NovelToon NovelToon

Mengasuh Cinta Duda Kaya

Part Time

...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...

...****************...

Calista Ruby atau yang sering dipanggil Caca itu menghembuskan nafasnya yang hangat dengan berat. Tangannya meremas kuat tali tas selempang miliknya sambil menatap sebuah mansion besar dengan pagar yang dihiasi tanda berbentuk "LP" dari emas.

Jantungnya berdebar cukup cepat, hampir seperti genderang perang, membayangkan hari pertamanya sebagai pengasuh anak balita konglomerat Inggris. Angin awal November bertiup sedikit lebih kencang, menusuk kulit meskipun sudah berbalut mantel tebal. Tangannya yang dingin semakin erat memeluk tasnya, mencoba menyalurkan ketegangan.

"Aku bisa! Aku tentu saja bisa! Ini hanya hal biasa seperti yang kulakukan di Indonesia!" Ia mengulang mantra itu dalam hati, tetapi suara kecil dalam dirinya tetap bertanya, Benarkah ini akan berjalan semudah itu?

Dengan langkah berat, Caca memberanikan diri menuju gerbang besar kediaman keluarga Pattinson. Sepasang penjaga berdiri kaku di sisi gerbang, mengawasi setiap gerakannya seperti patung hidup.

"Nama?" tanya salah satu penjaga bertubuh agak gemuk dengan nada rendah, sambil memegang sebuah tablet. Ekspresinya tanpa senyum, membuat dada Caca semakin terasa sesak.

"Calista Ruby," jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh tiupan angin. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan getaran di suaranya sambil mencuri pandang pada penjaga lainnya yang sama sekali tidak menunjukkan reaksi.

Caca membaca nama di tag dada penjaga itu—Arthur. Saat ia menunggu, waktu terasa lebih lambat, seolah-olah tablet yang dicek Arthur adalah penentu nasibnya.

"Silahkan masuk," ucap Arthur akhirnya, memberikan izin dengan nada datar.

Caca hanya bisa mengangguk, refleks memberikan senyum kecil ala Indonesia. Namun, senyumnya langsung memudar saat menyadari kedua penjaga itu kini saling melirik dengan raut bingung.

"Apa yang barusan dia lakukan?" bisik si penjaga yang lebih kurus, menoleh pada Arthur.

Arthur mengedikkan bahu. "Budayanya mungkin," jawabnya, namun tetap tampak tak yakin.

Caca tidak mendengar percakapan mereka. Matanya sibuk menjelajahi halaman mansion yang megah, hampir seperti lukisan dari buku dongeng: taman yang tertata sempurna, air mancur yang gemericiknya terdengar lembut, dan bangunan besar bergaya klasik Inggris. Sekilas, ia teringat gambar rumah impiannya sewaktu kecil—selalu ada air mancur di depan. Bibirnya melengkung, tersenyum kecil di tengah rasa gugup.

Melangkah menaiki tangga ke pintu utama, ia mengetuk pelan, takut terlalu keras. Suara gagang pintu berderit membuatnya mundur selangkah, bersiap menghadapi orang di balik pintu.

Pintu itu dibuka oleh seorang wanita dengan seragam hitam putih yang rapi, lengkap dengan senyum profesional. “Silahkan masuk,” sapanya sopan, tetapi dingin.

Caca tersenyum lebar, lagi-lagi menunduk kecil sebagai balasan. Namun, senyumnya cepat surut ketika pelayan itu hanya memandangnya dengan sedikit kebingungan, lalu berbalik masuk tanpa banyak kata. Caca melangkah masuk, matanya membesar memandang interior mansion yang tak kalah mewah dari eksteriornya. Setiap sudutnya seperti pameran seni yang hidup.

Ia dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu, tetapi Sarah, si kepala pelayan yang membukakan pintu, kembali bertanya tanpa banyak basa-basi, "Apakah Anda ada janji?"

"Oh, saya pengasuh baru," jawab Caca buru-buru. Senyumnya kembali mengembang, meski ia tahu jawabannya terdengar terlalu ceria untuk tempat ini.

