Helo semuanya. Perkenalkan namaku Hana Indy, biasa dipanggil Hana. Kali ini author akan membawakan sebuah cerita yang berkaitan dengan planet lain. Tokoh utama kita Kim Nara, berusaha untuk mengetahui jati dirinya.
Perjalanannya pun dimulai. Satu per satu misteri sudah diselesaikan. Pada akhirnya akan memulai sebuah tantangan baru.
Cerita ini akan dibagi mejadi 4 series. Dimana series pertama Zero : Garis Awal mengungkap jai diri Nara.
Zero 2 akan menceritakan mengenai Planet Zatura
Series 3 akan menyelesaikan dendam pertempuran berdarah 21 tahun lalu.
Dan series keempat akan menyelesaikan segala tatanan yang seharusnya ada.
Oh ya, karena perkenalan karakternya tidak bisa author letakkan di sini dikarenakan dalam tahap gambar. Maka, perkenalan karakter akan dimasukkan awal setiap bab.
Jadi, sebelum cerita kita akan ada perkenalan karakter.
Tidak banyak yang author gambar mungkin hanya Kim Nara, Hwang In, Seo Ra, Byul, dan 3 lainnya.
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian ya. Beri like jika suka. Beri komentar jika merasa ada yang kurang. Saling mendukung itu gratis
Akan upload setiap Senin dan Kamis.
..."Segala hal dimulai sejak pagi, kesibukan, juga angan, menangisi kehidupan sudah banyak dilakukan manusia. Hanya saja, mereka terlalu bersimpati akan esok pagi dengan suasana yang sama." - Zero....
Sinar matahari memaksa masuk lewat celah-celah jendela yang terbuka. Membuat seseorang yang sedang tertidur pulas dikasurnya terbangun. Sosok itu mengeliat kecil dan membuka matanya perlahan. Sinar terang langsung menusuk indra penglihatannya.
Setelah mengumpulkan kesadarannya lalu bangun dari kasur. Menyibak selimut asal dan langsung menuju ke kamar mandi. dia tahu bahwa dia tidak punya banyak waktu lagi untuk bermalas-malasan karena dia yakin bahwa jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi.
Gadis ini sangat suka pemandangan pagi, melihat orang orang yang sibuk dengan kegiatannya, menyaksikan orang terlambat dan sebagainya. Hal itu merupakan sensasi tersendiri bagi dirinya dipagi hari yang sibuk.
Menyangga badannya dengan kedua tangannya pada wastafel. Menatap pantulan dirinya di cermin kecil. Menatap wajahnya sendiri yang memang banyak dikagumi banyak orang.
Wajah yang kecil dengan hidung yang mancung. Bibir tebal yang menghiasi wajahnya tidak lupa dengan warna merah muda yang menggoda. Rambut panjang berwarna emas sebatas pinggang yang bergelombang dengan tubuh proporsional. Banyak yang mengira bahwa dia adalah model. Tapi, apalah dia hanyalah gadis biasa yang tinggal dalam sebuah apartemen kecil. Hanyalah gadis kecil imut berusia 21 tahun sedang menjalani dunia perkampusan. Tinggal bersama sang kakak yang terpaut usia 5 tahun.
Gadis cantik yang bernama Kim Nara. Dia hanyalah anak remaja yang sekarang menempuh pendidikan disalah satu Universitas di Seoul. Nara bersekolah di Korean Internasional University. Dimana kampus itu adalah kampus idaman bagi sebagian besar penduduk Korea. Nara bisa masuk kesana karena beasiswa yang dia dapat sewaktu di SMA dulu. Dia juga tergolong anak yang pintar dan rajin. Tentunya dengan segala prestasi yang dia bawa.
Kakaknya bernama Jung Byul, adalah pemuda yang mempunyai semangat tinggi dan pekerja keras. Byul sangat menyayangi adiknya, oleh sebab itu Byul bekerja demi membiayai Nara kuliah. Walaupun Nara mendapat beasiswa disana bukan berarti dia terbebas dari pembiayaan. Masih ada hal seperti buku pelajaran dan tambahan biaya ekskul jika ada.
Sebenarnya keluarga Byul adalah keluarga kaya, bahkan Byul adalah pewaris satu-satunya dikeluarga Jung. Namun, sebelum menjadi pewaris perusahaan, Byul diuji oleh ayahnya. Dan dia harus tinggal sebagai orang kalangan miskin. Agar suatu saat jika Byul berada di atas maka, dia tidak akan menyakiti orang yang ada dibawahnya.
Kim Nara dan Jung Byul. Mereka bukanlah kakak adik kandung yang lahir dari rahim yang sama. Bahkan Nara tidak pernah tahu mengapa dia dan kakaknya memakai marga yang berbeda. Terlalu rumit untuk dipikirkan. Tapi Nara tidak bodoh untuk menyadari bahwa dia hanyalah anak angkat dari keluarga kaya itu. Bahkan Nara pernah bertanya pada kakaknya. Siapa dan darimana dia berasal. Dan jawaban kakaknya hanyalah satu, 'suatu saat kau pasti tahu'. Selalu kata sialan itu yang keluar dari mulut kakaknya. Hingga pada akhirnya Nara menyerah untuk bertanya.
