**Yuhuuu sebelum baca story ini. aku mau cuap-cuap sedikit aja. Dalam cerita ini aku pakai POV orang pertama, jadi berbeda dengan yang Malam Pertama versi Adrian. Ini bukan sekuelnya ya. Cuma aku bikin beda versi (Soalnya aku gak rela Adrian pergi heuhueu)
happy reading kalau suka baca kalau gak suka tinggalkan**.
*****
Kehidupan Kana sangat sempurna dia punya segalanya. Suami yang tampan, mapan dan setia. Dia juga punya Si Kecil Kenzo yang lucu dan menggemaskan. Tapi semua berubah saat kecelakaan itu merenggut suaminya. Kana hancur bahkan tidak hanya sekali dua kali dia ingin mengakhiri hidupnya. Tapi uluran tangan dari dua malaikat tanpa sayap dari masalalu dan masadepannya itu menarik Kana dari kubangan kesedihan. Bisakah Kana bangkit dan tetap menjalani hidup bersama dua malaikat tanpa sayapnya?
***********
Adrian tersenyum manis, sepanjang perjalanan ini tingkah lakunya benar-benar aneh. Dia menggenggam tanganku erat seolah-olah aku akan pergi, untuk sekedar minum saja aku tidak bisa, gerak sedikit Adrian akan mengeratkan genggamannya. "Kak, lepasin dulu tangan aku. Haus ini mau minum." Aku mencoba melepaskan genggaman tangan suamiku, tapi dia menggeleng pelan.
"Gak mau. Tahan dulu hausnya, sebentar lagi kita juga sampai ke rumah Bunda." Adrian fokus dengan setirnya dengan satu tangan. Tangan satunya yang bebas menggenggam tanganku erat.
Aku menyipitkan mata. Dia ini kenapa sih? "Ya ampun, Kak! Aku tidak akan ke mana-mana."
"Iya, aku cuma ingin menghabiskan waktu kita yang tersisa." Adrian menatap lurus ke arahku. Entah kenapa aku merasa tatapan Adrian kali ini berbeda dari biasanya.
"Maksudnya apa, Kak?"
"Maksudnya sisa waktu kita berduaan. Sebentar lagi kita mau jemput Kenzo. Monster kecil itu kan selalu saja mengganggu waktu berdua kita." Adrian cemberut bibirnya mengerucut menggemaskan seperti anak kecil yang merajuk karena tidak dibelikan mainan. Memang sejak Ken lahir 2 tahun lalu perhatianku yang biasanya 100% untuknya hanya tersisa 45 % karena selebihnya untuk Kenzo. Putra pertamaku yang sedang lucu-lucunya.
"Jangan cemburu sama anak sendiri, Kak," tegurku halus. Adrian tersenyum lalu mengangkat tanganku dan menciumnya.
"Enggaklah. Cuma sedikit iri saja pada Ken, dia sekarang menguasai kamu."
"Ya, wajarlah Kak. Dia masih kecil, masih butuh perhatian aku."
Adrian mengangguk kecil. " Iya. Kamu memang ibu yang baik. Jaga Ken baik-baik ya, Na kalau aku pergi nanti. Jangan biarkan dia sendiri."
"Kak Ian ini ada-ada aja. Jaga bareng-barenglah! Kakak kan Ayahnya. Lagian mau ke mana coba? Kayak mau pergi lama saja." Aku tak terima.
"Ya kalau aku pergi kerja, kamu yang jaga Ken, kan?" balas Adrian. Aku manggut-manggut.
Adrian mengacak rambutku sejenak. "Ken dan kamu dua orang yang sangat berarti buat aku. Kalian menyempurnakan hidupku. Terimakasih ya Sayang udah hadir di hidup aku." Adrian menoleh ke arahku tangannya masih setia melingkupi telapak tanganku yang terlihat kecil di gegaman tangannya.
"I love you, Na. Aku akan selalu ada buat kamu." Adrian mencium tanganku sekali lagi membuatku tersipu malu-malu mendengar kata cintanya itu.
