Trap
Trap
Trap
Suara langkah sepatu hitam putih dari gadis yang mempunyai senyum manis. Gadis yang datang dari desa dan memutuskan kuliah di Jakarta dengan jalur beasiswa.
Eva Rosiana namanya. Gadis yang mempunyai kulit khas asia, tidak putih tidak juga hitam. Lebih tepatnya sering diledek "aura maghrib" oleh beberapa gadis yang terang terangan tidak menyukainya. Lebih bisa dikatakan iri.
Kulitnya yang tidak putih itu tidak bisa membuat para kaum adam dikampusnya untuk tidak memujinya. Eksotis, begitulah kata para kaum adam memujinya. Mereka juga terpesona jika Eva mengeluarkan senyumannya. Senyuman manis yang selalu bisa membuat mata betah memandangnya.
Wajahnya yang datar sering membuat orang berfikiran bahwa Eva gadis yang judes. Dia akan tersenyum dan menjadi cerewet jika berada di orang terdekatnya.
"Ini dia orangnya. Lama amat lo, Pe?" Itu suara Roni, salah satu sahabat Eva. Cowok kemayu dari jurusan sastra yang sedang duduk di kantin dengan 4 orang lainnya.
Ada Ajeng, dari jurusan ilmu komunikasi, sudah menjadi bestie kental dari Eva. Satu desa dan bersahabat mulai TK.
Maysaroh, gadis berkrudung satu jurusan dengan Eva, Akuntansi.
Dan terakhir ada Budi, dari jurusan Managemen bisnis. Partner Eva kerja di salah satu cafe.
"Sory. Gue tadi boker dulu," jawab Eva tanpa beban. Bodo amat dengan teman-temannya yang sudah mangap mau makan.
"Gue lagi makan ya, anjir!" sungut Budi tak terima.
Yang jadi tersangka hanya merespokln dengan cengiran saja.
"Bagi, Jeng!" kata Eva.
"Lambemu. Itu batagor udah masuk mulut baru ngomong!" sarkas Ajeng.
Mereka memang beda jurusan, tapi setiap hari selalu menyempatkam waktu untuk bisa nongkrong bersama.
Keadaan kantin awalnya damai-damai saja, sampai akhirnya terdengarlah suara pekikan tertahan dari para gadis-gadis.
Ajeng penasaran, kepalanya bergerak mengikuti arah dimana para gadis penghuni kantin itu menoleh. Ada dua cowok yang baru saja masuk kantin. Kalau tidak salah, itu teman satu jurusan dengan Budi.
Ada satu yang menarik mata Eva saat menatapnya. Satu cowok yang memakai kaos putih, rambutnya sedikit acak acakan tapi tak terlihat jelek. Malah sebaliknya. Di telinga kirinya memakai anting hitam, di ujung bibirnya juga seperti itu. Dan belum lagi di tangan kanannya ada tato sampai di bawah sikunya. Kulit putihnya membuat tato itu semakin menyala.
Waw! Gumam Eva dalam hatinya. Untuk pertama kali melihat cowok bertato yang nampak terlihat keren.
"Ya ampuun, itu si Janu makin hari makin sedep buat rahim gue!"
Bisikan itu mampir lagi ditelinga Eva, membuatnya mengedikkan bahu dan kembali fokus ke teman-temannya lagi.
"Gaje banget," gumam Ajeng. Mengedikkan bahunya karena merasa biasa saja melihat dua cowok itu.
"Biasalah, mereka kan cegilnya Janu!" celetuk Jumaroh, nama panggilan dari Maysaroh.
"Janu siapa?" beo Eva.
"Woi, Jan, Van!" Saroh tak jadi mengeluarkan jawaban untuk Eva, karena sudah keduluan mulut toa Budi. Budi mengangkat tangannya, mengode dua cowok yang baru saja masuk kantin.
"Tumben ke kantin?" seloroh Budi ketika dua teman yang dia panggil itu sudah ada di depannya.
"Pengen aja," jawab Evan, "eh, kita boleh gabung kan?" tanyanya ke teman-teman Budi.
Ketiga gadis itu mengangguk. Dan Roni auto sumringah, "boleh dong! Kenalin, gue Rina!" serunya mengulurkan tangan kanan, tangan kirinya bergerak seperti wanita menyelipkan rambut ke telinga. Padahal rambut Roni itu pendek, khas rambut laki-laki pada umumnya.
"Anjir, Rina katanya!" Eva toyor kepala temannya yang kemayu itu membuat yang lain tertawa. Kecuali satu cowok yang hanya tersenyum tipis.
"Halo, gue evan! Temennya Budi," si cowok berlesung pipi menyodorkan tangannya, menjabat tangan satu persatu yang ada di meja itu termasuk Eva.
Selesai dengan Evan, kini giliran cowok bertato yang menyodorkan tangannya, "gue, Janu,"
"Ajeng,"
"Maysaroh,"
"Roni. Kalau malem, Rina!"
"Eva," ada lima detik Eva dan Janu saling tatap. Dan kedua tangan itu terlepas dengan senyuman tipis dari Janu.
Mereka mulai mengobrol setelah Eva, Janu dan Evan mengambil makanan mereka. Dari sini Eva tahu, kalau yang namanya Evan itu anaknya sangat ramah sekali. Beda dengan Janu yang lebih pendiam.
"Eh, lo yang sering nyanyi di cafe tempat Budi kan ya?" pertanyaan itu di lontarkan ke Eva dari Evan.
Eva bukan dari keluarga berada. Untuk mencukupi kebutuhannya di perantauan ini, gadis itu menggunakan kelebihan suaranya yang indah untuk mencari uang. Seminggu 4 kali dia akan menyanyi di cafe milik Budi.
