Aku tidak pernah menduga sebelumnya, kalau semua orang bisa menjadi aktor yang hebat. Kukira ungkapan dunia kejam dan tidak adil hanyalah sebuah kiasan yang terkarang dalam bait lagu atau pun puisi sang seniman. Namun, kutarik semua itu ketika aku bertemu denganmu.
Jika saja aku tidak terlalu bodoh. Jika saja aku tidak menjadi gadis yang mudah terperangkap. Jika saja kusambut sang angin yang mencoba memberitahuku kebenaran dari awal, kurasa aku tidak akan menangis ketika melihat punggungmu yang pergi. Ah, aku tidak pernah suka ketika mengingat kembali bagaimana dirimu yang hangat berpaling layaknya salju yang telah meleleh di tanah tak berumput, keras dan dingin.
Aku tidak mengira kalau sebuah lelucon bisa menjadi sangat menakutkan. Mengubah sebuah mimpi buruk menjadi kenangan manis untuk membuat mimpi buruk yang baru, bukankah itu kejam. Jika aku bisa bertanya padamu saat ini, kenapa kau melakukannya? Kenapa kau perankan aktor dalam drama yang kubenci?
Masih kuingat dengan jelas bagaimana mata obsidian itu memandangku. Pandangan yang membuatku jatuh hati. Pandangan yang membuat hati beku ini mencair dan berusaha untuk kembali menerima cinta yang baru. Tapi kenapa? Kenapa obsidian hangat itu justru mendingin, kaku, dan keras. Tak ada lagi kehangatan, pancaran cinta yang mengairahkan dari manik indah itu.
"Kumohon, jangan menangis saat aku tidak ada nanti."
Dulu aku tidak mengerti arti ucapan itu. Kupikir hanya sebuah hiburan semata setelah kejadian menakutkan malam itu. Tapi kini aku mengerti. Amat sangat mengerti. Aku melakukannya. Seperti katamu aku menangis, lagi dan lagi. Aku tidak membendung air mataku ketika aku tahu bahwa kau tidak lagi memilih untuk di sampingku. Aku menangis tanpa bisa menahannya. Aku menangis tanpa bisa mengatakan bagaimana rasa sakitnya ketika aku tahu kebenarannya.
Rasa sakit yang kini bersarang dalam tubuh, melubangi dadaku hingga aku bahkan tidak sanggup untuk bernapas setiap kali aku mau. Detik jam yang terseret-seret terdengar begitu menyayat hati setiap kali aku mencoba melupakanmu. Katakan padaku bagaimana aku sanggup melepaskan hal indah yang kau berikan, jika setiap jengkal langkah yang kuambil bersamamu ternyata bukanlah takdir?
Mungkinkah ketulusan yang kulihat di matamu pun adalah sebuah peran yang kau mainkan?
Jika begitu biarkan aku masuk dalam peran itu lagi. Biarkan aku melihat bagaimana kau memberikan cintamu dalam drama yang kau buat. Itu lebih baik dibandingkan harus tersiksa oleh rasa rindu yang memuncah. Mungkin itu lebih baik daripada aku kehilangan cintamu. Tak masalah jika ketulusan itu hanya sebuah lelucon. Tak masalah jika aku menjadi satu-satunya orang bodoh, setidaknya bantu aku hilangkan rasa cintaku dalam lelucon yang kau mainkan.
Karena itu membuatku sadar bahwa aku bukanlah pemeran utama untukmu.
Jangan buat semua yang telah terjadi menjadi mimpi buruk. Jangan buat apa yang telah kau berikan padaku menjadi bayangan yang menghilang ketika terang datang. Semua terlalu vivid untuk dihilangkan.
Bukankah kau pernah menulis satu kalimat ini "Maaf, aku tidak bermaksud melakukannya."
Jadi bisakah sekarang kau melakukannya lagi? Bisakah kau tuliskan kalimat itu lagi? Tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu. Katakan, kumohon katakan, kalau semua adalah kebohongan. Bahwa cinta bukanlah sebuah candaan. Bahwa cintamu bukanlah sandiwara. Aku kalah kali ini. Akan kukatakan dengan lantang kalimat yang tidak pernah bisa lontarkan selama ini.
"AKU MENCINTAIMU, MAS JUNA!"
...“Mungkin mereka bukan sosok sempurna di luar sana...
...Bukan sosok pahlawan dengan kostum mencolok...
...Bukan pula peran utama dalam cerita...
...Tapi bagiku, mereka adalah cinta sesungguhnya...
...Mereka adalah keluargaku."...
