Gadis berseragam SMA, membonceng dua anak berseragam SMP dan SD di belakangnya adalah pemandangan yang setiap hari Senin sampai Jumat dilihat orang-orang yang berlalu lalang di area komplek perumahan sederhana hingga ujung jalan komplek yang tersambung dengan jalan raya.
Pemandangan itu terlihat setiap hari selama beberapa tahun pasca berita meninggalnya seorang laki-laki penjual alat-alat rumah tangga di sebuah pasar tradisional, yang menjadi tulang punggung dan pelindung mereka selama ini karena sebuah kecelakaan.
Sepulang dari pasar ayah tiga anak itu dikabarkan mengalami kecelakaan tunggal, motor yang dikendarainya oleng dan menabrak pembatas jalan. Keadaan jalanan saat itu memang licin karena baru saja terjadi hujan lebat. Cuaca yang cukup mendung dan berkabut pasca hujan ditambah waktu menunjukan hampir maghrib diperkirakan menjadi penyebab laki-laki yang mengendarai motor itu kehilangan fokus penglihatannya.
Motor yang dikendarainya tiba-tiba oleng dan menabrak pembatas jalan. Sang pengendara terjatuh dengan posisi kepala terbentur ke aspal. Helm yang digunakannya lepas seketika dan dia terdampar di tengah jalan dengan darah keluar dari kepalanya. Isak tangis istri dan ketiga anaknya mengiringi pemakaman.
Kini tiga tahun berlalu dari duka yang tidak akan pernah dilupakan keluarga itu. Sang gadis bernama Inayah, anak sulung dari tiga bersaudara membantu sang ibu yang setiap pagi akan pergi ke pasar untuk berjualan san pulang menjelang magrib. Sementara tugas rumah dari mulai memasak, menyiapkan perlengkapan sekolah akan dilakukan oleh Inayah.
Otak cerdas dan sifat ulet yang dimiliki Inayah membawanya pada pencapaian pendidikan yang terbilang tinggi di kampungnya. Berkat kecerdasannya dia meraih beasiswa pendidikan sampai sarjana dari yayasan yang kini menjadi tempatnya mengabdikan diri. Jalur prestasi akademik dan non akademik yang dimilikinya selama bersekolah di SMP dan SMA Negeri yang ada di kampung itu menjadi bekal Inayah mendapatkan beasiswa kuliah.
Selesai menuntaskan pendidikannya, Inayah pun ditarik menjadi salah satu pengajar di yayasan yang memberinya beasiswa. Di yayasan tempatnya mengabdi terdapat lembaga pendidikan mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai universitas. Inayah bertugas menjadi guru Bimbingan Konseling di SMA, sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.
Di beberapa kesempatan Inayah juga tak jarang menjadi asisten dosen pada mata kuliah yang sesuai pendidikannya, satu waktu Inayah pernah ditawari untuk menjadi dosen di sana namun dia belum cukup percaya diri untuk itu mengingat pendidikannya dirasa masih belum mumpuni dan pertimbangan lainnya.
Hari-hari dilalui Inayah dengan bahagia, rutinitasnya tidak jauh dari mengajar, mengerjakan pekerjaan rumah dan kadang membantu ibunya berjualan di pasar. Hingga suatu hari seseorang yang sudah menaruh hati padanya sejak sekolah menengah atas datang untuk melamarnya.
Di masa lalu mereka sempat menjalin hubungan, namun karena sang lelaki harus kuliah ke luar kota alhasil hubungan mereka menggantung tanpa kejelasan. Setelah keduanya menyelesaikan pendidikannya masing-masing ternyata waktu kembali mempertemukan mereka dalam sebuah reuni, menjalin kembali hubungan yang pernah terputus ruang dan waktu. Selama tiga tahun ini Inayah setia menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya karena sang kekasih bekerja di luar kota.