Awal mula Budi kenal dengan Eva berawal dari ketidak senganya Budi yang mendengar Eva bernyanyi saat di halte. Saat itu Budi tidak membawa mobil, pergi ke halte untuk menunggu bus. Ada gadis yang memakai earphone dan gadis itu bernyanyi dengan suara merdunya.
Dari situlah Budi berkenalan dengan Eva dan menawarkan kerja sama. Dan gara-gara mengenal Eva, Budi bisa menjadi pacar Jumaroh alias Maysaroh, sahabat Eva. Gadis berkerudung yang cantik.
Eva mengangguk tanpa suara karena dia sedang menyedot es jeruknya.
"Wah, kereen!" puji Evan yang hanya mendapat senyuman tipis dari Eva.
Sudah di bilang bukan, kalau Eva itu bukan orang yang suka haha hihi dengan orang baru. Dia juga tidak suka berbasa basi.
"Hai, Va!" tiba-tiba ada kakak tingkat yang cukup populer menyapa dan menghampiri Eva.
"Hai Kak," Eva menoleh dan tersenyum manis ke Gilang.
Gilang, kakak tingkat Eva. Cukup populer karena ketampanannya. Sudah dua minggu ini Gilang terang-terangan mendekati Eva.
Disaat Eva tersenyum, ke empat temannya malah menunjukkan wajah garangnya ke Gilang. Mereka tidak suka jika Gilang mendekati Eva.
Hanya Evan dan Janu yang terlihat menyeringai, karena mereka berdua tahu bagaimana peringai Gilang.
"Gue tadi lewat toko roti. Terus ke inget lo yang suka sama roti. Ini buat lo," Gilang menyodorkan apa yang dia beli tadi ke Eva. Tersenyum lebar karena Eva menerimanya.
"Waw. Thanks ya, Kak!"
"Sama-sama. Oh ya, nanti lo manggung?"
"Iya,"
"Boleh gue jemput? Ada yang mau gue omongin,"
"Boleh,"
"Okey. Gue pergi dulu ya. Sampai ketemu nanti malam,"
Eva mengangguk dan tersenyum. Namun senyumnya langsung lenyap setelah Gilang balik badan. Wajah Eva langsung berubah datar.
Dan itu semua tak luput dari mata Janu.
"Pe, lo ngapain sih masih nanggepin si gila itu?" kesal Ajeng.
Oh ya, nama panggilan Eva itu Ipe dikalangan sahabatnya.
"Iya nih. Kek nggak ada cowok laen aja. Yang suka sama lo banyak ya, nyet!" timpal Roni.
"Gue udah bilang kan, kalau Gilang deketin lo karena taruhan?" sekarang Budi yang ambil suara.
"Iya, tau kok!" jawab Eva dengan seringai tipisnya.
"Terus ngapain masih ditanggepiiin?" gemas sekali Ajeng dengan sahabatnya ini.
"Mau kasih makan egonya dulu," seringaian Eva tercetak lagi dibibir manisnya membuat ketiga temannya melongo.
Waw, menarik! Batin Janu yang sedari tadi hanya diam dan menyimak.
Ternyata waktu Gilang menghampiri Eva, ada satu orang yang terus memperhatikan. Seorang gadis dengan pakaian yang terbuka dan terkenal badasnya.
"Dasar aura maghrib. Enggak tau diri banget itu cewek!" salah satu gadis yang mengompori Putri.
Iya, gadis yang memperhatikan Gilang dan Eva tadi adalah Putri. Kakak tingkat Eva dan sudah lama ternyata mengincar Gilang.
Putri, berbadan sintal memiliki kulit yang sangat putih.
"Jangan diem aja, Put. Tuh anak makin ngelunjak. Kasih pelajaran dikit lah!"
Tak kuta mendengar komporan dari dua temannya, Putri berdiri. Tersenyum remeh dan mengode kedua temannya untuk mengikutinya.
Dengan pongahnya Putri berjalan, di belakangnya sudah ada dua antek-anteknya. Mereka bertiga akan melabrak Eva yang sedang tertawa dengan kelompoknya.
"Heh, lo yang namanya Eva. Berdiri lo!" sentak Putri.
Suara cempreng Putri mencuri perhatian seisi kantin. Mereka memusatkan perhatian ke meja Eva, karena sepertinya akan ada tontonan yang seru. Sebagian dari mereka juga sudah siap dengan ponselnya. Siap merekam adegan perlabrakan.
Eva berdiri dengan malas. Wajah datarnya menatap Putri endegeng.
Putri melipat kedua tangannya di depan dada. Bibirnya menyeringai setelah matanya selesai mengamati Eva dari atas sampai bawah.
"Wah, Jeng. Temen lo bakalan punya musuh baru," bisik Roni, "bahaya kali ini, Jeng. Musuhnya lampir,"
Ajeng dengan santainya memutar bola matanya malas, "jangankan lampir, Mbak kunti aja bisa kapok kalo ngelawan Eva!"
"Kalian manggil gue cuma mau mantengin gue gitu?" malas sekali Eva harus meladeni tiga cegil yang tak jelas apa maunya.
"Heh, aura maghrib. Yang sopan lo sama kating!" sentak Yuni, salah satu anteknya Putri.
"Iya deh, sorry si awur-awuaran," balas Eva santai tapi membuat ketiga cewek itu melotot tak terima.
Apa lagi banyak anak yang tertawa, membuat Putri endegeng semakin geram.
"Lo--" satu tangan Putri terangkat, memberi tanda ke temannya untuk diam. "Lo ada hubungan apa sama, Gilang?" tanya Putri sinis.
"Kenapa lo nggak tanya aja sama orangnya?"
Mata Janu tak berhenti memperhatikan Eva, memperhatikan gadis yang baru saja ia kenal itu. Gadis yang dari awal menarik perhatiannya.
