Bulan November tiba dengan membawa hawa sejuk disertai aroma khas hujan yang begitu memikat indera penciuman. Hujan turun hampir setiap hari, terkadang lembut seperti rintik pelipur lara, terkadang deras seperti tumpahan langit yang tidak tertahan. Seperti sore hari ini, hujan turun sangat deras hingga membuat genangan air setinggi mata kaki di halaman sekolah.
“Huh, kapan hujan ini selesai, ya?” gumam Alfariel yang berdiri tepat di ambang pintu kelas dengan tangan terlipat di dada. Pandangannya terpaku pada halaman sekolah yang basah oleh hujan.
“Hujan kayak gini awet kali, Bro,” sahut Zidan yang berada tepat di belakang Alfariel.
Sudah sekitar setengah jam sejak pelajaran terakhir selesai, tetapi beberapa siswa enggan meninggalkan kelas karena hujan deras. Mereka memutuskan menunggu hingga hujan sedikit mereda. Di kelas XII MIPA B, hanya Alfariel dan empat temannya yang masih bertahan. Rencana Alfariel untuk berkumpul di base camp pun akhirnya harus dibatalkan.
Gibran menenteng tas ranselnya sambil berjalan menuju pintu kelas. “Jadi gimana nih? Kalau nggak jadi, gue pulang aja,” ujarnya dengan nada sedikit kesal.
“Eits, tunggu dulu, Bro! Sabar, masih nulis ini,” balas Fariz sambil sedikit berteriak dari tempat duduknya. Tangannya sibuk menulis sesuatu di secarik kertas kecil, matanya serius menatap tulisan yang sedang dibuat. Sementara itu, Abyan yang duduk di kursi depannya dengan cekatan membantu menggulung kertas tersebut.
Alfariel hanya tersenyum tipis sambil mengamati mereka. “Buru-buru amat sih, Gib. Lo kebelet boker ya?”.
Gibran memutar bola matanya dengan kesal. “Yaudah, cepetan!”
Abyan yang sudah selesai menggulung kertas langsung berdiri dan memimpin. “Ayo, ayo kumpul!” perintah Abyan sambil menggenggam gulungan kertas di tangannya. Dengan cepat, dia mengajak teman-temannya untuk berkumpul seolah tidak sabar untuk segera melanjutkan rencana mereka.
Abyan melempar gulungan kertas ke atas meja. Beberapa gulungan kertas itu tegeletak di sana. Diambilnya satu dari lima gulungan kertas yang ada. Perlahan, dia membuka gulungan tersebut dan terlihat sebuah nama tertulis di sana. “Alfariel,” ucapnya kemudian.
“Mulai hari ini jabatan ketua geng Black Secret pindah ke tangan Alfariel.” Zidan bersuara, menunjuk Alfariel yang duduk di meja.
Black Secret, geng paling terkenal di kalangan siswa-siswi SMA Global, dikenal karena para anggotanya yang semuanya memiliki kemampuan luar biasa. Mereka adalah Alfariel, Fariz, Zidan, Abyan, dan Gibran. Anggota Black Secret tidak hanya jago dalam berbagai bidang akademik dan non-akademik, tetapi juga terkenal kekompakannya dalam segala hal. Nama mereka sudah tidak asing lagi di setiap sudut sekolah.
Abyan mengambil lipatan kertas yang ada di dalam kantung hoodie lalu membuka lalu mulai membacanya dengan keras-keras. “Peraturan menjadi ketua geng ada empat. Pertama, menjabat selama kurang lebih lima bulan. Kedua, mengeluarkan misi sekurang-kurangnya berjumlah lima. Ketiga, memimpin dalam menjalankan misi dan berani bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuat. Terakhir, keempat, tidak boleh otoriter.”
Alfariel tersenyum smrik, menyeret tubuhnya menuruni meja sambil memasang ekspresi wajah yang terlihat begitu percaya diri. Sambil meletakkan ransel di pundaknya, dia berkata dengan nada santai, "Gue udah mempersiapkan misi dari sebulan yang lalu, karena feeling gue selalu benar. Kedua kalinya gue jadi ketua di sini." Telunjuknya mengarah ke bawah, di sini dalam artian di geng Black Secret.
