NovelToon NovelToon

Ketika Ustadz Meminang Wanita Bar-Bar : Cinta Tak Terduga

PERKENALAN

Sabrina Alexandra, seorang gadis berusia 19 tahun, adalah sosok yang dikenal sebagai perempuan bar-bar dan penuh tantangan. Ia tidak pernah ragu untuk berbicara frontal dan sering kali bertindak dengan cara yang kasar, bahkan tanpa memikirkan dampaknya. Karakter Sabrina sangat mencolok dengan sikapnya yang seenaknya, jauh dari kata santun atau sopan. Di luar penampilannya yang menarik dan sering kali menggoda, ia dikenal memiliki akhlak yang buruk dan sering kali mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Kehidupan Sabrina dipenuhi dengan keputusan-keputusan impulsif yang membuatnya semakin jauh dari nilai-nilai yang benar.

Namun, di balik sikap keras dan tindakannya yang tanpa batas, ada sebuah kisah hidup yang penuh perjuangan dan beban berat. Sabrina berasal dari keluarga yang sederhana dan penuh dengan kesulitan ekonomi. Ayahnya, Abiyan Fauwaz, seorang pekerja biasa yang sering kali kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ibunya, Diah Rahayu Santoso, adalah ibu rumah tangga yang sangat mencintai anak-anaknya, namun harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hidup dalam kondisi yang sangat terbatas. Sabrina adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dengan dua adik laki-laki dan satu adik perempuan yang masih bersekolah dan membutuhkan biaya untuk pendidikan mereka.

Kondisi keuangan keluarga yang terus tertekan membuat Sabrina merasa bahwa ia harus melakukan apa pun untuk membantu. Demi menyelamatkan keluarganya dari utang yang menumpuk dan membayar biaya sekolah adik-adiknya, Sabrina memutuskan untuk merantau ke kota besar. Di sana, ia bekerja di sebuah klub malam, menyembunyikan pekerjaannya yang sebenarnya dengan mengaku bekerja di sebuah perusahaan biasa. Gaji yang ia peroleh digunakan untuk membantu orang tuanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya yang cukup terbatas. Meski ia merasa terperangkap dalam kehidupan malam yang penuh godaan, Sabrina tetap berjuang untuk bertahan hidup dan menjaga keluarga kecilnya agar tetap bisa bertahan.

Namun, pekerjaan di klub malam membawa dampak besar dalam hidupnya. Di balik penampilannya yang menarik, Sabrina merasa hampa dan sering kali terjerumus dalam hubungan yang tidak sehat dengan pria-pria yang ada di sekitarnya. Ia merasa kesepian dan terjebak dalam lingkaran godaan yang semakin membuatnya kehilangan arah. Setiap hari, ia bergulat dengan perasaan bersalah, namun di sisi lain, ia merasa tak ada pilihan lain selain terus bertahan hidup dengan cara yang sulit.

Sulaiman Faisal Zahid adalah seorang pria yang terlahir dari keluarga berada, yang memiliki pondok pesantren, sebuah perusahaan, dan beberapa usaha bisnis yang sebagian besar dikelola oleh kedua kakaknya, Fadil dan Fawaz. Sebagai anak bungsu dalam keluarga, Aiman diberi kebebasan untuk memilih jalannya sendiri, namun ia tetap memegang teguh tanggung jawab besar terhadap pondok pesantren dan berbagai usaha keluarga. Ayahnya, Saifuddin Alamsyah, adalah sosok yang sangat dihormati dalam komunitas pesantren, sementara ibunya, Laila Alamsyah, adalah seorang wanita yang penuh perhatian dan sangat mendukung kehidupan suami dan anak-anaknya.