Namun, Sarah tidak bereaksi, wajahnya tetap netral. Caca langsung mengulum senyumnya, perasaan kikuk merayap cepat. Sepertinya keramahan khas Indonesia tidak selalu diterjemahkan dengan baik di sini.

Sarah meninggalkannya sendirian, membiarkan Caca menggigit bibir bawahnya sambil memelototkan matanya pada dirinya sendiri. “Bodoh! Kenapa malah senyum-senyum nggak jelas?” bisiknya dalam hati, tangannya mengepal di pangkuan.

Pelayan lain datang menyuguhkan minuman dan kue kecil di atas meja. Mereka melakukannya dalam diam yang membuat Caca semakin canggung. Ia menunggu mereka berbicara, tetapi mereka hanya pergi tanpa sepatah kata, meninggalkan dirinya yang kembali merasa asing di ruang ini.

Ketegangan itu pecah oleh suara langkah yang mantap di tangga. Seorang pria muncul, tinggi, berkulit putih, dengan rambut coklat rapi. Ia memeluk seorang anak laki-laki kecil yang tampak sibuk memainkan mainannya. Wibawanya memenuhi ruangan, meskipun ekspresinya sama dinginnya dengan Sarah.

"Selamat siang, Nona Calista," sapanya, dengan nada datar namun sopan.

Caca segera tersenyum, menunduk sedikit. “Selamat siang, Tuan Pattinson,” jawabnya. Suaranya terdengar lebih sopan daripada biasanya, tapi ia merasa pelayan-pelayan di sekitarnya memperhatikan dengan tatapan penasaran.

Logan Pattinson, pria itu, duduk dengan anaknya di sofa, mengamati Caca dengan tenang. "Kau pengasuh?" tanyanya singkat.

Caca mengangguk kecil, terlalu gugup untuk mengatakan lebih banyak.

"Ini Ray, anak yang akan kau asuh," katanya sambil membetulkan posisi duduk putranya. Anak itu tampak acuh, tetap sibuk dengan mainannya, seolah dunia luar tidak penting. "Dia tidak cepat akur dengan orang asing, jadi kuharap kau bisa mengatasi ini di hari pertamamu."

Kata-kata itu membuat hati Caca mencelos. Ia memaksakan senyum lagi, meski pikirannya penuh pertanyaan.

"Katanya kau berkuliah di sini, kan?" tanya Logan, menatap Caca dengan wajah tanpa ekspresi.

Caca sedikit terkejut, namun segera menguasai dirinya. "Ah, iya," jawabnya sambil tersenyum. "Aku berkuliah di UCL."

"Apa pekerjaan ini tidak akan mengganggumu?" Logan bertanya lagi.

Jantung Caca berdegup kencang, khawatir akan memberikan jawaban yang salah. "Oh, em... Sepertinya tidak," jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.

Logan mengangguk pelan. Meski wajahnya tetap datar, Caca menangkap sekilas bayangan kesedihan di raut lelaki itu. Ada sesuatu yang suram di balik wajah lelahnya, sesuatu yang membuat Caca bertanya-tanya.

"Baiklah kalau begitu," ujar Logan akhirnya. "Lagi pula, aku hanya akan menitipkan Ray kepadamu untuk beberapa saat setiap kali aku dan ibuku mungkin tak bisa di rumah. Apakah itu akan mengganggumu?"

Caca mengangguk dengan percaya diri. Menurut pengalamannya, menjaga anak kecil seharusnya tidak terlalu sulit. Lagipula, ia pernah menjaga keponakan dan adik-adiknya di Indonesia, yang jauh lebih nakal.

"Sama sekali tidak, Tuan Pattinson," jawabnya penuh keyakinan.

Logan tersenyum samar. Keputusan ini bukan hal yang mudah baginya, tetapi ia merasa Caca adalah pilihan yang tepat. Meskipun rumah ini penuh pelayan, mereka tidak memiliki kesabaran atau minat untuk merawat anak kecil seperti Ray.

"Kemungkinan besar kau harus menginap di sini jika Ray memintanya," lanjut Logan, "atau saat aku dan ibuku harus bertugas dalam waktu yang tidak bisa kami tentukan. Kau keberatan dengan itu?"

