Seoul, 30 Agust 2017
Gugur yang indah. Melupakan semua yang pernah ada. Sahutan angin pertanda sang rindu datang dengan cekatan. Biarkan warna yang indah menghiasi ribuan daun itu. Terbang entah kemana, dan akhirnya jatuh tersayat. Mungkin? Itu bukan kemauan untuknya, tapi ia harus beradaptasi di lingkungannya. Pertanda waktu semakin akan berlalu saja. Meraih jingganya senja, dan ingin berlalu lama bersamanya. Aku tidak ingin ini berakhir dengan kecepatan lari waktu yang kejam. Dan menghadirkan rindu itu akan kembali lagi.
Aku tahu akhir ini tidak lama lagi. Duduk di bangku pojokan sana dan menikmati daun turun pembawa riang bermakna. Alangkah sempurna hari ini. Ku akui inilah hidup sang pemimpi jalan menuju lorong indah penuh bunga. Pencinta gugur suka cita.
Libur telah tiba. Waktu ini sungguh sempit, tetapi sepertinya waktu berjalan dengan sangat lama. Aku tidak ingin musim ini lebih lama lagi, dari pada musim jingga yang menyejukan. Kali ini panas. Banyak dari mereka berjemur di pantai untuk menampilkan bentuk tubuh itu. Sebab raja ombak murka dan menghantam daratan yang luas. Mungkin? Kali ini mereka akan bertanya-tanya akibat siapa? Bukan sadar, mereka tetap membudayakannya.
Duduk sambil mengiaskan kata-kata, lalu dicantumkan disecarik kertas penikmat hati. Aku bangga dapat terhindar dari musim yang ganas itu, dan masuklah kepada mimpi hari-hari yang terwujud saat ini. Bait demi bait ku cantumkan. Tanpa ku ketahui, seseorang duduk sembari memainkan pisau buah yang dibawa. Aku hanya menelan ludah kasar. Saat ini fikiranku hanya satu tujuan, ia adalah seorang psikopat. Aku harus tenang dan tidak ingin mengurusinya lebih lama. Aku hanya diam, fokus pada kertas kosong, dan sibuk memikirkan diksi-diksi terpilih. Ku lirik ia membawa sebuah apel dan mengupasnya.
"Apa ini? Aduh..." Batin. Aku sudah tidak sanggup menahan ludah kasar ini lagi.
"Anda mau?" Tawarnya setelah memotong apel itu.
"Apa yang harus ku lakukan? Ini bukanlah kehendakku. Jika tidak aku ambil, ia akan murka dan bisa saja pisau itu melukaiku. Jika ku ambil mungkin apel itu..." Masih batin yang berbicara. Menjadi pertanyaan bagiku.
"Terima kasih," Akhirnya ku mengambilnya.
Tanpa menghabiskan banyak waktu. Akhirnya sebuah apel itu habis dari gengamannya. Dan ia pergi dengan jalan cool-nya itu.
"Hmm... Untung saja," Lepas dari masalah.
Sangat cepat ku rasakan langit yang jingga itu sudah meninggalkan kesan percaya diriku, kini ku rindu akan kejinggaan itu kembali. Angin semakin kencang saja menerpa tubuh ini. Dan berkumandanglah azan magrib menyeru agar mendirikan shalat. Aku bergegas meninggalkan bangku taman. Kini bangku itu sendiri lagi dipojokan dan tetap dihiasi daun-daun jingga yang jatuh menerpanya. Setelah selesai shalat aku kembali dan mengayuh pedal sampai dirumah. Lorong yang sempit gelap dan hanya satu lampu jalan di ujung lorong tersebut. Semakin mencekam saja, lebih cekatan ku kayuh pedal sepedaku. Tiba-tiba...
"AAA... TOLONGGG!!!" Jeritan seorang wanita.
Aku pun tersentak dan memberhentikan kayuhan pedal sepeda. Memberanikan diri untuk melirik ke belakang. Seseorang pria yang hitam seperti bayangan mendekatiku. Aku sangat takut, perasaan ini tidak karuan. Ternyata, dia pria pembawa pisau buah itu. Tangan kanan itu sudah terlumuri oleh cairan merah. Jantung ini berdetak dengan kencangnya. Dan tak lupa pisau buah tadi masih digenggamnya. Alangkah takutnya aku.
"Hei... Kau!" Ujarnya. Dan menunjukkan pisau itu dihadapanku.
"AAAA!!!" Ku menutup mataku.
"Hei kau!"
"AAAA!!!"
"Mengapa kau?" Tanyanya.
"...." Ku beranikan membuka mata
"Mengapa diam kau takut dengan ini ya?" Ia menghadapkan pisau itu kembali. Aku pun merasa risih.