Semua yang ada di ruang kelas itu langsung terdiam sejenak. Mereka tahu betul bagaimana Alfariel selalu merencanakan setiap langkah dengan matang dan kali ini pun dia siap untuk memimpin geng mereka menuju tujuan besar yang telah dia rencanakan. Kepercayaan diri yang dia tunjukkan seolah mengisyaratkan bahwa tidak ada tantangan yang terlalu besar bagi Black Secret selama dia yang memimpin.
Fariz bertepuk tangan. Dengan cekatan Fariz duduk di meja, sedangkan Alfariel mendongak menatap Fariz. “Gue selalu percaya dengan misi yang lo buat nanti, misi-misi lo pasti fabulous. Jadi, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” Fariz menepuk bahu Alfariel. “Lo tahu kan, kalau kita ini bosen dipimpin sama Abyan, misinya flat, nggak menantang sama sekali.”
Abyan melirik sekilas ke Fariz lalu menghela napas panjang. “Kenapa nggak dari dulu aja lo milih Alfariel? Nggak usah pakai kertas kayak gini.” Abyan mengangkat gulungan kertas dan menunjukkannya ke Fariz sebelum membuangnya ke lantai. “Basi!”
Zidan ikut bicara, “Alfariel, apa misi kita besok? Tangan gue udah pegel dianggurin.” Dia merenggangkan tangannya dengan gerakan lebar, berharap ada kejelasan.
Alfariel berdiri dengan tegap, menyisir rambut dengan jari-jarinya, menenangkan diri sebelum berbicara. “Yang terpenting satu misi kelar dulu, sisanya gampang, piki-pikir belakangan.”
Gibran yang sudah bersiap untuk keluar dari ruangan memegang handle pintu sambil melontarkan kalimat ketus, “Cepetan deh, ke inti aja! Gue ada bimbel habis ini.”
Alfariel mengangguk lalu berkata tanpa basa-basi, “Oke, misi pertama, buat gaduh satu sekolah,” ujar Alfariel. “Inget, no drugs, no alcohol, no smoking!” Alfariel menekan di setiap katanya.
Gibran menjawab dengan santai, “Intinya, brengsek itu penting dalam menjadi seorang pemain sejati. Gue pulang, bye!” Tanpa menunggu lagi, dia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan teman-temannya dengan rencana yang baru saja dicanangkan.
‘Ngebet banget mau pulang,’ batin Alfariel sambil berdecak. “Gue juga mau pulang. Sampai jumpa besok, Guys!” ujarnya.
Poinnya, rapat hari ini sudah selesai dalam kurun waktu lima menit. Satu misi yang dibahas, dua orang kabur tak beralas. Salahkan Gibran yang menjinjing sepatunya karena hujan. Alfariel juga begitu, tidak memakai sepatu karena takut sepatunya nanti basah.
Tiba-tiba kepala Alfariel melongok di ambang pintu. “Jangan sore-sore pulangnya. Inget cerita hantu di parkiran belakang, sebentar lagi hantunya mau sekolah. Lo nggak pada pulang?”
Ketiga temannya hanya saling pandang dengan ekspresi bingung, mata mereka menatap Alfariel dengan datar seolah tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Alfariel bersuara lagi. “Ya sudah, gue tinggal dulu ya.” Dia berjalan pelan meninggalkan kelas. Namun, seketika teringat sesuatu, Alfariel mundur beberapa langkah, kembali berdiri di depan pintu. “Oh ya, mbak kunti absen, sakit batuk. Katanya kalau ketawa suaranya serak, makanya dia gak masuk. Tulis di absensi, jangan lupa! Bye, bye!” Alfariel melambaikan tangan sambil berlalu.
Abyan dan Zidan bertatap muka. Sementara Fariz terlihat agak panik, memeluk tas ranselnya dengan erat takut terjadi sesuatu.
"ALFARIEL KAMPRET ... TUNGGUIN GUE!" teriak Abyan dan Zidan bersamaan lalu berlari berebutan menuju pintu. Mereka mencoba mengejar Alfariel yang sudah lebih dulu keluar.
Fariz yang semula hanya terdiam segera menyusul temannya, berlari dengan kecepatan penuh meski sedikit tertinggal di belakang. Mereka berlarian ke luar kelas, suara langkah kaki mereka bergema di lorong sekolah yang semakin sepi.
