NovelToon NovelToon

MY ARROGANT EX HUSBAND

Sebuah Status

"Ahhh, sakit!" Gaitsa meringis saat merasakan bagian bawah tubuhnya perih ketika ia mencoba duduk.

Selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya melorot saat Gaitsa akhirnya berhasil duduk dengan benar, memperlihatkan tubuh polos dan beberapa bercak kemerahan menghiasi kulitnya yang putih. Menoleh pada sisi tempat tidur yang kosong, Gaitsa menghela napas, berusaha mengabaikan rasa kecewa yang menyusup begitu saja.

Noda merah di seprai putih yang masih menguarkan aroma mawar serta bekas lilin di setiap sudut ruangan membuatnya kembali mengingat malam pernikahannya.

Wanita berusia dua puluh enam tahun yang baru saja berubah status menjadi istri seseorang itu menggerakkan tubuhnya perlahan, mengernyit saat merasakan nyeri di daerah intim dan pinggangnya. Sial!

Setelah melalui perjuangan panjang untuk bangun dan melangkah ke kamar mandi, Gaitsa akhirnya menatap pantulannya di cermin besar yang menggantung. Wajahnya berantakan.

"Jangan salah paham dengan hubungan ini. Aku tidak pernah berminat menyentuh tubuh kotormu!"

Gaitsa kembali mengingat kata-kata dingin yang dilontar Ravendra, beberapa saat setelah mereka menyelesaikan sesi bercinta. 

"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu setelah melakukannya selama berjam-jam?" tanya Gaitsa lemah.

Pria yang tubuhnya basah akibat keringat itu melempar sebuah bungkusan, tepat mengenai wajah cantik Gaitsa yang terlihat kelelahan.

"Kalau tidak dibantu dengan itu, aku mana sudi! Aku harus memberi bukti pada pengacara ayahku bahwa kita benar-benar melakukannya sesuai perintah." 

Tatapan jijik dan penuh kemarahan itu dilayangkan Ravendra sebelum memunggungi Gaitsa, meninggalkan wanita berstatus istri yang menatap nanar pada bungkus pil yang kosong.

Obat perangsang. Entah kenapa Gaitsa tahu apa yang dilempar Ravendra. Kalau tidak menggunakan obat, apa Ravendra benar-benar tidak mau menyentuh tubuhnya? Gaitsa akhirnya tertidur setelah menarik napas berkali-kali, berusaha mengabaikan sesak yang menghimpit dadanya. Ia lelah, fisik dan mentalnya tidak baik-baik saja.

"Yah, memang apa yang bisa diharapkan dari pernikahan semacam ini," gumamnya.

Gaitsa tidak akan pernah melupakan pengalaman pertamanya. Hebat, tentu saja. Bagian intimnya yang masih terasa berdenyut dan bengkak adalah bukti betapa gila pergumulan mereka semalam. 

Meski mereka sama sekali tidak berciuman seperti hal umum yang terjadi ketika berhubungan intim.

Tidak masalah, entah mereka memulai tanpa sebuah ciuman atau Ravendra yang sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun, Gaitsa tidak harus memikirkannya. Wanita itu hanya harus fokus pada hubungan mereka ke depannya.

"Sekarang aku harus bagaimana, Tuan Mahendra?" tanya wanita itu pada udara, helaan napasnya berat, seolah seluruh beban di dunia ada di pundaknya. 

Pernikahan yang didasari sebuah wasiat. Baik Gaitsa maupun Ravendra tidak bisa menolak saat ayah pria itu meminta mereka menikah sebelum kematiannya.

Gaitsa yang sejak kecil sudah tidak memiliki orang tua, juga tidak ada saudara yang mau merawat hingga dititipkan di panti asuhan, harus membalas budi pada keluarga yang membiayai hidup dan pendidikannya. Apalagi pernikahan ini adalah syarat utama untuk Ravendra mewarisi seluruh kekayaan keluarga Dewara.

“Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja.”

