"Hanya ini isi kepalamu!"
Byurrrr!!!
Lima kertas berwarna putih dengan bumbu tinta hitam melayang di depan wajah Agnes. Tubuh gadis itu beringsut manakala melihat tatapan tajam dari lelaki di depannya.
Bukan, itu bukan kertas yang berisikan surat perceraian seperti di dalam film, melainkan berkas pengajuan judul skripsinya. Dalam ketakutan Agnes mencoba bertanya pada lelaki yang tak lain dosen pembimbingnya, Fajar Alaska.
"Apa yang salah dari judul ini Pak?"
"Kamu masih tanya?"
Kata orang malu bertanya sesat di jalan, tapi ini? Dalam sekejap Agnes mengepalkan tangan dan ingin segera melayangkan ke wajah lelaki yang akrab disapa Pak Fajar, akan tetapi semua hanya ada di dalam angan-angan gadis berusia 22 tahun itu, sebab jika ia melakukan hal tersebut tentu saja ancaman tidak bisa lulus ada di depan matanya.
Beberapa hari yang lalu Agnes berdoa hingga melakukan sholat tahajud agar mendapatkan dosen pembimbing yang sabar, kalem dan tampan. Sayangnya Yang Kuasa hanya mengabulkan doa terakhirnya, tampan. Bolehkah kini ia protes?
"Kamu sebentar lagi mendapatkan gelar sarjana, tapi kamu mengajukan judul skripsi anak SD?" sambung Fajar.
Hah, anak SD? Sialan, aku mikir itu judul sampai gak makan nasi. Emangnya anak SD bisa bikin skripsi?
Fajar memperhatikan bola mata Agnes tengah menatapnya penuh kebencian, "Kamu tidak terima?"
Tentu saja tidak Bapak Fajar Alaska yang ketampanannya mengalahkan seluruh mahluk adam di Universitas seantero ini.
"Malah melamun, jawab!"
Mendengar nada suara tinggi Agnes langsung menundukkan kepalanya. Sumpah demi apapun gadis itu belum pernah dibentak atau diperlakukan buruk oleh siapapun meskipun gayanya suka pecicilan.
Agnes tahu Fajar memang terkenal dengan sebutan dosen killer yang garangnya melebihi tirex. Saat ia mengetahui dosen pembimbingnya adalah Fajar, gadis itu sudah mengajukan penukaran dosen pembimbing, lagi dan lagi semua sia-sia.
"Maaf Pak, bukan seperti itu mak-maksud saya. Ka-kalau Bapak kurang suka dengan ju-judul yang saya ajukan, sa-saya—"
"Kamu gagu?" sela Fajar yang tidak sabaran.
"Ti-tidak Pak."
Fajar semakin geregetan dengan jawaban yang ia dapatkan. Lelaki itu yang awalnya berada tak jauh dari Agnes kini mulai mendekatinya. Tentu saja hal itu membuat Agnes semakin gugup dan tak berani bersuara.
"Kamu tau saat sidang skripsi ada tiga dosen yang mengujimu? Tidak semua dosen akan bersikap lembut. Kalau mental kamu seperti ini, apa saat sidang nanti bisa lulus?"
"Ten-tentu bisa," jawab Agnes.
"Bisa? Dengan kondisi kamu seperti ini? Aku tekankan lagi tidak akan lulus!"
Setelah berbicara dengan sikap yang dingin Fajar mengangkat tangan kanannya lalu jari telunjuk mengarah ke pintu.
Agnes yang ketakutan sekaligus menyimpan dendam pada sang dosen hanya bisa mempercepat gerakan tangan untuk memunguti kertas yang berhamburan di lantai. Meskipun yang dikatakan Fajar masuk akal, tapi kata terakhir yang mengatakan dia tidak bisa lulus membuatnya sakit hati.
Agnes memang bukan masuk kedalam golongan orang pintar yang bisa mendapatkan peringkat satu terus menerus dalam akademik, akan tetapi ia bisa mendapatkan beasiswa bukankah itu menunjukkan otaknya cukup menjanjikan?
"Saya permisi dulu Pak. Saya jamin akan merubah semua. Dan dalam hitungan dua hari saya pastikan mengajukan judul skripsi sesuai keinginan Bapak," tandas Agnes berlalu keluar dari ruangan sang dosen.