***
Bersambung ....
Hujan deras mengguyur badan kecil perempuan berkacamata yang sedang mengayuh sepeda. Kedua kaki mungilnya yang terbalut celana hitam basah memainkan pedal dengan sangat cekatan. Terkadang ban sepeda itu bergerak tidak teratur, tubuhnya terhuyung ke belakang terkena tamparan angin. Aletta tetap bertekat kuat untuk menerjang ganasnya air dan angin yang menggempurnya berulang-ulang. Suara gemuruh berlomba-lomba dengan suara jatuhnya berjuta tetesan air dari langit tampak mengiringi setiap langkah yang di tempuh oleh Aletta.
Tanpa sepengetahuan Aletta, ternyata tas ransel biru yang tergantung rapi di pundaknya terjatuh di genangan air hujan yang lumayan tinggi. Dia turun dari sepeda lalu melangkah untuk mengambil tas miliknya. Saat dia berlari ingin mencoba mengambil, malangnya Aletta malah terpeleset jatuh, dagunya membentur aspal sehingga menimbulkan rasa ngilu. Walaupun begitu, Aletta tetap bangkit, mengabaikan rasa sakit yang ditimbulkan oleh benturan tadi. Dengan cekatan, Aletta mengambil tasnya, tidak sengaja sebuah cokelat jatuh dan terinjak oleh kakinya. Mulutnya ternganga karena terkejut. “Mati gue! Harus bilang apa sama Enno nanti?” ucapnya sedikit berteriak.
Di tempat yang sama, ternyata ada seorang lelaki yang mengamati Aletta dari tadi. Alfariel berdecak, bisa-bisanya demi sebatang cokelat Aletta sampai rela berhujan-hujanan. Alfariel terus melihat tingkah dari Aletta, dia menggelengkan kepala dengan ukiran senyum yang mengembang di pipinya. Hingga tiba-tiba klakson mobil menyadarkan Alfariel dari lamunan, Alfariel menoleh ke arah sumber suara. Mobil itu sedang memperingati pengguna jalan yang seenaknya berdiri di tengah jalan. Dia langsung bangkit dari duduknya. Tanpa alih-alih Alfariel menarik lengan Aletta dengan kasar, sehingga Aletta meringis karena terasa seperti dicubit. Alfariel menepikan tubuh basah Aletta untuk berteduh di teras toko tempat Alfariel duduk tadi.
“Lo itu gimana, sih? Hujan-hujan berdiri di tengah jalan. Gila ya lo?” tunjuk Alfariel ke arah Aletta.
Aletta mengkerutkan dahinya. “Suka-suka gue lah! Gue mau hujan-hujanan, jungkir balik, atau apalah. Memang ada urusannya sama lo?” balas Aletta tidak mau kalah.
Aletta melepas kacamata lalu menatap wajah lawan bicaranya. Keduanya saling bertatapan, beberapa detik kemudian Alfariel memalingkan wajahnya sambil menghela napas. “Hei, pendek! Jangan berdiri di situ, lo menghalangi jalan.” Dengan tampang tak berdosa, Alfariel berjalan menuju kursi plastik yang dia tempati tadi. Dia duduk lalu menyantap kembali makanannya.
“Ciye ... Mas Alfa. Pacarnya ya?” Pak Agus, tukang bakso langganan Alfariel, tersenyum jahil. Beliau sudah lama berjualan di depan sekolah Alfariel, tepat di teras toko tua yang tidak berpenghuni. Setiap sore sehabis latihan basket, Alfariel selalu menyempatkan dirinya untuk makan bakso di sini. Hitung-hitung sebagai pengganjal lapar setelah latihan.
Alfariel melirik Pak Agus. “Enggak lah, Pak,” ujarnya kemudian. Pandangan Alfariel beralih ke arah Aletta yang menampilkan wajah jijik. Alfariel mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum, berlagak cool di depan Aletta.
Seketika Aletta teringat sesuatu. “Apa yang lo bilang tadi? Asal lo tahu gue itu gak pendek, tinggi gue 160 cm.”
“Tapi gue lebih tinggi daripada lo. Kalau pendek tetap aja pendek, nggak usah mengelak! Sudah kenyataan,” jawab Alfariel.
