tidak mempermainkan mereka seperti ini.
Mungkin saja saat ini dia akan tetap berada di samping Ghazala, gadis tercintanya.
Mengingat hari ini adalah hari ulang tahun Ghazala, Hasbi menatap sebuah kotak kado berukuran besar dengan tatapan penuh harapan. Semoga saja dengan kado ini rasa rindunya akan tersampaikan.
"Permisi dokter Danish, ada seorang pasien yang harus anda tangani." seorang suster datang dengan begitu lancangnya, bahkan dia tidak mengetuk pintu ruangannya terlebih dahulu.
"Kamu saya pecat." dengan tatapan tajam yang begitu menusuk, Hasbi mengatakan hal itu.
"T—api s—s-aya salah apa?" tanya sang suster dengan raut wajah takut sekaligus kebingungan.
"Bagaimana mungkin saya memperkerjakan orang yang tidak mempunyai attitude sepertimu, walaupun kamu suster yang hebat tetap saja attitude lebih di butuhkan dan di utamakan. Kamu saya pecat, gajih kamu akan di urus oleh asisten saya." ya begitulah dia, sangat tegas dan menjunjung tinggi attitude.
Bagi seorang Hasbi Danisha Osama, ilmu tidak lebih penting daripada kesopanan seseorang. Orang yang sopan dan mempunyai attitude sudah pasti orang yang pintar, tapi orang yang pintar tidak mempunyai attitude sama saja seperti orang bodoh yang tidak pernah di sekolah kan.
Suster itu digiring keluar oleh asisten pribadi Hasbi, selain Dokter dia juga pemilik rumah sakit ini. Rs. Osama, rumah sakit yang begitu besar dan elite.
Walaupun rumah sakit ini elite dan terkenal sangat mahal, Hasbi tidak pernah membeda-bedakan pasien. Bisa di bilang dia pemimpin yang adil, dia tidak mau melihat pasiennya di perlakukan tidak adil. Harta bukan lah segalanya, semua manusia sama saja, sama-sama saling membutuhkan dan mengandalkan satu sama lain.
Tugas dokter adalah menyelamatkan nyawa pasien, Hasbi selalu menangani mereka dengan begitu teliti dan hati-hati. Dia dokter yang begitu hebat, baik dan juga tegas.
Setelah sampai ruang UGD Hasbi pun melakukan tugasnya dengan baik, beberapa suster membantu dirinya.
Hasbi belajar banyak dari sebuah kesalahan, dia juga bisa menemukan jati dirinya yang lebih baik.
Mungkin dia dulu seorang pengecut yang takut dengan kehancuran seseorang, tapi sekarang dia berani melawan. Soal hancur atau menang itu adalah konsekuensi dari sebuah masalah yang sedang dia alami.
Jika dulu dia meninggalkan Zala demi kebahagiaan nya, maka mulai saat ini dia sedang memperjuangkan gadis itu kembali dengan berbagai cara yang ada.
°
"Ingatan lo udah pulih?" tanya seorang gadis kepada gadis yang ada tepat di hadapannya, gerakan kepala ke kanan dan ke kiri membuat gadis itu mengerti.
"Tapi lo masih suka pusing gak?" anggukan kepala yang begitu singkat menjawab pertanyaannya.
Sahabatnya begitu dingin dan sulit untuk di ajak berbicara, jika pada umumnya yang seperti itu adalah seorang lelaki maka kali ini seorang wanita.
Pandangannya selalu menuju ke bawah, rambut panjangnya selalu menutupi sebagian dari wajahnya.
"Hari ini adalah hari di mana lo mendapatkan donor mata dari seseorang, dulu sebelum lo operasi ada seseorang yang menabrak lo. Sampai sekarang orang itu belum di temukan, setelah operasi lo di nyatakan hilang ingatan." setiap tahun, penjelasan itu selalu keluar dari bibir Hasyifa Azelana, sahabat dekat Ghazala Ciara Humaira.
4 tahun yang lalu saat Zala sedang berjalan santai di dekat taman komplek, tiba-tiba sebuah mobil menabrak dirinya hingga dia terpental. Dia sempat koma beberapa hari, untung saja operasi donor matanya berjalan dengan begitu lancar.