Farhan Abdillah nama laki-laki itu. Kakak kelas Inayah saat menempuh pendidikan di SMA, usia mereka terpaut dua tahun. Laki-laki itulah yang sudah membuat Inayah memantapkan diri untuk melabuhkan hatinya pada dia. Selama ini Inayah dengan penuh ketulusan dan kesetiaan menanti kedatangan sang kekasih untuk meminangnya.
"Kapan Aa datang?" tanya Inayah, hari ini adalah hari Minggu, Inayah libur mengajar dan memilih tetap berada di rumah, kedua adiknya baru saja pergi. Indira ada kerja kelompok dengan teman kuliahnya sementara Irfan berlatih silat di padepokan tempatnya belajar ilmu bela diri.
Rencananya selepas dzuhur Inayah akan datang ke pasar untuk membantu sang Ibu berjualan, namun tanpa diduga dan menjadi kejutan yang membuatnya berbunga-bunga Farhan datang berkunjung.
"Sudah tiga hari Aa pulang." jawab Farhan, dia menatap lekat gadis yang selama ini menjadi kekasihnya.
Deg ...
Inayah yang sedang fokus menyimpan segelas minuman dan beberapa toples cemilan seketika mendongak ke arah sang kekasih.
"Sudah tiga hari?" tanya Inayah dengan intonasi terkejut, ada rasa kecewa yang tiba-tiba merasuki hatinya. Kenapa sang kekasih baru berkunjung, bahkan selama tiga hari ini tak ada kabar apapun walaupun sebatas pesan. Farhan juga baru mengunjunginya padahal tempat tinggal mereka hanya berjarak sekitar satu jam, masih satu kabupaten hanya beda kecamatan.
"Maaf aku baru menemuimu. Di rumah ada acara tasyakur aqiqah anaknya A Firman jadi aku sibuk membantu." ucap Farhan dengan tatapan yang tak lepas dari Inayah.
Inayah pun akhirnya mengangguk faham, dia tidak mau memperpanjang perkara dan memilih percaya. Selama menjalin hubungan baru dua kali Inayah diajak berkunjung ke rumah keluarga Fathan, terakhir saat Idul Fitrti tahun kemarin.
"Nay ..." Farhan menahan lengan Inayah yang akan beranjak untuk menyimpan nampan ke belakang.
"Duduklah, ada yang ingin aku sampaikan." Inayah patuh, nampan disimpannya di bawah meja dan dia siap untuk mendengarkan penuturan sang kekasih yang tampak serius.
"Aku mau menikahimu."
Deg ...Inayah seketika mematung mendengar kalimat yang tanpa prolog langsung terucap dari mulut Farhan.
"Aa serius?" tanya Inayah segera mengembalikan fokusnya.
"Iya, aku mencintaimu Inayah, kamu adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibu dari anak-anak kita."
Seketika bunga-bunga seperti bermekaran di hati Inayah, penantiannya selama tiga tahun ternyata tidak sia-sia, sang kekasih akhirnya datang untuk mempersuntingnya.
Kesepakatan dua keluarga pun terjadi. Fathan datang bersama dua kakak dan kakak iparnya saat menentukan waktu pernikahan mereka. Kedua orang tua Farhan katanya tidak bisa hadir karena sedang tidak sehat dan akan hadir saat hari pernikahan.
Sejumlah uang juga Fathan transfer ke rekening Inayah untuk mempersiapkan semua perlengkapan pernikahan.
Ibu Ani, ibunda Inayah menjadi orang yang paling bahagia mendapati kabar sang putri sulungnya akan dipersunting lelaki pujaannya. Usia Inayah sudah lebih dari cukup untuk menikah, dua puluh lima tahun adalah usia uang cukup matang untuk ukuran gadis desa sepertinya.