Nara selesai bersiap-siap. Saatnya ddia menyiapkan sarapan. Nara dan Byul terbiasa sarapan dengan roti isi yang sederhana. Karena itu adalah menu yang mudah dibuat dalam keadaan terdesak sekalipun. Nara sedang berkutat di dapur kecil miliknya hingga dia rasakan rasa dingin yang menempel di pipi mulusnya. Nara menoleh dan menemukan wajah cerah kakaknya itu sembari menyodorkan kaleng dingin air soda.
"Apakah baik meminum soda di pagi hari?"
"Menurutku aman," jawabnya asal.
"Ishh. Kau ini," ucap Nara dengan bibir yang dimanyunkan. Byul hanya terkekeh kecil dan duduk di kursi makannya.
Nara selesai memasak dan menata makanan dimeja. Dia memperhatikan kakaknya tajam. Kakaknya hanya memakai kaos kusutnya dan juga celana panjang khas baju tidur. Nara heran, bukankah ini hari Senin seharusnya kakaknya memakai jas hitam dengan dasinya. Tapi entah mengapa dia hanya memakai kaosnya itu.
"Kurasa ini adalah hari Senin," Nara duduk di kursinya lalu menyendok makanannya.
"Hari ini aku libur. Tapi sebagai gantinya minggu besok aku harus berangkat kekantor. Jadi, aku akan mengantarkanmu ke kuliah hari ini." Byul menatap adiknya yang nampak kebingungan itu. Byul bekerja disebuah perusahaan yang cukup terkenal. Dan dia adalah kepala bagian produksi.
"Wahhh, jadi hari ini aku tidak perlu naik bus lagi. Hehe," Nara terkekeh dengan wajah cerianya. Membayangkan bus sesak sudah membuat dia pusing seketika. Dari mana dia akan sesenang ini jarang sekali kakaknya ada di rumah dan mengantarnya kuliah. Karena memang terkadang dia sibuk dengan pekerjaannya.
"Cepat habiskan makananmu dan kita akan berangkat sebentar lagi." Byul tersenyum saat tahu bahwa adiknya pasti senang dia akan diantar olehnya. Byul tahu sangat minimnya waktu untuk bersama membuat Nara.
Nara melambaikan tangannya pada Byul saat dia berjalan ke dalam kampusnya. Byul tersenyum sekilas ke arah Nara dan melajukan motornya. Sebenarnya Byul sangat kalut hari ini. Oleh sebab itu, dia mengambil cuti sehari untuk menenangkan pikirannya. Tapi agar tidak kena marah Nara dia berbohong bahwa dia libur hari ini. Sebenarnya sama saja. Cuti dan libur. Hanya tergantung permintaan saja.
Byul menatap universitas Nara melalui kaca spionnya. Dan dia sangat miris akan hal itu. Adiknya bahkan tidak tahu tentang dirinya dan semua kebohongan yang dia ciptakan. Namun, dia tidak ingin egois. Suatu saat Byul akan membongkar semuanya dan menjelaskannya pada Nara. Tapi, tidak untuk saat ini. Dia tidak sanggup.
"Maafkan aku Nara," ucapnya dalam hati.
...***...
Nara menatap temannya dengan tatapan benci. Dia sangat membenci ini. Saat teman-temannya menyontek tugas yang diberikan oleh dosennya. Dengan perasaan kesal dia berjalan ke arah gadis berkulit pucat, Yeon. Yeon yang sedang membaca buku pun hanya melirik sekilas pada Nara dan kemudian fokus membaca lagi. Dia sangat tahu apa yang dipikirkan oleh gadis itu saat Nara menghampirinya. Wanita itu hanya ingin mengeluh.
"Yaya, aku tahu Nara. Kau pasti akan mengeluh karena mereka mencontek pekerjaanmu. Ya kan? Kalau hanya untuk itu pergilah aku muak mendengarnya," ucap Yeon yang padahal dia tidak melirik Nara sedikitpun.
"Hei! Min Yeon, kenapa kau malah mengusirku padahal temanmu ini sedang kesusahan. Dasar!" Tanpa sadar Nara meneriaki Yeon tepat didepan mukanya. Dengan kasarnya Yeon mengusap wajahnya yang terkena cipratan kasih dari Nara.
"Kau makan apa sih Nara! Gila bau banget. Jijik tau!" Protes Yeon pada Nara yang telah mengotori wajah mulusnya. Nara mengangkat tangannya dan mencium bau nafasnya sendiri. Wangi. Mungkin penciuman Yeon yang salah.
"Wangi tuh. Kau sedang flu yah?"
"Kau kira aku penyakitan apa? Huh!" Sentak Yeon.