"Ya, saya bersedia melakukannya, tentu saja," jawab Caca, mencoba terdengar ramah meskipun suaranya sedikit bergetar.

Aura Logan begitu kuat. Meski wajahnya sendu dan suram, sifat maskulin dan tegasnya tetap terasa mendominasi. Caca merasa sedikit terintimidasi, tapi ia mencoba mempertahankan senyumnya.

"Terima kasih. Itu awal yang baik," kata Logan, mengakhiri percakapan. Ia kemudian menggendong Ray, yang tampak tenang di pelukannya. "Nah, kalau begitu, kau bisa mencoba berkenalan sebentar dengan Ray."

Caca bangkit berdiri, siap menerima Ray. Namun, saat ia mendekat dan mencoba meraih anak kecil itu, Ray menolak. Ia memeluk erat ayahnya, menolak berpindah ke pelukan Caca.

"Ah... Inilah yang kumaksud, Nona Calista. Dia sangat sulit untuk cepat akrab," ujar Logan tanpa ekspresi, seakan sudah menduga hal ini.

Caca merasa gugup, namun ia tidak menyerah. Ia menunduk sedikit, tersenyum lembut, dan berkata, "Halo, Ray... Namaku Calista. Tapi kamu bisa panggil aku Caca saja."

Ray mengangkat wajahnya sebentar, menatap Caca dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Namun, hanya beberapa detik kemudian, ia kembali menyembunyikan wajahnya di dada Logan.

Caca mencoba tetap tenang, meskipun di dalam hatinya mulai muncul rasa khawatir. Pikiran tentang kegagalan di hari pertama mulai menghantui. Apakah Ray sudah membencinya?

"Maaf, Nona Calista," kata Logan, menyadari kecemasan Caca. "Dia memang sulit dibujuk."

Caca hanya tersenyum tipis, meski pikirannya mulai berkecamuk. Ia memandang Ray, mencoba memikirkan cara untuk mendekati anak itu. Namun, ada sesuatu di balik sikap Ray yang membuatnya bertanya-tanya.

Nyonya Pattinson tiba-tiba muncul dan berjalan mendekat ke arah anak dan cucunya sambil tersenyum lembut.

"Halo," sapanya dengan nada penuh kehangatan.

Caca menoleh, wajahnya langsung memucat. Gugup dan cemas, ia tidak dapat menghilangkan pikiran buruk yang menghantui. Satu lagi orang yang melihat betapa dirinya kesulitan dan kini Nyonya Pattinson lah orang itu. Ia khawatir nenek dari Ray malah tak menyukainya.

"Ibu, ini Calista, pengasuh Ray yang baru," kata Logan, memperkenalkan Caca pada ibunya sambil masih berusaha membujuk Ray.

Caca dengan canggung menunjukkan gestur sopan seperti biasa yang ia lakukan. Namun, tak lama setelahnya, ia merasa menyesal. Nyonya Pattinson sempat terdiam dan memandangnya dengan tatapan sedikit heran. Meski begitu, wanita itu kemudian mengalihkan perhatiannya kembali pada Logan dan Ray.

Caca meremas kedua tangannya erat-erat. Tubuhnya mulai berkeringat dingin, seakan aliran darahnya tiba-tiba berhenti. Jantungnya berdegup semakin kencang.

Mengapa di saat seperti ini ia malah bertindak ceroboh?

Logan Pattinson

...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...

...****************...

Nyonya Pattinson tersenyum lembut melihat kegugupan Caca yang tak mampu ia sembunyikan. Meskipun merasa sedikit heran, ia memutuskan untuk tidak menambah beban pada gadis itu.

"Halo, Nona Calista," sapanya ramah, memperkenalkan dirinya lebih akrab.

Caca segera membalas dengan senyum canggung. "Halo, Nyonya. Terima kasih sudah menerima saya di sini."

"Kurasa pertemuan pertama kalian tadi cukup menantang," ujar Nyonya Pattinson sambil menggendong Ray dari pelukan Logan. Ia menatap cucunya yang tampak sedikit kesal. "Ray memang tidak mudah dekat dengan orang baru."