"Lo emang kurang ajar ya!"
"Lebih tepatnya gue kurang duit sih,"
"Pfft ... hahaha," banyak suara tawa yang mendengar celetukan Eva.
"Gue peringatin ya sama lo. Lo nggak usah kegatelan jadi cewek. Jauhin Gilang kalo lo masih mau nyaman kuliah disini!" ancam Putri yang memang tak pernah main-main dengan ucapannya.
Eva mencebik remeh dan mengangguk anggukan kepalanya dengan santai.
"Sadar diri lo jadi cewek. Gilang itu punya Putri. Lo tuh nggak ada apa-apanya sama Putri yang spek bidadari ini," seru
Wah, udah main fisiknya berlebihan ini. Batin Eva.
Sekarang gantian Eva yang bersedekap dada, melakukan hal yang sama seperti Putrk tadi. Menatap Putri dari atas sampai bawah.
"Modal pamer dada sama paha dibilang seperti bidadari," ucap Eva, "sejak kapan?" Eva maju dua langkah dan berhenti pas didepan Yuni yang mencomoohnya tadi, "sejak kapan bidadari jual diri?" lanjutnya bertanya sambil melirik Putri. Tak lupa dia sematkan seringaiannya.
"Hahaha..." mereka semua tertawa lagi. Bahkan banyak yang bersorak karena keberanian Eva.
"Sialan!" amuk Putri. Tangannya melayang, siap untuk menampar Eva.
Tapi tak semudah itu, sebelum tangan itu mampir ke pipinya. Eva sudah lebih dulu mencekalnya.
"Nggak segampang itu cantik, nyentuh pipi gue. Sedikit aja lo berani nyentuh muka gue ... gue kunyah lo!" suara rendah Eva namun penuh ketegasan membuat Putri menciut.
"Lepass!" desis Putri karena merasakan sakit dipergelangan tangannya. Cekalan dari Eva ternyata tak bisa di anggak remeh.
Sebelum melepaskan cekalan tangan Putri, jari telunjuk kiri Eva terangkat. Mencolek samping hidung Putri, "bedaknya ketebelan, Mbak. Sampai nggak rata gini loh," ucapnya santai membuat mereka lagi lagi tertawa dan Putri berakhir malu.
"Awas lo ya!" Putri sangat malu. Dia tidak menyangka akan dipermalukan oleh gadis yang awalnya ingin ia permalukan.
Putri pergi membawa kekesalannya dan disusul oleh dua anteknya.
"Haaah!" Eva membuang nafas panjangnya, kembali ke tempat duduknya. "Dasar ondel-ondel. Buang-buang tenaga gue aja," omelnya.
"Keren!"
"Ini baru temen gue!"
"Si Ipe emang tiada tanding!"
Puji dari teman-temannya yang tak ditanggapi oleh Eva.
Saat Eva tak sengaja mengangkat wajahnya, dia bersitatap dengan mata Janu. Seperti ada kekuatan magnet tersendiri, Eva dan Janu tak ada yang mengalihkan dari pandangan mereka.
Saling menatap dengan wajah yang sama datarnya. Antara Eva dan Janu juga tidak ada yang tahu apa arti dari tatapan masing-masing.
Eva sudah bersiap akan untuk pergi bekerja, di cafe milik Budi. Sekarang dia memandangi dirinya sendiri di depan cermin kamarnya.
Diam namun kepalanya sedikit berisik.
Bedebah, batinnya.
Selama ini dia tidak pernah mengusik kehidupan orang lain. Tidak pernah mencari gara-gara ke orang lain.
Datang ke Jakarta untuk mengenyam pendidikan dan ingin merubah nasib. Berteman dengan orang-orang yang mau berteman dengannya. Selalu diam dengan tingkah laku orang-orang yang tersenyum didepan tapi mencemooh dibelakang.
Eva itu tidak budeg, dikelasnya banyak yang tersenyum tapi ternyata dibelakangnya mencemooh. Terutama para wanita.
Hanya karena sering mendapatkan pujian dari cowok-cowok, dia sering mendapat musuh dadakan dari para gadis-gadis aneh itu.
Malam ini, dia akan menantikan pertunjukan dari Gilang. Salah satu kating yang akhir-akhir ini sangat gencar mendekatinya.
Cowok tinggi, tampan, murah senyum, dan sangat hangat. Sering memberinya perhatian.
Tersentuh? Sedikit, hanya sedikit. Cukup menarik perhatian Eva.
Dan lima hari yang lalu tepatnya, Eva tahu kalau dirinya hanya dijadikan bahan taruhan oleh Gilang dan kelompoknya.
Sialan. Kabar itu mengusik harga diri Eva.
Rupanya ada yang mau bermain main. Dan mari kita mainkan peran sekarang.
Suara gedoran pintu dikamarnya membuat Eva keluar dari lamunannya. Itu suara Ajeng. Tetangga kos sekaligus sahabatnya.
"Bentar, Jeng!" teriaknya.
Eva pandangi lagi penampilannya. Memakai outif kasual seperti biasa, kaos krop putih yang dipadukan dengan celana cargo peanuts, dan sepatu yang warnanya senada dengan kaosnya.
Karena akan naik motor, Eva kenakan jaket denimnya.
"Yuk!" ajaknya ke Ajeng setelah keluar dari kamar kosnya.
***
"Kita mau kemana sih, Jan?"
"Cafe Budi,"
"Tumben?"
"Sepertinya akan ada pertunjukan yang menarik disana,"
Evan menatap heran ke sohibnya yang sedang menyetir itu. Tadi dia dijemput oleh Janu. Dan sungguh tak percaya akan pernyataan temannya tadi, pasalnya Janu itu tidak suka tempat keramaian.