Kucuran air yang membasahiku seakan memijitku dengan lembut, menyingkirkan segala kepenatan dan rasa lelah yang melandaku sejak beberapa jam lalu. Aroma sabun dan shampo yang kupakai benar-benar membuat pikiranku tenang, menghipnotis akan rasa nyaman yang memabukan.
Kupatut diriku di depan cermin, memandangi diri yang masih setengah basah walau aku sudah mengenakan pakaian rumah setelah menghabiskan waktu berlama-lama dalam kamar mandi. Rambut lembap dan basah kubiarkan tergerai, berharap akan segera kering oleh semilir angin sore. Dengan celana pendek serta kaus putih yang kebesaran di tubuhku dan berkalungkan handuk kecil, aku berjalan menuju dapur.
Sepertinya sarang laba-laba dan juga aroma debu yang mengganggu sistem pernapasanku pagi tadi tidak lagi terlihat. Bersih, tertata, dan wangi, itulah gambaran akan dapur yang pagi tadi tampak seperti tempat tikus berperang ria. Kuambil botol mineral dari kulkas usang di dekat dapur, sedikit senang karena setidaknya pemilik rumah membiarkan barang-barang berharganya untuk kami jaga.
Tentu saja kami.
Kakiku melangkah ke ruang tengah, penasaran karena tidak ada suara-suara dari dua orang yang juga tinggal satu atap denganku padahal sejak pagi tidak ada mulut yang bisa diam untuk sekedar mengomentari satu sama lain.
Dan di sanalah mereka. Dua gadis yang juga merupakan teman dekatku sejak kuliah. Kini terbaring di lantai ruang tengah dengan gaya yang ... dramatis. Raut kelelahan terlihat di wajah mereka, tentu saja karena hari ini kami tengah berbenah rumah yang akan kami tinggali bersama. Capek, atau pun lelah sudah pasti terasa jelas setelah berhasil membereskan segala kekacauan rumah yang tidak ditempati beberapa saat. Dan melihat mereka berdua seperti itu benar-benar lucu, layaknya anak kecil yang lelah bermain dan tiduran di sembarang tempat untuk sekedar mengusir penat.
Bisa kudengar mereka berdua tengah membicarakan mengenai pekerjaan baru kami. Raut kagum terpancar jelas saat perusahaan yang berhasil kami masuki bersamaan merupakan perusahaan majalah terkenal.
Queen Magazine.
Di sanalah kami akan mulai bekerja besok. Perusahaan penerbitan majalah yang namanya cukup dikenal dengan banyak penggemar yang kebanyakan adalah wanita.
“Hayo, pasti lagi ngomongin gue, kan?” celetukku seraya melangkah mendekati mereka berdua. Kujatuhkan diriku untuk duduk di sofa yang menjadi salah satu barang mewah dalam bangunan ini. Aku sangat berterima kasih pada kakakku karena dengan baik hati—atau lebih tepatnya memaksa—agar aku tinggal di salah satu rumah miliknya di kota yang tidak ia tinggali.
“Idih, percaya diri banget lo,” sahut Rini saat mendengar ucapanku.
Aku hanya terkekeh ketika mendengar jawaban temanku itu, tidak terkejut lagi dengan nada anarkisnya yang selalu menjadi ciri khas gadis jangkung tersebut.
Kutengguk air minum yang kubawa dalam botol mineral tadi, melepaskan dahaga sekaligus berusaha menenangkan diri. Bisa kurasakan cahaya matahari sore merembes masuk ke dalam ruangan melewati jendela kaca, menambah ketenangan yang dibutuhkan.
“Yun, minta minumnya,” kata Dini yang entah kapan sudah bangkit dari berbaring dan kini duduk bersila ke arahku.
“Di dapur ada, ambil aja sendiri,” kataku tidak serius, dan mereka tahu pasti itu.
“Awas mati lo ya, Yun. Pelit bener minta dikit doang, males ke dapur gue,” balas Dini yang sepertinya benar-benar tidak mau untuk sekedar bangkit ke dapur.
Tentu saja aku memberikannya, tapi terkadang menggoda mereka berdua adalah hal yang menyenangkan. Walau melakukan hal itu sedikit membangkitkan adrenalin jika emosi mereka tersulut, dan bisa-bisa umpatan dan sumpah serapah akan keluar seperti yang biasa kami lakukan untuk mengomentari hal yang tidak ingin didengar.
Pandanganku saat ini hanya terfokus pada kedua temanku yang tampaknya asyik membicarakan hal dengan tema yang bisa kuduga—Korea. Melihat mereka seperti itu membuatku terbayang akan masa-masa awal aku mengenal mereka.