Caca mengangguk dengan sopan. "Saya bisa memahami perasaan Ray, Nyonya. Anak seusianya pasti butuh waktu untuk merasa nyaman."

Nyonya Pattinson tersenyum, senang mendengar jawaban yang bijaksana. "Benar sekali. Tapi begitu ia merasa nyaman denganmu, jangan kaget kalau dia akan terus menempel. Aku yakin dia akan menyukaimu, Nona Calista."

Logan, yang sedari tadi berdiri diam di tengah mereka, menatap ibunya dengan isyarat. "Ibu, aku harus pergi ke kantor. Tolong temani mereka dulu." Suaranya terdengar datar, tapi ada nada tegas di dalamnya.

"Baik, sayang. Kau fokus saja pada pekerjaanmu." Nyonya Pattinson melambaikan tangannya, lalu menoleh ke Caca. "Jangan khawatir soal Ray, ya. Dia memang sulit di awal, tapi aku percaya kamu akan melakukannya dengan baik."

Caca tersenyum kecil. "Terima kasih atas kepercayaannya, Nyonya."

Setelah Logan pergi, suasana sedikit berubah. Caca tak bisa mengabaikan rasa penasaran yang menggelitik hatinya. Logan tampak begitu dingin, seolah ada lapisan tebal yang menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya. Namun, ia tahu sopan santun harus diutamakan. Ia memilih mengalihkan fokus pada Ray, yang kini duduk di sofa dengan mainan di tangannya.

"Nah, Nona Calista," Nyonya Pattinson berkata sambil menatap Caca penuh perhatian. "Gunakan waktu ini untuk mendekatkan diri pada Ray. Dia memang sulit, tapi aku yakin kau bisa."

"Baik, Nyonya. Saya akan berusaha," jawab Caca dengan mantap.

Nyonya Pattinson tersenyum puas, lalu meninggalkan mereka berdua.

Setelah beberapa saat terdiam, Caca memberanikan diri mendekati Ray yang tampak sibuk memutar-mutar sebuah mobil mainan di tangannya.

"Hai, Ray," ucapnya lembut sambil berlutut agar sejajar dengannya. "Boleh aku duduk di sini?"

Ray hanya meliriknya sekilas tanpa menjawab.

Caca tersenyum, mencoba pendekatan berbeda. "Mobilnya keren sekali. Apa aku boleh ikut bermain?"

Ray masih tak bereaksi, tapi ia mulai memperhatikan gerak-gerik Caca.

"Kalau aku punya mobil seperti ini, mungkin aku akan balapan sepanjang hari," lanjut Caca, sambil pura-pura mengendarai mobil kecil di atas sofa.

Perlahan, bibir Ray membentuk senyuman kecil. Ia menyerahkan mobilnya pada Caca tanpa berkata apa-apa.

"Oh, terima kasih, Ray! Kau baik sekali," kata Caca dengan antusias, menerima mobil itu seolah-olah sebuah hadiah besar.

Ray akhirnya tertawa kecil, meski masih malu-malu. Melihat itu, hati Caca terasa lebih lega. Ia tahu, ini hanya awal, tetapi melihat anak itu tersenyum membuatnya merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

-

Logan duduk di meja kerjanya, matanya tertuju pada tumpukan dokumen yang memenuhi meja. Ia memindahkan satu demi satu kertas-kertas itu, membaca setiap detail yang telah disusun oleh para investor. Bisnis ini adalah warisan dari ayahnya, dan ia tahu betul bahwa kesuksesan adalah satu-satunya jalan untuk menghormati kepercayaan yang telah diberikan padanya. Namun, di balik kesibukannya, sebuah kekosongan terasa begitu mendalam, seakan setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa kehilangan yang tak kunjung berakhir.

Dua tahun telah berlalu sejak kecelakaan yang merenggut istrinya, Diana. Sejak itu, hari-harinya seperti berjalan dalam bayang-bayang, penuh dengan kesedihan yang tidak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata. Cintanya yang pergi, membawa serta seluruh semangat hidupnya, meninggalkannya dengan kehampaan yang tak terlukiskan. Terkadang ia merasa seperti terjebak dalam kenangan yang menghantuinya, berputar-putar tanpa arah.