Hari-hari berlalu sejak pernikahan, tapi Ravendra benar-benar tidak pernah pulang. Gaitsa mengerti kalau pernikahan mereka tidak diinginkan pria itu, tapi bagaimana bisa ia tidak pulang sama sekali setelah meninggalkan Gaitsa di hari pertama?

Wanita itu sudah menelpon ke nomor pribadi dan perusahaan, tapi tidak ada satu pun yang dijawab. Pesan-pesannya diabaikan. Gaitsa memutuskan pergi ke perusahaan sendiri seminggu setelah Ravendra tidak ada kabar, tapi resepsionis mengatakan bahwa pria itu tidak ada. 

Banyak hal yang ingin Gaitsa bicarakan. Ia sudah mendapat izin untuk keluar dari Dewara Grup sebagai syarat menikah dengan Ravendra, tentu saja setelah Presdir sebelumnya memberi uang pesangon dan beberapa saham di berbagai perusahaan bahkan penthouse untuknya.

Gaitsa sudah menjual seluruh saham yang ia punya termasuk penthouse dan membeli saham di perusahaan lain serta sebuah apartement yang ia impikan.

Gaitsa ingin kembali bekerja dan merasakan lingkungan baru di luar Dewara Grup. Namun, sudah dua bulan, wanita itu masih belum bisa menemui Ravendra. Besok adalah jadwal wawancaranya di perusahaan baru! Gaitsa harus membicarakan masalah itu bagaimana pun caranya.

Wanita yang mengikat satu rambut panjangnya kembali memasuki kantor pusat Dewara Grup, melihat senyum aneh di wajah resepsionis seperti biasa.

"Apa kali ini tidak ada lagi?"

"Selamat siang, Nona Gaitsa--maksudku Nyonya Gaitsa!" sapa resepsionis yang sudah cukup dikenal Gaitsa.

"Katakan saja apa Ravendra ada di sini," ucap Gaitsa tidak sabar, keningnya berkerut saat melihat wanita di hadapannya malah semakin kikuk.

Wanita bersurai pendek yang berdiri di balik komputer itu menggigit bibir, terlihat ragu sebelum membuka mulut. "Pak Presdir baru saja naik, tapi--"

"Oke!" Gaitsa langsung berjalan pergi, mengabaikan wajah pucat resepsionis yang sepertinya belum selesai bicara. 

Wanita itu masih memiliki kartu berwarna hitam yang bisa digunakan untuk membuka pintu ke lantai teratas. Ia bukannya rindu atau ingin diperhatikan, tapi Gaitsa harus tahu apa yang dilakukan suaminya hingga tidak pulang sama sekali. Bahkan satu pesan pun tidak ada. 

Gaitsa harus memaksa pria itu untuk membuat beberapa perjanjian tentang hubungan mereka ke depannya. Pernikahan yang terasa seperti penjara abadi. Ia ingin melarikan diri, tapi tidak memiliki alasan kuat untuk meninggalkan suaminya. Kalau Gaitsa meninggalkan Ravendra sekarang, pria itu akan sendirian. Memikirkannya saja entah kenapa membuat Gaitsa tidak nyaman.

"Yang penting temui dia dan buat perjanjian dulu untuk sekarang. Awas saja kalau yang dia lakukan di perusahaan adalah bersantai!" sungut Gaitsa seraya melangkah keluar dari lift, mengernyit saat tidak menemukan siapa pun di balik meja sekretaris. Suara bisikan dari dalam ruangan Presdir membuat wanita itu melangkah mendekat.

Pria berstatus suami yang tidak pulang dan tanpa kabar sejak pernikahan mereka dua bulan lalu, sedang memeluk erat seorang wanita. Baru dua bulan, tapi Gaitsa sudah melihat suaminya memiliki wanita lain.

Gaitsa tersenyum getir saat Ravendra melepas pelukan hanya untuk mencium kening wanita itu. Tatapan lembut dan senyum tulus pria itu membuat pandangan Gaitsa memanas, setetes air mata lolos tanpa ia bisa mencegahnya.