Aku tidak menyangka kalau hidupku akan banyak berubah setelah berteman baik dengan Rini dan Dini. Jujur aku lebih banyak bicara jika bersama mereka, hal yang sangat jarang kulakukan sejak dulu mengingat aku adalah tipe orang yang tertutup dan lebih suka menyendiri. Dan herannya semua hal itu tidak berlaku terhadap dua orang yang terkadang bisa sangat menyebalkan itu. Mereka tidak membiarkanku menjadi orang yang diam dan pasif. Jika dilihatnya aku diam setengah jam saja, segala gangguan akan mereka lakukan. Memastikan kalau aku tidak mati kehilangan napas, begitulah kata mereka setiap kali kutanya kenapa suka sekali melakukan itu.
Teman baik.
Mereka lebih dari sekedar itu.
'Tungguin Ayuni, Din. Temen kita tuh, jangan ditinggalin.'
Ucapan tersebut yang entah bagaimana bisa membuatku merasa senang saat mendengarnya, hal yang meyakinkanku untuk terus bersama mereka. Ucapan yang tidak pernah kudengar dari orang lain sebelum ini. Ucapan yang membuatku mengambil langkah untuk memercayai orang lain kembali.
“... ni? Ayuni?!” seru Rini yang tampak kesal.
“Apa?” sahutku datar. Sadar kalau aku baru saja masuk dalam lamunan. Kurasa aku terlalu banyak menonton Drama Korea sehingga otakku penuh dengan hal-hal mendramatisir. Memalukan.
“Apa, apa. Nggak usah ngelamunin abang-abang, Yun. Jangan berimajinasi berlebihan, mereka jauh di Korea sana ,” kata Dini dengan tampang mengejek, mengira kalau aku melamun karena memikirkan para pria-pria tampan dalam drama korea.
“Kalau yang nyata kan nggak bisa dimilikin, jadi berimajinasi aja,” sahutku membalas ejekannya dengan senyum lebar.
“Bodo amat, Yun,” tukas mereka berdua bersamaan.
Lagi-lagi aku hanya bisa tertawa kecil melihat mereka berdua, menyenangkan memang melihat wajah kesal dua temanku ini. Jangan salahkan aku jika sifatku lama-lama seperti fotocopy-an mereka berdua. Dini dan Rini sudah terlalu banyak memberikan efek sifat merka kepadaku. Hingga mampu merubah orang yang diam ini menjadi orang yang banyak bicara.
Suara ketukan dari arah pintu masuk membuat kami spontan melihat ke arah sana.
Sosok bertubuh tinggi, dengan potongan rambut rapi serta pakaian semi formal tampak berdiri di ambang pintu. Senyuman ramah yang sudah sangat kukenal sepanjang hidupku entah kenapa selalu membuatku merasa tenang setiap kali melihatnya.
“Kayaknya lagi serius, bisa diganggu nggak nih?” canda sang tamu.
“Biasanya juga main ganggu aja,” tukasku menatapi sosok pria itu dengan pandangan menyipit—kesal. “Katanya nggak bisa dateng ke sini hari ini?” sambungku.
Pria itu berjalan ke arahku, duduk di sampingku dengan santai. “Duh, adik perempuan kesayangan Kakak ngambek kayaknya.”
“Ayuni dari tadi ngegerutu aja pas denger kalau Kak Indra nggak bisa dateng hari ini, untung aja nggak ada barang yang dia pecahin,” ejek Rini dengan lirikan mata yang membuatku ingin melemparkan sesuatu yang keras kepadanya. Tidak, kekerasan tidak baik. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk bersabar.
Aku mendelik pada Rini, tidak terima karena ia membongkar apa yang menganggu pikiranku sejak pagi tadi. Jujur saja memang benar apa yang RIni katakan dengan aku seharian menggerutu karena pria itu berkata tidak bisa datang padahal sudah janji.
“Maaf, Kakak memang tadinya nggak bisa datang karena ada urusan kerja. Tapi, karena ternyata urusannya di kota ini, ya kenapa nggak sekalian aja Kakak dateng ke sini,” jelas Kak Indra, yang merupakan pemilik rumah ini dan juga kakak kandungku—satu-satunya keluarga yang kumiliki. Pria yang empat tahun lebih tua dariku.
Kupalingkan wajahku darinya, mencoba untuk membuatnya merasa bersalah karena berniat ingkar janji untuk datang ke sini saat aku dan kedua temanku pindah. Walau dalam hati sebenarnya aku sangat senang bisa melihatnya. Bagaimana tidak senang, karena jarang sekali aku bisa bertemu dengannya. Kak Indra bekerja di luar kota dan bisa dihitung jari berapa kali ia pulang dan menghabiskan waktu denganku. Wajar aku marah, karena ia berjanji akan menemuiku di rumah ini ketika aku pindah, tapi justru berkata tidak bisa datang setelah mengucapkan janji itu.