Meskipun berasal dari keluarga yang sukses, Aiman memiliki sifat yang sangat sederhana dan tidak menunjukkan minat pada kemewahan. Ia dikenal sebagai sosok yang soleh, berbakti, alim, dan sangat disiplin. Sifatnya yang sangat tekun membuatnya banyak dihormati oleh para santri dan masyarakat sekitar. Aiman sangat berfokus pada pekerjaan dan kehidupannya sebagai seorang pengajar di pondok pesantren yang dikelola keluarganya. Ia menjadi salah satu pengajar utama di pesantren tersebut dan dikenal karena cara mengajarnya yang tegas dan terkadang terkesan galak. Ia percaya bahwa disiplin adalah kunci utama dalam mendidik anak-anak muda.

Aiman, yang kini berusia hampir 30 tahun, dikenal sebagai bujang lapuk. Meski banyak orang yang menganggapnya menarik, terutama para anak-anak pesantren yang sering mengirimkan proposal taaruf kepadanya, Aiman tidak pernah menanggapi hal itu. Proposal-proposal tersebut bahkan sering kali hanya berakhir terbengkalai di meja kerjanya tanpa pernah ia baca lebih lanjut. Bagi Aiman, urusan pernikahan bukanlah hal yang mendesak. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaan dan tanggung jawabnya, yang sudah cukup menyita waktunya.

Aiman adalah seorang worcaholic. Selama bertahun-tahun, ia telah mengabaikan kehidupan pribadinya demi menjalankan tugas-tugasnya dengan baik, baik itu dalam mengajar maupun mengelola bisnis keluarga. Meskipun begitu, Aiman tidak merasa tertekan oleh julukan “bujang lapuk” yang sering diberikan kepadanya. Baginya, itu bukan masalah. Ia merasa bahwa pernikahan bukanlah prioritas utama dalam hidupnya, dan ia merasa puas dengan kehidupannya yang penuh dengan pekerjaan dan tanggung jawab.

Namun, siapa yang menyangka bahwa pertemuan tak terduga dengan seorang wanita yang sangat berbeda dari apa yang biasa ia hadapi akan mengguncang hidupnya?

BAB 1

Malam itu di sebuah hotel mewah Kota J, Sabrina Alexandra berdiri limbung di depan pintu kamar yang salah. Pikirannya kacau, tubuhnya lemah akibat minuman yang entah siapa mencampurnya. Dengan langkah yang tak stabil, ia membuka pintu dan masuk.

Sabrina yang biasa dipanggil Bina, dengan langkah sempoyongan, akhirnya menemukan kamarnya di hotel setelah berjuang melawan efek alkohol dan obat perangsang yang tanpa sengaja ia konsumsi. Matanya setengah terbuka, dan pikirannya bercampur aduk. Ketika ia melihat pintu kamar terbuka sedikit, ia berpikir itu adalah kamarnya. "Akhirnya..." gumamnya pelan.

Tanpa berpikir panjang, ia masuk, menutup pintu, dan langsung merebahkan diri di kasur empuk yang seolah memanggilnya. "Ah, nyaman banget," katanya sambil menggeliat, tubuhnya mengikuti rasa hangat dan lembut dari tempat tidur itu. Gaunnya yang pendek tersingkap, dan rambut panjangnya berantakan, tapi Sabrina tidak peduli.

Di balik pintu kamar mandi yang berembun, seorang lelaki berusia hampir menginjak kepala tiga tampak berdiri di bawah pancuran air. Tetesan air yang mengalir membasahi tubuhnya, menghapus lelah setelah seharian menjalankan tugasnya sebagai seorang dai. Sualaiman atau Aiman, nama lelaki itu, sedang menikmati momen sunyi dalam kesibukannya mengisi kajian di wilayah kota J.

Hari ini adalah hari ketiga ia berada di kota itu, jauh dari rutinitasnya di Malang. Agenda dakwah yang padat memaksanya menginap di hotel sederhana dekat lokasi kajian. Aiman bukan tipe orang yang suka kemewahan, sehingga kamar yang sederhana ini sudah lebih dari cukup baginya.