"Sekarang ... apa aku dimaafkan?" tanya Ravendra seraya mengusap lembut pipi wanita di hadapannya.

"Memangnya sudah minta maaf?" Suara serak wanita bersurai panjang yang kembali berada dalam dekapan Ravendra membuat pria itu terkekeh.

"Kamu mau aku minta maaf dengan cara apa? Aku bisa melakukan apa pun," ucap Ravendra sembari menyelipkan rambut ke belakang telinga wanita yang masih memasang wajah cemberut.

"Jangan pernah meninggalkan sisiku lagi tanpa mengatakan apa pun, setidaknya beritahu ke mana tujuanmu agar aku tidak khawatir. Apa bisa berjanji seperti itu?"

"Aku bisa meninggalkan semuanya untukmu kalau kamu memintanya. Tapi, tolong jangan menangis. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku kalau kamu terluka. Bisa berjanji padaku seperti itu juga?" Ravendra tersenyum saat wanita di hadapannya mengangguk pelan. 

Pria itu kembali memberikan kecupan lembut di kening sebelum memindahkan bibirnya ke pipi wanita itu. 

Gaitsa tersenyum kecut, berbalik saat dua orang yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya sedang saling menatap. Ia tidak mau merasa patah hati, tapi air matanya jatuh begitu saja. 

Rasa sesak yang memenuhi dadanya membuat Gaitsa segera memasuki lift khusus dan terduduk. Kakinya lemas. Jelas ia tidak pernah berpikir akan merasa patah hati, tapi kenapa jantungnya seperti diremat dan sangat menyakitkan?

Senyum lembut, hangat dan penuh ketulusan itu ... Gaitsa tidak pernah mendapatkannya dari pria berstatus suaminya. Tidak pernah sekali pun Ravendra bersikap seperti itu padanya. Pria itu hanya dipenuhi oleh kemarahan setiap kali mereka bersitatap.

Gaitsa tidak ingin menangis, tapi air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.

Mulai Sekarang, Kita Hidup Berdua

Dua minggu berlalu sejak Gaitsa memergoki suaminya sedang bersama wanita lain. Dan sejak saat itu juga ia pindah ke apartement-nya sendiri. Tidak ada satu pun yang mengetahui tempat itu, termasuk orang-orang dari Dewara Grup.

Gaitsa pikir waktu selama dua minggu cukup untuk menenangkan hatinya, tapi ketika melihat lagi pria tampan yang sudah memporakporandakan hatinya duduk angkuh sembari menyilangkan kaki di hadapannya, Gaitsa kembali mengingat luka yang menggerogotinya.

"Jadi, setelah kabur dari rumah, kamu mau apa sekarang? Aku tidak punya waktu, cepat katakan urusanmu."

Tidak ada kekhawatiran. Pria di hadapan Gaitsa masih tidak berperasaan seperti biasa. Gaitsa sempat berharap mungkin saja Ravendra akan menanyakan keadaannya, di mana ia tinggal dan kenapa meninggalkan rumah.

Hal-hal berbentuk kekhawatiran meski secuil saja dari pria itu mungkin akan mengubah keputusan Gaitsa. Nyatanya, netra cokelat itu tetap sama dingin dan penuh amarah seperti biasa.

Dua bulan, usia yang sangat muda untuk sebuah pernikahan, tapi mau bagaimana lagi, mereka tidak bisa terus berada dalam sebuah hubungan hanya dengan status ‘suami-istri’. Padahal Gaitsa sempat berharap pernikahannya akan baik-baik saja meski mereka tidak saling mencintai, selama bisa berkompromi dan diskusi tentang apa pun masalahnya. Tapi ternyata harapan itu pupus begitu saja. Gaitsa menarik napas berat sebelum menyodorkan map merah muda berisi gugatan cerai yang sudah ditandatangani olehnya.

"Aku ingin bercerai," ucap Gaitsa tegas, tangannya di bawah meja saling meremat kuat. "Tidak mungkin bercerai saat usia pernikahan masih dua bulan, jadi aku menulis tanggal satu tahun dari sekarang."