Tiba-tiba saja mengajaknya ke cafe Budi dan mengatakan ada pertunjukan menarik?
"Ada apaan sih?" tanya Evan penasaran.
Janu hanya tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaan temannya.
***
Sampai di cafe, Eva dan Ajeng langsung menghampiri meja yang sudah biasa mereka tempati. Ada di area outdoor, karena panggung kecil yang menjadi tempatnya bernyanyi ada disana.
Cafe Budi ini punya area indoor dan outdoor. Outdoornya bernuansa garden, sangat nyaman sekali dibuat nongkrong.
Dimeja yang didatangi Eva sudah ada Budi dan Maysaroh. Meja yang letaknya tak jauh dari panggung tempat Eva bernyanyi nanti.
"Gilang endegeng udah dateng tuh!" Budi mengedikkan dagunya ke arah meja Gilang yang berjarak empat meja dari tempatnya.
Eva menoleh. Tersenyum manis ketika Gilang melambaikan tangannya.
"Pe, serius lo bakalan ngelakuin itu?" tanya Ajeng memastikan. Wajahnya auto berubah cemas setelah Eva mengangguk yakin. "Bahaya, ih. Gue takut dia nggak terima dan malah nyelakain lo nantinya,"
"Celakain balik," jawab Eva santai sambil menyomot makanan Saroh.
Ajeng melotot, kalau penyakit keras kepalanya Eva sudah kumat, ingin sekali Ajeng menempelengnya. Biar itu anak punya kewarasan sedikit sebagai makhluk yang namanya perempuan.
"Si bencong mana?" tanya Eva.
"Tau tuh temen, lo. Katanya ada misi penting buat nyuburin dadanya!" gerutu Budi, mengingat kelakuan absurd Roni yang mengatakan akan melakukan penyuburan ke dadanya.
"Tanaman kale, pake dipupuk segala," celetuk Eva yang diakhiri dengan kekehannya.
"Pake pupuk apa kira-kira kalau yang disuburin dadanya?" satu pertanyaan lolos dari wajah Ajeng yang polos.
Ajeng ini orangnya cantik, imut-imut. Minusnya kurang tinggi dan rada bloon. Salah satu orang yang harus dijaga benar-benar oleh Eva.
Eva, Budi dan Saroh saling bertatapan. Lantas kembali menatap wajah imut Ajeng, apa lagi saat mata Ajeng mengerjap pelan, membuat mereka bertiga gemas. Seperti boneka.
"Diremes!" celetuk Budi.
"Hah?" ceno Ajeng, "emang diremes bisa bikin gede?"
"Bisa,"
"Ooh begitu. Berati punya gue bisa dong digedein? Tinggal diremes kan ya?"
"Heh! Kagak usah macem-macem!" amuk Eva membuat Budi dan Saroh tertawa.
"Kenapa sih?" lirik Ajeng sinis dengan bibir manyun nya, "masa iya punya Roni boleh gede tapi gue kagak?"
Eva putar bola matanya malas, dan semakin tertawa saja Budi dan Saroh. "Heh, Jeng. Dengerin, mau diremes seribu malem pake kekuatan rawa rontek juga punya Roni kagak bakalan bisa gede! Dia lakik, Jeng!" sungut Eva, "dan lo ... jangan macem-macem mau remes-remes segala. Apa lagi kalo diremesin cowok. Awas lo!" ancamnya.
Baru saja Ajeng mau menjawab, tiba-tiba Evan dan Janu datang menghampiri mereka.
"Hi ladies!" sapa Evan ramah.
"Hi!" sapa balik Saroh dan Ajeng, sedangkan Eva hanya tersenyum tipis.
"Rame banget, Bud!" seru Evan. Matanya menyapu para pengunjung yang memang sudah mulai rame.
Fyi, Eva ini banyak penggemarnya. Jadi setiap jadwal dia manggung di tempat Budi, pasti cafe itu akan ramai dikunjungi oleh penggemarnya Eva.
"Iya. Gabung aja sini!" ajak Budi dan langsung di iyakan oleh Evan dan Janu. "Pe, udah jamnya. Gawe sono!" Budi beralih ke Eva.
Eva menganggukkan kepalanya. Dia berdiri dan mengode dua cowok yang tak jauh dari meja mereka. Bayu sipemain cajon, dan Dani si gitaris.
Eva berjalan dengan Bayu dan Dani ke atas panggung kecil. Menempati tempat duduk yang sudah disediakan.
Eva mengambil gitarnya, memangku di atas satu kaki yang ia tumpukan ke kaki satunya.
"Okey, Guys. Sebelum kalian requet lagu, izinkan gue bawain lagu dari Mas Vidi, Nuansa Bening. Kalo kata temen-temen gue sih, itu lagu sekarang cocok banget sama suasana hati gue," kata Eva sebagai pembuka, menyapa para pengunjung. Dan sorakan mulai terdengar dari para penggemarnya.
"Kiw Kiw. Siapa nih?" Teriak dari salah satu penggemarnya.
Eva tersenyum sangat manis, "ada deh!" ucapnya seraya melirik ke salah satu meja sebentar.
"Anjir, tuh cewek ngelirik elo, Lang!" ucap teman Gilang yang membuat cowok itu tersenyum lebar.
"Gue udah bilang kan? Kalo gue nggak mungkin kalah!" jawabnya dengan bangga. Sebentar lagi Gilang akan memamerkan kemenangannya di hadapan kelima temannya ini.
Suara merdu Eva mulai terdengar, menyanyikan bait demi bait lagu yang ia bawa.
"Kini terasa sungguh. Semakin engkau jauh, semakin terasa dekaat. Akan ku kembangkan, kasih yang engkau tanam. Di dalam hatikuu,"
Sesekali Eva akan melirik Gilang, dan tak lupa ia sematkan senyum manisnya.