Usai mematikan pancuran, ia meraih handuk yang tergantung di dekat wastafel. Wajahnya tampak tenang meski lelah, sisa energi setelah mengisi kajian di hadapan ratusan jamaah. Hatinya bergemuruh memikirkan tugas yang belum selesai, namun ia tetap mensyukuri kesempatan berdakwah yang terus datang kepadanya.

Mengeringkan rambut dengan handuk, Aiman berjalan ke pintu kamar mandi. Ia tidak menyadari bahwa sesuatu telah berubah di dalam kamarnya. Saat pintu terbuka, udara dingin dari AC menyentuh kulitnya. Namun, bukan hanya udara dingin yang menyambutnya.

Pandangan Aiman langsung tertuju pada sosok tak dikenal yang terbaring di atas ranjang. Ia tertegun. Seorang perempuan, dengan pakaian minim dan posisi yang sangat... tidak pantas, tergeletak di sana. Tubuhnya menggeliat pelan, membuat sprei yang rapi menjadi berantakan.

" Astaghfirullah!" seru Aiman, langsung mundur ke dinding, matanya membelalak. Ia berpikir keras, mencoba memahami apa yang terjadi. Siapa wanita ini? Kenapa ada di sini?

"Ayo, bangun!" Aiman mendekat dengan hati-hati, mengguncang bahu wanita itu, berharap ia sadar dan segera pergi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Sabrina membuka matanya sedikit, memandang Aiman dengan tatapan kabur. Senyum kecil menghiasi wajahnya, dan ia kembali menggeliat, tubuhnya bergetar seperti menolak kenyataan. "Hmmm... lo siapa sih? Nggak usah ganggu," katanya dengan suara manja.

"Mbak! Ini kamar saya! Bangun, dan tolong keluar sekarang!" Aiman berusaha menjaga jarak, tetapi Sabrina tiba-tiba meraih tangannya, memegangnya erat seperti tak ingin dilepaskan.

"Nyaman banget... jangan ribut, gue cuma mau tidur," ucap Sabrina, sambil menarik tangan Aiman lebih dekat.

"Astaghfirullah, apa-apaan ini! Lepaskan, Mbak!" Aiman berusaha melepaskan diri, tetapi Sabrina malah semakin mendekat. Tubuhnya, yang lemas karena pengaruh obat, bergerak dengan menggoda tanpa ia sadari.

Aiman merasa jantungnya berdebar keras. Wajahnya memerah, dan ia berkali-kali memohon perlindungan kepada Allah dalam hati. Tapi situasinya semakin sulit ketika Sabrina duduk dan memandangnya dengan tatapan kabur namun penuh godaan.

"Astaghfirullah... maafkan saya, ini darurat," gumamnya pelan sebelum menepuk bahu Sabrina dengan hati-hati.

Namun, bukannya bangun, Sabrina malah menggeliat, semakin merosot ke arah pinggir ranjang. "Mbak, ayo bangun. Mbak, tolong keluar dari kamar saya," kata Aiman, suaranya terdengar tegas.

Sabrina perlahan membuka matanya yang setengah terpejam, wajahnya menyunggingkan senyum lemah. "Hmm... Mas, tangan lo kok enak ya, hangat gitu..." katanya sambil memiringkan kepala.

"Mbak! Jangan ngomong begitu!" seru Aiman dengan suara hampir melengking, buru-buru menarik tangannya. Tapi Sabrina justru meraih lengannya kembali, mencengkeram dengan kuat.

"Mas, nggak usah malu-malu. Gue tahu lo juga suka gue, kan? Lihat nih... gue cantik banget, kan?" Sabrina berkata sambil mendekatkan wajahnya ke Aiman. Matanya yang redup menatap penuh percaya diri, sementara aroma minuman keras bercampur parfumnya tercium menyengat.

Aiman mundur, tapi Sabrina terus mendekat, seperti kucing yang mengincar mangsanya. "Mbak, ini nggak benar! Kamu harus pergi!" teriak Aiman, berusaha menjaga jarak.