Ravendra menarik surat yang disodorkan Gaitsa, membacanya sekilas sebelum membubuhkan tanda tangan. Sudah bisa ditebak, Ravendra tidak menanyakan apa pun.

"Sudah kutandatangani. Selesai, kan? Bisa aku pergi sekarang?" Ravendra yang memang sejak kedatangannya terlihat sedikit gelisah dan terus saja melirik ponselnya, kembali menyodorkan berkas perceraian setelah selesai membubuhkan tanda tangan.

Kelegaan yang sedikit terlihat di wajah pria itu membuat tangan Gaitsa gemetar. Berbanding terbalik dengan perasaannya yang remuk redam, Gaitsa tersenyum, terlihat angkuh dan tegas di tatapan Ravendra, sama seperti biasa.

"Terima kasih atas kerjasamanya, Tuan Muda Ravendra."

Gaitsa berusaha menahan perasaan kecewa yang lagi-lagi memenuhi hatinya hingga terasa menyesakkan saat Ravendra langsung pergi tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Apa karena wanita itu, kekasihmu, yang memintamu untuk tidak pergi terlalu lama?" Gaitsa tidak bisa menahan air mata yang kembali jatuh.

Haah ... Gaitsa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia baru akan berdiri setelah mengambil map merah muda dari atas meja sebelum dunianya terasa berputar. Wanita itu kembali duduk, menahan mual dan pusing yang tiba-tiba menyerang.

Akhir-akhir ini kondisi tubuhnya kurang baik. Gaitsa merasa lebih cepat lelah, napasnya kadang berat, belum lagi pusing dan mual yang datang tanpa peringatan. Gaitsa juga tidak bisa makan dengan benar selama dua minggu terakhir.

Gaitsa tidak tahu alasan sakitnya, entah karena perlakuan Ravendra atau akibat sulit mencerna makanan, tapi rasanya mustahil ia sakit hanya karena memikirkan masalah pernikahan dan suami yang berselingkuh.

"Aku harus ke dokter dulu," lirihnya saat rasa pusing juga ikut mendera.

Satu jam kemudian, Gaitsa sampai di UGD, tapi setelah melakukan beberapa pemeriksaan, dokter yang ditemui Gaitsa malah mengernyitkan dahi dan tersenyum, sebelum merujuknya ke bagian obgyn. Apa hubungannya sakit kepala dan mual yang Gaitsa rasakan dengan dokter kandungan?

Gaitsa cemas. Berbagai pikiran negatif memenuhi kepalanya. Bagaimana kalau ketakutan yang tiba-tiba menghampirinya benar-benar terjadi?

"Hasilnya sudah keluar, Nyonya Gaitsa."

Gaitsa menelan ludah setelah dokter kandungan yang memeriksa sebelumnya menerima kertas dari salah seorang perawat.

"Wah, selamat, Nyonya Gaitsa! Hasilnya positif," ucap lembut wanita berseragam putih, menatap penuh perhatian pada Gaitsa. "Anda hamil," katanya seraya tersenyum.

Hamil. Gaitsa masih menatap linglung pada wanita berkaca mata di hadapannya. Satu kata yang diucap wanita itu dengan senyum lembut membuat Gaitsa mempertanyakan kesehatan telinganya sendiri. Apa ia salah dengar?

"Maksudnya ... hamil? Benar-benar hamil yang itu?" Gaitsa menanyakan berulang meski sudah mendapat jawaban yang sama. "Ada bayi di perutku? Bagaimana bisa?"

Wanita berkacamata itu mulai mengernyitkan kening pada reaksi Gaitsa. "Masih berupa janin lebih tepatnya," ucapnya seraya menghapus pikiran negatif. "Tentu saja bisa jika Anda melakukan hubungan intim tanpa menggunakan pengaman," lanjutnya memberi pengertian.

