Naya dan Jonas memiliki hubungan yang cukup dekat dan saling mendukung dalam berbagai hal. Mereka pertama kali bertemu ketika Naya bekerja sebagai detektif muda di Reynhaven sebuah kota kecil yang ada di daerah X. Dan Jonas adalah seorang wartawan investigasi yang sering kali bekerja sama dengannya untuk mengungkap berbagai kasus besar di kota tersebut. Keduanya memiliki rasa saling percaya yang sangat kuat, dan mereka sering berbicara tentang kasus- kasus yang mereka kerjakan, bahkan mereka juga berbagi informasi dan petunjuk.
Semua berubah ketika Jonas ditemukan tewas dalam kebakaran gedung yang mencurigakan, yang terjadi tiga tahun lalu sebelum pembunuhan berantai terjadi. Kematian Jonas menjadi titik balik dalam hidup Naya. Sebagai teman dekat dan rekan kerja dalam menyelidiki banyak kasus, kematian Jonas mengguncang Naya secara emosional. Kematian itu juga menjadi pemicu bagi penyelidikan yang dia lakukan, karena ia merasa bertanggung jawab atas kehilangan Jonas. la merasa seolah- olah tidak bisa menyelamatkan Jonas, dan rasa bersalah itu menghantuinya sepanjang waktu.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Naya kembali ke kepolisian untuk menyelidiki kasus yang baru-baru ini menggemparkan kota Reynhaven. Ia kembali ke kepolisian dan akan bekerja sama dengan Evan, juniornya.
Setelah dia memasuki dunia detektif kembali, terjadi banyak hal yang membuatnya bingung. Beberapa teka-teki selalu masuk kedalam Email pribadinya. Bahkan di setiap tangan korban terdapat sebuah pola aneh yang berbentuk lingkaran dengan pola sayap.
Pembunuh berantai ini sangat cerdik, dia tidak meninggalkan jejak apapun dalam rencananya. Bahkan, setelah dilakukan autopsi oleh ahli forensik, korban-korban tersebut tidak menunjukkan perlawanan sekalipun.
Hal ini memicu adrenalin Naya. Dia sangat bersemangat dalam mencari jawaban dari semua perlakuan sang pembunuh.
Satu hal yang membuat semua pihak kepolisian sangat bingung. Kenapa pembunuh ini selalu melakukan pembunuhan sebelum tengah malam? Dan itu bertepatan 5 menit sebelum tengah malam, pukul 23.55.
Setelah beberapa bulan pembunuhan ini terus berlanjut, masyarakat sudah mulai gelisah. Sehingga, di setiap pukul 22.00 kota ini akan menjadi gelap gulita. Masyarakat sangat ketakutan. Pembunuh yang masih berkeliaran di sekitar mereka, polisi pun tidak mampu untuk menangkapnya.
Karena hal itu, Naya sangat frustasi dibuatnya. Ia sangat kesal dan marah pada dirinya sendiri. Padahal dia sudah bertekad untuk menebus kesalahannya di masa lalu dengan kembali lagi ke dunia detektif.
Akan tetapi, Naya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia mulai mencari-cari apa keanehan tersebut. Semua dokumen dan kasus-kasus pembunuhan itu ia ulik kembali. Mencari keanehan yang mengganjal didalam hatinya. Hingga, ia menemukan jawaban dari semua keganjalan tersebut.
Naya bersama Evan juniornya, menyusun kembali hal-hal aneh yang sudah terjadi. Dimulai dari gambar korban dan berbagai kasus lainnya. Menautkan kasus itu satu persatu. Hingga mereka menemukan jawabannya. Kasus pembunuhan ini berkaitan erat dengan kasus pembakaran gudang tiga tahun yang lalu. Dimana, kasus itu adalah kegagalan terbesar dalam hidup Naya, masa lalu kelam Naya, dan yang menghancurkan hidup Naya. Semuanya berkaitan dengan erat.