"I love y- " Kata-kataku menggantung di udara saat kudengar suara klakson yang keras dan panjang kemudian kurasakan dentuman keras dari arah depan.
"Arghhhhhh…!" Aku menjerit sekuat tenaga mataku terbuka lebar-lebar, keringat dingin membanjiri tubuhku. Kupandang sekeliling ruangan di mana aku berada. Ini kamarku. Dan tadii itu mimpi. Lagi-lagi mimpi yang sama, yang menghantuiku setiap malam. Aku mengusap peluh yang membanjiri pelipis.
Kupejamkan mata sejenak namun kenangan buruk itu masih ada di sana mengangguku setiap malam. Masih melekat kuat di kepalaku kejadian setahun lalu. Bahkan bau anyir darah masih tercium di hidung. Tanganku meraba pelipisku, ada bekas luka di sana. Luka yang akan selalu mengingatkanku pada kejadian itu.
Aku beranjak dari tidur lalu dengan gontai keluar dari kamar untuk beralih ke kamar sebelah. Kubuka pintu kamar yang di depannya dihiasi dengan gambar mobil dan superhero keluaran disney.
Seorang anak lelaki berusia 3 tahun tengah terlelap adalah pemandangan yang pertama kali aku lihat saat menarik handle pintu dan membukanya. Perlahan aku mendekati kasur dengan sprei karakter superhero kesayangan anak lelaki itu.
Dengkurannya halus dan tidurnya begitu tenang. Aku duduk.di tepi ranjang, kuamati wajah polos tanpa dosa itu. Mata, hidung, bibir semua yang ada pada wajah anak itu sangat mirip dengan ayahnya. Superhero sebenarnya. Superhero yang tidak akan pernah kembali untuk pria kecil ini.
Kuambil tangan mungilnya, tanpa terasa pipiku sudah basah. Mengingat semua kejadian yang menimpaku. Aku sangat merasa bersalah, beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidup mencoba meninggalkan anak ini sendiri, karena tidak terima dengan apa yang terjadi. Beranggapan bahwa setega itu takdir mengambil Adrian dari aku dan Ken.
Luka gores di pergelangan tanganku adalah bukti betapa jahatnya aku pada Ken.
"Maafin Bunda. Maafin Bunda, Ken," bisikku. Kucium tangannya berulang kali berharap dia memaafkan kebodohan ibunya.
"Jaga Ken baik-baik, Na. Jangan biarkan dia sendiri."
Semua kata-kata Adrian selalu terngiang di telinga. Saat itu aku benar-benar bodoh karena tidak peka jika apa yang Adrian katakan adalah isyarat dia akan pergi. Aku bahkan tidak sempat membalas ungkapan cintanya padaku, padahal itu adalah kata-kata perpisahan darinya.
"Lho, Kana kamu bangun?"
Aku buru-buru mengusap air mata yang membasahi pipiku saat suara mama terdengar di belakangku. Kuletakkan tangan Ken dengan hati-hati di bawah selimutnya. Lalu dengan hati-hati merapikannya memastikan dia nyaman dalam tidurnya.
"Mimpi lagi?" Mama menyodorkan segelas air putih yang dia ambil untukku.
Aku mengangguk dengan tangan terulur menerima gelas yang disodorkan mama. Menyesap isinya untuk sekedar membasahi tenggorokanku yang terasa kering.
"Kana, mau sampai kapan kamu seperti ini?" tanya mama hati-hati, mungkin dia takut aku akan menangis dan melakukan hal-hal bodoh lagi.
"Mama tahu kamu sangat terpukul dengan kepergian Ian, tapi kasihan Ken, Na. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti ini semua. Kamu satu-satunya tempat ternyaman untuk Ken tinggal." Mama menatapku lembut, sejak aku terpukul Mama satu-satunya yang dengan setia berada di sampingku selama 24 jam.