Gaitsa memijat kening, mengingat malam yang ia habiskan bersama Ravendra di malam pertama pernikahan mereka. Memangnya pria itu tidak pakai pengaman? Gaitsa tidak punya pengalaman tentang itu, jadi tidak sempat berpikir soal pengaman dan lainnya.

"Apa Anda akan menggugurkannya?"

Pertanyaan yang dilayangkan penuh kehati-hatian itu membuat Gaitsa mendongak.

"Anda terlihat tertekan setelah mendengar tentang kehamilan, jadi saya pikir Anda mungkin ingin menggugurkannya. Saya tidak bermaksud ikut campur, tapi di luar sana ada banyak sekali perempuan yang menginginkan seorang anak. Daripada menggugurkannya, bukankah lebih baik menyerahkannya untuk diadopsi orang lain setelah ia lahir?"

Gaitsa termenung. Ia tidak pernah berpikir akan memiliki anak, apalagi dalam kondisi baru saja bercerai. Lalu, apa Gaitsa memiliki keberanian untuk menggugurkan kandungannya? Kalau memilih melahirkannya, apa yang akan dikatakan orang-orang, teman-teman kantornya, tentang status bayi ini?

Ah ... benar! Perceraiannya dan Ravendra belum terjadi. Masih ada waktu satu tahun untuk melahirkan bayi dengan status jelas sebagai istri seseorang.

"Aku tidak berniat menggugurkannya," ucap Gaitsa seraya menguatkan hati. "Terima kasih sudah mengingatkan."

Gaitsa mengelus perutnya yang masih rata, tangannya gemetar dan berkeringat dingin. Gaitsa tidak tahu rasanya punya orang tua, jadi bagaimana ia harus mempelakukan anaknya nanti?

***

"Huweekk! Ugh!" Gaitsa terduduk di depan kloset, setelah lagi-lagi memuntahkan seluruh isi perutnya. Rasa mual dan pening yang mendera kepalanya membuat wanita itu bersandar lemas di dinding kamar mandi.

"Apa rasanya memang sesulit ini?" Gaitsa bergumam, air mata perlahan membanjir di pipinya saat lagi-lagi kepalanya berdenyut sakit.

Dokter bilang untuk menelepon kapan pun Gaitsa membutuhkan saran. Meski begitu, kesulitan tidak bisa makan apa pun tidak bisa dicari solusinya. Gaitsa sudah minum susu khusus, ia memilih rasa stroberi yang baunya tidak terlalu menyengat dibanding coklat atau vanila, tapi tetap saja nihil.

Semua makanan atau minuman yang Gaitsa telan akan dimuntahkan lagi. Katanya ini adalah gejala umum bagi wanita yang tengah hamil. Gaitsa hanya tidak pernah berpikir rasanya akan sangat sulit. Sudah menderita seperti ini pun, dokter bilang bahwa kondisi Gaitsa jauh lebih baik dari wanita lainnya.

Gaitsa sudah mendengar bahwa trimester pertama memang yang paling rentan dan sulit. Kondisi akan membaik seiring bertambahnya usia kandungan.

"Tapi, rasanya aku tidak sanggup lagi." Suara Gaitsa gemetar ketika memeluk lutut. Wanita itu menggigit bibir, perasaan yang selama ini selalu ia abaikan membuat air matanya kembali luruh.

Ia kesepian. Sekelebat wajah seseorang mampir di kepalanya, sosok gagah dan tampan yang bibirnya selalu membentuk garis lurus. Pria tanpa perasaan yang telah mengoyak pernikahan mereka menjadi tidak berbentuk.

Meski begitu, Gaitsa merindukannya. Ia menginginkan Ravendra di sisinya, menerima pelukan dan usapan lembut serta kata-kata yang menenangkan setiap kali Gaitsa memuntahkan makanannya di kamar mandi.

Sebuah harapan yang mustahil terjadi. Perasaan lemah yang harusnya tidak pernah Gaitsa rasakan.

"Hormon sialan!" Gaitsa mengumpat di tengah tangisnya, masih memeluk lutut dengan tubuh lemas.

"Kenapa aku harus mengalami ini sendirian? Kenapa selalu aku?"