"Ya kalau enggak yaudah diam saja. Gak usah marah-marah juga." Nara lalu melengos dan duduk ditempatnya. Tidak lama dosen yang akan mengajar kelas Nara pun datang. Semua anak di kelas itupun menatap dosen itu dengan wajah bertanya-tanya. Dosen itu tidak sendirian melainkan dengan seorang lelaki muda bersama dengannya.
"Selamat pagi semuanya. Hari ini kita kedatangan mahasiswa baru. Dia adalah murid pindahan dari British University, Amerika. Baiklah silahkan perkenalkan dirimu." Dosen itupun mempersilahkan lelaki tadi untuk memperkenalkan diri.
"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya Kim Hwang In. Saya mahasiswa pindahan dari British University, Amerika. Saya pindah ke universitas ini karena orang tua saya dialih tugaskan di Korea. Dan hanya sekolah ini yang memiliki jurusan kedokteran yang bagus. Oleh sebab itu, mohon bimbingannya," ucap lelaki bernama Hwang In itu sambil membungkukkan badannya.
"Baiklah Hwang In silahkan duduk. Dan kita akan mulai pembelajarannya...," ucap dosen itu kemudian memerintahkan mahasiswanya untuk membuka buku pelajaran.
Hwang In duduk di dekat jendela. Tepatnya disamping Yeon. Karena memang anak itu yang tidak punya teman sebangku. Hwang In tersenyum pada Yeon ramah dan Yeon hanya menganggukan kepalanya.
"Hai, namaku Hwang In. Siapa namamu nona?" Hwang In mengulurkan tangannya, Yeon membalas uluran tangan Hwang In. Yeon tersenyum ramah. Hanya seperti cara mereka berkenalan dalam waktu singkat.
"Min Yeon," ucap Yeon dingin. Hwang In hanya mengangguk dan tersenyum getir.
"Dia memang seperti, jangan kamu terlalu memikirkan sikapnya." Nara berbisik pada Hwang In. Yeon yang mendengarnya pun langsung menatap tajam Nara. Sedangkan Nara hanya memiringkan kepalanya seakan tidak terjadi apa-pun. Sungguh rasanya Yeon ingin menendang wajah sahabatnya itu sekarang juga.
...*...
Seusai pulang dari kuliahnya Nara duduk di bangku taman. dia sedang menunggu kakaknya yang akan menjemputnya sebentar lagi. Disana Nara dapat melihat dengan jelas universitasnya yang besar itu dan jalan raya.
Nara menatap seseorang yang akan menyebrang jalan. Seorang lelaki dengan perawakan yang tegap dan berkharisma. Nara menatap orang itu lama sampai dia bisa melihat kilasan-kilasan memori tentang masa depannya. Nara melihat bahwa dia akan ditabrak oleh truk yang kehilangan kendali saat menyeberang jalan. Nara dapat melihatnya dengan jelas, seakan selayaknya film yang terus memutar.
Nara lalu berlari kearah lelaki yang akan menyeberang. Masih dia lihat lelaki itu meraih ponselnya yang ada di saku kanannya dan berjalan santai. Nara meraih tangan lelaki itu dan menariknya kembali ke seberang. Lelaki itupun tersentak dan menjatuhkan ponselnya. Disaat yang sama sebuah truk langsung lewat dihadapan lelaki itu secepat kilat.
"Syukurlah kamu selamat. Apa tidak ada yang terluka, Tuan?" tanya Nara ramah pada lelaki itu. Namun, bukan tatapan terima kasih atau ramah yang dia tunjukkan. Melainkan tatapan suram yang mengerikan. Nara heran dengan sikap lelaki itu. "Ada ap-" Nara hendak bertanya tapi ucapannya terpotong.
"Kau!" Lelaki itu menudingkan telunjuk jarinya tepat di mata Nara. Nara memundurkan langkahnya karena kalau tidak tangan itu pasti menusuk mata Nara. "Apa yang kamu lakukan huh?"
Nara mengerjapkan matanya pelan. Masih mencerna kata-kata yang ditujukan untuknya itu. "A-aku menolongmu," jawab Nara gugup karena dia sangat dekat dengan lelaki itu.
"Menolong? Menolong dari apa?" tanyanya yang masih menuding mata Nara. Nara yang kesal pun menepis tangan yang menudingnya itu.
"Heh! Seharusnya kau berterima kasih padaku. Kalau tidak kau pasti mati ditabrak truk itu, dasar bodoh!"
"Ulangi sekali lagi kau mengataiku apa?"
"Bodoh! Memang kenapa? Kau memang bodoh. Jelas jelas aku menolongmu tapi kau malah marah-marah. Kalau begini caranya aku menyesal telah menolongmu!" sungut Nara kesal.
"Helo nona. Apa kau sedang mimpi di siang bolong? Aku tidak mungkin mati tertabrak truk. Tidak akan ada orang yang tahu masa depan seseorang. Jangan gila. Ohh dan satu lagi. Ponselku rusak, dan kamu seharusnya bertanggungjawab akan hal itu!"