Walaupun kedatangan Farhan hari itu tidak didampingi kedua orang tuanya tapi Ibu Ani menyambutnya dengan suka cita. Akhirnya dia bisa bernafas lega, gunjingan tentang putri sulungnya yang belum kunjung menikah akan mereda. Selain itu Indira putri keduanya yang juga sudah mempunyai kekasih tidak masalah jika harus menikah setelah selesai kuliah nanti.
"Teh, undangan semuanya jadi lima ratus orang. Semuanya jadi tanggung jawab Irfan untuk membagikannya. Kemarin udah dibagikan sebagian, ini sisanya tinggal dua ratusan, Insya Allah hari ini selesai." ucap Irfan, sebagai anak laki-laki satu-satunya dia terlihat lebih dewasa dari umurnya, sudah bersiap untuk pergi ke berbagai tempat untuk mengantar undangan.
Persiapan pernikahan sudah hampir sembilan puluh lima persen. Wedding organizer sudah oke, catering, dan lain sebagainya sudah oke. Tinggal membagikan undangan yang rencananya akan dibagikan seminggu sebelum hari H dan itu tepat hari ini.
"Kamu hati-hati di jalan ya, untuk ke sekolah biar Teteh yang mengantarkannya sekalian menanyakan surat persetujuan pengajuan cuti, kata bagian TU hari ini sudah bisa diambil." Hari ini adalah hari Senin, Inayah akan berangkat ke sekolah sekalian mengantarkan undangan pernikahannya.
"Bu Inayah, Alhamdulillah sudah datang. Tolong ke ruangan Bapak sebentar." Inayah yang baru sampai di ruangannya terkejut, pagi-pagi begini dia sudah dipanggil ke ruangan kepala sekolah.
"Tolong bantu siswa ini, dia sepertinya sudah tidak ada semangat belajar. Sudah dua minggu bersekolah di sini belum juga ada perubahan." Kepala sekolah mengulurkan sebuah berkas siswa baru di tangannya dan dengan sigap diambil Inayah.
"Rayyan Alfarizky Mahardika" gumam Inayah, membaca nama yang tersemat pada biodata diri murid baru itu.
"Saya Inayah, kamu bisa panggil saya Bu Inayah. Sekarang silakan perkenalkan diri kamu. Hari ini adalah hari pertama kita bertemu, sebelumnya ada Bu Habibah yang katanya sudah bertemu dengan kamu." Inayah duduk menopang dagunya. Di hadapannya terhalang meja kerja seorang siswa dengan penampilan yang berbeda dari yang lain, duduk dengan tatapan yang entah apa maknanya. Menatap dalam Inayah yang sedang berbicara memperkenalkan diri dan memberinya arahan.
"Ibu mau menikah?" Tanya siswa itu, keluar dari jalur yang seharusnya. Ujung matanya melirik kartu undangan pernikahan yang ada di ujung meja Inayah.
"Haruskah saya menjawab pertanyaanmu, sementara kamu belum menjawab pertanyaan saya?" Inayah kembali memutar pertanyaan dengan sikap tenang, beraneka ragam karakter siswa yang dihadapinya selama menjadi guru bimbingan konseling.
"Tentu, bukankah pertanyaan ada untuk dijawab?" sahut siswa itu,
"Harusnya kalimat itu saya yang ucapkan dan berlaku untuk kamu." Inayah tak kalah mendebat.
"Baiklah, tapi setelahnya jawab pertanyaanku.
"Namaku Rayyan Alfarizky Mahardika, aku siswa baru pindahan dari Jakarta."
"Baik, bisa dijelaskan..."
"Tunggu, maaf kalau aku menyela. Tapi sesuai kesepakatan di awal, Ibu harus menjawab pertanyaan aku juga." dengan tanpa sungkannya siswa baru yang bernama Rayyan itu kembali memotong perkataan Inayah membuat Inayah membuang nafasnya kasar.