Naya dan Evan berpikir, siapa pembunuh ini? Kenapa semua korbannya adalah orang-orang yang berkaitan dengan kasus 3 tahun yang lalu? Apa yang tidak diketahui oleh Naya disini?
Apa yang akan dilakukan oleh Naya dan Evan selanjutnya?
"Selamat malam, pemirsa. Sebuah kasus pembunuhan menggemparkan warga Reynhaven. Seorang korban ditemukan tewas di kediamannya bertepatan di ruang tamunya sendiri, tanpa meninggalkan jejak apapun yang mengarah pada pelaku. Hingga kini, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan intensif. Tidak ada tanda-tanda perlawanan atau bukti fisik yang ditemukan di lokasi kejadian, membuat kasus ini sedikit sulit untuk dipecahkan. Polisi meminta masyarakat yang memiliki informasi untuk segera melapor. Kami akan terus mengikuti perkembangan kasus ini. Tetaplah waspada dan jaga keamanan lingkungan Anda. Saya, Sienna Harlow, pamit. Selamat malam."
Dunia maya kini digemparkan dengan penemuan mayat yang ditemukan di sebuah apartemen korban. Korban ditemukan oleh sang istri yang baru saja pulang dari dinas luar negeri.
Kini, disekitar apartemen itu mulai dikelilingi oleh masyarakat yang tinggal di tempat yang sama. Berbagai tatapan yang tertuju pada korban dan juga keluarga korban.
Evan Sanders seorang detektif muda mulai memasuki kawasan tkp bersama dengan kepala detektif yaitu Owen Hernandes.
Sebelum kejadian berlangsung, Evan dan Owen tengah menikmati makan malam mereka bersama rekan-rekan lainnya. Malam ini, mereka bertugas untuk menjaga kawasan Reynhaven.
Reynhaven adalah sebuah kota kecil yang memiliki banyak penduduk. Kota ini sangat aman, damai, tentram, dan begitu indah. Hanya kejahatan kecil yang selalu terjadi disini. Tidak banyak kasus besar di kota ini.
Kini, kota Reynhaven kembali gempar seperti tiga tahun yang lalu. Walaupun bukan sejenis kasus yang sama, tetapi cukup membuat kegemparan di masyarakat Reynhaven.
"Ketua, hari ini kita makan apa?" tanya salah satu detektif yang bernama Rayyan.
"Apakah, hari ini anda yang akan mentraktir kami, ketua?" sahut yang lain.
"Hei bocah! Kalian ini!" tegur Owen ketua detektif distrik 16.
"Ayolah ketua, apa anda tidak merasa kasihan pada kami? Malam ini kita akan lembur. Agar tetap segar selama lembur, kami butuh asupan perut. Ayolah, ketua," bujuk Rayyan.
"Hahh, bocah ini. Ya sudah, pesan apapun yang kalian inginkan." Owen merasa tidak tega dengan anak buahnya ini. Melihat wajah mereka yang kegirangan karena di traktir makanan, membuat dirinya tersenyum bahagia.
Owen melihat kepada Evan. Evan Sanders, juniornya yang sangat terampil. Keterampilannya itu, membuat dia mengingatkan seorang rekan yang pernah bekerja sama dengannya tiga tahun yang lalu. Evan pria tampan dan sangat kaku. Dia tidak mampu untuk menyampaikan perasaannya.
"Evan, apa yang sedang kamu pikirkan?" Owen menepuk bahu Evan untuk menyadarkan lelaki itu dari lamunannya.
Evan kaget sejenak, lalu memperhatikan orang yang baru saja menepuk bahunya. "Ah, ketua. Tidak, saya tidak memikirkan apapun," jawabnya.