Namun, sebelum ia sempat menghindar lebih jauh, Sabrina tiba-tiba meraih ke arah bawah, tepat di tengah tubuh Aiman. Dalam sekejap, wajah Aiman memucat, matanya membelalak seperti tersambar petir.

"ASTAGHFIRULLAH! MB... MBAK! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" serunya panik, langsung melompat mundur sambil memegang handuknya erat-erat.

Sabrina hanya terkekeh pelan, wajahnya terlihat puas meski pikirannya masih dikuasai pengaruh mabuk. "Hahaha, Mas, kok lucu ya... empuk banget," katanya, tertawa seperti tidak bersalah.

Aiman hampir kehilangan akal. Ia melangkah mundur hingga punggungnya membentur dinding, wajahnya penuh kengerian dan rasa malu. "Ya Allah, tolong hamba-Mu ini! Apa yang harus saya lakukan?!" bisiknya dengan suara putus asa.

Tapi Sabrina tampaknya tidak berniat berhenti. Ia bangkit perlahan dari ranjang, berjalan mendekati Aiman dengan langkah sempoyongan. "Mas, kok lo takut banget sih? Gue nggak gigit kok... kecuali kamu mau, di emut." katanya, matanya berkilat nakal.

Aiman merasa dirinya berada di ambang kehancuran. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menghalangi Sabrina dengan kedua tangannya. "Jangan mendekat, Mbak! Tolong sadar! Ini... ini nggak benar! Kita nggak kenal! Kamu mabuk!"

Namun, Sabrina hanya tersenyum miring, mendekatkan wajahnya ke Aiman. "Mas, kita nggak kenal sekarang, tapi nanti juga bakal kenal kan?" bisiknya, suaranya terdengar menggoda.

Aiman memejamkan mata, tubuhnya nyaris lumpuh karena bingung dan malu. Dalam hati ia terus memohon pertolongan Tuhan, berharap seseorang akan masuk ke kamar ini dan menyelamatkannya dari situasi yang memalukan ini.

Setelah perjuangan panjang dan banyak istigfar, akhirnya Aiman berhasil membuat Sabrina berhenti meronta-ronta seperti ulat bulu terkena obat nyamuk. Dengan napas yang masih tersengal, ia berdiri menjauh, memastikan jaraknya cukup aman dari jangkauan tangan nakal perempuan ini.

Aiman sudah mengenakan pakaian lengkap, Tapi entah kenapa, ketika Sabrina mulai duduk tenang di ujung ranjang, rambutnya yang acak-acakan dan wajahnya yang basah oleh keringat justru memberikan kesan... lain. Sesuatu yang sulit ia jelaskan.

"Gue mau curhat dong." Sabrina tiba-tiba membuka suara, suaranya terdengar lebih normal meski masih ada sedikit nada melantur.

Aiman hanya bisa duduk terpaku di tepi ranjang, mencoba mencerna curahan hati yang tiba-tiba mengalir dari mulut Sabrina seperti banjir bandang. Suasana kamar yang gelap, kini hanya diterangi lampu meja kecil di sudut ruangan, terasa semakin surreal dengan percakapan yang tak pernah ia bayangkan.

Sabrina, dengan posisi setengah rebah dan tangan terentang di atas kepala, mulai bicara ngalor-ngidul, matanya sesekali menatap langit-langit sambil tertawa kecil sendiri. "Lo tau, Om? Gue tuh dulu anak baik-baik loh! Beneran! Gue tuh kayak malaikat kecil yang polos banget. Tapi ya namanya hidup, ketemu temen laknat yang suka ngajak 'coba ini, coba itu,' akhirnya ya jadilah gue begini!" katanya sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk yang goyah.