Sekilas Nara berpikir. Benar. Tidak akan ada orang yang bisa melihat masa depan. Lalu apa yang Nara lakukan tadi? Apakah dia hanya berhalusinasi? Nara seperti orang bodoh sekarang.
"Baiklah Tuan, aku minta maaf. Dan aku akan mengganti ponselmu." Nara pasrah dengan perkataan lelaki itu. Dia benar mungkin Nara hanya sedang bermimpi.
"Haha. Apa kau bilang? Kau mau mengganti ponselku? Punya uang berapa kau?" Lelaki itu menatap tajam ke arah mata lekat Nara dengan tatapan mengintimidasi dan meremehkan.
"Ohh. Oke. Aku paham Tuan. Baiklah. Kalau kau hanya ingin menginjak harga diri seseorang lebih baik aku tidak pernah bertemu denganmu. Jika kau merendahkan niat baikku untukmu, itu artinya kau hanyalah orang yang sombong. Terima kasih!"
Nara melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Sungguh dia sangat terhina dengan perkataan lelaki itu. Nara memang tidak punya uang banyak tapi dia masih punya rasa tanggungjawab. Tapi lelaki bodoh itu justru menginjaknya. Nara berharap agar dia tidak bertemu dengan lelaki itu lagi atau orang yang sejenis dengannya.
...***...
Mengusir penat, Nara merebahkan dirinya dikasurnya. Menatap pemandangan matahari sore yang tenggelam dari jendelanya yang terbuka. Dia memikirkan kata-kata lelaki yang tanpa sengaja dia temui tadi. Bahwa manusia tidak akan ada yang tahu tentang masa depan seseorang. Lalu, jika tidak ada hal seperti itu. Maka, siapa Nara?
Nara mengusap kasar wajahnya. Selama ini dia berpikir bahwa dirinya diberi kekuatan khusus dari Tuhan. Selama ini pula, Nara sudah berusaha percaya pada kemampuannya. Tapi, Nara tidak pernah membuktikan kemampuannya itu. Nara bangkit dari waktu santainya dan segera mandi. Dia berencana menanyakan ini kepada kakaknya. Kalau Nara punya kemampuan lebih itu berarti kakaknya juga mempunyainya.
Nara sedang bersantai dengan kakaknya sambil menonton televisi. Nara masih kalut dengan pikirannya apakah dia harus bertanya atau tidak. Dengan ragu-ragu Nara memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Hmm, kak?" panggil Nara lirih. Byul yang sedari tadi terpaku menatap layar televisi menoleh pada adiknya itu.
"Hm? Ada apa?" tanyanya dengan mulut yang masih aktif mengunyah makanan.
"S-sebenarnya apa kakak juga bisa melihat masa depan seseorang?" Byul tersentak dengan perkataan adiknya itu. Ini yang sangat dia hindari. Dia tidak ingin membahas soal kemampuan Nara untuk saat ini. Byul menatap wajah adiknya lekat. Wajah polos yang dengan bodohnya Byul lukai.
"Apa maksudmu Nara?" tanya Byul santai.
"Sebenarnya saat aku menunggu kakak menjemputku. Tadi, aku melihat seseorang yang tengah menyeberang dan saat aku menatapnya lama aku melihat masa depannya akan tertabrak truk yang melaju. Jadi, aku berusaha menyelamatkannya. Tapi dia malah bilang bahwa tidak ada orang yang mampu melihat masa depan orang lain. Jadi, aku bertanya padamu apakah itu benar?" Nara menatap mata milik kakaknya itu. Berharap bahwa kata-kata seperti 'suatu saat kau akan tahu' tidak terucap dibibir kakaknya.
"Jadi kau memikirkan perkataan lelaki itu?" Byul bertanya balik. Nara hanya mengangguk sebagai jawaban. Memang benar dia memikirkan perkataan lelaki itu. "Tidak ada yang harus kau pikirkan. Kembali ke kamarmu. Ini hampir malam," ucap Byul lantang dan tegas. Tapi bukannya beranjak menuruti kata kakaknya Nara malah terdiam ditempatnya.
"Tapi kau belum menjawabku."
"Tidak ada yang harus aku jawab. Semuanya pasti akan kau mengerti suatu saat nanti." Byul mengalihkan pandangannya dari Nara dan menatap layar televisinya. Nara merasa kesal dengan kenyataan yang ditutup-tutupi kakaknya. Berulang kali Nara bertanya tapi jawabannya selalu sama.
"Aku bukanlah anak kecil lagi yang bisa kau bohongi kak. Aku ingin tahu siapa diriku. Siapa aku sebenarnya. Bahkan aku pernah berpikiran bahwa aku hanyalah robot yang diciptakan karena bisa melihat masa depan. Aku bukan berbeda kak. Tapi aku memang aneh. Manusia teraneh yang pernah diciptakan. Kau tahu kak, aku muak dengan semua ini! Siapa aku kak? Aku tahu kakak pasti tahu tentang diriku yang sesungguhnya. Kumohon kak. Jawab aku!" Nara sudah tidak kuat menahan amarahnya.