Namun, ada satu yang membuatnya tetap bertahan. Ray, putranya. Keberadaan Raylah yang memberikan sedikit harapan di tengah kegelapan. Setiap kali Ray tertawa, setiap kali Ray menyapanya dengan mata cerahnya, itulah satu-satunya yang membuatnya merasa hidup kembali. Tapi tetap saja, luka itu terlalu dalam untuk sembuh begitu saja.

"Tuan Pattinson, ada tamu," kata Megan, asisten Logan, dengan suara lembut yang memecah kesunyian ruangan.

Logan tak menoleh sedikit pun, tetap terfokus pada dokumen yang ada di hadapannya. "Siapa?" tanyanya singkat, suaranya datar, hampir tidak terdengar.

Megan ragu sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Miss Anastasia Jhonson."

Logan menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan diri. Anastasia. Nama itu selalu membawa kenangan pahit. Ia masih ingat betul bagaimana Diana selalu memperingatkannya tentang perempuan ini. Diana bahkan tak segan untuk mengatakan bahwa Anastasia adalah sosok yang berambisi dan sedikit gila—sebuah peringatan yang tak pernah ia hiraukan. Kini, Anastasia datang lagi, berusaha mengusik ketenangannya yang sudah sangat rapuh.

"Biarkan dia masuk," kata Logan dengan nada yang lelah, tidak peduli lagi.

Anastasia, perempuan itu tak akan menyerah. Ia tahu, walaupun Logan terlihat tak tertarik, dia tetap akan datang dan terus berusaha merayunya. Dan Logan, sudah terlalu lelah untuk melawan.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan masuklah Anastasia Jhonson. Dengan langkah penuh percaya diri, ia mengenakan terusan mewah berwarna hitam dengan desain low-cut di bagian dada yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambut coklatnya yang panjang digerai dengan gelombang lembut yang semakin menambah kesan sensual pada dirinya. Ia tahu betul bagaimana cara menarik perhatian pria, dan hari ini, Logan adalah targetnya.

Anastasia memasuki ruangan dengan senyum menggoda. "Selamat siang," sapaannya begitu ceria, seperti tak ada beban sama sekali.

Logan tetap tidak mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ada di tangannya, seakan dunia di luar sana tidak ada yang lebih penting dari apa yang sedang ia kerjakan. Sudah berulang kali ia menghadapi hal ini, jadi tidak ada lagi yang bisa mengejutkannya.

Anastasia meletakkan bekalnya di atas meja Logan dan tersenyum sambil membuka kotak makanan tersebut, dengan harapan Logan akan tertarik. "Lihat! Aku memasak semuanya sendiri," ujarnya dengan nada menggoda, matanya tetap menatap Logan.

Namun, Logan tetap diam, fokus pada pekerjaannya. Ia tahu betul permainan yang sedang dimainkan Anastasia, dan dia sudah terlalu lelah untuk peduli. Ini bukan pertama kalinya, dan sepertinya, itu tidak akan pernah berakhir.

Anastasia, bagaimanapun juga, tidak menyerah begitu saja. "Semua bahan makanan premium dan segar, lho. Kau harus makan, Logan, jangan sampai sakit. Aku akan selalu ada di sini untukmu," katanya, berusaha menggoda lagi, meskipun ada rasa kegeraman yang mulai tumbuh di hatinya. Perempuan ini tahu bahwa Logan benar-benar keras kepala, dan semakin sulit, semakin membuatnya tertantang.

"Tak bisakah kau lihat aku sedang bekerja?" ujar Logan, suaranya mulai terdengar kesal. Ketegangan yang sudah terpendam cukup lama akhirnya meletus.

Anastasia tersenyum puas. "Ah, baiklah... Aku akan segera pergi. Pastikan kamu memakannya, ya! Aku ada janji temu. Sampai jumpa!" ujarnya dengan ceria, sambil berjalan meninggalkan ruangan.

Megan yang mendengarkan dari luar hanya bisa menggelengkan kepala. Ia sudah terlalu sering melihat pertunjukan ini, dan tak ada perubahan sama sekali. Anastasia Jhonson, tak peduli seberapa keras Logan menolaknya, selalu akan kembali lagi.