"Haha... Tenang ini hanya pisau buah, aku menggunakannya hanya untuk buah, masak buat bunuh orang?"
"K... Kau b... Bukan?" Tanyaku masih diambang ketakutan.
"Aku psikopat? Tidak! Aku hanya manusia biasa yang tidak luput dari dosa."
"Jadi itu? Cairan merah?"
"Ini hanya sirup. Aku membelinya, ehh... Terkena paku di ujung lorong sana."
"Nah coba cium. Tak amis bukan?" Ia sodorkan ke hidungku.
"Aihh..." Ujarku kesal.
Sangat berbeda. Sikap dinginnya kemana pergi? Hilang begitu saja. Kami seakan sudah saling mengenal, dan memulai interaksi dengan cukup baik. Tapi, aku masih dalam ambang ketakutan. Sebenarnya aku sudah percaya akannya yang bukan seseorang terbesit sebelumnya di benakku. Tapi sama halnya takut tetaplah menjadi ketakutan yang berarti saat ini.
Kulit sawo matang itu menandakan ia bukanlah dari kota yang banyak orang cukup putih dikatakan. Ya, kota ini banyak sekali orang berkulit putih, bukan sepertinya yang sawo matang itu. Seperti orang Indonesia saja. Hmm... Sudah lupakan!
"AAAA!!!" Teriakan itu terdengar kembali.
Aku dengan sigapnya mencari sumber suara itu, diikuti ia bersamaan. Ternyata disekatan lorong itu ada seseorang berperangai tinggi, dan mengeluarkan kikih yang sangat mengerihkan. Amis ini menyengat sampai pangkal hidungku.
Kembali kecurigaan ini, kali ini benar-benar dia adalah seorang psikopat yang sedang bermain dengan korbannya. Aku hanya terpaku dipojokan, melihat lelaki yang seperti bayangan dari belakang itu. Tiba-tiba suara auangan anjing mengejutkan kami yang sedang menginvestigasi pria bayangan itu. Lari terbirit-birit, dan kayuhan sepedaku percepat, meski terasa berat dari sebelumnya. Kesan lucunya, sepatunya terlepas dan berhenti kembali mengambil sepatunya. Sementara anjing tetap mengejar, ia tetap menekatkan mengambil sepatunya itu.
Ia menatap tajam anjing yang semakin dekat dengannya. Dengan air muka yang begitu dingin dan santai. Aungan itu semakin dekat saja. Aku sudah tidak tahan. Sekitar berbeda 1 meter dengan anjing itu, ia melemparkan sepatunya kembali dan mengambil alih kayuhan sepeda. Huwaaa....
Setelah cukup jauh dari kejaran anjing tersebut, kami pun kembali ketempat semula dari alur yang lain untuk mengambil sepedanya yang tertinggal. Kejadian ini menjadikan kami panik saja. Kami lihat kembali sekatan lorong itu, tiada lagi seseorang bayang itu, hanya tertinggal cairan amis sangat banyak di sana.
🍁🍁🍁
Pagi gugur yang sejuk dan penuh dengan angin suka ria. Ku buka lebar-lebar pintu kaca itu, menunggu masuk ke dalam ruangan walau hanya satu. Mengisi album yang telah lama runtuh dalam kerinduan akan daun-daun pendatang baru. Subuh ini membawakan indahnya cerita sang rindu akan daun jingga yang menghampiri. Lewat lantunan surah Ar-Rahman ku panjatkan kepada sang Khaliq Maha-Esa. Setelah itu berpakaian dan menuju dapur menyantap sarapan yang telah bunda siapkan.
Menjadi seorang anak baru. Aku berfikir bahwa teman-teman akan menatap risih, terutama pada hijab yang menutupi ini. Kali ini ku sadari bahwa toleransi tetap menjadi awal yang baik. Beradaptasi, dan tidak kembali bersikap dingin, seperti saat masa SMP di Indonesia tercinta. Kini aku telah merantau jauh dari negara, kota, dan teman-temanku.
Diantar oleh supir sampai di sekolah. Aku berjalan di tengah-tengah mereka. Banyak dari mereka menatap ku heran, bahkan ada yang menghina. Aku tetap dalam pendirian yang teguh, menutut ilmu dan dapat meyelesaikan dengan kesuksesan.
Sukses. Banyak dari mereka belum mengerti kunci dari kata itu. Kuncinya yaitu bekerja keras. Sehingga seseorang dapat mengerti maksudnya. Bukan hanya sukses dalam hal materialisme, bagi yang benar menyatakan makna lainnya 'Sukses membawa ku dalam kekacauan berarti' maksud inilah yang dapat mewujudkan kinerja, tidak putus asa dan bekerja layaknya profesor terhandal.
Guru yang berperawakan lembut dan santai, memberikan aba-aba untuk diriku memperkenalkan diri.