Aletta menggeram marah, kakinya melangkah menghampiri Alfariel. “Siapa nama lo?” tanyanya dengan berkacak pinggang.
Kepala Alfariel mendongak, tiba-tiba dia tertawa dengan sangat keras. Alfariel berulang kali memukul-mukul meja sambil menghentakkan kaki sebelah kanannya. Aletta berdecak. “Bener-bener gila ini bocah.”
Langsung saja Aletta membalikkan badan berniat untuk pergi meninggalkan laki-laki sok tinggi yang mulai on the way gila itu. Belum sempat melangkah, tangan besar milik Alfariel mencekal tangan Aletta. “Mau kemana?” tanya Alfariel dengan nada yang berubah menjadi datar.
“Nih!” tunjuknya pada bagde name yang tertempel di seragam. “Xavier,” lanjut Alfariel, dia meminum seteguk es teh lalu menompang kepalanya dengan tangan kanan.
Seketika Aletta menjadi terbengong, pandangan matanya yang semula menatap wajah Alfariel, kini turun beralih ke arah bagde name yang tertulis Narendra Alfariel. Tanpa ada lanjutan tulisan huruf X maupun Xavier. ‘marga Xavier? Dia itu … ’ batin Aletta ragu dengan apa yang dipikirkannya sekarang.
“Gue mau pulang dulu,” ucap Aletta terburu-buru.
Alfariel segera berdiri ketika melihat Aletta yang mulai beranjak pergi. Laki-laki itu berlari kecil mengejar Aletta yang belum jauh darinya. Alfariel berhenti di depan Aletta sambil merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi jalan Aletta. “Hei, hei! Lo mau nekat hujan-hujanan?” tanya Alfariel.
“Eum ... ” Aletta terlihat bingung sambil mengusap wajahnya yang terkena tetesan air dari rambutnya. Dia tampak membuka mulut ingin menjawab.
“Sebenarnya lo kenapa, Pendek?” Alfariel memajukan wajahnya, membuat Aletta bergidik takut. Sebenarnya bukan takut, melainkan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Denyut jantungnya berdetak semakin cepat, pipi terasa panas, belum lagi tatapan mata Aletta yang sulit dialihkan dari wajah Alfariel. Penyakit macam apakah ini? Demam, kah?
“Lo … ” ujar Alfariel menggantung. Cukup lama dan akhirnya, “Mau makan bakso nggak?”
“Hah?” Wajah Aletta terlihat bingung. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali.
“Makan,” ucap Alfariel dengan penekanan sambil memperagakan gerakan makan. “Bakso,” lanjutnya dengan menunjuk gerobak bakso milik Pak Agus.
Ekspresi wajah Aletta tidak berubah, masih menatap Alfariel dengan tatapan mata kosong. “Hah?” Dia bertanya lagi.
“Apanya yang hah? Kelihatannya telinga lo bermasalah atau karena faktor tubuh lo yang kurang tinggi?” Alfariel mulai jengah menjawab pertanyaan Aletta yang hanya terdiri dari tiga huruf itu. 'Hah?' Alfariel juga dapat menirunya.
“Gue itu gak pendek tahu! Lo aja yang ketinggian,” jawab Aletta dengan suara keras.
Alfariel menaikkan bahunya tidak peduli. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana, mengangkat sebelah alisnya lalu berjalan. “Oke.”
“Lo yang traktir, kan?” Aletta mengikuti langkah Alfariel dari belakang. “Pak, bakso satu ya,” ucapnya sambil menarik kursi plastik menggunakan kakinya.
“Siapa bilang gue yang traktir? Gue cuma nawarin bakso ke lo doang,” ujar Alfariel enteng.
Perempuan itu menoleh. “Jadi, lo—”
“Tapi kalau lo mau makan, ya gue temenin,” sela Alfariel. “Hm?” Lagi-lagi Alfariel mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum.
Aletta mengangguk sekali. Kemudian, dia duduk di sebelah Alfariel.
“Ini pesanannya, Mbak.” Pak Agus menyodorkan semangkuk bakso dengan asap mengepul di atasnya. “Kalau makan di samping cowok ganteng enak deh kayaknya.”