"Malam ini tidak perlu terlalu tegang. Malam ini akan sama seperti malam-malam biasanya. Ini bahkan sudah jam 23.30. Dan kita juga belum mendapatkan laporan apapun. Sama seperti biasanya, jadi jangan menghiraukan apapun. Kita bisa berganti-gantian berjaga malam ini. Tidak usah semuanya," ujar Owen menenangkan kegelisahan di raut wajah Evan.
"Tidak ketua. Saya tidak menghiraukan hal itu. Saya tahu, bahwa kota ini adalah kota yang aman. Hanya saja...."
"Hanya saja?" Owen mengerutkan dahinya.
"Apakah saya boleh menanyakan hal ini pada anda?" tanya Evan.
"Memang pertanyaan apa?"
"Siapa Naya Vellin?" tanya Evan.
Semua orang menghentikan aktivitasnya ketika mendengarkan nama Naya Vellin. Evan melihat rekan-rekannya. Inilah yang membuat Evan bingung. Ketika dia menyinggung nama Naya Vellin, wajah semua orang tiba-tiba tampak kaku.
"Haha, aku sudah pernah mengatakannya padamu. Naya Vellin adalah seniormu dulu," jawab Owen.
"Ya, saya tahu itu. Tapi...."
Ucapan Evan terhenti ketika Rayyan mengatakan pesanan mereka telah tiba. "Pesanan kita sudah sampai!" serunya disertai tawa nan canggung.
Evan memendam pertanyaannya kembali. Ia memilih untuk bergabung dengan rekan-rekannya yang lain. Bertanya pun tidak akan ada gunanya. Jika saja, dokumen tentang Naya Vellin masih ada di kantor ini, itu akan memudahkan dirinya.
Baru beberapa suap mie masuk kedalam mulut mereka. Sebuah panggilan telepon masuk mengabarkan terdapat mayat di sebuah apartemen.
Mereka terdiam sejenak dan saling memandang satu sama lain. Dan dengan sigap, Evan dan Owen langsung berdiri dari kursi mereka dan mengambil semua perlengkapan yang dibutuhkan. Dan segera berangkat menuju TKP.
Sesampainya mereka disana, Evan dan Owen turun dari mobil dan melihat TKP sudah dipenuhi oleh penghuni apartemen yang berbagai macam ekspresi. Mereka berdua masuk kedalam sembari menunjukkan ID mereka.
Seorang wanita yang terduduk ketakutan dan seorang mayat yang tergeletak di ruang tamu. Ahli forensik mulai mengambil semua bukti yang ada di rumah ini. Mereka berdua diberikan sebuah safety shoes untuk menghindari kerusakan TKP.
Evan melihat-lihat kedalam, sedangkan Owen menanyai aparat kepolisian yang berdiri didepan pintu.
Evan melihat mayat yang tergeletak di lantai yang dingin itu. Meneliti keseluruhan tubuh mayat dari atas sampai bawah. Ia mengerutkan dahinya. Terdapat keanehan pada mayat ini. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya.
"Mayat ini tidak terdapat tanda kekerasan yang menyebabkan kematian dari luar, apakah ini berasal dari dalam?" Evan bergumam sendiri.
"Apa yang kamu gumamkan anak muda?" sahut salah seorang ahli forensik yang tengah menyelidiki mayat itu.
"Tidak."
"Mm, Tuan Ranmor," panggil Evan.
"Ada apa?"
"Apakah korban ini adalah korban dari pembunuhan?" tanya Evan.
"Entahlah. Kami tidak bisa memberikan jawaban apapun sebelum melakukan autopsi pada mayat ini," jawabnya.
Evan menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Tuan Ranmor itu. Ia berjalan menghampiri Owen.
"Ketua, apa anda menemukan sesuatu?" tanya Evan.
"Ya, sedikit."
Evan mengerutkan dahinya. Dia menatap Owen meminta penjelasan yang lebih jelas.
"Maksudku, tidak banyak informasi yang aku dapatkan saat ini. Aku baru saja mewawancarai wanita yang terduduk itu. Rupanya, dia adalah pelapor sekaligus istri dari korban."