Gaitsa berdiri setelah menghapus kasar jejak air mata di pipinya, melangkah cepat menuju nakas kecil di sisi ranjangnya, membuka laci terbawah dan mengeluarkan map merah muda berisi surat-surat perceraian.

Wanita yang wajah cantiknya terlihat redup dengan cekung di bawah mata itu menuju dapur, menghidupkan kompor dan meletakkan berkas yang dibawanya ke atas api, membiarkan kertas-kertas itu terlahap menjadi abu.

Gaitsa menderita sendirian, kesulitannya menelan makanan, rasa mual dan pusing, perubahan emosi dan kelelahan mental lainnya membuat wanita itu bertekad.

"Tidak akan kubiarkan orang itu mengenal bayiku!"

Setelah melempar berkas perceraiannya ke dalam api, Gaitsa memutuskan untuk keluar apartement, berjalan-jalan di taman, menghirup udara demi menenangkan hatinya. Gaitsa menarik napas panjang, menghirup udara seraya netra gelapnya memandang langit malam, kosong, sama seperti binarnya. Tidak ada bintang yang terlihat, seolah mengejek Gaitsa bahwa tidak ada juga cahaya untuknya.

"Kita akan hidup bahagia meski cuma berdua, Nak. Kamu akan jadi orang paling beruntung di dunia meski hanya punya seorang ibu." Gaitsa bergumam seraya mengelus perut, tersenyum lembut meski embun kembali menggenang di pelupuk matanya.

Tidak Berubah Pikiran

"Tumben Mbak menitipkan Biyu di akhir pekan?"

Gaitsa tersenyum mendengar pertanyaan wanita berseragam biru di hadapannya. Biasanya ia memang hanya menitipkan bayinya saat hari kerja.

"Ada hal yang harus kuurus, jadi mohon bantuannya untuk hari ini juga." Gaitsa menyerahkan bayi berusia lima bulan dari dekapannya.

Wanita itu segera pergi dan melambaikan tangan setelah mencium pipi bulat bayinya. Gaitsa harus pergi ke tempat yang sudah ia rencanakan sejak setahun sebelumnya. Surat perceraian dan hak asuh anak, sekarang adalah waktunya untuk menyerahkan surat-surat itu ke pengadilan. Tentu saja, ada hal lain yang harus ia lakukan terlebih dahulu sebelum mengirimkan suratnya.

Gaitsa bergegas sembari bersenandung, menikmati warna biru cerah yang membentang di langit. Wanita itu menaiki taksi yang sudah dipesan sebelumnya.

"Tujuan ke mana, Mbak?"

"Bandara," jawab wanita itu semangat. Netra gelapnya menatap jalanan yang hari ini terlihat lebih indah. Gaitsa mencoba menahan tawanya membayangkan seseorang yang mungkin sedang kesulitan di hari cerah seperti ini.

"Ah, sebelum ke bandara, antarkan saya ke tempat lain dulu!"

***

"Berapa lama lagi kita akan mendengarkan mereka berdebat?"

Di tempat lain, seorang pria dengan kaca mata membingkai hidung mancungnya tampak mengeluh seraya melihat arloji di pergelangan tangan.

"Maaf, Tuan, apa kita cari jalan memutar saja?"

"Tidak perlu," jawabnya tegas. Ravendra tidak pernah merasa sejengkel ini seumur hidupnya.

Ada sedikit masalah dengan anak perusahaan di Malaysia dan Ravendra harus ke sana untuk menyelesaikannya. Ia diburu waktu, tapi kesialan demi kesialan membuat perjalanannya ke bandara jadi terhambat.

Ravendra harus mendengarkan makian dan umpatan seseorang yang menuduhnya mencuri tempat parkir. Mobil yang selalu terparkir di basement tanpa pernah bergerak selama sebulan terakhir dikatakan telah mencuri tempat parkir kemarin. Pria itu berusaha menjelaskan berulang kali setelah melihat sopirnya yang ketakutan.