Semenjak kejadian itu Zala tidak mengingat siapapun bahkan ibu nya sendiri. Tapi seiring berjalannya waktu, dia mulai mengingatnya kembali sedikit demi sedikit.
Semenjak gadis itu kehilangan memorinya, dia selalu mendengar suara-suara pemuda yang begitu melekat di dalam pikirannya.
Bahkan berkali-kali dia bermimpi akan hal itu, anehnya setiap mimpi wajahnya selalu buram dan tidak jelas, hingga saat ini dia belum mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu.
"Cowok itu siapa ya?" pertanyaan dari Zala, membuat Azela kembali menatap kearahnya.
"Cowok yang mana?" tanya Azela balik dengan raut wajah heran, Zala mendengus sebal.
Azela benar-benar sangat pelupa padahal setiap dia bermimpi tentang pemuda itu, dia selalu menceritakannya kepada Azela.
"Yang selalu datang di mimpi," sahut Zala.
Azela menyengir kuda. "Mana gue tau lah dodol! Lo aja yang mimpi gak tahu persis wajahnya, apalagi gue." ada benar nya juga, Zala berusaha mengingat-ngingat apa saja yang dia lihat dalam mimpi itu.
"Oh iya, dia selalu menggunakan gelang hitam dengan gantungan kupu-kupu berwarna ungu. Itu sih seingat gue, beneran lo gak tahu?" sekali lagi Zala bertanya.
Azela menggeleng, sebenarnya dia pura-pura tidak tahu. Azela mengetahui semua hal yang bersangkutan dengan Zala di masa lalu, tapi Dania melarangnya untuk menceritakan itu semua.
Bagaimana pun kondisi Zala yang seperti ini juga begitu menguntungkan, setidaknya Zala tidak mengingat cinta dan luka pertamanya, yaitu Hasbi.
"Lo kan orang yang ada di masa lalu gue juga, masa gak tahu?"
"Gue beneran gak tahu," sahut Azela dengan sedikit gugup, hal itu membuat Zala seketika menatap Azela dengan tatapan penuh selidik.
"Lo bohongkan?" Azela menggeleng, Zala memang sangat peka dengan gerak-gerik tubuhnya.
"Gue gak bohong, mana gue tahu dia siapa. Lagian seinget gue lo cuman deket sama bang Levon doang kakak lo sendiri." terpaksa Azela membawa-bawa nama Levon di dalam perbincangan mereka.
"Bang Levon? Emang bener ya gue punya kakak?" inilah hal yang masih belum Zala percayai, bagaimana mungkin dia percaya bahwa dirinya mempunyai seorang kakak, jika orang nya saja tidak pernah muncul di hadapannya.
"Iyaa lah bego, dia ada di Amerika."
"Tapi kita gak mirip, kalo emang adik kakak kenapa wajah kita sangat berbeda." ah sialan Zala, Azela kan bego di kasih pertanyaan yang susah di jawab terus.
"Mana gue tau lah pea!" ketus Azela yang sudah mulai kebakar rasa gugupnya.
"Oke deh, gue bakalan cari tahu tentang pemuda itu. Gue yakin dia juga orang yang pernah hadir di masa lalu gue."
"Jangan!" cegah Azela, bisa berabe kan kalau Zala menyelidiki ini semua.
"Kenapa?" balas Zala dengan raut wajah heran.
"Jangan Zal, kita semua udah berusaha ngelindungi lo. Jangan buat kehidupan lo kembali gak tenang karena rasa penasaran, semua akan muncul dengan sendirinya gak perlu di cari." selalu saja kata-kata itu yang Azela utarakan, Zala menatap Azela lalu dia berkata.
"Bagaimana bisa muncul, kalo gue gak berusaha? Lo pikir aja, gue tuh cape di bayangin oleh memori-memori di dalam ingatan gue, lo pikir pusing setiap hari itu enak? Gue pengen mecahin ini semua. Terserah lo mau bantuin gue apa engga, gue yakin ini semua ada yang gak beres dan ada rahasia yang lo dan ibu simpan di belakang gue selama ini."
Entah mengapa kuliah hari ini terasa begitu melelahkan, badan Zala terasa remuk. Memori-memori masa lalunya sangat menganggu pikiran, mungkin jika dia dulu bisa melihat akan terasa lebih mudah mengingat semuanya.