Mendengar hal itu, Evan terkejut dan terdiam sejenak. Menatap sang istri dan korban secara bergantian.
"Singkirkan pemikiran itu, Evan," tegur Owen tegas.
"Istrinya baru kembali dari dinas luar negeri. Ia baru tiba di rumahnya sekitar pukul 23.54. Dan disaat ia memasuki rumahnya, ia melihat tubuh suaminya yang tergeletak kaku. Laporannya satu menit setelah dia sampai kesini. 23.55," jelas Owen.
"Apakah anda sudah memeriksa CCTV di kawasan apartemen ini?" tanya Evan.
"Itulah yang membuat kita kesulitan saat ini. CCTV di sekitar kawasan apartemen sedang dalam perbaikan malam ini. Dan seluruh CCTV dari pintu masuk hingga lantai teratas dimatikan. Jadi, tidak ada bukti CCTV," jelas Owen sembari menggaruk kepalanya mulai kebingungan.
"Silahkan melihat-lihat Pak detektif. Kami akan kembali ke rumah sakit, dan segera memberikan laporan dari hasil autopsi secepatnya. Mayat akan segera dibawa lima menit lagi," jelas salah satu rekan wanita Tuan Ranmor.
Evan menganggukkan kepalanya. Ia kembali mendekati korban. Ia kembali meneliti satu persatu. Hingga akhirnya dia menemukan sesuatu. Evan mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambar seluruh tubuh korban satu persatu.
"Kami akan membawa mayat ini ke rumah sakit. Mohon kerja samanya."
Evan mundur beberapa langkah dan membiarkan pihak rumah sakit untuk bekerja.
"Mari kita kembali, ketua. Ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada anda."
......To be continue ......
"Tolong! Tolong saya! Seseorang baru saja mengambil tas saya!" teriak gadis muda di sebuah pasar pagi di sebuah desa Rackleen bagian kecil kota Reynhaven.
Semua orang mengalihkan perhatian pada gadis yang berteriak itu. Beberapa orang mencoba menenangkannya dan ada juga yang tidak ingin ikut campur dalam urusan itu. Begitu juga dengan aku. Aku sebenarnya tidak ingin ikut campur. Tetapi, melihatnya dalam keputusasaan dan tidak ada petugas keamanan disekitar sini. Aku dengan berat hati langsung mengejar pencuri itu.
Aku Naya Vellin, gadis muda yang berusia 32 tahun. Yah, aku masih tergolong muda untuk ini. Aku seorang detektif, dulunya. Mungkin, tiga tahun yang lalu.
Aku fokus mengejar pencuri kecil itu, dia mencoba menghalangi perjalanan ku untuk mengejarnya. Tapi, itu tidak berpengaruh padaku. Aku melihatnya berbelok ke kanan. Aku melihat ke kiri dan ke kanan dengan cepat. Kemudian dengan spontan aku memutar arah larian ku ke sebelah kiri.
Gotcha! Aku mendapatkannya. Dengan segera aku menghambat larian pencuri kecil itu. Menjulurkan kakiku hingga dia terjatuh. Dengan segera aku menahan pergerakannya dengan memberikan titik tumpuan berat pada lutut ku.
"Dasar pencuri amatir." Aku mengejeknya dan langsung mengambil tas yang ia curi.
"Lepaskan aku! Siapa kamu? Kenapa kamu ikut campur dengan urusan ku?" teriak pencuri kecil ini.
"Ayolah! Ada banyak pekerjaan yang bagus dan juga bersih. Tapi, kenapa kamu mengambil langkah kotor ini, pencuri kecil?" ejekku kembali.
"Ahh, nona muda!" suara berat terdengar dari belakang. Aku menoleh, rupanya itu adalah petugas keamanan.
"Terima kasih karena sudah membantu kami menangkap pencuri ini."