Dalam diam, Alfariel tersenyum sombong. Dia memasukkan sesuap bakso ke dalam mulutnya lalu menoleh untuk melihat ekspresi Aletta. Aletta tersenyum tipis membalas ucapan Pak Agus, tetapi tidak dengan Alfariel yang menatapnya sambil senyum-senyum itu. Langsung saja Aletta memasang wajah datar lengkap dengan tatapan membunuh. Namun, sikap yang ditunjukkan Aletta berbalik dengan kenyataan yang ada. Aletta malah merasakan pipinya yang mulai memanas. Ada sesuatu yang terbesit di dalam lubuk hatinya.
Apa iya dia masih menyukai lelaki tampan itu? Atau sekedar kagum? Itu semua masih menjadi pertanyaan yang ada di benak Aletta. Jantungnya tidak bisa dibohongi, berdetak lebih kencang yang membuat aliran darahnya memanas dan mengalir melewati kedua pipinya sehingga warna merah tampak tercetak jelas menghiasi wajah cantik Aletta. Dunia Aletta seakan berhenti berputar. Aletta menunduk memegangi kedua pipinya yang bersemu merah.
Tidak disangka, ternyata rasa suka itu kembali hadir. Atau memang perasaan spesial ini Aletta simpan hanya untuk Alfariel. Cassanova tampan SMP Bintang. Aletta masih teringat jelas. Dulu laki-laki itu sering dipanggil Rendra bukan Alfariel. Entah mengapa bisa begitu, Aletta tidak tahu. Yang pasti, dia telah lama mengagumi laki-laki yang bernama Rendra tersebut. Secret admirer. Begitulah Aletta.
Sepertinya Dewi Fortuna berpihak pada Aletta. Bertemu lagi dengan Alfariel setelah dua tahun lebih mereka tidak bertemu. Rindu. Jelas-jelas perasaan ini namanya rindu. Aletta mengakui itu.
***
Bersambung …..
Jalanan aspal di kota basah diguyur hujan. Pengendara motor pun menghentikan aktivitas mengemudi mereka, meneduh di depan toko-toko yang memiliki bangunan besar, berdesakan dengan pejalan kaki yang ikut berteduh di sana. Berbekal jas hujan dari rumah ternyata sia-sia, air hujan tumpah seakan ingin menyiram sampai bagian terkecil dari kota ini. Jas hujan tidak dapat lagi melindungi baju yang mereka kenakan agar tidak tersentuh air. Suara guntur menggelar seperti musik yang mengiri datangnya hujan yang belum juga reda. Kilat pun menyambar menjadi pemandangan yang miris. Pohon-pohon besar menari-nari tertiup angin yang sangat kencang, daun-daunnya terpontang-panting mengikuti arah angin berembus.
Dinginnya angin masuk menembus baju Aletta, menyeruak hingga dapat menggetarkan tulang-tulang. Telapak tangan mungil itu berulang kali Aletta tiup untuk menghantarkan rasa hangat, walaupun hanya bagian tangannya saja. Giginya bergemerutuk menahan hawa dingin yang semakin menjadi-jadi. Berbeda dengan Alfariel, dia terlihat tenang-tenang saja sambil memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di depannya. Alfariel menoleh ke samping, menatap kasihan ke arah Aletta yang menggigil. Buru-buru, Alfariel melepas jaket jeans yang dia kenakan dan menyelimuti tubuh mungil Aletta dengan jaketnya yang terlihat kebesaran di tubuh Aletta.
Kepala Aletta mendongak ke atas. “Eh, nggak usah,” ucap Aletta tergesa.
“Nih, pakai jaket punya gue,” jawab Alfariel sambil menyodorkan jaketnya.
“Gak usah sok jadi pahlawan deh. Basi tau gak?” Aletta berusaha menggoda, sambil mengambil jaket itu dan menyodorkannya kembali kepada Alfariel.
Alfariel hanya tersenyum ringan lalu berkata, "Udah pendek, keras kepala lagi."
Alfariel tetap melanjutkan kegiatannya yang memakaikan jaket miliknya ke tubuh Aletta. Membungkus tubuh Aletta agar tidak kedingingan. Lagipula Alfariel masih bisa menahan hawa dingin, berbeda dengan Aletta yang kewalahan untuk mengusir angin dingin yang menyentuh kulit-kulitnya sensitif. Tanpa sadar, Alfariel mengulas senyum.