"Nara! Jangan berpikiran bodoh. Kembali ke kamarmu. Sekarang!"
"Tidak! Sebelum kau menjawabnya."
"Apa kau tidak dengar Nara? Kembali ke kamarmu sekarang!" Tanpa sadar Byul membentak Nara. Nara tidak dapat lagi membendung air matanya. Dia mulai menangis tapi tanpa isakan. Hanya air matanya yang mengalir tanpa terkontrol. Byul yang mengetahui Nara menangis menghela nafasnya kasar. Lalu memeluk tubuh adiknya itu.
"Maafkan kakak, aku tidak bermaksud membentakmu. Maafkan aku. Sekarang kembalilah ke kamarmu dan tidurlah," ucap Byul menenangkan. Byul tahu bahwa dia keterlaluan, dia sudah membiarkan kebohongan meracuni pikiran adiknya. Ingin rasanya dia berkata dengan lantang dihadapan adiknya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi apalah. Byul tidak ingin Nara menganggapnya sebagai orang bodoh yang percaya akan kemampuannya.
...***...
...Bersambung......
..."Yang terlihat sederhana belum tentu sederhana. Yang terlihat rumit belum tentu menemukan kerumitan. Hanya dari sudut pandang lain mungkin terasa mudah atau sulit." - Zero....
Pagi ini matahari cukup untuk menghangatkan badannya yang kedinginan. Nara berangkat kuliah seperti biasanya. Menaiki bus juga kakaknya yang kembali bekerja. Bersenandung ria sembari menyumpal telinganya dengan headset. Berjalan santai menuju kelasnya, tanpa sengaja berpapasan dengan Hwang In. Memiliki ciri khas dengan senyum kotak membuat Nara sudah hafal jejeg badannya dari kejauhan sekalipun.
“Pagi," sapa Hwang In.
“Pagi. Oh kulihat kamu berangkat memakai mobilmu. Apa kamu anak orang kaya?” Goda Nara. Hwang In terlihat tersenyum malu dan menunduk.
“Jangan malu, disini hampir semua mahasiswanya adalah kalangan atas. kamu tidak perlu malu seperti itu,” ucap Nara menenangkan.
“Hmm ya kamu benar. kamu pasti kamu juga termasuk didalamnya?” Hwang In berujar santai.
“Tidak. Aku hanyalah anak biasa. Aku hanya wanita beruntung yang mendapat beasiswa sampai lulus disini.” Nara mengucapkannya sembari menarik senyumnya. Hwang In hanya mengangguk.
“Maafkan aku,” ucapnya sambil menunduk.
“Untuk apa? kamu tidak perlu seperti itu. Aku tidak pernah merasa tersinggung, kok.” Nara menepuk bahu Hwang In pelan dan lelaki itu tersenyum hangat.
Tiba-tiba Hwang In berhenti dan menatap tajam ke arah kanannya. Nara yang heran pun akhirnya juga ikutan berhenti. Dia mengamati Hwang In heran. "Ada apa dengannya," pikir Nara. Hwang In tetap fokus pada penglihatannya. Seolah hanya ada dirinya dan obyek yang di amati Hwang In di sana.
Nara mengikuti arah pandang Hwang In dan dia terkejut. Seorang wanita tiba-tiba jatuh dari lantai atas dan darah langsung menggenang diarea kepalanya. Nara dapat melihat beberapa mahasiswa mulai menghampirinya dan sebagiannya lagi memberi laporan pada dosen. Jadi, itu yang dilihat oleh Hwang In sedari tadi. Tapi, mengapa dia hanya diam tanpa berkutik sedikitpun?
“Astaga! Hwang In lihatlah ada orang bunuh diri. Ayo kita kesana.” Nara menarik tangan Hwang In. Tapi yang ditarik malah terdiam bak seorang patung. Bahkan Nara pun jadi terkunci oleh pergerakkannya. "Hwang In," lirih Nara.
“Dia punya masalah dengan orang tuanya. Ayahnya berselingkuh dan menceraikan ibunya. Lalu ibunya memilih untuk bunuh diri dan sekarang dia juga memilih jalan yang sama. Bodoh sekali," ucap Hwang In tanpa sadar.
“Huh?” Nara hanya mengangkat alisnya terheran. Hwang In tersadar dari pikirannya saat mendengar Nara berkata. Ia tahu kebiasaanya adalah mengatakan apa yang dia lihat secara spontan.
“Huh. Apa?” jawab Hwang In pura-pura tidak mengerti.
“Apa yang kamu katakan barusan?” Nara menunjuk diri Hwang In. Entah mengapa tapi Nara tidak merasakan kekhawatiran apa pun. Padahal seumur hidupnya ini pertama kalinya Nara melihat seseorang mati dihadapannya.