Kak Indra merangkulku. Dari rautnya bisa kutebak kalau ia akan memberikanku sesuatu yang bagus demi meredam amarahku padanya. Ingat saja kalau kata ‘adik kesayangan’ itu bukan isapan jempol untuk seorang Indra Wijaya kepadaku.
“Little Sister, denger. Kakak bawa hadiah untuk kamu, Kakak bakal kasih kalau kamu janji nggak marah lagi,” bujuknya.
Ucapannya menarik perhatianku, namun tidak sepenuhnya aku mengalah padanya begitu saja. Bisa saja ia berbohong demi membuat amarahku berkurang.
Kulihat Kak Indra memberikan Dini dan Rini bingkisan yang sempat kulihat ketika ia datang. Ada raut senang dan puas saat dua temanku itu melihat apa yang ada dalam bingkisan, serentak bersamaan mengatakan terima kasih kepada kakakku.
“Buka,” suruh Kak Indra ketika ia memberikan satu bingkisan kepadaku. Tersenyum penuh arti hingga membuatku penasaran dan melakukan apa yang ia suruh, membuka hadiahnya.
Sebuah Kamera DSLR.
"Kak, ini mahal banget loh kameranya!" ucapku dengan nada meninggi karena terlalu terkejut atas apa yang kuterima sebagai hadiah. Tahu kalau ini salah satu kamera dengan harga yang tidak murah. Kecil namun berkualitas tinggi.
Mataku membelalak tidak percaya ketika melihat isi dari pemberian kakakku. Beberapa kali aku melihat kakakku dan juga barang yang ada di tanganku secara bergantian, bertanya-tanya apakah benar benda itu untukku.
“Kakak udah janji kalau Kakak bakal beliin ini buat kamu, lagian juga kamu butuh itu untuk kerjaan kamu nanti, kan,” kata Kak Indra yang terlihat senang, seakan perasaan senangku terpantul dalam dirinya.
“Makasih, Kak.” Spontan aku memeluk kakakku. Ia selalu tahu apa yang kubutuhkan, dan hal-hal yang membuatku senang. Bagaimana mungkin aku bisa marah padanya. Bukan karena barang yang ia berikan, tapi perasaan tulus dan perhatiannya yang tidak pernah pudar untukku.
Ia membalas pelukanku. Bisa kurasakan rasa rindu menguar dari dirinya, perasaan melindungi yang selalu kurasakan sejak kematian orang tuaku. Beliau adalah sosok sempurna. Tak peduli kesalahan apa yang mungkin ia lakukan di luar sana, aku tidak peduli. Bagiku kakaku adalah adalah manusia sempurna, baik hati, dan mencintai keluarganya melebihi apa pun. Aku tidak tidak mudah baginya membesarkanku seorang diri ketika ia harus memikirkan pendidikan dirinya, aku dan juga cara mengisi perut kami setiap harinya.
“Bawa kamera itu kemana pun, seenggaknya itu bisa ngobatin rasa kangen kamu kalau inget Kakak. Maaf kalau Kakak jarang ada di deket kamu. Kamu harus jaga diri, kasih tahu Kakak kalau ada cowok yang kamu taksir biar kakak nilai pantes apa nggak buat kamu. Telepon Kakak kalau ada apa-apa, oke,” katanya seraya mengusap lembut rambutku, membuatku ingin menangis setiap kali ia menumpahkan kasih sayang tak bercelahnya ke diriku ini.
Kuanggukan kepalaku. Aku tahu ia sangat mengkhawatirkanku, meninggalkan adik semata wayang sendiri sedangkan ia berada di tempat yang jauh sudah pasti bukan hal yang mudah mengingat aku adalah tanggung jawab terbesarnya.
“Kak Indra juga jaga diri, jangan sampe sakit. Ayuni di sini bakal aman, karena ada Dini sama Rini, jadi jangan khawatir." Aku berusaha menenangkannya, tahu kalau ada sirat khawatir di mata cokelat itu.
Ia tersenyum lembut, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah dua temanku yang sepertinya menjadi penonton setia atas reuni kakak beradik yang sudah berkali-kali mereka lihat. “Tolong jaga Ayuni. Kasih tahu Kak Indra apapun, kalau kalian dalam kesulitan atau ada yang nggak sesuai rencana, kalian tinggal telepon Kak Indra. Kalian juga udah kayak adik Kakak sendiri, jadi jaga diri kalian juga,” katanya.