"Gak tau Ma. Kana… Kana ...masih gak bisa terima Ma. Kak Ian pergi secepat ini. Kak Ian padahal udah janji gak ninggalin Kana. Kak Ian janji akan mengajarkan Ken olahraga. Kak Ian-" Aku tak mampu melanjutkan kata-kata lagi semua terasa hilang di tenggorokanku.
Aku mencengkram kuat-kuat gelas yang ada di kedua tanganku dengan tubuh gemetar. Mama memelukku mengusap punggungku lembut.
"Kamu harus kuat Na. Demi Ken." Mama mengecup pucuk kepalaku.
" Adrian tidak benar-benar pergi. Dia akan selalu ada di hati kamu dan Ken, doakan Ian, Na. Jangan beri dia air mata kamu." Mama memelukku erat saat tangisku pecah di pelukannya.
Haiii...sebelumnya aku mau minta maaf. Awalnya aku mau nulis pakai POV orang pertama. Tapi ternyata, aku gak nyaman dan lebih nyaman dengan PoV orang ketiga. Jadi maaf aku balik lagi ke POV orang ketiga. jangan bully aku hiks hiks.
happy reading!!
*********
Kana menggeliat sebentar saat merasakan guncangan kecil di bahunya. Tapi dia masih enggan untuk bangun dari tidur.
"Unda…"
Sekarang Kana merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada benda yang menindihnya.
"Unda banun.."
Kana baru benar-benar membuka matanya saat pipinya terasa basah. "Hai, Sayang." Kana menyapa Kenzo dengan suara khas orang bangun tidur. Bocah kecil itu tersenyum, rupanya basah di pipinya itu karena kecupan Ken.
"Beratnya." Kana mengangkat tubuh Ken lalu membaringkan bocah gempal itu di sampingnya. Memeluknya erat menikmati aroma jeruk yang menguar dari rambut lurusnya.
Kak Ian, aku kangen. Kana bergumam dalam hati. Adrian pasti sangat bahagia kalau melihat pertumbuhan Ken. Ken tumbuh dengan baik. Sehat, lucu, cerdas dan menggemaskan.
"Unda, Ken nda isa napas." Ken meronta-ronta dalam pelukan ibunya. Kana buru-buru melepas pelukannya lalu mencium pipi Ken dengan gemas.
"Maafin Bunda ya Sayang," bisik Kana. Ken tersenyum lalu membelai pipi ibunya penuh sayang.
"Unda, Ken mau 'oti."
"Ken mau roti?"
Bocah tiga tahun itu mengangguk.
"Ya sudah, Ken tunggu Bunda di bawah ya? Bunda mau mandi dulu."
Ken bersorak girang kemudian turun dari ranjang dan keluar dari kamar Kana. Kana beranjak dari tidurnya, dia tercenung saat mendapati sebelah ranjangnya yang kosong. Setiap pagi ketika membuka mata Kana akan melihat Adrian masih tertidur pulas di sampingnya. Dengkuran halusnya selalu menghiasi pagi mereka dan Kana akan selalu menggoda Adrian dengan cara mencapit hidungnya sampai Adrian susah bernapas lalu terbangun dan akan membalas perbuatan Kana dengan ciuman atau gelitikan dan mereka akan tertawa bahagia, tapi itu setahun lalu, sekarang semua itu tinggal kenangan tidak akan pernah rutinitas itu mereka lakukan lagi.
Tanpa sadar air mata mengalir deras dari kedua mata Kana. "Kak..ak-rindu." Kana meraba sisi ranjangnya yang kosong. Tangannya yang bebas menepuk-nepuk dadanya berharap rasa sesak itu hilang. Rasa sesak karena kehilangan Adrian.
Satu jam kemudian Kana baru keluar dari kamarnya dia melihat ruang makan hanya ada Mama dan Kanda. Bocahj gempal itu tidak terlihat di sana.
"Ken mana Ma?" tanya Kana menatap sekeliling rumahnya.
"Beli roti di mini market depan. Nunggu kamu kelamaan," sahut Maya sibuk merapikan dapur. Sudah setahun ini Maya tinggal di rumah Kana menemani Sang Putri. Sejak kejadian Kana yang mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya sendiri, Maya memutuskan menemani Kana tinggal di rumahnya untuk mencegah kejadian yang sama terulang.