Sementara Fajar terkejut mendengar ucapan dari anak bimbingannya, ia bahkan berpikir apakah Agnes memiliki kepribadian ganda?
Di luar ruangan, Agnes seperti orang gila mengacam-acak rambutnya yang tergerai indah, menyesali apa yang sudah ia janjikan pada Fajar, "Hah, dua hari! Mengajukan judul sesuai keinginan dia? Apa kamu sedang bercanda Agnes?"
"Nenes apa yang kamu lakukan? Kamu kesurupan?" Berta sahabat baik Agnes bergegas menghampiri, takut sang sahabat benar-benar kesurupan.
"Iya, kesurupan jin bujang lapuk tuh." Agnes mengarahkan mukanya ke ruangan Fajar.
Tawa pecah tercetak di bibir Berta, membuat Agnes semakin gila.
"Jangan bilang kamu nantangin tuh dosen?"
"Mau gimana lagi, dia sudah meremehkan aku. Masa dia bilang aku gak akan lulus kalau—"
Berta menunggu jawaban Agnes yang kini menjeda kalimatnya, "Kalau?"
"Isss... Memalukan sekali. Arghhhh!"
Berta tercengang melihat tingkah absurd Agnes. Meskipun persahabatan mereka sudah berjalan hampir 10 tahun, tapi sejauh ini sikap Agnes ini yang paling jauh dari kata normal.
"Apaan sih gak jelas dah!" runtuk Berta yang sudah tidak tahan.
"Kamu tau kan publik speaking aku itu paling bagus diantara yang lain. Tapi, di hadapan dia aku jadi gagu. Arghh... Sialan!" beber Agnes melaju pergi dari tempat itu menuju ke kantin.
Berta masih dengan tawa melekat di bibir mengejar Agnes yang mulai menjauh darinya.
"Eh... Tau gak kenapa kamu bisa gagu di depannya?" tanya Berta setelah keduanya mendudukkan pantat di kursi kantin.
"Tau, gara gara dia garang melebihi tirex yang lagi marah sebab telurnya diambil sama upin ipin," jawab Agnes seenaknya.
"Dih bukan dodol."
"Terus apa?" sahut Agnes acuh tak acuh sambil melihat buku menu.
"Sejauh yang aku tau, meskipun kamu berhadapan dengan dosen killer, kamu gak pernah tuh gerogi ataupun gagu. Inget pak Sugiarto sebelum digantikan pak Fajar? Diakan lebih parah killernya, tapi akhirnya takluk dengan kecerdasan kamu dan gak sampai tuh jadi gagu."
"Terus kenapa aku jadi gagu?" Agnes mengangkat tangan lalu teriak, "Bakso telur sama es campur, Mang."
Berta menggelengkan kepala, sahabatnya ini memang tidak ada anggun-anggunya kalau sudah dalam mood gila.
"Udah jangan geleng geleng begitu kayak gak tau tabiatku aja. Jadi kenapa aku bisa jadi gagu?" tanya Agnes barangkali sahabatnya itu bisa ngasih solusi, gak mungkin dong dia gagu terus menerus dihadapan Pak Fajar.
Jika ingat kejadian barusan Agnes ingin sekali tenggelam saja ke dasar laut. Memang berhadapan dengan Pak Fajar bukan kali pertama, tapi untuk berhadapan sendirian seperti tadi itu yang pertama kalinya.
"Kamu suka sama dia."
Ucapan Berta membuat Agnes tersendak air liur. Suasana kantin yang ramai seakan ikut diam seketika.
"Apa suka? Astagfirullah amit amit tujuh turunan," ucap Agnes sambil mengetuk-ngetuk dahi. "Aku yakin gara gara gak siap aja, apalagi judul skripsi yang aku siapkan ditolak mentah mentah sama dia."
"Dih, gak mungkin gara gara itu langsung gagu. Lagian siapa sih yang gak akan naksir sama pak Fajar. Naksir orangnya ya, bukan sikapnya saat ngajar."
Sejak 2 bulan yang lalu kedatangan pak Fajar memang cukup menjadi perhatian mahasiswi di Universitas itu. Ketampan menyerupai artis hollywood menjadi nilai utama, tidak heran di ruangan dosen itu penuh dengan hadiah, tidak hanya dari kalangan mahasiswi bahkan dosen wanita pun ikut bersaing merebutkannya. Hanya saja tidak ada satu wanita yang bisa dekat dengan dosen tampan itu.