“Siap, Kak Indra,” sahut mereka bersamaan.
“Semoga pekerjaan kalian lancar besok.”
Kuharap juga seperti itu. Aku benar-benar takut dengan hari pertama dalam bekerja, bertemu dengan orang-orang tak dikenal beradaptasi dengan lingkungan, dan terlebih bertemu dengan orang yang mungkin nanti tidak menyukai kehadiranku atau teman-temanku. Beruntung kami berada dalam satu divisi, sehingga aku tidak harus secanggung dan segugup itu menghadapi dunia kerja yang baru.
Yah, besok aku akan memulainya. Pekerjaan baru kami bertiga di Queen Megazine.
...Aku bertanya-tanya ketika melihatmu,...
...peran mana yang sedang kumainkan?...
...Peran pengganti, peran sampingan, atau...
...Peran utama?”...
Mulutku tidak bisa berhenti menganga saat aku berdiri di ambang pintu kaca. Ruangan yang begitu rapi dan artistik, tumpukan buku di beberapa tempat yang seolah sengaja diletakan untuk memercantik ruangan, benar-benar memikat. Walau masih pagi, sudah banyak karyawan yang berlalu lalang dengan aktivitas mereka masing-masing. Bahkan kedua temanku memiliki ekspresi yang sama denganku sekarang—kagum.
Aku tidak pernah menyangka kalau di belakang pembuatan majalah akan ada hal seperti ini, tidak membosankan. Tim Edit majalah memang luar biasa, dan aku beruntung bisa berada dalam lingkaran mereka hari ini. Lebih beruntung karena teman-teman baikku juga mau bekerja di tempat yang sama.
“Si Karyawan Baru?”
Mendengar suara dari belakangku spontan aku tersentak kaget. Kurasa aku terlalu banyak melamun beberapa hari ini, hingga tidak memerhatikan kalau ada orang di sekitarku.
“Maaf, kaget ya?” kata pria berpostur tinggi dengan pakaian lebih kasual dengan jaket tebalnya, dari suaranya kurasa ia orang yang bertanya sebelumnya.
“Maaf, berdiri di pintu. Saya Ayuni, Reviser baru Tim Redaksi di sini,” kataku canggung memerkenalkan diri. Yakin kalau pria jangkung itu merupakan salah satu karyawan perusahaan ini juga. Dan Name Tag yang menggantung di lehernya membuktikan dugaanku benar.
“Saya Dini, anggota Tim Layanan Khusus baru,” ujar Dini yang juga ikut memerkenalkan diri, sama sepertiku sepertinya ia sadar kalau pria di hadapan kami ini merupakan karyawan sini.
“Saya Rini, anggota Tim Publish yang baru.” Rini juga tidak mau ketinggalan untuk memerkenalkan dirinya juga.
“Jadi bener, kalian si karyawan baru itu. Kukira cowok, ternyata cewek, nggak jadi ngerjain deh,” ujarnya dengan nada akrab. “Saya Andre Gunawan, Tim Redaksi. Kayaknya kita bakal sering kerjasama, Ayuni,” sambungnya seraya mengedipkan mata kepadaku.
Aku hanya sanggup mengangguk-anggukan kepala canggung, dan tak lupa senyum agar terlihat sopan walau tidak tahu harus bicara apa. Kebiasaan mutlak ketika baru pertama kali bertemu dengan orang asing, bungkam.
Andre mengenalkanku bersama Rini dan Dini kepada semua orang yang ada di ruangan ketika dirasa semua karyawan sudah datang. Hal yang benar-benar tidak kusuka, menjadi pusat perhatian dan bicara dengan orang-orang tak kukenal. Kecanggungan dan perasaan gugupku menguar begitu saja dalam situasi seperti ini. Bukannya tidak menyukai orang-orangnya, tapi aku selalu gugup dan kehilangan kata-kata setiap kali harus berhadapan dengan orang baru apalagi dalam jumlah banyak sekaligus. Mati kutu sudah.
Semua menyambut ramah kedatangan kami, memberikan arahan dan petunjuk selama akan bekerja di sini. Beberapa mengatakan akan siap membantu jika dibutuhkan, mengingat pekerjaan ini akan memakan banyak tenaga dan juga waktu. Dengan ini satu tahap menakutkan untukku sudah terlewatkan, hanya tinggal hal terakhir.
“Oh, Bos?!” seru Bobby salah satu anggota Tim Redaksi yang seusia denganku, memberitahu kalau ruangan kedatangan sosok penting.