"Udah punya buntut bangun tidur masih siang aja lo!" sindir Kanda yang asik menyuapkan makanannya.
"Berisik!" balas Kana. Kanda terdiam lalu menatap Maya yang juga menatapnya. Mereka seperti saling bicara melalui mata.
Ma, Kana kita kembali!
Iya, Nda
"Ken sama Mbok Dar?" tanya Kana lalu mengambil piring dan mulai menyendoki makanan.
"Sama temen gue,"jawab Kanda.
Kening Kana mengernyit. " Temen lo?"
Nah, ngomongnya aja udah pakai lo-gue berarti ini anak udah mulai normal. Kanda tersenyum lega.
"Iya, sam-"
"Undaaaa!" teriakan Ken yang baru datang menyela kata-kata Kanda. Bocah berkulit putih khas Kana dan berhidung mancung khas Adrian itu berlari memeluk Kana .
"Hei, darimana?" tanya Kana lalu mengangkat tubuh Ken dan memangkunya.
Ken tertawa kegelian saat Kana menciumi pipinya berulangkali. " Ken beli 'oti cama ecim." Ken menjawab dengan cadel.
"Wah, mana? Pasti Ken suruh bawa Mbah Dar ya?"
"Mbah Dal ke pacal, Ken cama Om," sahut Ken matanya berkedip lucu.Kana mengernyit heran.
"Om?" Maksud Ken temannya Kanda?
"Apa kabar Dek?"
Refleks Kana menoleh ke arah suara itu, matanya membulat kaget saat melihat sosok yang tengah berdiri di ambang pintu penghubung ruang keluarga dan dapur. Pria yang sekarang berkacamata itu tersenyum saat pandangan mereka bertemu.
"Kak Joddy?" Mata Kana mulai berkaca-kaca. Dia tidak tahu kenapa mendadak hatinya jadi melow saat melihat Joddy berdiri di depannya setelah setahun sejak meninggalnya Adrian mereka tidak bertemu.
Joddy tersenyum hangat. "Hai, Dek."
*
"Aku tidak melarangmu untuk menangisi Adrian setiap hari, Na. Tapi kamu juga harus sadar itu tidak akan pernah membuat Adrian kembali bersama kita. Tangisanmu malah akan membuat Adrian di sana tidak tenang." Joddy berkata dengan hati-hati mereka berdua tengah duduk di gazebu yang ada di taman belakang rumah Kana. Ken sedang bermain dengan Kanda, nenek serta kakeknya yang baru saja datang.
"Sulit Kak. Aku ingin marah. Kenapa Tuhan memgambil Kak Ian begitu cepat?"
Joddy membenarkan letak duduknya menghadap Kana. "Kamu masih ingat kata-kata Adrian waktu di rumaj sakit dulu?"
Kana termenung ingatannya melayang kebeberapa tahun lalu saat Adrian terkena tembakan karena melindungi Kana dari Randi kakak Susan yang sekarang masih di penjara.
"Adrian bilang dia tidak akan pergi ke tempat di mana tidak ada kamu kecuali takdir yang memintanya. Dan ternyata takdir meminta Adrian lebih cepat untuk kembali pada Tuhan. Kita tidak bisa menolak ketentuan Tuhan, Kana. Takdir bukan nasib yang bisa diubah." Joddy menepuk lembut pundak Kana.
"Aku tahu ini sangat berat, buat kamu. Tapi kamu harus kuat demi Ken. Pria kecil yang Adrian berikan sebagai pengganti untuk menjagamu. Ken masih butuh kamu."
Kana menatap Joddy, air mata sudah menetes membasahi pipinya.