"Baik, betul saya akan menikah dan ini undangan pernikahan saya. Kedatangan saya ke sekolah adalah untuk menyerahkan undangan ini dan mengambil surat persetujuan cuti. Tapi karena kamu saya jadi mendapat tugas untuk menangani permasalahan kamu terlebih dahulu sebelum menerima surat persetujuan cuti itu. Jadi sekarang, saya minta kamu dapat diajak kerja sama dengan baik. Mari kita selesaikan permasalahan kamu."
"Permasalahan aku? Maksudnya aku bermasalah?" tanya balik Rayyan dengan wajah tanpa dosanya.
Pertemuan pertama mereka tidak meninggalkan kesan baik bagi Inayah, kesabarannya terus-terusan diuji oleh siswa baru yang bernama Rayyan itu. Wajah tampan dengan penampilan modis, rapi, wangi, jaket hoodie yang dipakai Rayyan bermerk terkenal yang tentunya harganya fantastis. Jelas terlihat penampilan siswa baru itu lebih mencolok dibanding siswa-siswa lainnya. Sayangnya, wajah tampan itu terlihat menyebalkan di mata Inayah.
"Pantas saja Bu Habibah menyerah." batin Inayah, Bu Habibah adalah guru bimbingan konseling paling senior di sekolah itu. Biasanya siswa-siswa yang bermasalah dengan mudah diselesaikan oleh beliau, sementara Inayah dan dua rekan guru bimbingan konseling lainnya lebih banyak menangani tugas coaching untuk mengarahkan minat dan bakat siswa.
Tapi ternyata kali ini Bu Habibah menyerah, entah seperti apa sikap yang ditunjukkan Rayyan saat berhadapan dengan guru BK senior itu yang pasti Inayah yakin sangat menyebalkan hingga Bu Habibah menyerah.
"Kamu merasa tidak punya masalah? Lalu kenapa kamu berada di sini?" Walaupun intonasi bicara Inayah masih lembut tetapi tatapannya begitu tajam memindai setiap gerak-gerik Rayyan.
"Aku ada di sini? Bukankah ibu yang memanggilku?" sahut Rayyan dengan percaya dirinya.
"Baiklah Rayyan ..." Setelah beberapa detik Inayah mengondisikan hati dan pikirannya, dihirupnya dalam-dalam udara agar memenuhi alveolus di paru-parunya.
"Apa yang membuat kamu pindah sekolah ke Garut? Bukankah sekolah di Jakarta jauh lebih bagus?" pertanyaan pertama yang dilayangkan Inayah.
"Menurutku di sini jauh lebih bagus, lebih indah dan lebih menarik." intonasi bicara Rayyan mendadak berubah membuat Inayah yang sedang mencatat menghentikan gerakan tangannya dan mendongak.
Dilihatnya Rayyan tengah menatapnya dengan tatapan yang terasa berbeda di hati Inayah, bukan tatapan seorang murid kepada gurunya tapi entahlah, Inayah merasakan sesuatu yang berbeda dari tatapan muridnya itu.
"Begitu menurut kamu? Apanya yang indah dan menarik?" Inayah lebih dulu memutuskan pandangan disusul pertanyaan dari jawaban Rayyan yang terdengar ambigu di telinganya.
"Ibu ..."
"Maksudnya?" Inayah memicingkan matanya,
"Iya ibu terlihat sangat indah dan menarik." terang Rayyan dengan santainya, sementara Inayah seketika membulatkan matanya sambil geleng-geleng kepala.
"Rayyan anak saleh ..." suara Inayah melembut, dia tidak bisa menghadapi Rayyan dengan emosi yang meledak, anak ini sepertinya butuh perhatian lebih. Bisa jadi Rayyan adalah anak broken home hingga berakhir di sekolah daerah padahal kurang dari setahun Rayyan akan lulus dari sekolah bertaraf internasional di Jakarta. Namun dia harus terdampar di sekolah swasta yang ada di daerah.