“Memang aku mengatakan apa?”
“Kamu mengatakan bahwa wanita yang bunuh diri itu punya masalah dengan orang tuanya,” jawab Nara mengulangi.
“Oh lupakan,” jawabnya singkat. Hwang In lalu berjalan menuju kelasnya dan meninggalkan Nara sendirian. Nara hanya melongo dengan apa yang terjadi sekarang. Rasanya ingin menyusul Hwang In namun, bagaimana nasib wanita malang yang melompat itu?
*
Nara mengedarkan pandangannya, menemukan mobil sahabatnya yang terparkir rapi di depan kampus. Dengan gaya jutek, raut muka masam itulah yang Nara lihat dari ekpresi sahabatnya.
Nara menerima ajakan Yeon untuk menemaninya berbelanja ke Mall terdekat hanya untuk memberi kaos kaki baru, jalan-jalan, juga makan. Nara sudah hafal betul dengan gaya hidup wanita itu. Beruntung juga Nara tidak harus naik bus pulang hari ini.
Dan disinilah ia sekarang di depan gerbang sekolahnya menanti satu wanita yang juga akan ikut bersamanya. Jeon Seo Ra.
“Aish. Kapan wanita kelinci itu akan keluar?” Yeon nampak kesal. Masalahnya mereka sudah menunggu selama 30 menit tapi gadis yang ia tunggu masih belum keluar. Memang Seo Ra memilih jurusan yang berbeda dengan Nara dan Yeon. Kalau Nara dan Yeon memilih jurusan kedokteran, Seo Ra memilih tenaga medis dan tim forensik. Jadi jam kuliahnya pun akan berbeda.
“Sabarlah. Dia mungkin masih ada jam kuliah,” ucap Nara sambil bersandar pada mobil mewah milik Yeon.
“Huh? Sabar! Ini sudah 30 menit Nara. Kalau 15 menit lagi dia tidak muncul. Kupastikan dia akan menjadi bahan lombaku minggu depan!”
Yeon merutukinya dengan kesal lalu mendudukkan dirinya di kursi depan mobilnya. Nara yang mendengar itupun hanya merinding dari bawah sampai atas. Minggu depan Nara dan Yeon akan praktek dengan mayat. Itu artinya Yeon akan membunuh Seo Ra. Nara menelan ludahnya dengan susah payah. Dia terlalu takut hanya untuk memikirkannya.
Tidak berselang lama dari umpatannya, Yeon akhirnya gadis yang sedari tadi ditunggunya muncul. Kali ini dengan wajah terengah-engah. Nara dapat memastikan bahwa Seo Ra berlari dari kelasnya ke depan gerbang.
“Dari mana saja kamu gadis sialan? Huh?” Semprot Yeon bahkan gadis itu belum beristirahat sama sekali dan wajahnya juga belum nampak dengan jelas dihadapan Yeon. Tapi Seo Ra tidak pernah merasa tersinggung dengan ucapan sahabatnya itu. Setelah mengatur nafasnya dia mulai bercerita.
“Dengarkan aku, apa kalian ingat wanita yang bunuh diri tadi pagi?” Yeon yang tadinya terlihat kesal pun sekarang mulai memperhatikan Seo Ra. Ia merasa tertarik dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya.
“Hmm. Memang kenapa?” Tanya Yeon ketus.
“Aku tadi ke ruang penyelidik hari ini dan aku menemukan fakta bahwa gadis itu bunuh diri karena masalah keluarga. Sebelum dia bunuh diri, tepatnya sehari sebelum dia mengakhiri hidupnya dia bercerita keluh kesahnya pada Dosen Kesiswaan. Dan dia menceritakan bahwa orangtuanya bercerai dan ibunya bunuh diri. Menurutku itulah alasan ia bunuh diri,” tutur Seo Ra dengan pembawaan khas penyelidik. Yeon mengangguk dan menatap Nara. Nara hanya bingung dengan tatapan Yeon.
"Ho, jadi begitu ya." Yeon mengangguk. Tipikal gadis yang sangat sulit tenang dari amarah.
“Hmm yap. Dan kabarnya ayahnya juga selingkuh loh. Kasihan sekali yah. Aku tidak bisa membayangkan hidupnya.” Seo Ra tiba-tiba merasa iba dengan kenyataan yang menimpa gadis itu.
"Dan alasan itu juga yang membuat temanmu menunggu selama 30 menit. Jangan mengusuri hidup orang. Dasar kurang kerjaan banget sih ngurusin hidup orang!” Yeon membentak Seo Ra dengan keras hingga dia terpaksa menutup telinganya.
“Jangan teriak juga. Kamu membuat telingaku sakit. Bodoh!” Balas Seo Ra berteriak.
“Kamu yang bodoh. Kenapa juga kamu harus menyelidiki alasan gadis itu bunuh diri, heuh!”