BAB 2

" Tapi ya... lo tau, Om? Gue sebenarnya kaya loh. Serius, duit gue tuh lumayan kalo aja gue bisa ngelola dengan baik. Tapi gimana? Gue harus bantu orang tua gue di kampung buat bayar utang sama sekolahin adek-adek gue,Gue kerja di kota besar ini buat mereka," lanjut Sabrina, matanya tiba-tiba berkaca-kaca.

Aiman hanya menatap Sabrina tanpa berkedip, tidak yakin harus berkata apa. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Sabrina sudah melanjutkan. "Tapi gue bersyukur sih, Om. Walaupun hidup gue miris begini, Tuhan masih kasih gue kenikmatan. Gue bisa tidur nyenyak, gue masih bisa ketawa kayak gini. Bahkan sekarang pun gue masih bisa curhat sama lo!"

Sabrina memandang Aiman dengan tatapan kosong yang tiba-tiba berubah menjadi senyum ceria. "Tapi ya, Om... lo jangan sampai ambil kerjaan kayak gue. Beneran, nyesel gue kerja kayak begini. Bayangin aja, wajah orang tua gue di kampung. Mereka pikir anaknya kerja baek-baek, di perusahaan. Eh, taunya kerja di tempat remang-remang! Hahaha!" Sabrina tertawa lagi, tapi tawa itu terdengar getir di telinga Aiman.

Aiman merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya. Ia tidak menyangka perempuan yang tadi menggoda habis-habisan kini berbicara seperti ini. "Kerja apa kamu sebenarnya?" tanya Aiman, mencoba menyelidik.

Sabrina menyipitkan mata ke arahnya sambil tersenyum miring. "Di clubbing, Om! Keren, kan? Gue kerja jadi bartender, tuh. Pekerjaan gue keren banget! Gue tuh udah usia legal, jadi bisa kerja kayak gitu. Orang dalam sih yang bantu, jalurnya mantap banget, hahaha!"

Aiman menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. "Kenapa kamu kerja di sana kalau tahu itu salah?"

Sabrina tertawa kecil. "Pilihan, Om. Gue nggak punya banyak. Hidup gue udah terlalu ribet buat mikirin 'ini bener atau salah.' Gue cuma mikir, gimana gue bisa kasih uang buat orang tua gue dan Gimana gue bisa bikin adik-adik gue tetap sekolah."

Mendengar itu, Aiman terdiam sejenak. Dalam hati, ia ingin menghakimi, tapi sesuatu di mata Sabrina membuatnya berhenti. Di balik semua itu, ia melihat seseorang yang sebenarnya lelah dan butuh pertolongan.

Aiman hanya mengangguk pelan, tidak tahu apakah ia harus merasa ngeri atau iba mendengar jawaban itu. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Sabrina sudah melanjutkan dengan nada lebih santai. "Tapi gue rencananya mau berhenti, Om. Beneran. Soalnya gue inget dosa. Ya ampun, dosa gue udah numpuk banget, gue nggak mau tambah dosa lagi tiap hari kerja di sana. Digoda sana-sini sama cowok-cowok kurang belaian... tapi ya, gue tetep suka sih, hahaha!"

Kamu tahu," kata Aiman akhirnya, "kamu masih punya kesempatan untuk berubah. Tuhan selalu kasih pintu maaf buat hambanya yang mau kembali."

Sabrina tertawa kecil lagi. "Om, lo ustadz, ya? Lo ngomongnya tuh kayak... ya, kayak ustadz!"

Aiman tersentak. Belum sempat ia menjawab, Sabrina menyambung lagi, "Tapi ya, mungkin lo bener. Mungkin gue butuh berhenti dan... ya, mulai lagi dari awal. Tapi gimana caranya, Om? Dunia gue udah kacau banget."

...➰➰➰➰...

Aiman terdiam sejenak, tatapannya lurus pada Sabrina yang kini bersikap seolah tak peduli lagi dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Sabrina sudah menarik selimut dan merebahkan tubuhnya kembali di kasur, seakan dunia luar tak lagi ada.