Suara tepuk tangan terdengar setelah Eva selesai membawakan lagu pertamanya. Lalu dilanjut lagu kedua, dan ketiga. Lagu ketiga sebagai lagu terakhir yang ia bawa.
Eva turun dari panggung kecil. Baru saja dia akan duduk, telinganya mendengar suara Gilang yang memanggilnya.
"Eva,"
"Ya?" Eva balik badan dan tersenyum ke Gilang, "kenapa, Kak?" tanyanya.
Posisinya Gilang ini berdiri di depan Eva, dekat dengan meja yang diduduki oleh teman-teman Eva.
Gilang melirik sana sini sambil menggaruk tengkuknya menggunakan tangan kiri, karena tangan kanannya memegang bunga yang ia sembunyikan di belakang badannya. "Emm, boleh minta waktunya sebentar kan?"
"Boleh," kepala Eva mengangguk pelan.
Gilang melirik lagi ke meja depannya. Ada para sahabatnya Eva dan ada juga Evan serta Janu. Gilang sangat mengenal siapa sosok Janu. Cowok tajir yang auranya tak bisa di anggap remeh.
"Ehem," ada gugup yang melanda Gilang. Entah kenapa melihat wajah datar Janu nyalinya menciut.
Padahal Janu cuma diam sambil merokok.
"Va, lo tau kan kalau akhir-akhir ini kita dekat?" tanya Evan yang mulai fokus ke Eva.
Eva menganggukkan kepalanya pelan serta menyatkan senyum malunya. "Iya," cicitnya.
Di meja tempat Gilang tadi duduk, kelima temannya sudah mengangkat ponsel masing-masing. Merekam adegan dimana Gilang akan menyatakan cintanya untuk Eva.
"Lo pasti sadar kalau gue ngedeketin lo karna ... gue suka sama lo, Va." Gilang tersenyum, mengeluarkan tangan yang menggenggam bunga ke hadapan Eva. "Lo mau nggak, jadi pacar gue?" ungkapnya.
Eva menutup mulutnya tak percaya, menunjukkan kalau dia sangat terkejut dengan tindakan romantis Gilang.
Bayangkan saja, dia di tembak oleh kakak tingkatnya di depan banyak orang.
"Kaak, lo ... lo suka sama gue?"
Gilang mengangguk yakin dan masih mempertahankan senyumnya, "Iya. Gue suka sama lo. Eva mau kan, jadi pacar gue?"
Gilang menggerakkan bunga ditangannya agar Eva segera menerima bunganya.
Bunga itu diterima, Eva tidak bisa untuk menahan senyumnya lagi. Sangat manis dan cantik sekali senyum lebarnya.
"Kak, Gilang... "
"Ya?"
"Harus di jawab disini?"
"Ya. Gue mau dengar jawaban lo disini. Sekarang!" dengan amat yakin Gilang mengatakannya.
"Beneran dijawab disini?" tanya Eva malu malu semakin membuat Gilang tersenyum.
"Iya, Eva. Dijawab disini!"
"Okeey, kalo Kak Gilang mau gue jawab disini,"
"Jadiii?"
"Sorry," Eva menggeleng membuat semua teman Gilang tak percaya.
"Lo ... nolak gue?"
Eva mengangguk.
"Kenapa?"
"Gue nggak suka sama cowo suka ngupil,"
"Hah? Maksut lo apa?"
"Pfft ..." Budi, Ajeng, Saroh dan Evan mati-matian menahan tawanya.
"Gue pernah liat Kak Gilang ngupil. Dua kali gue liatnya. Dan gue ... jijik!" jawab Eva dengan wajah polosnya.
Gilang tak bisa berkutik, yang ada dipikirannya hanya ingin menampar mulut gadis kurang ajar ini yang sudah berani mempermalukannya.
"Lo--" tudingnya.
Eva maju dua langkah, wajahnya sudah berubah. Tak ada wajah polos atau pun malu-malu disana. Hanya ada wajah datarnya.
Sampai didepan wajah Gilang, seringaian Eva terbit. "Lo pikir lo bisa, main-main sama gue? Lo salah pilih lawan, man!" bisiknya tajam.
Kedua mata Gilang melebar, rahangnya mengeras dan kedua tangannya sudah mengepal. Sialan sekali gadis ini, pikirnya.
Eva mundur dan meringis imut. "Maaf ya, Kak. Dan ini, gue kembaliin bunganya," ditarik tangan kanan Gilang, memaksa agar menerima bunganya kembali. "Gue lebih suka bunga bank soalnya, Kak. Sorry ya!"
Done!
Eva kembali ke kursinya, duduk di antara teman-temannya.
Banyak yang tertawa dan banyak juga yang bisik-bisik karena menganggap Eva terlalu sinting.
Bodo amat dengan reputasinya, Eva tak peduli. Dia tidak pernah meminta makan atau bantuan orang lain.
Dia diam saja masih banyak yang mencemooh. Peduli setan dengan semuanya. Yang terpenting hatinya puas.
Itu ganjaran karena berani mempermainkannya.
"Dasar sok cantik, lo! Lo pikir gue suka beneran sama lo, HAH??" teriak Gilang dengan amarahnya, "asal lo tau. Lo tuh cuma bahan taruan gue, jalang!" Dilemparnya bunga itu. Di injak-injak sebelum Gilang pergi.
See?? Tanpa klarifikasi pun, Eva bisa membuat Gilang menunjukkan kebusukannya. Dan dengan begitu pula bisikan negatif tentangnya langsung sirna seketika.
"Ini yang gue tunggu," gumam Eva dengan kekehannya.
"Daebak!" seru Ajeng memeluk sahabatnya dengan bangga.