“Heeeii inilah hidupku Min Yeon!” Seo Ra menyanggah.
“Jangan memanggilku dengan sebutan itu. Aku lebih tua darimu anak kecil.”
“Ka-“
“Stop! Aku pusing lihat kalian bertengkar melulu. Sudahlah ayo cepat. Buang waktu saja.” Nara berujar sewot.
Nara langsung naik mobil Yeon dan duduk di belakang. Nara berpikir. Hwang In juga mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Seo Ra. Bahkan, yang lebih anehnya Hwang In hanya melihat gadis yang bunuh diri itu dan dia langsung mengatakan penyebab kematiannya. Tanpa mencari tahunya d Bagian Kesiswaan.
Tapi, bagaimana bisa? Padahal jelas-jelas Hwang In tidak tahu tentang apapun. Dia juga murid pindahan. Mana mungkin dia langsung tahu kehidupan orang kampus. Tapi apakah dia diberitahu oleh seseorang alasan gadis itu bunuh diri? Saat itu Hwang In ada bersamanya dan dia tidak mengangkat telepon dari siapapun. Ataukah? Dia juga sama seperti Nara. Seseorang yang memiliki kemampuan? Atau mungkin dia adalah robot yang memiliki kemampuan seperti Nara? Memikirkannya pun membuat Nara bingung.
Nara menatap keluar jendela mobil. Matanya tidak henti hentinya menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan.
“Sebenarnya dunia macam apa ini,” lirih Nara.
***
Seorang lelaki berjalan melalui lorong yang remang. Ia menatap pintu besar dengan desain arsitektur yang megah. Mewah. Seolah kata yang kerap diucapkan oleh ribuan ukiran yang ada di ruangan itu. Dengan langkah tegapnya ia memasuki ruangan itu. Menatap tajam seorang lelaki paruh baya yang duduk menghadap jendela. Seorang lelaki muda dengan perawakan yang tinggi, tegap, tegas, dan rahang yang keras. Membuat siapapun akan jatuh pada pesona yang dimilikinya. Lelaki paruh baya itu menoleh saat ia tahu bahwa ada seseorang yang membuka pintunya. Lelaki paruh baya itu lalu tersenyum melihat putranya datang.
“Oh. Ternyata kamu sudah datang. Duduklah,” pinta lelaki paruh baya itu. Lelaki muda itu tersenyum simpul lalu duduk di sofa di samping ayahnya. “Ada apa kamu kesini Sang Ha?” Tanya lelaki paruh baya itu setelah Sang Ha duduk.
“Hmm apa ayah ingat tentang keluarga Laurentz?” Tanya Sang Ha.
Sang Ha tahu bahwa ayahnya kaget dengan pertanyaannya. Ya, sudah lama keluarga Laurentz musnah dikarenakan pertempuran berdarah 21 tahun yang lalu. Tentu saja membuat Tuan Besar Kim merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang diajukan oleh putra semata wayangnya itu.
“Untuk apa kamu mengungkit tentang keluarga Laurentz lagi, Sang Ha?” Ayahnya menatap mata Sang Ha penuh selidik.
"Hari ini aku bertemu dengan seorang wanita yang mencurigakan. Dia seolah mengatakan dapat melihat masa depanku yang tertabrak truck saat menyeberang. Hal ini hanya akan terjadi di keluarga Laurentz kan ayah?"
“Sang Ha. Ayah tahu bahwa kamu masih tidak bisa menerima kenyataan ini. Tapi, terimalah mulai saat ini, bahwa mereka sudah tidak ada. Mereka sudah mati, Sang Ha.”
Sang Ha tersenyum miris. Sekilas ia teringat kenangan bersama keluarga Laurentz dulu. Sang Ha menatap wajah ayahnya sendu, “Ayah. Aku sebenarnya masih tidak percaya dengan berita kematiannya. Apakah aku boleh meminta ijinmu untuk menyelidiki mereka lebih lanjut?” Sang Ha berujar pelan dan hati-hati. Ia tidak ingin menyakiti perasaan ayahnya yang bisa dibilang sudah melupakannya dan menguburnya dalam-dalam.
“Sudahlah. Kamu hanya perlu menjalani hidupmu yang lebih baik sekarang. Lupakanlah mereka, Sang Ha. Pergi ke kamarmu dan tidurlah!” ucap ayahnya dengan nada memerintah.
Tangan Sang Ha bertaut. Sedikit meragu dengan pertanyaan yang akan dia lontarkan secara gamblang. “Baiklah ayah. Tapi aku harap ayah menjawab pertanyaanku.”
Tuan Besar Kim menatap mata anaknya dan kemudian mengangguk. Sekilas rasa ragu terbesit dibenaknya. Karena ia yakin apapun yang akan dikatakan anaknya pasti hal yang cukup sensitif.
“Kenapa ayah mengajakku ke bumi? Apa tujuan ayah ke bumi?” Tanya Sang Ha dengan setengah menjaga emosinya agar tidak terlepas dari kontrolnya.