Aletta membalas dengan tersenyum balik ke Alfariel. Yang mendapat balasan, mengangguk senang. Sekarang Aletta tidak merasa kedinginan lagi. Namun, bagaimana dengan laki-laki di sampingnya? Dia kedinginan, kah? Netra cokelatnya kembali mendapat sesuatu yang membuatnya heran. Lelaki itu meringis memegangi kakinya. Ada apa dengan kakinya?
Aletta menunduk dan mendapati darah yang mengalir dari kaki laki-laki tersebut. Sepertinya lukanya masih baru. Aletta tidak tinggal diam. Dia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah kotak putih. Aletta kemudian berjongkok di hadapan Alfariel, dia menyentuh luka Alfariel dengan tisu untuk membersihkan darah yang menempel di luka terbuka itu. Alfariel tersentak kaget dengan sesuatu yang menyentuh kakinya.
“Lo ngapain disitu?” tanya Alfariel sambil menyingkirkan tangan Aletta dari lukanya.
Aletta tersenyum paksa. “Cari upil gajah! Lo nggak lihat gue lagi ngapain?”
"Huh! Dasar pendek!" dengus Alfariel.
Aletta menekan tisu dengan kuat sehingga membuat Alfariel terjengkit karena sakit. “Kasar banget, sih?”
"Udah diem aja! Nanti kalau luka lo nggak segera diobati bisa infeksi." Tanpa banyak bicara lagi, Aletta kembali berkutat dengan kegiatannya.
Alfariel tidak dapat menolak, memang ini yang dia butuhkan sekarang. Luka yang terbentuk karena terkena goresan benda tajam. Entah saat kapan, Alfariel tidak tahu. Hanya saja rasa pedihnya mulai muncul saat lukanya terkena air hujan. Berkat Aletta, kaki Alfariel tidak lagi pedih. Bagaimana tidak? Aletta mengobatinya dengan sangat hati-hati. Seolah-olah jika Aletta melakukan kesalahan sedikit akan membuat Alfariel berteriak kesakitan. Alfariel melihat wajah Aletta yang tampak serius, dia bisa merasakan sentuhan lembut dari tangan Aletta yang langsung membuat getaran di hati Alfariel. Dengan telaten, Aletta membebat kaki Alfariel dengan perban. Alfariel yang melihatnya berdecak kagum, lilitan perbannya sangat rapi.
“Selesai.” Aletta tersenyum menampilkan deretan giginya yang rapi.
“Makasih.” Alfariel menurunkan celana abu-abunya yang tergulung. Dia sangat berterima kasih kepada perempuan pendek yang Alfariel sendiri tidak tahu siapa namanya. Sungguh, dia perempuan baik yang pernah Alfariel temui hingga saat ini.
Narendra Alfariel Xavier, lelaki dengan seribu ketampanan yang dapat dengan mudah memikat hati para wanita. Lahir dari keluarga terpandang membuat Alfariel menjadikannya sebagai kesombongan tersendiri. Teknik bergaul yang memilih selalu diterapkan Alfariel. Dia tidak mau berteman dengan orang yang tidak sederajat dengannya. Sombong. Begitulah Alfariel.
Satu lagi, Alfariel tidak suka diatur apalagi dikekang. Keras kepala menjadi indentitas yang wajib ada dalam diri seorang Alfariel. Anehnya, Alfariel belum mempunyai seorang kekasih untuk pengganti perempuan pujaannya dulu, padahal sekarang dia sudah menginjak tahap remaja yang seharusnya penasaran dengan apa itu yang namanya cinta, bergonta-ganti pasangan seperti yang dilakukan teman-temannya. Hingga umur yang ke 17 tahunnya belum sedikitpun dia tertarik dengan perempuan lain. Bukan tidak normal, Alfariel masih mengalami depresi sejak ibunya dinyatakan menghilang saat kecelakaan pesawat 8 tahun silam. Alfariel memang terlihat sehat, tetapi tidak dengan jiwanya. Gio, sang ayah, sangat khawatir dengan sikap Alfariel yang berubah semenjak kejadian memilukan itu. Beberapa cara sudah Gio lakukan untuk menghibur putra tercinta, sampai dia harus memanggil psikiater lagi dan lagi untuk menyembuhkan luka hati Alfariel yang semakin mendalam.