Setelah melalui perdebatan cukup panjang, orang itu pergi saat menyadari bahwa ia salah orang. Ravendra membuang waktu selama lima belas menit untuk perdebatan tidak penting di tengah kesibukannya.

Lalu setelah akhirnya bisa ke luar, ban mobilnya kempes di tengah perjalanan. Tidak ada ban cadangan dan akan memakan waktu lama kalau harus menunggu orang bengkel datang. Ravendra terpaksa menghentikan taksi dan meminta sopir untuk lebih cepat.

Tapi, lihat apa yang terjadi sekarang? Terjadi kecelakaan di depannya. Sebenarnya itu tidak bisa disebut kecelakaan, mobil mereka hanya hampir saling menyerempet. Bahkan tidak ada kerusakan apa pun. Tapi mereka tetap berdebat dan saling menyalahkan.

"Sepertinya sudah selesai," ucap sopir taksi saat melihat orang-orang yang mengganggu ketertiban jalan akhirnya bubar. Beberapa mobil lain yang terjebak akibat perdebatan itu juga mulai bergerak setelah memberikan klakson panjang, tanda bahwa mereka sedang kesal.

Ravendra menghela napas dan memberi perintah untuk lebih cepat. Netra coklatnya melirik arloji dan berdecak. Kenapa hari ini ia tertimpa kesialan berulang kali?

Taksi sampai di bandara tiga puluh menit setelahnya. Ravendra menghela napas lega sembari memasuki bandara dengan langkah cepat.

"RAVENDRA!"

Benar-benar sial! Ravendra mengeratkan genggamannya di tas berisi laptop yang tengah dibawanya, menghela napas saat harus menghentikan langkah ketika seseorang memanggil. Suara wanita yang jarang didengar namun sangat familiar membuat bibirnya tersenyum mengejek.

"Apa ia akhirnya kehabisan uang?" gumamnya setelah melihat seorang wanita bersurai panjang sedang berlari. Alis pria itu bertaut saat melihat seseorang yang ikut berlari di belakang Gaitsa.

"Syukurlah kamu belum berangkat!" seru Gaitsa saat sudah sampai di hadapan Ravendra dengan napas terengah. Keringat membuat penampilannya terlihat sedikit berantakan, tapi Gaitsa tidak peduli.

"Kenapa kamu di sini? Dan bersama Alan?"

"Surat cerai!" ujar Gaitsa begitu mendengar pertanyaan pria di hadapannya. "Hari ini harusnya aku mengajukan surat perceraian kita ke pengadilan, tapi aku lupa suratnya ada di mana. Aku menemui Tuan Alan dan minta tanda tanganmu, tapi katanya aku harus memintanya sendiri."

Ravendra menatap tidak percaya pada wanita yang mengejarnya hingga bandara hanya untuk meminta tanda tangan untuk surat cerai. Pria itu menerima map yang disodorkan Gaitsa, mengabaikan tatapan tajam seseorang berstatus pengacara sekaligus sahabat terdekatnya.

Pria itu berniat membaca isi surat, tapi pengumuman yang mengingatkan tentang keberangkatan pesawat tujuan Malaysia terdengar di seluruh bandara. Ravendra tidak punya waktu untuk membaca satu per satu surat itu, jadi memilih percaya pada pengacara yang akan mengurus sisanya.

Gaitsa menahan seringai melihat Ravendra menandatangani surat-surat itu dengan cepat tanpa membacanya.

"Sudah, kan? Aku harus pergi sekarang," ucap pria itu setelah menyerahkan kembali berkas ke tangan Gaitsa. Ia baru akan berbalik saat wanita itu menahan lengannya.

"Kamu tidak akan berubah pikiran, kan?"

Ravendra mengernyitkan dahi. Berubah pikiran dalam hal apa?

"Kamu akan membiarkan perceraian kita berjalan lancar tanpa menghalangi apa pun, kan?"

Pertanyaan Gaitsa membuat Ravendra hampir tertawa mencemooh. Siapa yang menghalangi siapa?