"Aku anak Papa Ariq Ibu bukan anak saleh ..." goda Rayyan sambil terkekeh membuat Inayah kembali menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
"Baiklah Rayyan anak Papa Ariq yang saleh, dengarkan Ibu." Rayyan memusatkan atensinya, menatap intens dang guru yang sedang memberikan motivasi kepadanya. Inayah mengalihkan pembahasan ambigu yang dimulai oleh anak itu, dia tahu jika masa remaja adalah masa yang penuh dengan rasa ingin tahu dan penasaran. Kata-kata Rayyan yang seolah merayunya akan dianggap hanya keisengan belaka. Inayah akan sangat bahagia ketika setiap murid yang bertemu dan melakukan konseling dengannya merasakan kenyamanan karena sejatinya itu akan mempermudah Inayah dalam memberikan masukan dan motivasi pada setiap muridnya.
Cukup lama Inayah berbicara dan dia akhirnya lega karena Rayyan terlihat fokus menyimak apa yang dikatakannya. Inayah tidak tahu saja jika yang menjadi pusat perhatian Rayyan adalah bibir mungil yang berwarna pink alami miliknya.
"Baiklah Rayyan, ibu harap dipertemuan kita selanjutnya ada kabar baik yang Ibu terima dari guru-guru ataupun kepala sekolah. Sampai saat ini hanya ini yang bisa Ibu lakukan, mengingatkan kamu agar bisa lebih menghargai waktu dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Jangan sampai di masa mendatang nanti hanya penyesalan yang kamu dapatkan karena tidak sungguh-sungguh dalam belajar hari ini." pungkas Inayah mengakhiri sesi pemberian motivasinya.
Rayyan mengangguk dengan senyum yang terlukis di wajah tampannya dan dibalas dengan senyum ramah oleh Inayah.
"Happy wedding, Ibu. Semoga pernikahannya lancar dan menjadi keluarga sakinah, mawaddah warahmah." ucap Rayyan tulus sebelum meninggalkan ruangan BK dan diaminkan oleh Inayah dengan tulus pula.
Selesai sudah tugasnya, dia berharap Rayyan menunjukkan keseriusannya untuk berubah menjadi lebih baik.
Sebagai murid baru awalnya semua guru memaklumi dengan sikap Rayyan yang sering tertidur di kelas dan terlihat bermalas-malasan dalam belajar. Tapi sesudah satu minggu berlalu pihak sekolah tidak bisa mengabaikan perilakunya tersebut sehingga menugaskan guru BK senior untuk bertindak.
Sayangnya perilaku Rayyan tak kunjung berubah. Dia bahkan semakin bertindak seenaknya, tidur di kelas dengan kedua kakinya diselonjorkan ke kursi yang lain. Bu Habibah yang hampir setiap hari memanggil Rayyan setiap pulang sekolah merasa jengkel dan akhirnya menyerah. Berharap guru lain bisa mengatasinya dan Inayahlah yang menjadi sasaran karena dua guru BK lainnya tengah sibuk melakukan pembimbingan persiapan masuk universitas.
"Huft ...akhirnya selesai." Inayah berjalan dengan tenang menuju parkiran tempat motornya di sana. Di tangannya sebuah amplof surat persetujuan pengajuan cuti di bawanya. Dia baru saja keluar dari ruang kepala sekolah untuk mengambilnya sekalian menyerahkan undangan pernikahannya yang akan digelar hari Sabtu, lima hari dari sekarang.
"Bu Inayah, sudah selesai?" tanya Pak satpam yang mengetahui kegiatan Inayah hari ini.
"Alhamdulillah sudah Pak." sahut Inayah sambil mengibaskan amplof surat yang ada di tangannya.
"Alhamdulillah, lancar segala sesuatunya yang Bu sampai hari H, jadi keluarga sakinah mawaddah warahmah." Pak satpam yang sama-sama menuju parkiran pun mendo'akan dengan tulus akan pernikahan Inayah dan langsung diaminkan oleh Inayah dengan sungguh-sungguh.