"Sekarang, menangislah sepuasmu. Tapi besok pagi kamu harus tersenyum dan bangkit karena Ken masih butuh kamu dan yang paling penting kamu tidak sendiri. Ada orangtua kamu, mertua, kakak kamu dan teman-teman kamu mereka akan selalu ada buat kamu." Dan aku juga, akan selalu ada buat kamu Na. Selalu, dari dulu sampai sekarang. Joddy meneruskan dalam hati. Dia cukup waras untuk tidak mengatakannya secara langsung. Walaupun sejak melihat Kana dari kejauhan tadi Joddy ingin sekali memeluk perempuan itu tapi dia tidak akan melakukan itu. Kana masih butuh waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Yang dibutuhkan kana saat ini adalah dukungannya.
"Terimakasih ya, Kak. Kana akan coba berubah. Kana akan memulai semua dari awal." Kana mengusap pipinya yang basah, Entah kenapa Kana selalu menemukan ketenangan saat bicara dengan Joddy. Mungkin karena Joddy selalu memperlakukannya sepergi adik sendiri.
Joddy mengelus kepala Kana. "Adrian akan senang melihatmu tersenyum. Raga Adrian mungkin tidak bersama kita lagi. Tapi ingat Na, dia akan selalu di hati kamu dan Ken."
Kana mengangguk lalu menatap ke dalam rumah. Terlihat Ken yang sedang tertawa bahagia bersama Kanda. Hati Kana menghangat saat melihat tawa Ken begitu lepas, begitu bahagia.
"Terimakasih juga hari ini udah bawa Ken beli banyak makanan." Kana menatap ke arah Joddy yang rupanya sedari tadi memperhatikan Kana dari balik kacamata minusnya.
"Your welcome." Joddy buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Aku baru sadar kamu pakai kacamata Kak sekarang?" Kana menatap Joddy takjub, membuat Joddy terdiam saat melihat tatapan Kana, sama seperti dulu. Apa tandanya Kana sudah kembali seperti semula?
Joddy berdehem sejenak. "Kebanyakan di depan laptop, Na," balas Joddy menggaruk tengkuk lehernya gugup.
"Oh, ngomong-ngomong sampai kapan kamu di Jakarta?"
"Aku udah pindah lagi di sini Na," sahut Joddy. Kana tersentak kaget. Kana jadi ingat Adrian juga bekerja di kantor yang sama dengan Joddy. Apa Joddy kembali untuk menggantikan Adrian?
"Aku ditarik ke kantor pusat Kana. Maaf, bukan untuk mengantikan Adrian. Aku ditempatkan di divisi lain." Lihat, Joddy selalu tahu apa yang dipikirkan Kana
Kana mengangguk. " Terus gimana sama Mbak Siska?"
Joddy terdiam. Siska adalah teman satu kantor Joddy di Papua. Mereka memang dekat, dan Joddy pernah mengenalkan Siska secara virtual pada Kana dan Adrian sebagai pacarnya. Padahal sampai sekarang pun Joddy tidak bisa merasakan getaran semacam cinta pada Siska.
"Oh, iya. Hampir lupa!" Joddy menepuk jidatnya lalu mengeluarkan sebuah kartu nama lalu menyodorkan pada Kana yang menerimanya dengan kening berkerut.
"Ini apa?"
"Kartu nama temanku. Dia manager di sebuah bank BUMN. Di kantornya lagi butuh front liner, yaah..sebagai batu loncatan siapa tahu kamu ma-"
"Mau Kak, aku mau banget!" sambar Kana cepat. Joddy tersenyum lega. Lebih lega lagi Kana tidak membicarakan tentang Siska.
"Syukurlah. Besok kamu aku antar ke kantornya kalau mau."
"Beneran Kak?" Kana dan mata beningnya adalah perpaduan yang membuat Joddy susah move on darinya. Astaga, Joddy mikir apa kamu?
"Makasih ya, Kak," ucap Kana tulus. Joddy mengangguk. Segalanya untukmu Kana.
"Oke, tim selamat bekerja. Semangat!!" Pak Feri selaku pimpinan cabang di kantor mengakhiri kegiatan rutin yang selalu dilakukan setiap pagi yaitu briefing morning.