Gadis itu menghela nafas sejenak saat sudah berada di depan rumah orang tuanya yang begitu megah dan mewah, sebelum masuk Zala berusaha menetralkan ekspresi wajahnya.
"Assalamualaikum." salamnya ketika baru saja memasuki rumah, rumah yang begitu mewah dengan bentuk bangunan yang sangat modern.
Seorang wanita paruh baya, berjalan dengan raut wajah ceria nya. "Waalaikumsallam, anak ibu sudah pulang." Zala tersenyum, lalu menyalami tangan kanan Dania. Hanya dengan Dania dia bisa tersenyum, saat dia tersenyum rasanya dada Zala selalu terasa sangat sesak dan sakit.
"Kok rame Bu, rumah juga di dekor kayak gini. Ada apa?" tanya Zala dengan tatapan heran dan penuh tanda tanya. Tidak seperti biasanya rumah ini sangat ramai, dan juga di hiasi berbagai macam warna kesukaannya.
Dania tersenyum. " Hari ini kan hari ulang tahun kamu yang ke 20 tahun nak, ini semua bukan rencana ibu." mendengar hal itu, membuat Zala menatap Dania dengan tatapan heran.
"Lalu?"
"Ini semua rencana—"
"Saya." potong seseorang dengan suara yang begitu tegas.
Zala dan Dania serentak menoleh ke arah belakang, di sana berdiri seorang pria paruh baya dengan pakaian formal. Wajahnya menampilkan senyuman licik, Zala langsung merubah raut wajah saat melihat kehadiran sang Ayah.
Jika cinta pertama kalian adalah seorang Ayah, maka bagi Zala sebaliknya. Zala tidak pernah merasakan cinta kepada Ayahnya sendiri, mereka berdua memang selalu bersikap layaknya orang asing.
Luka-luka di tubuh Zala sudah menjadi saksi atas semua perlakuan yang telah di lakukan oleh Ayahnya, begitulah tuan Kentio Hafizar. Walaupun ayah kandung, kasih sayangnya sama sekali tidak pernah Zala rasakan sedikit pun.
Tiada hari tanpa penderitaan, setiap Zala melakukan kesalahan tangannya selalu melayang untuk memukul dan menghakimi.
Ah sudah, itu semua terdengar begitu menyedihkan bukan. Zala menatap Tio dengan tatapan permusuhan, tidak ada senyuman dan raut wajah bersahabat. Kebencian yang tertanam dalam hatinya sudah sangat melekat.
Perlakuan Tio selama ini tidak pernah bisa dia lupakan, mungkin saat dirinya buta dulu, Tio selalu melakukan hal yang sama.
"Saya gak minta ini semua, mengapa anda melakukan ini?!" sentak Zala, rasa kesal dan amarahnya seketika muncul.
"Tentu saja untuk kelancaran bisnis saya!" bentak Tio balik, lalu setelah nya dia tersenyum sinis. Kecantikan yang di miliki Zala selalu di manfaatkan oleh Tio, setiap tahun selalu saja ada om-om yang berusaha mendekati Zala bahkan melamarnya.
Tentu saja Zala tidak terima, dia selalu menghindar saat Tio berusaha mendekatkan seorang pria kepada dirinya. Itu semua benar-benar sangat menjijikan bukan.
"Sudah waktunya kamu menikah, rumah ini sudah sangat sesak di isi olehmu dan ibumu." sialan, jika dia bukan ayah ya mungkin Zala akan dengan sangat kurang ajar melawan.
"Ini hidup saya, sejak kapan anda mencampuri kehidupan saya? Saya sangat muak dengan tingkah laku anda. Ayah mana yang bisa membenci anaknya, hanya seorang ayah yang tidak waras yang mempunyai rasa tidak suka kepada darah dagingnya sendiri, untuk anda tuan Ketio Hafizar yang terhormat, anda adalah ayah yang tidak pernah berguna bagi seorang anak."
°
Maupun Zala atau Hasbi, keduanya benar-benar merasakan hal yang sama. Kesedihan dan keterpurukan, jika Zala tidak mengingat apapun, maka Hasbi sebaliknya. Akibat rencananya kecelakaan itu terjadi, padahal rencana itu sudah mereka susun dengan begitu baik, agar Zala bisa di selamatkan.