"Bapak jangan lupa nanti datang ya, ajak ibu dan anak-anak Bapak juga."
"Siap Bu, Insya Allah saya sekeluarga datang "
Inayah pun perlahan melajukan motor maticnya dari parkiran menuju gerbang sekolah setelah pamit dengan mengucapkan salam pada Pak Satpam.
Tanpa Inayah ketahui dari lantai dua salah satu gedung yang menghadap ke area parkir seseorang sejak tadi memerhatikannya dengan fokus.
"Cantik" ucap Rayyan dengan senyum terlukis di wajah tampannya.
Hari yang dinantikan akan segera tiba, besok hari yang penting itu akan dijalani Inayah. Seluruh keluarga besar dari pihak Ibu dan almarhum Bapak sudah berdatangan. Hajatan pernikahan pertama di keluarga Inayah tentu menjadi momen penting bagi seluruh anggota keluarga.
Almarhum Bapak Inayah adalah anak tertua dari lima bersaudara. Keempat adik dan keluarganya yang berada di luar kota datang untuk menjadi saksi kebahagiaan keponakan sulung mereka.
Keluarga Ibu Ani yang juga asli Garut berangsur berdatangan, membantu semua persiapan hajatan.
"Teteh, kata orang WO hari ini akan ada yang datang buat henna pengantin." Indira memasuki kamar Inayah hang sudah didekorasi menjadi kamar pengantin. Pernikahan memang akan dilaksanakan di kediaman keluarga Inayah.
Farhan sempat menawarkan untuk melangsungkan pesta pernikahan di gedung tetapi Inayah menolak, dia pikir halaman rumahnya cukup luas untuk melangsungkan pesta pernikahan. Undangan juga tidak terlalu banyak, sekitar tiga ratus orang dari pihak Inayah dan lima puluh orang dari pihak Farhan.
Selama seminggu ini tak ada komunikasi intens antara Inayah dan Farhan. Sesekali Inayah yang mengirimkan pesan berupa foto berbagai persiapan menjelang hari pernikahan mereka dan Farhan hanya membalas dengan menyematkan emot jempol.
Tidak masalah bagi Inayah, mungkin calon suaminya itu sedang sibuk, sebelumnya Farhan sudah mengatakan jika dirinya akan mengajukan cuti menikah selama seminggu dan tentunya harus menyelesaikan pekerjaan sebelum cuti. Rencananya Farhan akan pulang ke Garut hari Jumat sore, setelah jam kantornya selesai. Semenjak kuliah hingga bekerja Farhan memang berada di Jakarta.
"Semua persiapan pernikahan sudah selesai seratus persen saat menjelang Maghrib. tangan Inayah juga sudah berhias henna sejak tadi siang. Saat ini anggota keluarga tengah berkumpul di ruang tengah, membahas persiapan esok hari sambil bercanda tawa. Sementara Inayah memilih berada di dapur menunggu adzan Maghrib berkumandang karena saat ini dia tengah berpuasa.
"Allahu Akbar ...Allahu Akbar ..."
"Alhamdulillah ..." gumam Inayah, mengambil segelas air putih hangat yang sudah di siapkannya di atas meja.
"Teh sudah buka?" Ibu Ani yang turut berkumpul dengan anggota keluarga di ruang tengah datang menghampiri sang putri.
"Sudah Bu ..."
"Mau makan dulu atau salat dulu biar ibu siapkan."
"Salat dulu aja Bu." Sahut Inayah sembari beranjak dari duduknya. Segelas air putih hangat sudah membasahi tenggorokannya. Tiga butir kurma juga sudah dimakannya.
"Oya Bu, Irfan belum pulang?" Inayah menanyakan sang adik yang sejak siang tadi pamit untuk mengantarkan beberapa undangan yang belum sempat diantarkannya karena dia harus menyelesaikan tugas kuliahnya. Walau sudah melalui pesan singkat namun kurang afdol rasanya jika tidak disampaikan.