Itu dia masalah utamanya. Sang Atasan.
Mataku mengikuti arah pandang Bobby, melihat sosok yang barusan ia panggil Bos, yang sudah pasti adalah atasanku juga.
Pria tinggi—lebih tinggi dari Andre—dengan balutan semi formalnya ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Wajah yang tampak serius seakan menambah kesan wibawa sosoknya sebagai atasan. Kacamata berbingkai sepertinya adalah hal yang pertama kali menarik perhatianku dari pria itu, menyamarkan lingkaran hitam yang terlihat jika diperhatikan. Wajah tirusnya membuatku menebak kalau ia masih cukup muda, mungkin sekitar dua puluh lima tahunan atau dua tahun lebih tua dari itu—entahlah.
Langkahnya terhenti ketika melihatku dan juga dua temanku sebagai wajah asing dalam ruangan. Mencoba menebak kalau kami adalah karyawan baru. Namun, seketika aku tersentak kaget ketika mata kami berdua bertemu. Bisa terlihat kalau ada sirat penasaran yang kuduga karena wajah asingku. Namun aku bersumpah walau sekilas aku yakin sekali kalau ia menatapku dingin, amat sangat dingin. Ada kilatan marah saat ia melihatku, namun hal itu hanya sebentar sebelum ia kembali memasang wajah tenang.
Pria itu berjalan ke arahku dengan pandangan yang tidak sekali pun ia palingkan dariku, seakan menahanku agar tidak beranjak dari tempatku berdiri. Entah kenapa melihatnya seperti itu membuatku takut sekaligus gugup. Padahal bukan hanya aku yang menjadi karyawan baru di sini, namun pandangannya selalu jatuh padaku.
“Karyawan baru?” tanyanya saat ia berada di hadapanku dan dua temanku yang juga terlihat gugup akan kedatangan sang atasan.
Kuanggukan kepalaku. "Iya."
“Kalian berdua pergi ke tempat kalian, untuk Ketua Tim dari mereka tolong berikan arahan apa yang harus mereka kerjakan,” perintahnya menunjuk Dini dan Rini, sebelum akhirnya melihat ke arahku. “Kamu ikut saya ke ruangan.”
Belum sempat membalas ucapannya, ia sudah beranjak menuju ruangan berpintu kaca seperti di pintu masuk. Auranya benar-benar dingin dan menakutkan. Setiap kali melihatku seakan ia ingin menelanku hidup-hidup.
Oh, kenapa harus aku saja yang masuk ke ruangannya? Benar-benar tidak adil, belum-belum aku sudah gugup dan takut untuk ke sana. Rasanya jantungku seperti mau meledak saking takutnya dengan kehadiran orang yang menjadi atasanku ini.
“Itu Bos Juna. Manager yang punya kuasa penuh di sini, jangan sampe buat dia marah, ya,” ucap Mbak Dewi yang juga berada satu Tim denganku. Entah kenapa ucapannya terdengar seperti ultimatum menakutkan hingga membuat rasa takutku bertambah.
Buru-buru aku mengikuti Bos Juna, tidak ingin ia marah karena aku tidak bergerak cepat atas perintahnya. Pintu kaca dengan lapisan tak tembus pandang dari luar namun dapat melihat ke luar ruangan dari dalam, benar-benar terlihat seperti layaknya ruangan atasan. Hanya saja ruangan itu terasa sama menakutkannya seperti ruangan atasan pada umumnya, menegangkan.
Begitu masuk, bisa kurasakan pandangan menusuk dari atasanku itu. Kilatan amarah yang sebelumnya kulihat ketika pertama kali kontak mata dengannya beberapa saat lalu kembali hadir dan kali ini lebih lama. Hal itu membuatku tidak bisa berkata apapun, hanya berdiri mematung menunggu untuk Bos Juna bicara.
Tanpa mengatakan apa-apa, Bos Juna mengambil tumpukan kertas yang menggunung di atas mejanya. Dalam hitungan detik tumpukan kertas itu sudah berpindah tempat ke tanganku, berat, dan membuatku nyaris terjengkang ke belakang jika saja aku tidak menahan tubuhku yang limbung.
“Revisi semua artikel ini, cari setiap kesalahan baik itu salah ketikan, kalimat, kata yang tidak dibutuhkan dan sebagainya. Saya rasa kamu tahu apa yang harus kamu kerjain,” titahnya tanpa ampun. “Untuk saat ini kamu belum bisa melakukan tugas lapangan untuk mencari artikel, jadi revisi semuanya.”