"Annyeong haseo. Zahra Afifah imnidda." Sapa ku dan mulai memperkenalkan diri.
Belum larut dalam bahas-membahas tentang diriku.
Tuk... Tuk...
"Permisi," Ia berdiri tegap di sisiku.
Ku lirik wajahnya dengan lekat
"Hah, kau!"
"Kau!" Teramat kaget.
"Mianhae bu, saya terlambat."
"Siapa lagi nih?" Bisik-bisik 2 orang yang duduk di depan.
"Perkenalkan, ini anak baru juga."
"Apa dia anak baru juga?" Bertanya-tanya kecil dalam benak.
"Annyeong haseo. Dwi Hardiansyah imnidda,"
"Ternyata ia bernama Dwi Hardiansyah," Benak ini berkompromi.
"Im from Indonesia. Hi..."
Benar bukan? Dia bukanlah asal dari kota ini. Negara yang sama.
"Aduh dekat..." Batin ku.
Guru pun mengizinkan kami duduk di bangku yang kosong.
Awal mula yang bagus. Teman yang berperawakan sawo matang dan cukup tampan itu menjadi awal interaksi ku dengan seseorang saat ini, tentang kepribadian maupun tempat tinggal masing-masing dari kami. Mungkin saja dekat dengan tempat tinggalku.
Medan, Bandar Khalifah! Hah, tempat kelahiran ku. Benar saja ia tinggal di sana? Dekat sekali tampaknya, hanya saja berbeda beberapa kilometer saja dari tempat tinggalku. Ia di sini, mencoba lebih jauh, agar tampak lebih mandiri. rumahnya tak jauh dari sekolah kami. Masih sangat pagi, bayangan saja belum sampai setengah tiang, para guru saat ini sedang rapat. Aku ingin perkenalan ini lebih lama lagi, mungkin saja dapat menjadikan mereka yang tadinya merendahkan ku dan menatap sinis akhirnya menjadi teman terbaik. Aku inginkan itu.
Menunggu tanpa kepastian itu sulit dan bahkan membuat kesal saja. Supir yang sejak tadi ditunggu, bahkan mentari sudah melampaui setengah tiang. Air yang asin ini terus saja membasahi seragam. Teriknya matahari sampai membakar kulit ini. Huu... Panas!
"Yuk naik Ra!" Sahutan itu terlihat oleh mata.
"Maksud mu?"
"Sudah, kau mau ku antar atau gak?" Sifat dingin itu kembali lagi. Padahal hari sudah mulai panas.
"Bukannya rumah mu dekat dari sini Wi?"
"AYO CEPAT! SUDAH PANAS NI!" Ia sudah terlihat kesal saja.
"Ok... Ok," Aku takut ia akan meledak-ledak.
Aku pun dibonceng di depan. Sepeda BMX itu menyakini akan teriknya siang ini. Angin sepoi-sepoi masih terbangi daun-daun yang gugur dari rantingnya. Ia sangat lelah tampak dari air muka itu. Waktu Dzuhur pun masuk. Sungguh pas, di sebelah toko mas ada mushola. Berhenti agar mendirikan shalat lohor saat ini. Setelah selesai dan ditutup dengan salam dan doa. Kami pun melanjutkan perjalan yang sangat melelahkan ini tiba-tiba terdengar bunyi perut memanggil agar diisi oleh makanan. Ia langsung malu dan menampilkan wajah lapar sayupnya itu. Langsung saja tanpa banyak waktu, syukur diseberang ada warung. Kami mampir untuk mengeyangkan perut sekejap. Dengan lahap dan cekatannya ia menyantap makanan tersebut.
"Dwi!" Sahutku.
"Apa?" Jawaban tak peduli itu.
"Di sisi bibirmu ada..." Terpotong oleh sahutan kasar darinya.
"Sudah lupakan saja!"
"Anu..." Tak sabar melihanya, ku ambil sebutir nasi di sisi bibirnya tersebut.
"Mianhae." Ujarku.
"Hmm..." Wajahnya mendekat kehadapanku. Aku pun tertunduk malu.
"L.E.B.A.Y!" Ia menghapus kepalaku dengan lembut. Dan tersenyum manis membuat ku meleleh seketika.
Apa yang ku lakukan? Allah akan murka. Jika aku seperti ini. Awal yang membuat bimbang. Ku ketahui manusia tidak akan merasakan jika ini yang disebut namanya..... AKHH!!! AKU GILA!!! Kewajaran sudah di atas ambang-ambang kepercayaan, bahwa aku sudah gila. Biarkan semua luapan amarah, cerita dan pujian bercampur baur. Tapi ini semua menjadikan diri seorang Zahra pupus akan Dwi yang pesona.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!