"Belum, tadi kata Dira masih di rumah temennya."
"Oh ..." Inayah hanya ber oh ria, dia pun berlalu menuju kamarnya untuk melaksanakan salat Maghrib. Sempat menyapa sebentar keluarga yang masih berkumpul di ruang tengah sebelum memasuki kamarnya.
Tidak ada kegiatan masak memasak akbar di rumah Inayah karena urusan catering sudah diserahkan include ke pihak WO. Jadi saat ini di rumah Inayah hanya disibukkan dengan persiapan masing-masing anggota keluarga terutama tentang gaun dan riasan yang akan mereka kenakan hari esok. Hari pentingnya Inayah.
"Assalamu'alaikum ...paket." teriakan kurir pengirim paket terdengar sampai ke kamar Inayah yang tengah berdzikir usai mengakhiri salatnya dengan ucapan salam.
Dia memilih melanjutkan aktivitasnya karena merasa tidak memesan paket apapun. Itu pasti paket untuk Indira, biasanya adiknya itu uang sering berbelanja online.
Tok ...tok ...tok ...
"Teh, ada surat buat Teteh." suara Indira di depan pintu kamar Inayah mengalihkan fokus inayah dari Al-Qur'an yang sedang dibacanya.
"Surat?" gumam Inayah, dia sedikit heran menerima kiriman surat.
"Sebentar ..." tanpa membuka mukena Inayah berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Surat dari siapa, Dir?"
"Pengirimnya A Farhan, cieee ...romantis banget, udah ada HP juga masih aja kirim-kiriman surat. Lagian juga besok ketemu, kenapa meski pake surat-suratan segala sih." gerutu Indira hanya direspon senyuman oleh Inayah.
Dalam hati sebenarnya dia juga heran kenapa Farhan sampai mengiriminya sepucuk surat. Padahal kemarin sore masih berkomunikasi perihal persiapan pernikahan. Walau Inayah yang memulai dengan mengirimkan foto pelaminan dan seperti sebelumnya Farhan hanya membalas dengan emot jempol. Tapi Inayah lega calon suaminya masih menyempatkan diri untuk merespon pesannya.
Masih berbalut mukena, Inayah duduk di sisi tempat tidurnya. Perlahan membuka amplof surat berwarna putih itu. Di bagian depan amplof terdapat tulisan namanya sebagai alamat yang dituju dan di bagian belakang amplof tertulis nama Farhan Abdillah sebagai pengirim.
Inayah sangat tahu itu adalah tulisan Farhan. Jaman SMA dulu saat dirinya masih duduk di kelas satu dan Farhan di kelas tiga, mereka sering berkirim surat untuk berkomunikasi.
Awalnya Farhan sempat protes, dia lebih suka bertemu langsung dan mengobrol. Namun lama kelamaan dia pun terbiasa membalas surat-surat Inayah yang juga mempunyai hobi menulis. Bahkan saat kelas dua SMA Inayah terpilih menjadi pimpinan redaksi majalah dinding sekolah karena selama setahun terakhir tulisan-tulisan Inayah hampir setiap hari terbit di majalah dinding sekolah. Hal itu juga yang membuat Farhan mengagumi dan mulai jatuh cinta pada gadis itu.
Teruntuk Inayah ...
Deg ...dada Inayah seketika berdebar hebat saat membaca kalimat pertama dalam surat itu. Serasa ada yang hilang, hatinya hampa, biasanya Farhan mengawali setiap suratnya dengan sebutan Inayahku, tapi ini ...
Inayah menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan membaca surat itu.
Inayah,
Kau tahu tentang hatiku yang tak pernah bisa melupakanmu.
kau tahu tentang diriku yang selalu mengenangmu selamanya.
Bahkan saat jarak membentang di antara kita di hatiku selalu ada namamu.
Aku percaya dengan kesetiaanmu untukku.