Aku menyerahkan pencuri kecil itu beserta tas curiannya pada petugas keamanan. "Sama-sama. Kalau begitu, silahkan kembalikan ini kepada pemiliknya. Saya akan pergi."
Aku berjalan kedepan, lalu berhenti sejenak. "Oh ya petugas, lain kali, lebih sigap lah dalam bergerak jangan seperti siput. Kalau begitu, sampai jumpa." Aku melambaikan tanganku dari belakang kepadanya.
"Apa? Dasar wanita sombong!" Aku mendengar umpatannya, tapi aku mengabaikan umpatan itu.
Naya, kamu kembali mencetak rekor penghianat 101 kali di tahun ini. Padahal kamu sudah berjanji pada dirimu sendiri untuk tidak terlibat lagi dengan apapun yang berkaitan dengan detektif, polisi, petugas keamanan, atau apapun itu. Tapi, lihatlah dirimu.
"Sial!" Aku mengacak-acak rambutku merasa kesal.
"Baiklah. Ini yang terakhir kalinya." Aku kembali berjanji pada diriku sendiri.
****************
"Evan, apa kamu sudah menemukan sesuatu terkait dengan lingkaran hitam bersayap itu?" tanya Owen.
Evan menggelengkan kepalanya pelan. Ia menghela napas kasar, menyandarkan seluruh tubuhnya pada kursi duduknya melepas penat lembur semalam.
Sepulang kejadian itu, Evan langsung memberikan penemuannya pada yang lain.
"Apa hasil tim forensik juga belum diserahkan?" teriak Owen frustasi.
"Belum ketua."
"Sial!" Evan mengumpat pada dirinya sendiri.
Dia kembali membuka ponselnya dan melihat tubuh mayat itu dengan penuh ketelitian. Bahkan dia sampai menggunakan kaca pembesar untuk menemukan sesuatu sebagai alasan pembunuhan. Mungkin ada sesuatu seperti bekas suntikan di tubuhnya. Tetapi, Evan tidak menemukan apapun.
"Hahh, kalau saja Naya ada disini, semuanya pasti akan lebih mudah."
Evan tanpa sengaja mendengar gumaman dari Owen. Dia heran, kenapa seorang Naya Vellin keluar dari dunia detektif? Apa alasannya?
"Ketua Owen! Laporan hasil autopsi baru saja keluar!" teriak Rayyan.
"Kalau begitu, Evan ayo ikuti aku!" Owen meraih jasnya beserta ID dan pergi ke rumah sakit forensik.
Sesampainya disana, mereka langsung dibawa ke ruang diskusi. Evan dan Owen menunggu dokter Ranmor untuk membawakan hasil autopsi mayat.
"Maaf membuat anda menunggu lama. Ini adalah berkas laporan hasil autopsi dari pihak forensik." Ranmor menyerahkan file coklat pada Owen.
"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Evan.
"Kamu bisa melihatnya di situ." Ranmor menunjuk pada berkas dengan dagunya.
Evan paling kesal dengan orang yang bernama Ranmor ini. Dia benar-benar membuat orang-orang kesal dengan perilakunya itu.
"Evan, ini adalah kasus pembunuhan," jawab Owen.
"Ya, kami menemukan ricin di dalam pembuluh darahnya dan juga gelas teh yang ada di meja ruang tamunya," jelas Ranmor.
"Ricin? Apa itu?" tanya Evan.
"Belajarlah lebih banyak lagi anak muda," ujar Ranmor sarkas.
Evan semakin tidak menyukai pria tua itu. Tidak sopan, dan berkata semaunya saja.