Banyak rumor yang mengatakan jika pak Fajar trauma berkencan karena ditinggal sang kekasih, tidak suka orang bodoh, dan juga suka sesama jenis. Entah dari tiga itu mana yang benar. Intinya lelaki itu jarang berinteraksi dengan kaum hawa.
"Meskipun begitu tetap aja tidak mungkin, Tata. Sudahlah kalau bisa ganti dosen pembimbing aku mau ganti," sahut Agnes.
Agnes yang sudah frustasi tidak melihat kanan dan kiri lagi saat mengatakan kalimat itu. Hingga terdengar suara cukup familiar.
"Saya beri waktu sampai besok. Judul skripsi baru sudah ada di meja saya!"
"Hah, apa?" Agnes menolehkan kepala dan melihat pak Fajar sudah berdiri tegap di sisi kirinya.
"Jam delapan."
"Ta-tapi Pak sa-saya. Pak, sa-saya."
Agnes bingung harus berkata apa, menolak? Tentu saja itu mencari jalan ke neraka, menerima? Mencari jalan kematian. Dirinya seperti makan buah simalakama.
"Saya anggap setuju." Fajar berlalu dari kantin meninggalkan Agnes yang masih kebingungan.
Melihat tingkah dingin dan sombong sang dosen membuat Agnes geregetan ia pun berteriak, "Oke aku jamin besok sudah ada."
Agnes memang terbilang pintar, tapi sepintar-pintarnya orang ada waktu dimana otaknya tidak bekerja dengan baik bukan?
"Tata, help me. Arghhh... Aku harus buat judul apa?"
"Nenes, berhenti betingkah. Lihat tulisan itu." Berta menujuk papan bertuliskan peraturan perpustakaan.
Setelah menerima tantangan dari sang dosen, Agnes bergegas ke perpustakaan nasional guna mencari literasi. Sungguh, jika mengajukan judul saja mungkin dia tidak akan frustasi seperti ini. Akan tetapi dosen pembimbing meminta judul sekaligus gambaran pengerjaan skripsi berikut buku apa saja yang menjadi referensinya.
"Aku hampir gila, Ta."
"Lagian kenapa coba nerima begitu aja. Harusnya kamu tadi kedipin mata terus merayunya, mungkin saja Pak Fajar bisa berubah pikiran," ucap Berta.
"Emang kamu kira dia Pak Diki, baru dicolek dikit udah yes no yes no." Sudut bibir Agnes tertarik ke atas kemudian kembali manyun lagi.
"Aku benar benar tidak ada ide lagi." Agnes meraih tangan Berta, "Ta, kamu sahabat baik aku kan?"
Berta sungguh jijik saat melihat tingkah Agnes sok imut seperti ini dan dia sudah bisa menebak keinginan sang sahabat.
"Sory Nes, gak bisa. Judulku hampir di acc sama Bu Mega."
"Serius? Nyontek dong!" jawab Agnes dengan penuh semangat.
Berta berdecak sebal, padahal di sini orang yang dianggap pintar adalah Agnes. Sahabatnya bilang mau nyontek? Apa kini tengah menyindir dirinya?
Mengambil jurusan yang sama dibidang manajemen tentu saja suka dan duka untuk mencapai semester akhir telah mereka lalui. Dari remedial jika nilai merah dan meminta contekan adalah hal biasa dilakukan Berta dengan menumbalkan Agnes.
"Ih, aku makin ikut gila. Mending kamu di sini sendirian biar bisa konsentrasi." Berta membereskan buku yang tadi ia baca serta menutup leptop miliknya dan memasukkan kembali ke dalam tas.
"Gak setia kawan banget."
"Ada yang lebih penting yang harus aku lakukan," sahut Berta.
Agnes dibuat penasaran, "Lebih penting?"
"Iya. Anak kucing tetangga ponakan kakak iparku lagi mau lahiran. Kasihan sendirian katanya suaminya cari kucing anggora."
Berta melihat Agnes tengah berpikir keras ia pun berlari secepat kilat sembari berkata, "Pulang jangan malam malam tar kamu dikawinin."