Wah. Dia benar-benar atasan berhati dingin, langsung memberikan pekerjaan di hari pertama dalam jumlah banyak.
“Dan selesaikan sebelum jam makan siang,” sambungnya,
Ingin rasanya aku berkata kasar ketika mendengar hal itu. Pekerjaan yang biasanya dapat terselesaikan paling tidak seharian, kini harus kuselesaikan hanya kurang dari empat jam. Luar biasa.
“Baik, Pak,” sahutku setengah bersemangat. Ingin menolak tapi apalah daya, aku baru saja masuk kerja dan belum ada satu jam menginjakan kaki di tempat ini. Tentu tidak berani melawan atasan di hari pertama kerja, kan.
“Jangan panggil saya dengan sebutan itu, saya belum setua itu," celetuknya tidak senang.
“Bos?” Seolah ada pilihan lain saja, tidak mungkin aku memanggilnya dengan namanya.
“Oke. Kalau gitu tunggu apa lagi, segera kerjakan,” perintahnya dengan tegas dan nada yang lebih dingin dibandingkan dengan es di kutub utara.
“Ya, Bos.”
Dengan cepat aku langsung beranjak dari ruangan. Sayangnya, bagaimana aku bisa membuka pintu kaca di depanku ini dengan tumpukan kertas yang sudah memenuhi kedua tanganku. Tidak mungkin pintu akan terbuka sendiri.
Dan saat aku bertarung dengan pikiranku, saat itu juga sebuah tangan terulur, membuka pintu di depanku. Pertolongan yang kubutuhkan.
Namun, sepertinya ekspetasiku terlalu tinggi.
Apakah aku transparan? Apakah aku jadi tidak terlihat karena tumpukan kertas di tanganku ini? Bagaimana mungkin pria itu seolah tidak melihatku, aku sedang kesulitan di sini. Dan dengan santainya ia membuka pintu hanya untuk dirinya, membiarkanku mematung padahal tanganku sudah mulai keram akan kertas pemberiannya.
Terkutuklah Bos satu itu.
Beruntung karena sepertinya Andre menyadari kalau terjadi sesuatu padaku saat aku tidak keluar juga dari ruangan itu. Dengan berbaik hati ia membawakan sebagian tumpukan kertas itu setelah ia membuka pintu dan memberiku jalan. Aku sungguh berterima kasih padanya. Ingatkan aku untuk mentraktirnya kapan-kapan.
Dan aku mulai melakukan pekerjaanku yang luar biasa gila.
Layaknya sebuah mesin, mata dan tanganku bergerak amat cepat, berusaha seimbang agar aku tidak melakukan kesalahan. Kata demi kata kuperhatikan, melihatnya dengan teliti padahal hidupku saja tidak pernah kuperhatikan sedetail itu.
Rasanya aku ingin muntah ketika berhasil menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu, sebelum makan siang.
Namun nerakaku sepertinya belum berakhir.
Tanpa basa-basi, Bos Juna kembali menambah pekerjaanku hanya kurang dari lima menit aku menyelesaikan pekerjaanku. Ia memberikan tumpukan artikel yang harus di revisi kembali, dan menyuruhku memberikan berkas yang sudah kurevisi ke ruangannya.
“Wah, aku nggak nyangka kalau Bos Juna bakal sekejam itu sama anak baru,” komentar Andre yang beringsut mendekati mejaku dengan kursi berodanya. “Apa jangan-jangan lo buat salah pas disuruh masuk ke ruangannya pagi tadi?”
Aku menghela napas panjang. “Boro-boro mau buat salah, baru masuk Bos udah ngasih kertas-kertas itu tanpa basa-basi cuma bilang harus selesai sebelum isthirahat.”
“Mau dibantu?” tanyanya.
“Boleh,” sahutku langsung dengan wajah sumringah ke arah Andre.
“Tunggu kerjaan gue selesai dulu," katanya.
“Memang kapan selesainya?” kau bertanya heran.
“Besok.”
What the f**k.
Dengan kesal aku memelotoinya, berharap ia akan takut dengan tatapanku itu. Tapi rupanya tidak. Ia justru tertawa senang karena bisa menjahiliku.
Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya dan melanjutkan pekerjaanku, menenggelamkan amarah akibat keusilan dari rekan kerjaku. Sepertinya keberuntungan dua temanku—Dini dan Rini—jauh lebih baik dibandingkanku sekarang, setidaknya pekerjaan mereka tidak sebanyak yang kulakukan.
Aku hanya bertanya-tanya, kenapa Bos Juna terlihat membenciku? Padahal aku sangat yakin kalau ini adalah pertemuan pertamaku dengannya.