Sebulan sudah Kana bekerja sebagai Frontliner lebih tepatnya sebagai Customer service. Berkat Joddy, Kana bisa diterima di bank ini, dan Kana sungguh bersyukur dia diterima dan ditempatkan di bagian CS. Kana tidak bisa membayangkan jika ditempatkan di bagian teller , bisa tiap hari tombok dia.
Kana itu tipe yang ceroboh, kurang teliti dan suka terburu-buru. Teller bukan posisi yang pas untuknya. Lagipula usia Kana sudah menginjak 26 tahun untuk teller rasanya kurang pas walaupun wajah Kana terlihat awet muda dan tidak terlihat sudah punya 1 anak.
Di kantor cabang ini terdapat 15 orang karyawan karena cabang pembantu. Mereka adalah teller 3, Cso 4 termasuk dirinya, BO satu, kabag dua dan pimpinan cabang, sisanya OB, satpam dan sopir.
Setelah berdoa mereka akhirnya kembali ke counter masing-masing. Walaupun pelayanan baru dibuka jam 8 tapi mereka harus mempersiapkan diri 30 menit sebelumnya. Telat beberapa menit saja mereka akan dipanggil ke ruang pimpinan.
"Na, aku gak nyangka lho kamu itu... sorry, janda. Kelihatan masih muda banget tau!" Nurul cewek lulusan SMU yang menjabat sebagai teller itu terang-terangan bertanya sewaktu mereka akan kembali ke counter masing-masing.
Kana hanya tersenyum tipis, walaupun hatinya tidak enak saat mendengar pertanyaan itu. Kalau dia janda memang kenapa? Dosa?
"Jangan nyinyir, kerja sana!" Key yang juga CS seperti Kana menyahut lalu mengusir Nurul agar pergi ke counternya.
"Gak usah didengerin, yuk kerja!" Key menepuk bahu Kana lalu duduk di mejanya.
Kana menarik napas pelan. Resiko jadi janda begini ini. Diomongin di belakang. Memang apa salahnya jadi janda? Toh, itu bukan keinginan Kana.
"Selamat pagi!" Seorang pria seusia Kana tiba-tiba masuk ke dalam banking hall menyapa para karyawan yang masih sibuk bersiap-siap.
"Pagi Pak!" Koor para karyawan menggema.
"Semangat kerjanya. Semoga nilai kinerja kalian tahun ini meningkat dan di atas rata-rata melebihi passing grade!
Semangat!!" Pak Dipta manager bank cabang sebelah memberi semangat membuat semangat para staf terutama yang perempuan meningkat. Bagaimana tidak semangat kalau yang ngasih semangat aja pria yang mapan, tampan dan berkarisma. Pak Dipta tersenyum lalu bergegas masuk ke ruang pimpinan untuk bertemu dengan para kabag.
"Gila, cakep amat ya Pak Dipta. Masih muda karir menanjak. Sayang, gak jomblo!" Key menatap punggung Dipta yang kian menjauh lalu menghilang saat sosoknya masuk ke ruangan pimpinan.
Kana mengangguk setuju. Dipta memang pria muda yang mapan, tampan dan berkarisma. Pacarnya yang Kana tahu dan dengar dari karyawan lain adalah seorang mahasiswi, cantik. Mereka tahu karena konon katanya Dipta dan pacarnya yang mahasiswi itu pernah bertengkar di plataran parkir kantor. Berakhir dengan Dipta yang mencium pacarnya itu di depan umum. Astaga, romantis sekali.
"Na, kamu jomlo kan? Udah deketin saja Pak Dipta. Tikung aja udah."
Kana tertawa kecil. " Jangan ngawur! Udah yuk kerja!" Kana malas kalau sudah membahas tentang relationship. Kana belum sembuh karena sakit kehilangan Adrian. Di hatinya hanya ada Adrian, dan akan selamanya begitu.
*
Kana menghela napas lelah lalu keluar dari mobilnya, jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 7 malam. Jika akhir bulan biasanya Kana malah akan pulang larut malam, karena tutup buku.