"Tata!" teriak Agnes kesal.
Teriakan Agnes yang menggelegar di ruangan sunyi itu membuat semua orang fokus kearahnya hingga ia mendapatkan peringatan dari petugas perpustakaan.
Di sisi lain masih di area perpustakaan. Fajar sejak tadi diikuti sosok wanita cantik bak model merasa risih, bagaimana tidak, setiap gerak-geriknya tak luput dari pandangan wanita itu. Ia pun bergegas pergi guna menghindarinya.
"Kak Fajar tunggu aku." Sherly berusaha menarik tangan Fajar, akan tetapi setelah bersentuhan, tangan itu langsung dihempaskan begitu saja seolah sang lelaki jijik jika disentuh.
Satu minggu yang lalu Sherly bertemu Fajar dalam acara reuni sekolah yang diadakan sang kakak. Gadis itu percaya akan yang namanya cinta pada pandangan pertama, begitu bola matanya bertemu dengan bola mata Fajar ia langsung jatuh hati. Meskipun mendapatkan penolakan terus menerus, sebelum janur kuning melengkung ia tetap mengejar sang pujaan.
"Berhenti mengikutiku."
"Mana bisa Kak. Hari ini Sherly udah berjanji untuk mengikuti Kak Fajar kemanapun Kakak pergi. Jadi jangan jadiin Sherly pendosa karena mengingkari sebuah janji." Sherly mengedipkan kelopak matanya seperti anak kecil tengah meminta mainan.
"Oh ya Kak, Sherly juga udah ngajuin pindah kampus ke tempat Kak Fajar bekerja," imbuh gadis berlesung pipi itu.
"Apa!" Fajar terkejut bukan main.
Sherly mengejarnya seperti orang gila. Harusnya dengan sikap royal dan kecantikan Sherly dalam mengejarnya Fajar bisa langsung jatuh hati padanya, sayang hal itu sama sekali tak bisa membuat hati Fajar luluh.
"Sherly stop melakukan hal yang membuat waktumu terbuang sia-sia!" peringat Fajar yang tidak ingin memberikan harapan palsu.
"Kak, asal kita bisa terus bersama aku tidak keberatan menyia-yiakan waktuku. Jadi aku mohon jangan tolak aku lagi dan lagi."
"Sherly berhenti bersikap seperti ini. Aku masih toleran karena kamu adik Rega," ujar Fajar.
"Aku tidak akan berhenti sebelum Kak Fajar mau menjadi kekasihku," jawab Sherly tanpa keraguan.
Fajar hampir saja frustasi menghadapi gadis di sampingnya ini. Saat bola matanya fokus ke arah lain ia melihat sosok Agnes yang kini melihat dirinya. Entah apa yang merasuki Fajar hingga ia memiliki pemikiran ingin menjadikan Agnes tamengnya.
"Sayang kamu di sini?" teriak Fajar menghampiri Agnes.
Agnes yang dipanggil dengan kata sayang sedikit kebingungan dan bertanya-tanya apa dosennya ini salah minum obat? Namun, setelah Fajar mendekat dan merangkul pundaknya layaknya seorang kekasih ia baru sadar jika dosennya itu bukan hanya salah minum obat tapi juga gila.
"Bapak apa sih?" protes Agnes berusaha melepaskan rangkulan itu. Sayang tangan Fajar begitu besar dan kekar hingga ia tidak mampu memindahkan tangan itu dari pundaknya.
"Bantu aku."
"Enak saja. Gak mau, lagian aku sibuk. Ini masalah Bapak sama kekasih Bapak," tolak Agnes.
"Dia bukan kekasihku."
"Dih, jangan bohong, Pak. Dia cantik, seksi, anggun, terlihat sangat mencintai Bapak bahkan rela pindah kampus. Masa bukan pacar Bapak. Kalau mau bohong salah tempat Pak," ucap Agnes.
"Sepertinya kamu sudah tidak gagu lagi."
Kalimat itu mampu membuat Agnes menutup mulutnya rapat-rapat.
"Karena kamu sudah menguping jadi harus tanggung jawab. Bantu aku mengusirnya," imbuh Fajar.