“Ayah sudah bilang padamu ayah hanya ingin berada di sini. Karena disinilah ayah dibesarkan,” jawab ayahnya santai. Namun, Sang Ha tahu bahwa itu bukanlah jawaban yang sesungguhnya. Ayahnya berbohong. Sang Ha tahu dengan pasti itu.
“Katakan padaku yang sejujurnya. Aku tahu ayah berbohong padaku. Untuk apa ayah ke bumi? Sedangkan, dunia kita butuh ayah sebagai pemimpinnya. Apa Ayah ingin lari dari tanggungjawab Ayah sebagai pemimpin, demi ego Ayah sendiri? Aku bukanlah anak kecil yang gampang Ayah bohongi. Aku sudah dewasa saatnya aku tahu segala hal!” Sang Ha berburu melepaskan nafasnya.
Tuan Besar Kim melihat anaknya baik-baik. Sang Ha kecilnya telah tumbuh dewasa. Saatnya menjadi pemimpin yang tegas. Wajahnya, rahangnya, wibawanya, dan segala hal yang melekat pada dirinya. Sang Ha bukanlah anaknya yang harus ditimang lagi.
Untuk kesekian kalinya di hari yang menyesakkan dia menghela nafasnya. “Baik, ayah akan ceritakan. Tapi kamu harus berjanji pada Ayah. Jika kamu harus bersedia menjadi pemimpin yang baru dan menggantikan Ayah. Bagaimana? Apa kamu sanggup, Sang Ha?”
Sang Ha menimbang-nimbang permintaan ayahnya itu. Jika Sang Ha bersedia menjadi seorang pemimpin maka, dengan kata lain ia harus siap mengabdi dan meninggalkan bumi. Tempat dimana ia dibesarkan. Dan Sang Ha akan menetap di dunianya sampai akhir hayatnya. Ia akan sangat merindukan bumi. Tapi bagaimanapun ia harus menjalaninya.
“Baiklah ayah. Sang Ha siap akan hal itu. Tapi, kuharap tidak kan ada lagi kebohongan diantara kita, Ayah.” Sang Ha menarik nafasnya pelan. Sudah saatnya ia siap dengan kenyataan ini. Ayahnya beranjak ke sebuah tumpukan buku yang cukup usang yang ada di lemari bukunya. Sang Ha langsung tertuju pada buku yang dibawa oleh ayahnya.
“Ini hanyalah buku biasa Sang Ha, tidak ada hal istimewa di dalamnya. Ini adalah catatan ibumu sebelum dia meninggal. Kamu lihat saja buku itu sekilas dan kamu akan tahu jawabannya. Dan jika kamu sudah menemukan jawabannya maka, kamu tidak perlu lagi penjelasan dari ayah.” Tuan Besar Kim beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah pintu.
Tuan Besar Kim menepuk pundak putranya pelan. “Cari dan buatlah tujuanmu sendiri, Sang Ha. Ayah pasti akan mendukungmu dan apapun yang akan kamu lakukan ayah pasti merestuinya. Kalau begitu ayah akan berjalan-jalan sebentar," sambung Tuan Besar KIm lalu keluar dari ruang istirahatnya yang mewah itu.
Sang Ha menatap punggung ayahnya yang akan segera menghilang di balik pintu. Kemudian matanya mengamati buku yang berada di tangannya. Ini adalah buku milik ibunya. Apakah yang disimpan oleh ibunya selama ini ada di buku ini?
Sang Ha membuka lembar demi lembar buku usang itu. Dia membaca setiap kalimat yang tertulis didalamnya. Banyak yang Sang Ha tidak ketahui. Tentang kematian Mauriz Laurentz, musnahnya keluarga Laurentz dan alasan ayahnya masih ingin tinggal di bumi. Sang Ha menutup buku itu pelan. Matanya menerawang jauh dimasa lalunya. Ia tahu sekarang langkah apa yang akan dia ambil.
Sang Ha hendak mengembalikan buku itu namun, sebuah kertas malah terjatuh. Sang Ha mengambilnya dan membaca kertas itu. Kertas tua dengan foto yang menyertainya. Foto itu adalah foto yang diambil melalui kamera yang masih hitam putih. Sang Ha melebarkan matanya tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia lalu terburu-buru mengembalikannya dan berlari keluar. Ia berencana akan menemui ayahnya secepatnya. Ia sudah mantap sekarang bahwa ia akan membuat tujuan dimana dia akan menyelidiki keluarga Laurentz bahwa mereka masih berada di alam semesta ini.
..."Ini akan menjadi sebuah rahasia di antara kita Mauriz. Aku berjanji akan menjaga rahasia ini sampai mati. Semoga kelahiran bayi ini tidak diketahui oleh bangsa Sting. Tapi, maafkan aku Mauriz aku harus membuang jauh-jauh bayimu. Semoga Bumi akan menjaganya."...
-Umma-
...***...
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!