"Udah sekarang ayo saya antar kamu pulang," kata Aiman, berusaha tetap tenang meski hatinya mulai kacau. Ia berdiri dan mendekat, siap untuk menuntun Sabrina keluar dari kamar yang tiba-tiba terasa penuh dengan ketegangan ini.

Namun, Sabrina hanya menggelengkan kepalanya dengan keras. "Gue mau disini! Ini kamar gue!" jawabnya tanpa membuka mata, sambil menarik selimut lebih erat. "Gue udah bayar mahal, lo yang harusnya pergi dari sini. Cuman resepsionis belagu!"

Aiman tercengang mendengarnya. Ia merasa seolah-olah berhadapan dengan dinding yang tidak bisa ia tembus. Mungkin Sabrina sedang mabuk, atau mungkin terlalu lelah, tapi sikapnya yang sekarang benar-benar membuatnya bingung.

"Serius, kamu gak bisa kayak gini terus. Ayo, bangun. Saya antar sampai depan pintu kostan kamu," kata Aiman, berusaha keras untuk berbicara dengan sabar. " kamu harus pulang. Kamu gak bisa tinggal di sini. Saya tanggungin biaya hotel kamu, tapi kamu harus pergi."

Tapi, alih-alih merespon, Aiman malah mendengar suara dengkuran halus dari bibir Sabrina. Ternyata, tanpa ia sadari, Sabrina sudah tertidur pulas.

Aiman hanya bisa menghela napas panjang, merasa bingung dan hampir menyerah. Perempuan ini... apa sih yang harus ia lakukan? Apa harus meninggalkannya begitu saja di sini? Tapi ia tidak bisa begitu saja pergi dan membiarkan Sabrina dalam keadaan seperti ini.

Aiman menatap Sabrina yang masih tertidur di kasur, dengan napasnya yang terhembus gusar. Rambutnya yang setengah kering jatuh berantakan di dahi, menambah kesan kacau dalam pikirannya. Ia merasa bingung, terperangkap dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa perencanaan atau pertimbangan panjang.

"Sepertinya saya harus menikahi kamu secepatnya," ucap Aiman pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Sabrina yang terbaring tak sadar.

Karena sejatinya Aiman sudah menyentuh bagian tubuh sabrina dan menatap mata wanita itu serta berduaan di satu ruangan, sebagai seorang Gus pantangan baginya untuk tidak mempertanggung jawabkan apa yang ia lakukan tapi bukannya hanya itu saja seperti ada perasa lain dalam dirinya yang mulai aneh saat pertama kali meihat sabrina.

...➰➰➰➰...

Esok paginya, sinar matahari yang tembus melalui tirai jendela menyinari wajah Sabrina yang perlahan mulai membuka matanya. Retina matanya menyesuaikan dengan terang yang tiba-tiba menerpa, dan tubuhnya terasa kaku seiring dengan perasaan bingung yang mulai memenuhi pikirannya. Saat pandangannya mulai jelas, mata Sabrina berhenti di sosok yang duduk di pinggir kasur. Sosok lelaki itu tengah menatapnya dengan tatapan yang serius.

Sabrina, yang semalam masih dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya, segera melompat dari tempat tidur. Matanya terbelalak, menatap pria itu dengan kebingungan dan ketegangan yang sangat jelas di wajahnya. Begitu ia menatap ke bawah, rasa lega sedikit menghinggapinya—pakaian yang dikenakannya masih lengkap.

Namun, tatapan Sabrina langsung kembali ke Aiman, lelaki yang kini duduk dengan tenang, meskipun ekspresinya tampak sedikit tegang. Sebelum Sabrina sempat mengeluarkan kata-kata, Aiman sudah terlebih dahulu memecah keheningan.

"Saya akan menikahi kamu," ucap Aiman dengan nada yang tegas dan tanpa ragu sedikit pun.