Saat Anastasia keluar, Ryan masuk ke ruangan dengan santai. Keduanya tidak menyapa, hanya saling melirik. Anastasia melangkah angkuh melewati Ryan, yang tak dapat menahan tatapannya. Keangkuhan Anastasia membuat Ryan tersenyum geli, tapi ia tidak berkata apa-apa. Ia tahu, ini adalah momen yang patut disimak.

"Bravo!" ujar Ryan sambil duduk di sofa tamu, meledek Logan. Ia bisa melihat betul bahwa Logan sedang kesal, dan itu membuatnya semakin tertarik.

Logan hanya bisa menatap Ryan dengan jengkel. Ia sudah cukup muak dengan orang-orang yang datang hanya untuk mengganggunya. "Ada apa kemari?" tanya Logan dengan suara dingin, matanya tetap terfokus pada dokumen yang ada di meja.

"Hanya mengunjungimu," jawab Ryan santai. Matanya tertuju pada kotak bekal Anastasia yang masih tergeletak di meja. "Wah, aku iri. Sepertinya Anastasia sangat menyukaimu sampai memperhatikanmu seperti itu," tambahnya, dengan senyum menggoda yang membuat Logan semakin kesal.

Logan menatap Ryan tajam. "Katakan apa maumu dan pergilah dari sini," katanya, suara tegas dan penuh kekesalan.

Ryan tertawa kecil, semakin menikmati keadaan. Logan mungkin berusaha untuk menjaga ketenangannya, tapi bagi Ryan, ini semua hanya permainan yang menyenangkan.

Makan siang

...Jangan lupa klik like dan komentar ya teman-teman! Mohon dukungannya untuk cerita ini! Terimakasih banyak semua! ❤️❤️...

...****************...

"Ayo ke klub malam bersamaku. Aku yang akan traktir!" ajak Ryan, wajahnya penuh semangat, hampir tak sabar.

Logan hanya mengerutkan alisnya, ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksenangan. Entah kenapa sahabatnya itu tiba-tiba saja muncul dengan ajakan seperti ini. "Hiburan?" pikir Logan dengan rasa jengkel. Club malam, dengan musik keras, cahaya gemerlap, dan hiruk-pikuk orang yang saling bersaing untuk mendapatkan perhatian, bukanlah dunia yang ia kenal atau sukai. Apalagi jika itu berarti meninggalkan tumpukan pekerjaan yang selalu memanggilnya.

"Sobat, temanku punya klub baru, dan wanita di sana cantik-cantik. Aku tahu kau butuh hiburan. Aku sudah lelah bicara dengan batu yang diberi nyawa. Bisakah kau kembalikan sahabatku itu? Aku merindukannya!" Ryan mengeluh dramatis, suaranya nyaris menyerupai seorang aktor teater yang sedang berperan dalam drama tragedi.

Logan hanya memandangnya dengan tatapan jijik. "Aku tidak tertarik," jawabnya tegas, suaranya datar.

"Ayo, kenapa seperti itu? Kasihan padaku, dong!" Ryan kembali mendesak, semakin melebih-lebihkan.

Logan mengerutkan bibirnya, menahan rasa jijiknya. "Sepertinya kau lebih baik pergi saja, Ryan. Aku benar-benar tidak tertarik," jawab Logan, matanya kembali tertuju pada tumpukan dokumen yang ada di mejanya.

"Oh, sakit sekali hatiku! Begini rasanya ditolak oleh yang mulia Logan?" Ryan melanjutkan dengan nada yang semakin berlebihan, membuat Logan hampir terbatuk karena muak.

Logan menggelengkan kepala, merasakan kegelisahan yang semakin memuncak. Apa yang terjadi hari ini? Semua orang mencoba mengusiknya. Ia terus bergumam dalam hati

Ryan tampak tak menyerah. "Dengarkan aku, sobat! Tak ada salahnya kau mencoba menikmati hidupmu. Lihat, banyak orang mati karena gila kerja dan tak punya hiburan. Aku nggak mau kehilanganmu, bodoh!" Ryan berteriak, seolah dia adalah pahlawan yang sedang berjuang untuk menyelamatkan temannya.