Setelah tenggelam dalam tumpukan pekerjaan tak masuk akal itu, akhirnya waktu istirhat datang. Hal yang sangat kuharapkan sejak tadi. Karena mungkin setengah jam saja lebih lama tidak istirahat, aku akan pingsan karena muak dengan tumpukan kertas itu.
Rasanya menikmati udara luar setelah seharian berada di ruangan ber-AC sungguh menyenangkan, seakan rasa lelah berkurang dengan melihat kehidupan di luar gedung.
Setelah makan siang dengan dua teman baikku itu, aku permisi sebentar untuk ke luar gedung. Mencari udara segar demi memulihkan pikiran akibat berkas-berkas yang terasa tak ada habisnya tadi. Walaupun begitu aku senang karena setidaknya orang-orang dalam divisiku merupakan orang yang terbuka dan ramah, terutama adanya Andre dengan segala keusilannya membuat suasana menjadi tidak membosankan. Pria itu entah bagaimana bisa bersikap seenaknya, bahkan bicara informal padaku layaknya teman dekat.
Sepanjang menuju ke ruangan kerja, kepalaku terus memikirkan banyak hal. Ternyata ada begitu banyak yang ingin kucapai, tapi sepertinya aku harus menunggu lebih lama untuk dapat meraihnya. Tak masalah, toh aku ahli jika harus bersabar.
Pikiran singkatku sepertinya harus berakhir ketika aku melihat Bos Juna bersama seorang wanita di lorong ruangan Tim Editing. Wajahnya tampak serius sedangkan sang wanita terlihat meremehkan. Mungkinkah pacaranya? Cantik. Seperti model yang kulihat di majalah-majalah yang ditangani oleh tim baruku hari ini.
Aku tidak tahu sejak kapan langkahku berhenti, seolah takut aku akan mendengar hal yang tidak boleh kudengar jika mendekat—padahal pintu ke ruanganku bekerja berada beberapa meter di depan sana.
Aku tersentak kaget ketika mataku dan Bos Juna lagi-lagi bertemu, dan sama seperti pagi tadi ia juga melangkah ke arahku. Namun, tatapannya kali ini berbeda. Tapi, aku tidak tahu apa yang ia pikirkan kali ini.
Mataku melebar, jantungku berdetak sangat kencang saat kudapati sepasang tangan melingkari tubuhku. Bos juna memelukku erat.
“Juna, apa yang kamu lakuin sebenernya?” Wanita yang bicara dengan Bos Juna tadi melangkah ke arah kami dengan cepat. Ekspresinya marah dan tidak suka.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba-tiba Bos Juna memelukku.
Argh! Aku sungguh tidak bisa berpikir jernih sekarang. Ini pertama kalinya aku mendapatkan perlakuan tidak masuk akal seperti ini. Oh Tuhan, aku harap aku sedang berdelusi karena terlalu lelah merevisi tadi.
“Aku mencarimu sejak tadi, kamu kemana aja, Sayang,” kata Bos Juna saat ia melepaskan pelukannya.
Apa?! Ia bilang apa barusan?! Apa telingaku kemasukan air saat mandi pagi tadi sampai-sampai aku salah mendengar?
“Seharusnya kamu bilang kalau kamu mau makan siang. Apa kamu masih marah karena pagi tadi?” ujar Bos Juna. “Aku nyariin kamu loh dari tadi,” sambungnya seraya mengelus kepalaku.
Oke, aku benar-benar tidak mengerti seribu persen apa yang terjadi.
“Siapa dia, Juna?” tanya wanita cantik yang sekarang sudah berhadapan denganku dan juga Bos Juna.
Sebuah senyum penuh kebanggaan sekaligus meremehkan terpasang di wajah yang sebelumnya selalu kulihat menampakkan tampang dingin bak es. Dengan santai ia merangkul pundakku, memersempit jarakku dengannya dan membuatku gelagapan.
“Kenalkan dia Ayuni, calon istriku,” katanya tanpa keraguan sedikit pun.
“Hah?!” responku, terlalu terkejut mendengar ucapan gila dari mulut atasanku ini.
Aku berani bertaruh apapun demi bisa keluar dari situasi ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku tidak nyaman dengan jarak yang dibuat oleh Bos Juna. Dan apa-apaan dengan calon istri, padahal pagi tadi ia memerlakukanku seolah tidak terlihat. Bos berhati besi, arogan, tidak berperikemanusiaan, menyebalkan, mengatakan hal gila itu. Apa dunia memang sudah ridak waras?
Kesanku hanya satu mengenai atasanku ini, dia sinting.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!