Sabrina terdiam, matanya melotot tak percaya, mulutnya terbuka hendak berkata sesuatu, tapi perkataan itu langsung tercekat oleh kekesalan yang mengalir begitu cepat dalam dirinya. Dengan rasa kesal yang membara, ia pun meledak.

"What the fu! Are you crazy, Om?!" pekik Sabrina, suaranya penuh dengan keheranan dan ketidakpercayaannya. Ia memandang Aiman seperti sedang berhadapan dengan seseorang yang benar-benar tidak waras.

Aiman tetap diam, tidak terpengaruh dengan teriakan Sabrina, justru tatapannya semakin tegas, seolah meyakinkan dirinya bahwa inilah keputusan yang harus diambil. Sabrina menatapnya tak percaya, sementara perasaan aneh mulai membalut dirinya—entah antara marah, bingung, atau bahkan sedikit takut.

Sabrina terdiam sejenak mendengar ucapan Aiman yang begitu tegas. Namun, saat Aiman melanjutkan kata-katanya, Sabrina langsung merasa darahnya mendidih. Keputusan yang diambil Aiman benar-benar membuatnya kesal.

“Karena kita sudah tidur bersama, dan saya menyentuh tubuh kamu dan kita disalam satu ruangan yang sama,” ujar Aiman dengan nada yang serius dan penuh keyakinan.

Sabrina langsung berdiri dan memandang Aiman dengan pandangan tajam, seolah ingin meledak. “Gak!!! Gak!!! Gue gak setuju!!!! Kalau gak ngen\~tod ngapain harus tanggung jawab, jangan jadi lelaki sok kebangetan deh pake tanggung jawab segala,” teriaknya dengan geram, sambil mengacungkan tangannya dengan nada yang kasar.

Aiman terkejut mendengar kata-kata Sabrina yang sangat kasar, wajahnya terlihat kesal. “Mulutmu sangat tidak sopan sekali ya!!!” ujar Aiman dengan nada yang keras, mencoba menahan emosinya.

Sabrina tak gentar, dia membalas dengan penuh keyakinan. “Terserah, dengerin ya Om. Gue emang minta maaf mungkin karena salah masuk kamar, tapi gak gini juga kali konsepnya, sekarang kita lupakan apa yang terjadi,” katanya, sambil melambaikan tangannya seperti ingin mengabaikan semua yang terjadi semalam.

Aiman hampir kehilangan kesabaran, namun sebelum dia bisa melanjutkan, Sabrina mengangkat jarinya dan menempelkan ke bibirnya dengan tegas. “Syutttt!!!!” Sabrina berkata dengan nada yang cukup keras, menginterupsi Aiman.

Aiman langsung terdiam, seolah terjewer oleh kata-kata Sabrina. Sabrina menyeringai kecil, merasa sedikit puas. “Kita gak melehoy lehoy kan?” Sabrina bertanya sambil mengangkat alisnya, dan Aiman dengan terpaksa mengangguk sebagai jawaban.

Sabrina kembali tersenyum lebar. “Nah, ya udah, gak perlu repot. Gue gak mau nambah masalah hidup gue, jadi gue pergi dulu. Bye, makasih atas tumpangan tidurnya,” kata Sabrina, sambil mulai berjalan menuju pintu.

Namun, Aiman tetap berdiri tegak, menatapnya dengan serius, meskipun Sabrina sudah mulai berjalan keluar. “Saya tetap akan menikahi kamu!” ujarnya, suaranya tetap tegas dan tak bergeming.

Sabrina hanya memutar bola mata, tidak peduli, sambil melangkah cepat keluar, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Aiman berdiri tegak, wajahnya penuh ketegasan. "Saya akan cari kamu di mana pun kamu berada!" katanya dengan suara yang berat, penuh tekad.

Sabrina yang sudah di ambang pintu hanya menatapnya malas, seakan sudah tidak peduli lagi dengan ucapan Aiman. "Terserah lo aja deh, Om. Gue gak perduli," jawabnya sambil melangkah keluar dan menutup pintu dengan keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!