Biasanya jam segini rumah sudah sepi Ken sudah tidur dan Maya menemaninya. Tapi tumben, rumah kelihatan ramai tidak seperti biasanya.
"***-alamualaikum," sapa Kana terbata saat melihat ruang keluarga terlihat ramai. Ada mama dan papa, Kanda, Mbok Dar dan .... Joddy? Kenapa pria tampan berkacamata itu ada di rumahnya jam segini?
"Unda!" Ken turun dari pangkuan Joddy lalu berlari memeluk Kana yang refleks berjongkok untuk menyamai tinggi anaknya.
"Hai Sayang! Anak bunda belum tidur?" Kana mengangkat tubuh Ken.
" Ken main cama Om Odi!" Ken bertepuk tangan girang lalu menunjuk Joddy yang menatap Kana penuh arti, sayangnya, Kana tidak sadar jika Joddy menatapnya terus menerus.
"Oh ya? "
"Hari ini Joddy nemenin Ken seharian lho, Na?"sahut Maya melirik Joddy yang hanya tersenyum itu.
"Oh, ya? Makasih ya Kak!" ucap Kana yang ditanggapi Joddy dengan mengacungkan ibu jarinya.
"Kebetulan pulang awal tadi." Joddy menambahkan, Kana hanya ber'oh' ria tanpa suara.
"Ken dibeyiin obil-obilan." Ken menunjuk mobil-mobilan yang ada di atas meja.
"Ehm, udah bilang terimakasih belum?"
"Udah."
"Anak pintar." Kana tersenyum lalu menatap semua yang ada di ruangan itu.
" Kana, mandi dulu ya." Kana menurunkan Ken ke pangkuan Kanda yang asik dengan ponselnya membuat pria yang sebentar lagi akan melepas masa lajangnya itu tergeragap kaget. "Kamu sama Om dulu ya, Sayang."
Kanda mendecih merasa sedikit terganggu karena obrolan dia dengan calon istri di ponsel menjadi terganggu. Tapi saat melihat bola mata Ken yang bulat dan bening itu membuat Kanda tak tega untuk mengabaikan pria kecil itu. Kanda memeluk Ken, kemudian menggelitikinya. Kana melihat keakraban om dan keponakan itu tertawa apalagi melihat Ken meronta-ronta di atas pangkuan Kanda karena merasa kegelian.
"Cantik." Joddy gelagapan saat semua mata menatap ke arahnya sesaat setelah dia tanpa sadar mengucapkan itu.
"Apa Jod?" tanya Kanda memperjelas pendengarannya. Joddy mengutuk dirinya sendiri dalam hati, bisa-bisanya dia keceplosan hanya karena melihat Kana tertawa.
"I -ini dekorasi buat nikahan lo." Joddy mengayunkan brosur ke depan.
"Oh, kirain Nak Joddy bilang Tante cantik," celetuk Maya yang langsung dihadiahi lirikan tajam suaminya dan tawa kedua anaknya yang berderai.
*
"Nea kapan balik Jakarta?" Kana bertanya pada Kanda yang asik dengan ponselnya.
Kanda tersenyum semringah, setelah melakukan pendekatan selama 2 tahun akhirnya mereka memutuskan untuk menikah tidak mudah untuk Kanda mendapatkan hati Nea. Usia yang lumayan terpaut cukup jauh juga salah satu kendalanya. Semula orangtua Nea tidak setuju, tapi dengan usaha keras Kanda meyakinkan orangtua Nea akhirnya mereka luluh juga dan merestui hubungan Kanda dan Nea dengan catatan mereka boleh menikah setelah S2 Nea di Jogja selesai.
Kana tidak masalah dia malah senang punya kakak ipar yang juga sahabatnya sendiri, kalau Moli sahabat Kana satunya, yang nyablak dan genitnya tujuh turunan sudah menikah dan sekarang tinggal di Australia bersama suaminya. Sungguh beruntung sekali Moli mendapatkan suami bule seorang pengusaha.