"Agak laen emang lo, nyet!" Budi tertawa setelah menonyor kepala Eva.
Tak hanya Budi dan Ajeng, Saroh dan Evan pun salut dengan tindakan sintingnya Eva ini.
Semakin menarik, batin Janu.
Tersenyum tipis saat Eva tak sengaja menatapnya.
"Jancok, kawanen aku!" (Sialan, kesiangan aku)
Ada kelas pagi dan Eva baru bangun. Buru-buru dia kekamar mandi. Mandi ala kadarnya. Begitu selesai mandi, Eva ganti baju dan langsung menyambar tas, ponsel dan dompetnya.
Sedikit bernafas legah saat melihat motor matic Ajeng masih ada di garasi. Sepertinya bestienya itu sengaja meninggalkan motornya karena dia kesiangan.
Ah, terbaik memang Ajengnya itu.
Hari apes memang tidak pernah ada dikalender. Jarak ke kampus tinggal 3 kilo dia sudah diberhentikan oleh polisi.
Dan begonya Eva, dia baru sadar kalau tidak memakai helm sangking terburunya.
"Selamat pagi, Mbak. Bisa menepi dulu?" ucap Pak Polisi itu dengan sopan.
Mau langsung tancap gas tapi spion sudah dipegang sama polisinya. Mau nyogok, iya kalau ini salah satu jenis "polisi oknum". Tapi kalau ini orang polisi jujur, apa nggak tambah berabe masalahnya.
Jangan hujat Eva ya, dia punya pikiran ngawur itu ya karena sering mendengar para oknum yang gampang diselipin duit.
"Alamat telat ini mah," gumam Eva.
"Bisa ditunjukkan surat-suratnya, Mbak?"
"Mampus!" Eva tepok jidatnya. Sudah pasti surat-suratnya ada di Ajeng. Ya karena ini motornya Ajeng. "Emm, Pak mohon maaf banget, Pak. Ini tuh sebenarnya motor teman saya. Dan surat-suratnya ada di teman saya, Pak," jawab Eva memelas, siapa tahu Pak Pol ini akan luluh dengan wajah melasnya.
"Kalau begitu, silahkan hubungi temannya dulu!"
Eva mengangguk dan segera menghubungi Ajeng.
Double kill, nomer Ajeng tidak aktif. Kebiasaannya Ajeng itu suka menonaktifkan ponselnya kalau ada kelas.
Oke, mari coba hubungi Budi atau Saroh.
Satu kali, dua kali, tiga kali sampai sepuluh kali tidak ada yang menjawab panggilannya.
Kampret!
"Bagaimana, Mbak?"
"Paak, teman saya tidak bisa dihubungi. Dia ada kelas, Pak," Eva meringis. Nanti akan dia getok palanya Ajeng, punya kebiasaan kok aneh.
"Mbaknya tau tidak, apa saja kesalahannya?"
Lagi lagi Eva meringis. Menganggukkan kepalanya pelan.
"Sebutkan!"
"Saya tidak membawa surat kendaraannya. Tapi saya buru-buru, Pak. Saya bangun kesiangan dan pagi ini saya ada kelas, Paaak."
"Sudah? Itu saja kesalahannya?" yaelah, apes bener lo, Va. Wajah melasmu tak dibutuhkan. "Mbaknya ini tidak memakai helm!"
"Iya, Pak," cicit Ajeng.
"Mbak saya tilang. Sesuai peraturan, karena Mbak tidak membawa STNK, motornya akan kami bawa ke kantor polisi!"
"Yaa, jangan dong, Pak,"
"Ini surat tilangnya. Sidangnya sesuai di tanggal yang tertera disana," Pak Polisi itu menyerahkan surat tilang setelah rekannya menulis di surat itu, "tolong tanda tangan dulu, Mbak!"
"Pak, masa harus dibawa? Kalau motornya dibawa, saya terus gimana, Pak? Saya sudah telat 10 menit ini, Pak. Dosennya killer lagi, Pak. Tolong dong, Paak,"
"Itu konsekuensi atas keteledoran Mbaknya sebagai pengendara motor dan mahasiswa. Lain kali harus diperhatikan lagi, Mbak. Lebih disiplin lagi!"
Lah, malah dapat kultum dari Pak Pol.
"Eva?"
Merasa namanya dipanggil, Eva menoleh dan mendapati teman Budi yang baru kemarin ia kenal.
"Janu?"
Janu mengangguk ke Eva, lantas dia menoleh ke Polisi itu. "Maaf, Pak. Ini teman saya kenapa, ya?"
"Kena tilang, Mas. Teman Masnya ini tidak memakai helm dan tidak membawa STNK. Jadi motornya harus kami bawa ke kantor polisi,"
Janu mengangguk. Dia juga paham kalau tidak membawa STNK pasti kendaraannya akan dibawa.
"Tapi ada surat tilangnya kan, Pak?"
"Ada. Sudah saya serahkan ke Mbaknya!" jawab Polisi itu, "Motornya kami bawa ya, Mbak,"
Kepala Eva mengangguk pelan dengan bibirnya yang sudah mencebik sedih. Ini nanti pasti si Ajeng ngomel-ngomel karena motornya dibawa polisi.
Apes bener! Ini si Eva alamat harus bayarin ojeknya si Ajeng tiap pulang pergi kampus selama motornya tidak ada.
Mata Eva menatap nanar ke motor matic putih yang mulai menjauh itu.
"Mau ke kampus?"
Ah iya, Eva sampai lupa kalau masih ada manusia di sebelahnya. Manusia yang irit sekali bicaranya.
"Iya,"
"Ayo,"
"Kemana?"
"Lo maunya kemana?"