Keheningan memasuki celah diantara mereka, tatapan mata Alfariel menyiratkan sesuatu yang ingin dia ungkapkan, tetapi pikiran Alfariel menolak untuk berbicara, memilih bungkam untuk jawabannya. Alfariel terus saja berpikir tanpa ada tujuan yang jelas, otaknya memprogram cara untuk menghentikan hujan ini secepatnya. Alfariel bosan menghitung rintik hujan yang berjatuhan sejak pertama kali tetesan air jatuh menyentuh permukaan bumi. Sampai saat ini tetap saja tidak ada perubahan, tidak deras, tidak juga reda. Hari yang sama sekali tidak beruntung bagi Alfariel, kakinya terluka, belum lagi dia harus terjebak hujan bersama perempuan menyebalkan itu.
Di sisi lain, Aletta masih menetralkan degup jantungnya yang semakin lama semakin berpacu cepat. Bukan karena Aletta mengidap penyakit jantung, tetapi Aletta untuk pertama kalinya mengagumi laki-laki dengan sepenuh hati. Tidak ada lagi rasa ragu yang menghantui setiap detik. Dulu Aletta pernah mengagumi teman laki-lakinya, saat dia tersenyum memandang, bayangan laki-laki itu semakin kabur. Hanya pujian yang terlontar, tampan. Ternyata Aletta sekadar mengagumi ketampanannya lewat netra cokelatnya yang menilai, bukan dengan hati. Cepat datang dan mudah berlalu.
“Woi!” Tangan Aletta melambai di depan wajah Alfariel.
Alfariel mengerjap beberapa kali.
”SMA mana lo? SMA Global ya?” pertanyaan beruntun terlontar dari mulut Aletta. Dia ingin mengajak Alfariel berbincang supaya tidak terlihat canggung. Namun, tidak ada respons dari Alfariel.
Alfariel mendongak menatap langit. “Hujannya sudah lumayan reda. Apa lo nggak mau pulang?" tanya Alfariel tanpa melihat wajah Aletta. Kemudian, dia bangkit dari duduknya.
”Ya sudah, kalau lo masih ingin disini. Gue pulang dulu.” Alfariel mengambil tas ranselnya kemudian pergi berlalu.
Alfariel menjinjing tas ranselnya dengan tangan kanan, lalu dia berjalan hendak pulang. Lima langkah terhenti, Alfariel memutar tubuhnya ke belakang, dia ingin melihat perempuan yang menolongnya tadi untuk yang terakhir kalinya dalam pertemuan mereka yang berakhir beberapa detik yang lalu. Alfariel memalingkan wajahnya ketika Aletta menatapnya juga, Alfariel menghembuskan napas dan melanjutkan langkahnya tanpa memikirkan perasaan yang sedang Alfariel rasakan. Ada rasa yang mengganjal di dasar lubuk hatinya, rasa takut kehilangan, tetapi dengan siapa? Mungkinkah Aletta? Alfariel menggelengkan kepalanya kuat-kuat menepis segala pikiran bodoh yang mengisi otaknya. Alfariel merasa seakan raganya masih tertinggal di tempat itu, tempat dimana Alfariel pertama kali berjumpa dengan Aletta.
Aletta ingin berteriak, tetapi ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya. Aletta menatap punggung Alfariel yang tampak terlihat semakin kecil dari tempat dia duduk. Bulir air lolos jatuh dari kelopak mata Aletta, manik cokelat itu menatap nanar ke arah perginya lelaki tampan yang baru saja dia temui. Gadis itu berjalan gontai menyebrang jalan, dia mengangkat sepedanya yang terjatuh. Setetes air jatuh melewati ujung rambut hitam milik Aletta, rambutnya yang lembap dia biarkan terurai bebas. Raut wajah Aletta memancarkan kesedihan. Matanya memerah menahan air mata yang berdesak ingin keluar lagi. Kedua netra cokelatnya tergenang air yang ingin tumpah dan menenggelamkan dirinya dalam kelamnya roda kehidupan.
Mengapa harus ada perpisahan jika rasanya sesakit ini?
Aletta dengan susah payah menelan ludah.
Merelakan Alfariel pergi.
Sungguh sangat menyakitkan.
***
Bersambung …..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!