Kini Ryan berdiri dan mulai berkeliling ruangan Logan, seolah bosan dengan respons keras kepala temannya. Setiap langkahnya penuh dengan kegelisahan, dan Logan bisa merasakan betapa beratnya perjuangan Ryan mencoba menariknya keluar dari dunia monoton yang sudah ia pilih.

Logan menatap Ryan sekilas tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan di depannya. "Aku tak peduli," jawabnya lagi, suaranya sedikit lebih keras, namun tetap dingin.

Ryan, yang tampak semakin frustasi, mengangkat tangan ke langit, pura-pura berdoa. "Oh Tuhan, kenapa temanku yang satu ini sangat keras kepala? Tolonglah aku, yang baik hati ini, untuk melepaskannya dari jerat iblis gila kerja!" Ryan mengeluh, membuat Logan semakin muak.

Logan menghela napas panjang, melemparkan pulpen ke meja dengan suara pelan, lalu menatap Ryan dengan tatapan yang lebih serius. "Dengar, kau hanya perlu datang ke sana sejenak. Aku pastikan kau tak akan menyesal," Ryan berkata lebih tenang kali ini, berusaha meyakinkan Logan dengan sungguh-sungguh.

Logan menatap sahabatnya itu dengan intens, hatinya sedikit goyah, meskipun ia tak ingin mengakuinya. "Jika saja kau bukan sahabatku, aku pasti sudah memanggil keamanan," jawab Logan, nada berat mengisi suaranya. "Baiklah. Aku akan menemanimu, tapi tidak sekarang. Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."

Ryan melompat kegirangan mendengar keputusan itu. "Percayalah, sobat! Kau nggak akan menyesal! Kita bakal bersenang-senang!" Ryan berseru, hampir melonjak di tempat.

Ryan berjalan menuju meja Logan, dengan santai mengambil kotak bekal yang diberikan Anastasia. Ia tahu betul makanan itu tak akan pernah sampai ke tangan Logan. Lihat saja, Logan tidak pernah tertarik dengan semua usaha yang dilakukan Anastasia. Ryan memandang kotak itu sejenak, lalu dengan nada usil mulai berceloteh.

"Kau ingin memakannya?" tanya Ryan sambil mengangkat kotak itu, mencoba memancing perhatian Logan.

Logan mendongak, melihat kotak bekal yang dimaksud. Begitu menyadari itu pemberian Anastasia, ia langsung mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar Ryan segera pergi.

"Ah, kau baik sekali, sobat. Mungkin aku bisa menceritakan padamu rasanya makanan ini," kata Ryan, menggoda dengan senyum nakal di wajahnya.

Logan hanya menatap sekilas, tak peduli dengan ledekan Ryan. Dengan cepat, ia kembali fokus pada dokumennya, berusaha mengabaikan gangguan yang datang.

"Ah, seharusnya si Anastasia belajar dariku, cara menaklukkan hati Logan!" Ryan menambahkan dengan santai, sambil berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Logan yang masih duduk di mejanya, merasa berat.

Logan menatap punggung sahabatnya yang sudah hampir keluar dari pintu. "Hei!" teriak Logan, memanggilnya dengan suara lebih keras. "Kau ngomong apa tadi?"

Ryan hanya melambaikan tangan, tanpa menoleh sedikit pun. "Hahaha, hanya bercanda, sobat!"

Logan memukul meja dengan frustrasi, merasa seolah-olah hari ini adalah salah satu hari paling menyebalkan yang pernah ia alami. Tumpukan pekerjaan yang terus menumpuk, ditambah lagi dengan usaha Ryan yang tak kenal lelah untuk menariknya keluar dari kenyamanan yang begitu familiar baginya. Apa yang sedang terjadi? pikir Logan. Terkadang, semua yang dia inginkan hanyalah sedikit ketenangan. Tetapi hari ini, ketenangan itu seolah semakin menjauh.