Eva cengo sebentar, menatap Janu tidak percaya. Ternyata manusia yang sering cosplay menjadi patung ini bisa bercanda juga ya? Batinnya.
Janu terkekeh samar melihat wajah cengo Eva.
Lah, kok makin cakep?
First impression Eva ke Janu itu, keren. Kalau masalah fisik, jelas Eva tahu Janu itu tampan. Tapi tampan yang menurutnya juga berbeda. Tato yang ada di tangan dan piercing di telinga serta ujung bibirnya tak membuat penampilan cowok itu urakan atau slengean.
Malah terlihat sangat keren menurut Eva.
Eva sempat melongo kagum melihat Janu tertawa kecil begitu. Mata Janu semakin menyipit saat tertawa. Hidungnya Janu itu lucu, bangir tapi tak sebesar ukuran laki-laki pada umumnya. Jadi terlihat imut versi cowok. Bibir tipisnya juga semakin lucu jika tertawa.
Ternyata setelah diamati baik-baik, Janu diam dan Janu tertawa itu punya aura yang sangat berbeda.
Jika diam, Janu sedikit menyeramkan. Namun jika tertawa, Janu terlihat sangat imut.
Ada gitu ya manusia berubah bentuk begitu? Apa dia siluman bunglon?
Ini semakin lama Eva memandang wajah Janu, bisa semakin tambah kongslet otaknya.
Untuk pertama kalinya Eva merasa tertarik ke manusia berjakun lebih tepatnya laki-laki dengan durasi waktu yang singkat.
Eva sadar, sepertinya memang ada yang tidak beres di otaknya, pertama kali melihat Janu sudah ada daya tarik tersendiri.
"Eva?"
"Hah? Ya?" Plis, jangan bego. Ini bukan lo banget, Va!
Janu tersenyum tipis, "berangkat sekarang?"
"Ayo!"
Janu berjalan lebih dulu ke arah mobilnya, dan hal tak terduga terjadi. Cowok itu membukakan pintu untuk Eva.
"Cih, player rupanya!" gumam Eva pelan. Menilai sikap Janu ini sama seperti buaya yang caper ke mangsanya.
Biar si mangsa terkesan.
"Gue denger, btw!" Eva sedikit tersentak karena suara mulut julidnya masih bisa ditangkap telinga Janu, "sepertinya lo sudah hatam sama tingkah para player ya," canda Janu sebelum menutup pintu dan dirinya beralih ke pintu satunya.
Wangi gila ini mobil. Bau bau horang keyong! Batin Eva.
Meskipun tak pernah punya mobil, tapi Eva tahu kalau mobil Janu ink bukan mobil murah atau mobilnya kaum mendang mending. Ini mobil sangat mahal.
Tapi memang sangat kentara kok kalau Janu itu berduit. Bau dari parfumnya saja orang bisa menilai kalau itu parfum mahal.
Wanginya bikin tenang dan candu. Eh?
Mobil itu sudah melaju ke arah kampus dengan suasana hening. Eva yang tidak bisa berbasa basi dengan orang baru, dan Janu yang juga sepertinya bingung mau membuka obrolan dengan gadis misterius ini.
Iya, bagi Janu, Eva itu misterius anaknya. Susah untuk ditebak. Ekspresi wajah dan tindakannya sangat tidak terduga menurutnya.
"Thanks ya!" ucap Eva setelah mobil Janu terparkir di fakultasnya.
Janu hanya mengangguk sebagai jawaban. Didalam mobilnya, Janu terus menatap kepergian Eva. Dengan tatapan yang sulit di artikan dan hanya Janu yang tahu.
***
Eva merasa sangat sia-sia pergi ke kampus. Baru satu langkah dia masuk kelas tapi langsung di usir oleh dosennya. Mau tak mau Eva harus keluar.
Untung saja kali ini bukan mata kuliah jurusannya.
Sekarang yang Eva lakukan duduk di gazebo sendirian. Dan baru saja duduk, dia mendapati pesan dari Intan, sepupuhnya di kampung.
Sepupuh Eva itu memberi kabar kalau adik bungsunya tidak mau sekolah karena minta ganti hp. Lalu adik laki-lakinya tertangkap polisi karena bermain dengan obat-obatan terlarang.
"Tuhaan. Begitu nikmat cobaan yang Kau beri," keluh Eva.
Eva kepikiran kedua orangtuanya, terutama Ibunya. Ibunya itu punya penyakit jantung, dan selalu kambuh jika adiknya membuat ulah.
Adik yang membuat ulah itu anak nomer 3 kedua orang tuanya. Jadi Eva itu anak nomer 2. Yang pertama laki-laki, yang ketiga laki-laki dan yang terakhir perempuan.
Dua adiknya itu masih sekolah. Yang laki-laki SMA kelas 1 dan yang perempuan masih SMP kelas 2. Kakak Eva sudah menikah tapi masih tinggal bersama orangtuanya.
"Dika sialan!" Eva mengumpati adiknya yang bernama Dika. Anak itu selalu saja bikin masalah. Tapi sayangnya kedua orangtuanya itu selalu memanjakan adik-adiknya.
Itu salah satu alasan yang membuat Eva nekat kuliah di Jakarta. Dia terlalu muak melihat drama adiknya itu. Dan dia juga sakit hati karena merasa disisihkan. Apa-apa bocah itu yang harus dituruti dan diutamakan.
Eva mendesah lelah melihat layar ponselnya yang menyala dan memunculkan nama adik bungsunya disana.
Sudah dia duga, pasti adiknya ini akan menelpon untuk mengadukan keadaan rumahnya.
"Kenapa, Nur?" Basa basinya.
"Mbaak.."
"Kenapa kamu nangis?"
"Mas Dika ketangkap polisi. Tadi malam digeledah kamarnya, ada ratusan butir obat terlarang Mbak.."