"Gak bisa gitu Pak. Lagian Bapak sih bawa ilmu pelet makanya cewek cewek pada antri." Agnes kembali berusaha melepaskan tangan Fajar dari pundaknya tapi tangan itu seolah tak bisa bergeser sama sekali.
Sementara dari kejauhan Sherly terus melihat interaksi Fajar dan Agnes. Ada rasa cemburu dan juga penasaran bercampur aduk jadi satu. Ia pun langsung memanggil Fajar, "Kak Fajar itu siapa?"
Fajar merasa semakin terdesak ia pun mempererat rangkulannya sembari berkata, "Jika kamu mau membantu, aku akan membantumu juga."
Agnes paham apa yang dimaksud sang dosen, tentu saja masalah skripsinya. "Jika aku tidak mau membantu."
"Kamu tentu akan tau akibatnya."
"Bapak ngancem saya?" tanya Agnes dengan nada kesel, bisa-bisanya seorang dosen bertindak mendominasi dengan mengecam.
"Jadi kamu setuju atau tidak?" desak Fajar seolah tidak ada waktu lagi untuk berdebat dengan Agnes.
"Ngusir doang kan, tenang aku ada kenalan satpam di sini. Mau dibikin bonyok sebelah mana?" tanya Agnes.
Bola mata Fajar menyorot tajam, tidak percaya dengan kalimat yang baru saja ia dengar.
"Kamu pikir mau tawuran? Bekerjasamalah untuk pura pura jadi kekasihku," tandas Fajar.
"Apa? Kekasih?" Agnes tercengah hingga suaranya tidak bisa keluar. Belum ia mengatakan setuju Sherly sudah mendekat.
"Ini siapa Kak?" tanya Sherly.
"Kenalin ini pacarku, Agnes Kinanti." Fajar sedikit menoel kulit pundak Agnes agar wanita itu benar-benar membantunya.
Sherly menatap Agnes, sungguh dari segini manapun tentu saja dirinya lebih unggul bukan? Ya, meskipun Agnes terlihat begitu manis saat tersenyum dan tidak membosankan saat dipandang.
Sherly mencoba untuk tidak percaya dengan mengekspresikan tawa hambar sembari berkata, "Kakak sedang bercandakan?"
"Tidak! Aku pikir dia wanita yang aku inginkan bahkan aku ingin menikahinya," ungkap Fajar tersenyum manis di depan Agnes.
Jangan tanya lagi bagaimana reaksi Agnes. Kalimat itu begitu manis didengar, jujur saja diusianya saat ini ia belum pernah menjalin kasih dengan siapapun. Akan tetapi ia harus tetap sadar diri ini semua hanya hubungan kerjasama.
Demi kelancaran skripsi dan bisa diperlakukan dengan halus oleh dosen pembimbingnya, ia mengikuti keinginan Fajar.
"Iya. Aku juga merasakan hal yang sama. Sebagai wanita aku harap kamu mengerti dengan hubungan kami. Kamu tidak inginkan dianggap sebagai pelakor?" sahut Agnes sembari mencubit pinggang Fajar membuat lelaki itu mengetatkan rahangnya.
"Ja-jadi Kakak mau menikah dengannya?" Sherly mengulang lagi kalimatnya guna memastikan.
Sayangnya sebelum Fajar dan Agnes menjawab suara seorang wanita juga ikut memastikan.
"Kalian ingin menikah?"
Fajar dan Agnes sama sekali tidak menduga jika pura-pura menjadi pasangan kekasih membawa mereka menghadapi masalah besar. Ya, masalah itu adalah Nenek Grace sosok terpenting dalam hidup Fajar.
"Jadi ini calon menantuku?" tanya Nenek Grace sembari mengamati Agnes dari ujung rambut hingga kaki.
Saat ini mereka sedang berada di rumah Fajar. Lelaki berusia 30 tahun itu bisa dibilang cukup mapan, rumah, mobil, bahkan gaji perbulan dengan nilai tiga digit sudah ada di kantong. Hanya saja satu yang belum dimiliki Fajar yaitu istri, hal itu cukup membuat sang nenek yang sudah berusia hampir kepala tujuh selalu mencemaskan dirinya.
"Nenek, jangan melihat Agnes seperti itu. Agnes akan takut," sahut Fajar dengan lembut.