Nyatanya semuanya gagal tidak sesuai ekspektasi, Tio terlalu licik untuk di kalahkan. Tapi perjuangan Hasbi kali ini tidak Tio ketahui sama sekali, tidak ada yang bisa mengalahkan Hasbi.
Kali ini Hasbi benar-benar sangat berkuasa, harta dan tahta nya mengalahkan kedudukan Tio di bawah sana. Jika saja ada yang berani berurusan dengan Hasbi, maka bisnisnya akan hancur dalam waktu sekejap saja.
"Antarkan kado ini, jangan sampai rusak. Awasi dia agar tidak ada teror yang sampai ke dalam rumah nya." Reon mengangguk patuh, asisten pribadinya itu sangat berguna. Reon tidak sendirian melakukan tugas ini.
Tentu saja ada beberapa bodyguard yang senantiasa membantu, musuh dalam selimut belum di temukan hingga saat ini. Jadi Hasbi masih sangat berhati-hati agar semuanya terkendali.
Ingatan Zala belum sepenuhnya kembali, jadi bisa saja Zala mempercayai ucapan orang-orang yang menjelma menjadi orang baik, tidak semua orang yang berada di sekitar Zala adalah orang baik.
Selama Hasbi pergi, Hasbi selalu memantau Zala lewat anak-anak buahnya. Mau bagaimanapun Zala adalah tanggung jawab terbesarnya.
4 tahun tidak pernah bertatap muka begitu sangat menyiksa, tapi tidak masalah selagi Zala merasakan nyaman dan aman. Hasbi yakin suatu saat nanti dia dan Zala akan bersama di masa yang akan datang.
Walaupun sering ada perasaan ragu dan putus asa yang menyerang, Hasbi sangat yakin akan hal itu.
Hasbi tersenyum kecil, dia sedang melihat-lihat foto Zala yang di ambil secara candid oleh anak buahnya. Semakin hari Zala semakin berubah, kecantikannya semakin terpancar.
Dia sedikit lega saat mengetahui sifat Zala yang sangat dingin dan tidak mudah untuk di ajak berkenalan. Setidaknya tidak ada lelaki yang harus bersaing dengan Hasbi, bukan.
"Bro, lo selalu nyusahin gue mulu. Pasien emak-emak pada rindu tuh!" seorang pemuda datang dengan raut wajah letih, Hasbi menatapnya lalu terkekeh pelan.
"Gue lagi males, suka-suka gue lah nyusahin lo. Gue kan tukeran shiff."
Padahal Jefri juga dari kalangan berada, menurut Jefri rumah sakit milik Hasbi rumah sakit ternyaman, dan juga mereka berdua sudah seperti pranko tidak mau di pisahkan. Sejak kecil mereka berdua ah harusnya sih bertiga dengan Geo tapi sahabat mereka yang satu itu entah dimana keberadaannya.
"Gue lagi pusing sama Della, lo malah nambah musingin," keluh Jefri, dia terlihat seperti sedang stress memikirkan sesuatu.
Della adalah cinta pertama seorang Jefri, mungkin sudah beribu-ribu kali dia di tolak dalam dua tahun berturut-turut.
Hasbi tertawa dengan begitu lepas, dia sangat senang meledek Jefri. Begitulah Hasbi saat sedang berada di dekat orang-orang terdekatnya. Sangat lepas dan mudah tertawa, tidak dingin seperti biasanya.
"Lo aneh, cewek di luaran sana banyak bro. Malah milih anak SMA mana lulus aja belum." ledek Hasbi, Jefri dan Della di ibaratkan langit dan bumi. Umur mereka sangat jauh, tidak jauh-jauh amat sih Della 19 tahun sedangkan Jefri 26 tahun.
"Dia gadis yang beda, kalo anak remaja pada umumnya udah pernah pacaran sama di unboxing pacarnya. Della gak pernah, dia benar-benar beda. Walaupun lemot nya naudzubillah, sekarang gue tanya deh sama lo. Kenapa lo masih cinta sama Zala, padahal Zala aja gak inget sama lo?"
"Tentu saja Karena Zala sangat berbeda dengan dia." sahut Hasbi dengan senyuman manis di bibir nya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!