Menungguku sampai hari bahagia kita jelang bersama.
Mewujudkan mimpi kita berdua untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Bersama dalam ikatan suci pernikahan.
Inayah,
Maaf jika kejujuran ini akan sangat menyakitimu.
Sejak awal aku sangat yakin jika kamu adalah wanita pilihan yang tepat untuk menjadi pendampingku, menjadi ibu dari anak-anakku.
Aku bahkan tak ragu sedikitpun akan ketulusan cintamu dan kesetiaanmu.
Aku percaya kamu akan mampu menjaga hati hanya untukku.
Namun sayangnya selama tiga tahun perjalanan kisah kita ternyata aku yang tidak sanggup menjaga hati.
Setahun kemarin aku dekat dengan rekan kerjaku. Kebersamaan kami dalam tugas kantor lama-lama membuatku nyaman saat bersamanya. Dia seolah menjadi oase di saat aku berjalan di gurun pasir hubungan kasih kita, maaf.
Tes ...air mata Inayah tanpa dikomando menetes membasahi surat yang sedang dibacanya. Kejujuran Farhan sungguh telah menyakiti hatinya. Tapi Inayah masih mencoba sadar, dia belum selesai membaca surat yang terdiri dari dua halaman itu.
Awalnya aku hanya menganggapnya teman biasa saja. Walau rasa nyaman ada dalam hatiku, tapi logika menyangkal dengan sekuat raga jika ini hanya sementara. Aku dan rekan kerjaku hanya sekedar hiburan saja. Hubungan kami tidak ada ikatan apapun selain sebagai rekan kerja, tak pernah ada kata cinta yang terucap dari kami.
Inayah,
Maaf, kusadari bahwa semua itu adalah salah dan juga keliru. Apa yang aku lakukan akan membuat hatiku semakin ternodai dan hatimu semakin tersakiti.
Maafkanlah sgala khilaf yang tlah aku lewati.
Semua perbuatanku itu tlah membawaku ke dalam jalan yang melupakan Tuhan. Hingga hal yang tidak seharusnya terjadi di antara kami akhirnya terjadi.
Maaf Inayah maaf.
Deg ...dada Inayah kembali berdebar kencang, membaca kalimat itu pikiran Inayah langsung menerawang ke hal yang sangat tidak diharapkan.
Inayah,
Aku tahu bahwa dirimu mendambakan kasih suci yang sejati begitu pun aku. Aku mantap untuk segera menikahimu karena bagiku kamu adalah pilihan yang tepat.
Tapi maaf Inayah, aku baru mengetahui ini tadi siang, jika saat ini dia tengah mengandung anakku.
Deg ...deg ...deg ...
Inayah seketika mematung, air mata yang sejak tadi menggenang dan hanya sesekali menetes membasahi setiap lembaran surat itu kini mengalir deras tanpa bisa dikomando. Dada Inayah naik turun, seolah menahan sesak yang tak mampu lagi dibendungnya. Tangannya yang masih memegang surat itu bergetar hebat. Bahkan tanpa sadar meremas bagian ujung surat itu.
Maafkan aku Inayah, maafkan aku...
Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita. Dia menuntut tanggung jawabku untuk menikahinya.
Besok di hari yang sama dengan pernikahan kita aku akan tetap menikah tapi dengan dia yang kini tengah mengandung darah dagingku.
Maafkan aku Inayah, ampuni aku. Jika waktunya tiba nanti aku akan datang menemuimu dan keluargamu untuk meminta maaf langsung.
Maafkan aku Inayah, namamu akan selalu ada di hatiku. Kamu adalah wanita terbaik uang pernah hadir dalam hidupku.
Aku mencintaimu, Inayah.
Yang selalu mencintaimu, Farhan Abdillah.
Hweekkkk ....Inayah rasanya ingin muntah membaca kalimat terakhir yang ditulis Farhan dalam suratnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!