Tentu saja sikap Fajar berbeda jauh saat ini. Lelaki itu terlihat begitu penuh kasih sayang. Ya, karena Fajar telah menjadi yatim piatu sejak usianya masih sepuluh tahun, dan ia hidup berdua hanya dengan sang nenek.
"Ck, kenapa harus takut? Kalau iya Nenek bersyukur sekali. Akhirnya kamu bisa menemukan calon istri cantik sekali seperti dia." Nenek Grace menarik tangan Agnes untuk duduk di sampingnya. "Jadi kapan kalian akan menikah?"
Pertanyaan itu membuat Agnes dan Fajar tersendak air liur. Agnes sudah tidak ingin bermain-main lagi, kejadian ini menyangkut masa depannya.
"Nenek a-aku—"
"Nenek harus sabar. Agnes masih harus menyelesaikan kuliahnya. Kebetulan sekarang dia sudah semester akhir," sahut Fajar menjelaskan situasi.
Sayangnya pernyataan Fajar barusan sangat tidak diterima Agnes. Bagaimana bisa Fajar menjajikan hal mustahil seperti itu, jangankan menikah, dirinya dan Fajar saja sama sekali tidak memiliki hubungan apapun kecuali dosen pembimbing.
"Nenek, aku dan Pak Fajar itu—"
Lagi dan lagi Fajar menyela ucapan Agnes, "Sayang, semua bisa dibicarakan nanti. Jangan bikin Nenek cemas."
"Pak, apaan sih?" Agnes menatap Fajar yang kini berdiri di depannya. Banyak pertanyaan tercetak jelas di wajahnya akan tetapi Fajar hanya tersenyum manis dan hal itu tak luput dari pandangan sang nenek.
"Kalian berdua itu menggemaskan. Iya, setiap hubungan harus saling berkomunikasi dengan baik. Nenek bisa melihat kamu sedang gerogi. Tenang Sayang, Nenek bukan orang jahat. Jika menikah menunggu kamu lulus Nenek tidak akan keberatan," papar Nenek Grace penuh harap.
"Yang penting setelah itu segera berikan aku seorang cicit," imbuh Nenek Grace.
Agnes hanya bisa mengeluarkan tawa tertahan. Otaknya sama sekali tidak bisa mencerna situasi, selain itu ia juga tidak bisa berkata jujur entah apa yang menahannya satu hal yang Agnes tahu senyum nenek Grace terlihat begitu bahagia dan penuh harap padanya.
Tak terasa hampir jam sembilan malam Agnes berbincang dengan nenek Grace akhirnya memutuskan pulang.
"Lain kali kamu harus main lagi dan temani Nenek," pinta Nenek Grace masih memegang erat tangan Agnes seolah tak ikhlas jika calon mantunya itu pergi.
"Kalau senggang pasti Nenes main lagi Nek. Lagian kita bisa berbincang di telepon." Agnes meyakinkan sang nenek.
"Tapi Nenek ingin ngobrol seperti ini lagi sama kamu."
Agnes mengulas senyum, "Ya Nenek lain kali Nenes pasti main."
"Janji." Nenek Grace melihat Agnes menganggukkan kepala, ia pun langsung berkata kembali, "salam buat orang tuamu. Intinya kalau mereka siap Nenek langsung ke rumahmu."
Fajar melihat Agnes mematung dan nampak ingin membuka mulut ia pun langsung menyela, "Fajar antar Agnes pulang dulu, keburu malam."
Meskipun tak rela Nenek Grace melepas kepergian Agnes, "Ya sudah hati hati di jalan."
Fajar dan Agnes buru-buru masuk ke dalam mobil, kendaraan roda empat itu melaju di jalan beraspal hitam, sinar rembulan begitu terang di atas langit. Beberapa hari yang lalu Agnes terus memandang rembulan sembari memikirkan judul skripsi yang akan ia ambil. Namun, sekarang benaknya dipenuhi dengan kata menikah.
"Pak, kita seharusnya tidak membohongi Nenek seperti itu," suara Agnes memecah keheningan.
"Aku akan menjelaskan nanti. Maaf sudah melibatkanmu dalam masalah ini. Nenek pernah sekali terkena serangan jantung jadi aku tidak ingin dia cemas," jelas Fajar sembari berkonsentrasi dengan stir bundarnya.