-

Sudah genap seminggu Caca bekerja sebagai pengasuh Ray Pattinson, putra satu-satunya dari Logan Pattinson, seorang pengusaha kaya raya. Setiap harinya, Caca dihadapkan pada kemewahan yang luar biasa—sesuatu yang sebelumnya hanya ia saksikan dalam film atau bayangkan dalam dongeng. Rumah mansion megah dengan arsitektur klasik bergaya Inggris, lengkap dengan lampu gantung kristal dan meja makan panjang yang mampu menampung dua puluh orang, membuatnya terkagum sekaligus merasa kecil. Ia seperti seorang asing di dunia ini.

Caca belum sepenuhnya terbiasa dengan perlakuan istimewa yang diterimanya. Pelayan rumah memperlakukannya seolah ia adalah tamu penting, bukan seorang pekerja. Setiap hari, ia merasa canggung saat makan bersama keluarga di ruang makan utama, sementara para pelayan justru menyiapkan segalanya untuknya. Namun, Caca tahu bahwa ini adalah bagian dari pekerjaannya. Ia harus bersikap profesional meskipun hatinya masih penuh rasa gugup.

Hari ini, seperti biasa, ia duduk bersama Logan Pattinson dan Ray untuk makan siang. Suasana sunyi mendominasi ruangan, hanya diisi oleh denting halus sendok dan garpu yang bertemu piring. Caca mencuri pandang pada Ray, yang tampak asyik dengan makanannya, lalu mengalihkan pandangan ke Logan yang duduk di ujung meja. Pria itu begitu tenang, tapi ada aura dingin yang sulit ditembus.

"Bagaimana hari-harimu dengan Ray?" Suara Logan memecah keheningan, nada bicaranya terdengar serius namun tidak terlalu dingin.

Caca hampir tersentak. Pertanyaan itu datang tiba-tiba, membuatnya sedikit gugup. Ia mengatur napas sejenak sebelum menjawab, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya berdebar. "Baik, Tuan Pattinson," jawabnya singkat. Namun, ia segera sadar bahwa jawaban itu terlalu datar. Ia menambahkan, "Meskipun awalnya Ray tampak sulit didekati, dia sudah mulai membuka diri. Dia anak yang baik dan menyenangkan."

Logan mengangguk perlahan, ekspresinya tetap datar, namun matanya sedikit melembut saat mendengar nama anaknya disebut. Ia tidak langsung menanggapi, hanya kembali memindahkan potongan kecil steak ke piringnya. Caca berusaha menebak pikirannya, tetapi pria itu sulit dibaca. Sosoknya yang tinggi, wajahnya yang tampan dengan rahang tegas, serta mata biru yang tajam seakan menciptakan kesan dingin yang tidak bisa ditembus.

Namun, sesaat kemudian, Caca melihat sesuatu yang berbeda. Ketika Logan menunduk untuk mengambil segelas air, ada raut kesedihan samar yang terlukis di wajahnya. Hal itu membuat Caca ingin bertanya, tetapi ia menahan diri. Ini bukan urusannya.

"Ray memang tidak mudah didekati," kata Logan akhirnya, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. "Tapi aku senang dia bisa merasa nyaman denganmu."

Pernyataan itu membuat Caca sedikit lega. Setidaknya, ia tahu usahanya selama ini tidak sia-sia. "Terima kasih, Tuan Pattinson. Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik untuknya," jawabnya sambil tersenyum tipis.

Logan mengangkat pandangannya, menatap Caca dengan mata birunya yang tajam. "Teruskan apa yang kamu lakukan. Itu sudah cukup."

Caca mengangguk pelan, merasa ada beban kecil yang terangkat dari pundaknya. Namun, ia masih bertanya-tanya tentang kesedihan yang sempat ia lihat di wajah pria itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dingin dan kaku Logan Pattinson, sesuatu yang mungkin berkaitan dengan masa lalunya atau kehidupan pribadi yang tidak pernah ia ungkapkan.

Logan melirik putranya sejenak, lalu kembali menunduk ke makanannya. Namun, sudut bibirnya sedikit melengkung, seolah senyum kecil itu tak bisa sepenuhnya ia tahan. Mungkin, bagi Logan, kebahagiaan Ray adalah satu-satunya hal yang mampu menghangatkan dunianya yang dingin.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!