Eva diam, dia benci situasi ini. Situasi dimana matanya tiba-tiba memanas dan menghasilkan genangan air dipelupuk matanya.
"Ibu gimana?"
"Ibu nangis terus, Mbak. Bapak cuma diam aja, kayak orang linglung,"
Sialan, menetes sudah air matanya. Andai dia ada dikampung, mungkin sudah Eva berikan bogeman ke wajah Dika.
"Mas Dika bisa bebas asal---"
"Nur, dengerin Mbak. Kalau Ibu sampai demam, langsung bawa ke puskesmas. Kamu jangan sampai ninggalin Ibu. Nggak usah main. Diem-diem aja dirumah!" Eva potong ucapan adiknya saat ingin membahas Dika.
Eva muak. Muak sekali dengan dua saudara laki-lakinya itu.
"Iya, Mbak. Mbak, Ibu mau ngomong.."
"Iya,"
"Nduuk, adiikmuu.. adikmu, nduuk. Adikmu ketangkep. Gimana nasib adikmu, nduk, kasihan. Kok ya begini sekali jalan hidup adikmu,"
Eva makin tergugu, sebisa mungkin dia membekap mulutnya agar tidak mengeluarkan isakan tangisnya. Hatinya semakin sakit mendengar tangisan ibunya yang masih saja memikirkan nasib Dika.
"Adikmu bisa bebas karena masih dibawah umur. Tapi polisinya minta tebusan, nduuk.."
"Biarin, Buk. Biar dia jerah. Ini sudah kedua kalinya dia ketangkep. Ibu mau sampai kapan memebela kesalahan dia?" Sudah tidak bisa dikontrol lagi emosinya.
Eva benar, ini sudah kedua kalinya bocah sialan itu tertangkap polisi dengan kasus yang sama. Mengedarkan obat terlarang. Tapi bukan obat obat terlarang yang mahal-mahal itu. Ini jenis obat penenang yang sering disalah gunakan oleh remaja-remaja dikampungnya.
"Kamu kok jahat. Kamu tega liat adikmu dipenjara?"
Apa jahat katanya? Selama ini Eva selalu mengalah, kebutuhannya selalu disisihkan hanya karena Adik dan Kakaknya itu meminta ini itu yang tak penting.
"Terus aku harus apa, Buk?"
"Polisinya minta uang tebusan 25 juta. Ibu cuma punya simpanan 7 juta. Ibu minta tolong, kalau kamu ada uang, tolong bantu ibu ngeluarin adikmu,"
Dari 25 juta ibunya hanya punya 7 juta, dan sisanya harus Eva begitu yang bayar?
Ibunya ini apa tidak mikir kalau Eva harus pontang panting diperantauan agar bisa menyambung hidup. Uang tabungannya juga tidak banyak.
Ya Tuhaan, guman Eva.
"Aku nggak janji, Bu. Tapi aku usahakan ada uangnya! Tuut, Eva mengakhiri panggilan sepihak dari Ibunya.
Dia sudah tidak kuat mendengar tangisan Ibunya. Ternyata Ibunya masih saja sama, menganggap apa pun yang dilakukan adiknya itu masih diwajarkan.
"Bangsat!!" peduli setan jika ada yang melihatnya menangis dan mengumpat.
Seet.
Eva yang sedang menutkp wajahnya dengan tangan, bisa merasakan ada sesuatu yang diletakkan di atas pahanya. Dia mengangkat wajah, menemukan Janu yang tiba-tiba duduk disebelahnya.
Ternyata cowok itu meletakkan satu kotak tisu kecil di atas pahanya.
Janu tidak sengaja mendengar percakapan Eva di telepon. Setelah terlihat Eva menyudahi telponannya, Janu meminta tisu ke temannya yang kebetulan lewat.
"Ngapain lo?" Eva menatap Janu kesal, dia tidak suka jika moodnya buruk ada orang disekitarnya. Terlebih lagi orang itu tau jika dirinya menangis.
"Jualan tisu!" jawab Janu asal. Dagunya bergerak menunjuk tisu yang masih belum Eva pegang, "lap tuh ingus, jorok!"
Eva melotot. Gila ni cowok, apa pula bikin dirinya malu saja.
Dengan hati yang dongkol Eva mengambil tisu itu, dan langsung mengelap air mata plus ingusnya.
Janu bohong kok, Eva tidak ingusan.
"Bolos?" tanya Janu.
"Lebih tepatnya di damprat sama dosen!" sarkasnya ketus.
Janu mengangguk anggukan kepalanya, "sama. Gue juga!"
"Kagak nanya!"
Gadis ini benar-benar galak, tapi sayangnya Janu semakin tertarik.
Menurut Janu, Eva itu punya daya tarik dan aura yang kuat.
"Mau ikut gue nggak?"
"Kita nggak seakrab itu, btw!"
Gila, baru pertama kali ada seorang cewek yang menolak ajakan seorang Janu.
"Gue jamin lo nggak bakalan nyesel. Dari pada nangis disini kayak orang gila,"
Janu itu selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Dengan jentikan jarinya saja dia bisa mendapatkan yang dia mau.
Dan cowok tampan yang bertato ini sangat tertarik ke Eva. Dia ingin gadia galak ini menjadi miliknya.
Maka dari itu, dia tidak akan mundur untuk memilikinya.
"Kampret juga lo ternyata!" sudah kepalang malu karena kepergok menangis, Eva putuskan saja mengiyai ajakan Janu.
"Mau kemana?" tanya Janu karena Eva berdiri.
Eva memutar bola matanya malas.
"Tadi siapa sih yang ngajak gue cabut?!" sarkasnya membuat Janu ikut berdiri dan memasang senyum tipisnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!