"Ah, haha. Maafkan dokter Ranmor, detektif Evan. Dia memang seperti itu. Akan saya jelaskan. Ricin adalah sejenis racun alami dari biji jarak atau castor bean. Biji jarak ini diolah menjadi serbuk. Jika dilarutkan dalam air panas, seperti teh, kopi, atau minuman panas lainnya, dia akan larut dengan sempurna tidak ada jejak. Biji jarak ini jika dilarutkan dalam air, dia menjadi tidak berbau dan tidak memiliki rasa. Kami juga menemukan zat ricin ini walaupun sulit untuk dideteksi. Kemungkinan pelaku memberikan dosis yang sangat banyak hingga menghancurkan ginjal dan hati korban. Jika digunakan dalam dosis yang banyak, hanya butuh waktu tiga sampai lima menit saja sebelum kematian," jelas Hana salah satu asisten dokter Ranmor.
"Begitu ya. Tetapi, kenapa kalian bisa menyimpulkan bahwa ini adalah kasus pembunuhan?" tanya Evan.
"Sedangkan di TKP itu tidak ada jejak sama sekali," ujar Evan menambah.
"Kamu pikir kami ini siapa anak muda? Kami juga menyelidikinya. Kamu melewatkan satu hal detektif muda. Di ruang tamu itu ada dua gelas yang terletak diatas meja. Mungkin, pelaku sudah mengetahuinya. Dia tidak menyentuh minumannya sama sekali. Dan dia membiarkan korban menelannya habis."
"Dan juga, kami menemukan tanda bakar aneh ditangannya, itu seperti...."
"Lingkaran hitam bersayap," jawab Evan dan Ranmor serentak lalu saling memandang satu sama lain.
"Yah, aku merasa dia ingin kita mengetahui perbuatannya dengan meninggalkan jejak di tangan korban," sambung Ranmor.
"Apapun itu, tugas kami sudah selesai. Selanjutnya adalah tugas kalian detektif."
Ranmor dan Hana akan pergi dari ruangan itu, tetapi langkah Ranmor berhenti dan itu mengalihkan perhatian Evan dan Owen juga.
"Saya akan memberikan sebuah saran untukmu, detektif Owen. Jika anda ingin kasus ini terpecahkan, bawa 'dia' kembali."
Setelah itu mereka meninggalkan Evan dan Owen di ruangan itu.
"Siapa yang dimaksud oleh dokter Ranmor itu, ketua?"
"Seseorang yang sangat berbakat. Mungkin, inilah saatnya untuk membawanya kembali," ujarnya.
"Hah?"
"Evan, ikut dengan ku cepat!"
"Baik, ketua."
Evan mendengarkan arahan dari Owen dan mereka menuju ke sebuah desa kecil, Rackleen.
"Kenapa kita disini, ketua?" tanya Evan bingung.
"Kau akan mengetahuinya nanti, Evan."
Keduanya berjalan-jalan sambil mengelilingi jalanan itu. Owen melihat kiri kanannya, berharap ia bertemu dengan orang yang ia cari tanpa sengaja.
Matanya tak sengaja bersitatap dengan wajah yang ia kenal tiga tahun yang lalu. Dan orang yang ia cari saat ini Naya Vellin.
Naya Vellin, dia sedang kencan buta dengan seseorang yang telah dijadwalkan oleh temannya yang ada di desa ini. Naya sungguh tidak tahan dengan pria sombong ini. Dia selalu membanggakan dirinya ini dan itu, hingga membuatnya sangat bosan dan merasa tidak tertarik sama sekali. Ia berharap ada seseorang yang akan membantunya.
Ia melihat keluar, tidak mendengarkan celotehan pria didepannya ini lagi. Hingga ia melihat seseorang yang sudah lama tidak ia jumpai. Entah ini keberuntungan atau kesialan, apapun itu ia menganggap ini adalah sebuah keberuntungan.
Naya meletakkan jarinya ke telinga dan memutar jarinya seakan-akan memberikan kode kepada Owen yang tengah melihatnya. Seketika Owen langsung mengerti.
Ia menghentukkan kepalanya ke kaca luar. Hingga orang-orang melihat kearahnya.