"Bulan depan. Setelah wisuda. Lo datang kan ke wisuda Nea?Hari Sabtu lho, bank kayak tempat lo kerja kalau Sabtu kan libur."
Kana menyesap kopi yang baru saja dia buat. "Iya, Ken juga kita ajak. Kalau perlu ajak juga penghulu biar sekalian sah," jawab Kana asal.
Kanda tersenyum, dia senang akhirnya adiknya sudah kembali seperti semula. Sudah bisa diajak becanda.
"Na, lo gak kepikiran nikah lagi?" tanya Kanda, membuat Kana menatapnya tajam seperti tidak suka dengan pertanyaan Kanda
"Ya, maksudnya suatu hari nanti." Kanda menambahi, dia takut Kana tersinggung.
"Gak tahu." Karena sungguh tidak ada pria yang baik selain
Adrian. Bagi Kana, Adrian adalah cinta sejatinya. Sejiwanya.
"Kenapa? Lo takut dibilang mengkhianati Adrian?" tembak Kanda.
Kana memperat cengkraman tangannya yang sejak tadi mengenggam cangkir. Mengkhianati?
"Gue tahu Na, sulit memang melupakan orang yang kita cintai. Tapi Na, Ken butuh kasih sayang seorang pria. Seorang ayah."
"Ken bisa mendapatkan itu dari kakek dan omnya," sahut Kana.
Kanda menghela napas. "Iya, gue tahu. Tapi gimana kalau nanti gue udah punya anak sendiri? Papa dan Ayah mertua lo meninggal? Ken butuh figur ayah, Na. Dia akan tumbuh lebih baik dengan orangtua yang lengkap walaupun hanya ayah sambung. Adrian pun gue yakin akan lebih tenang di sana."
"Bang, lo gak tahu rasanya jadi gue!" Kana menatap Kanda kesal.
"Justru gue ngomong kayak gini, karena gue tahu apa yang lo rasain. Gue tahu lo masih terluka karena kehilangan Adrian. Tapi lo gak bisa gini terus Na. Mama juga masih ada Papa yang juga butuh perhatian. Jadi, sekarang lo harus mulai bisa sembuhin hati lo. Gue gak nyuruh lo lupain Adrian, karena gue yakin itu gak akan pernah bisa. Tapi lo jangan egois, lo gak bisa hidup sendiri dan mengambil keputusan sendiri. Ken masih kecil dia belum bisa diajak mikir. Mama dan Papa sudah tua Na, gak selamanya bisa ada buat lo. Sorry, bukannya gue iri atau gimana-gimana."
Kana menatap Kanda. Matanya berkaca-kaca, semua yang dikatakan Kanda benar. Tapi.... tidak semudah itu. Menemukan orang yang tulus dan menerima dia dan Ken itu tidak mudah.
"Gue harap lo pikirin dulu apa yang gue omongin barusan Na. Lo bisa mulai dari mempertimbangkan .... Joddy, mungkin?" Kanda tersenyum penuh arti.
"Kak Joddy? Dia bahkan cuma anggap gue adik."
"Gue rasa lo gak 'buta' buat ngeliat kalau Joddy suka sama lo," balas Kanda telak.
Kana tercenung. Yah, dia memang terkadang berpikir jika Joddy ada perasaan padanya. Tapi Kana cukup tahu untuk tidak percaya diri dan menganggap perhatian Joddy hanyalah perhatian kakak pada adiknya. Lagipula Joddy sudah punya calon istri.
"Kak Joddy udah punya calon." Kana beranjak dari duduknya dia ingin kembali ke kamarnya karena semakin lama bicara dengan Kanda dengan topil Joddy membuat kepalanya berdenyut.
"Pacar. Itupun beneran atau enggak, kita gak tahu. Tikung aja udah," sambar Kanda membuat Kana urung melanjutkan niatnya kembali ke kamar karena dia seperti dejavu dengan kalimat terakhir Kanda. Dalam sehari ini sudah dua kali dia mendengar kalimat itu.
*************
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!