"Tapi tetap saja Bapak sudah berbohong sama Nenek. Kalau nanti Nenek tau terus kena serangan jantung dua kali gimana coba?"
Mobil berhenti saat lampung merah bersinar terang. Fajar menoleh ke arah Agnes yang kini duduk di sampingnya. Ucapan Agnes barusan benar-benar mengganggu pikirannya.
"Kalau gitu kamu mau kebohongan ini jadi benaran? Aku lihat Nenek begitu menyukaimu?" Cukup lama Fajar menjeda kalimatnya hingga beberapa menit kemudian ia berkata kembali, "Kita menikah?"
Untuk sejenak Agnes tertegun. Di menit berikutnya ia tertawa hambar, "Pak, kalau ngomong difilter dulu. Bercanda Bapak gak lucu."
Fajar menarik sudut bibirnya, lampu jalanan kembali berwarna hijau. Ia segera menginjak gas mobil tanpa ingin menjawab ucapan Agnes. Tentu saja hal itu membuat Agnes geram.
"Intinya aku tidak ingin berbohong lagi. Mau sama Nenek atau sama kekasih Bapak itu," ungkap Agnes. Sejak berpura-pura menjadi pasangan kekasih bahasa bicara keduanya sudah tidak terlalu formal lagi.
"Kamu tenang saja. Aku akan mengatasinya."
Dahi Agnes mengkerut, dosen pembimbingnya itu kembali lagi di mood dingin dan cuek. Sebelum kelupaan ia pun menagih janji, "Jangan lupa bantu aku menyelesaikan judul skripsi."
Sayangnya sudah beberapa menit Agnes tak kunjung mendapatkan jawaban dari Fajar. Ia pun menjadi kesal. Dalam benaknya berpikir, apa sejak tadi dipermainkan lelaki itu?
"Rumah sebelah mana?"
"Gak tau!"
Mendengar jawaban cuek. Fajar terus menginjak gas mobilnya dan berputar-putar di daerah tersebut tanpa ingin bertanya lagi pada Agnes. Sementara Agnes yang sejak tadi terbawa emosi juga tidak memperdulikan situasi.
Agnes ingin membuat bahan bakar mobil dosennya itu kehabisan sebagai bentuk balas dendam. Sayangnya kendaraan beroda empat itu tak kunjung berhenti ataupun mogok. Akhirnya Agnes melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jam menunjukkan angka dua belas.
"Mampus sudah tengah malam." Agnes melirik ke arah Fajar yang masih fokus pada jalanan.
"Bapak sengaja ya muter-muter daerah sini biar bisa berduaan denganku?" celetuk Agnes berusaha mencari kambing hitam atas perbuatannya.
"Jangan salahkan saya. Ini kemauanmu!"
Ingin rasanya Agnes menjerit sekencang mungkin. Sejak tadi tingkah Fajar benar-benar menguji imannya yang setipis tisu. Salah dia juga yang salah mencari musuh, tak ingin banyak berdebat lagi karena waktu semakin malam akhirnya Agnes menyerah.
"Di depan ada gang masuk saja ke dalam."
Tanpa menjawab Fajar langsung membelokkan stir mobilnya masuk ke dalam gang. Sebagai lelaki dirinya benar-benar bingung dengan tingkah laku kaum hawa seperti Agnes. Jika bilang sejak tadi bukankah akan cepat sampai rumah?
"Berhenti. Aku turun di sini saja. Takut ada keamanan yang berjaga," ucap Agnes kembali.
"Sampai depan rumah."
"Bapak mau kita digerbek terus dipaksa nikah?" ujar Agnes.
Pernyataan macam apa barusan? Bukankah jika ia menurunkan Agnes di tempat gelap seperti ini justru akan memancing masalah baru dan memungkinkan jika digerbek warga? Namun, Fajar tak ingin banyak berdebat dengan Agnes akhirnya ia menuruti keinginannya.
"Terimakasih," ucap Agnes dengan nada kesal.
Saking kesalnya Agnes yang ingin melepaskan seat belt pun menjadi kesusahan. Fajar yang melihat kejadian itu akhirnya membantu dengan posisi seperti memeluk Agnes. Sepintas saat kejadian itu seperti ada kilatan cahaya yang dirasakan Fajar.
"Cahaya apa itu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!