"Ketua! Apa yang sedang anda lakukan?" teriak Evan terkejut. Siapa yang tidak terkejut dengan orang yang tiba-tiba menghentukkan kepalanya ke kaca?
"Oh, tidak! Diluar sana ada teman saya yang buta. Maaf tuan Hans, sepertinya kita harus berpisah disini. Kalau begitu sampai jumpa."
"Apa? Tung---"
Naya langsung menarik Owen menjauh dari cafe itu dan diikuti oleh Evan di belakang mereka.
"Hahh, terima kasih senior karena sudah membantu ku. Oh, atau aku harus memanggilmu dengan ketua sekarang?" ledek Naya.
"Haha, hentikan candaan mu itu, Naya. Aku harap, ini adalah terakhir kalinya aku membenturkan keningku di kaca."
"Haha, baiklah."
"Jadi, apa yang membuat anda berada disini senior?" tanya Naya tanpa berbasa basi.
"To the point sekali, tidak ada basa basinya sama sekali."
Naya mengangkat bahunya tak peduli. Ia tak sengaja melihat ke belakang dan menatap lelaki itu.
"Senior, siapa dia?" tanya Naya mengarahkan ibu jarinya ke belakang.
"Oh, yah aku melupakannya. Naya, kenalkan dia adalah Evan, junior mu. Lima tahun lebih muda dari mu."
Naya menganggukkan kepalanya.
"Naya, aku ingin menawarkan kembali posisi lama mu di distrik 16, bagian penyelidikan. Ada sebuah kasus yang harus dipecahkan. Oleh karena itu, kami membutuhkan kemampuan mu untuk menyelesaikan ini," jelas Owen tanpa berbasa basi lagi.
Naya tertegun sejenak. Ia melihat pada Owen. "Sepertinya aku tidak bisa kembali lagi, senior. Aku merasa tidak becus untuk kembali lagi sebagai detektif," jawab Naya lirih.
"Kenapa? Bukankah sudah cukup untuk menghukum dirimu sendiri, Naya? Ini sudah tiga tahun berlalu. Jangan biarkan hal ini merusak karir mu dan menelan mu dalam kegelapan!" tegur Owen.
"Tidak. Hanya saja---"
"Tidak usah memaksa lagi, ketua. Lihatlah seorang Naya Vellin saat ini. Dia bukanlah Naya Vellin yang di agung-agungkan oleh senior yang lain. Dia hanyalah seorang pengecut yang bersembunyi di sebuah desa terpencil ini. Untuk menebus kesalahannya di masa lalu. Seharusnya, kau menebusnya dengan menjadi orang yang lebih baik. Tetapi, kau malah bersembunyi disini seperti pengecut saja," sindir Evan.
Naya tak terima dengan sindirian itu. Tetapi, yang dikatakannya benar. Seharusnya dia menjadi orang yang lebih baik lagi. Kalau dipikir-pikir lagi, bukan hanya dirinya saja yang terpuruk akan luka tiga tahun lalu. Seniornya juga pasti merasakan hal yang sama.
Naya memejamkan matanya sejenak. Kemudian ia menatap Evan dan berjalan mendekati lelaki muda itu. Naya melayangkan tinjunya ke perut Evan dengan kuat, hingga membuat lelaki itu meringis kesakitan. Owen menganga tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
"Yah, kau ada benarnya juga, bocah. Tetapi, bukankah kata-katamu itu terlalu kasar terhadap senior mu? Apalagi aku lebih tua lima tahun dari mu. Yang artinya kau masih berusia 27 tahun. Apa tidak ada senior disana yang mengajarkanmu bagaimana seharusnya bersikap sopan santun pada seorang senior?"
"Ap---?"
"Terserah lah. Senior, aku akan kembali untuk membantu kasus itu, dan juga untuk mengajari bocah ini sopan santun." Naya mengusak rambut Evan kasar, membuat Evan kesal dibuatnya.
"Saya bukan bocah!"
...To be continue ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!