"Aku tidak akan menuntut apa pun dari hubungan yang hanya kita lewati selama satu malam. Jangan khawatir, Alan akan mengurus segalanya sehingga perceraian kita berjalan lancar. Lalu, aku tidak akan pernah mengajukan banding."

Kalimat tegas pria itu membuat Gaitsa mengulum bibir, hampir berteriak bahagia sebelum melepaskan lengan yang masih ditahannya. Gaitsa sempat melambai setelah Ravendra berbalik. Perceraian mereka akan diurus dengan cepat saat pria itu sibuk dengan pekerjaan di luar negeri. Gaitsa tidak akan lagi bertemu atau memiliki alasan untuk melihat wajah menyebalkan itu.

"Kamu dengar yang dikatakan Pak Presdir, kan?" Gaitsa berbalik pada pria yang masih menatap tajam punggung Ravendra. Kalau matanya bisa mengeluarkan api, punggung Ravendra pasti sudah terbakar.

"Sampai bertemu di pengadilan," ucap Gaitsa sebelum melenggang pergi dengan surat cerai dan penyerahan hak asuh penuh yang sudah ditandatangani Ravendra.

Alan yang juga tidak sempat membaca surat-surat itu mengernyit. Wanita itu terlihat bahagia setelah menerima surat cerai. Kenapa? Ia tidak memindahkan seluruh saham dan properti Dewara Grup ke tangannya, kan?

Di luar bandara, Gaitsa kembali menaiki taksi untuk pulang. Ia akan mampir ke pengadilan untuk menyerahkan berkas yang diperlukan. Wanita itu yakin akan menang. Mereka hanya akan berusaha menentang kalau Gaitsa memindahkan seluruh saham dan properti Dewara Grup padanya, tapi tidak mungkin berusaha keras hanya untuk seorang bayi.

"Apalagi aku punya surat pernyataan yang ditandatangani secara sadar dan disaksikan seorang pengacara," gumamnya seraya tersenyum semakin lebar.

Setelah sampai di lingkungan apartementnya, wanita bersurai panjang itu langsung menuju tempat penitipan anak. Ia merindukan bayinya. Sosok mungil dengan pipi bulat dan berisi yang tidak pernah membuatnya bosan.

Gaitsa langsung menuju lantai dua, ke tempat bayinya berada. "Biyu!" panggilnya setelah membuka pintu, tersenyum semakin lebar setelah melihat putranya tengah tengkurap dengan bola-bola kecil di sekitarnya.

"Wah, Mamanya Biyu sudah pulang!" Perawat di ruangan itu langsung menggendong Biyu, melambaikan tangan bayi itu ke arah Gaitsa sambil membawanya menuju pintu.

Gaitsa menyambut bayinya dengan senyum lebar.

"Ayo bilang terima kasih ke Ibu susternya. Terima kasih Ibu suster!" Gaitsa menggoyangkan tangan gempal bayinya sebagai salam perpisahan sebelum meninggalkan tempat penitipan.

Wanita itu berjalan santai di sekitar taman, membiarkan putranya melihat orang-orang saling tertawa dan bermain. Suasananya memang sangat bagus. Gaitsa terus mencium pipi bulat bayi yang baru berusia lima bulan di gendongannya.

Ragata Biyu Dewara. Bayi laki-laki yang lahir dengan normal dan sehat itu adalah hadiah paling indah yang pernah dimiliki Gaitsa.

"Hari ini Mama bertemu Papa di bandara. Katanya kita boleh hidup berdua dan tidak akan pernah diganggu." Gaitsa mengelus surai kelam putranya, yang tertawa dengan menggemaskan tanpa mengerti apa yang diucapkan sang ibu.

"Papamu benar-benar orang baik," ucap Gaitsa seraya tersenyum lebih lebar.

Ia juga harus berterima kasih pada orang-orang baik yang membantunya membuat Ravendra menandatangani surat-surat itu dalam keadaan terdesak hingga tidak sempat membacanya.

“Aku akan mentraktir mereka sesuatu yang enak nanti!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!