"I-itu milikku, Bang."
Angga menoleh pada sumber suara yang tidak jauh darinya, suara yang terdengar sedikit lemah dan ragu.
"Ini milikmu?" Angga menunjukkan jepit ramput yang dia temui di teras rumah Sintya, tunangannya.
Jepit ramput berwarna hitam yang tergeletak di dekat kakinya itu kini berpindah pada tangan kekarnya, Angga pikir jepit rambut tersebut milik Sintya, karena Sintya juga suka sekali memakai jepit ramput. Dan seingat Angga, dia pernah membelikan jepit rambut persis dengan yang dia pegang itu beberapa minggu lalu.
"Kenapa ini bisa jadi milikmu?" tanya Angga lagi. "Harusnya ini milik Sintya, bukan milikmu."
Jepit rambut yang Angga belikan untuk Sintya saat mereka pergi jalan-jalan beberapa minggu yang lalu, Sintya mengatakan jepit rambut ini akan dia pakai sampai dia benar-benar bosan atau bahkan sampai jepit rambutnya rusak.
Chaya, dia mendapatkan jepit rambut itu dari Kakaknya. Chaya tidak tahu jika jepit rambut tersebut hasil dibelikan oleh tuangan Kakaknya. Jepit rambut itu Chaya temukan di dapur, saat Chaya menanyakan pada Kakaknya, Kakaknya bilang sudah tidak suka lagi dengan jepit rambut tersebut. Tanpa ragu Chaya mengambilnya, Chaya sangat bahagia karena bisa mendapatkan barang baru, barang cantik dan barang yang hampir tidak pernah dia miliki. Bukankah, bekas Sintya akan berpindah tangan padanya? Mana pernah Chaya mendapatkan barang kecuali itu bekas Kakaknya.
"Aku ... aku dapatkan itu di atas meja dapur," jujurnya. Chaya paling tidak bisa berbohong. "Aku mengambilnya dan memakainya."
"Dia mengambil yang bukan miliknya!" bentak Sintya yang tiba-tiba saja sudah berada di dekat Chaya, matanya melirik tajam pada Chaya. Ah, Chaya kena lagi. "Dia memang tidak punya sopan santun, Sayang. Dia juga suka iri terhadapku, apa yang aku punya, pasti harus jadi milik dia."
"Aku pikir kamu yang berikan pada dia, siapa tahu saja kamu sudah tidak suka dengan jepit rambut tersebut."
Angga memang tidak suka dengan Chaya, meski status gadis itu adalah calon adik iparnya. Menurut Angga, Chaya terlalu polos, terlalu lemah. Apalagi Angga sering mendapatkan cerita dari Sintya dan kedua orang tuanya jika Chaya memiliki sifat pendendam dan iri hati. Angga benar-benar tidak suka padanya.
Sintya mendekati tunangannya itu, dia mengelus pundak Angga dengan manja. Sintya menaruh kepalanya di bahu Angga, Angga sama sekali tak risih. Sedangkan Chaya, dia sudah biasa menyaksikan kemesraan dua sejoli ini di hadapannya. Dia tidak masalah. Yang jadi masalah kenapa harus dia yang jadi korban lagi, jelas-jelas Kakaknya sudah bilang tidak suka dengan jepit rambut tersebut.
"Mana mungkin aku tidak suka dengan pemberianmu, kamu tahu sendiri aku suka sekali dengan jepit rambut, apalagi jepit rambut itu dari kamu." Sintya memang pintar sekali mengambil hati Angga. "Kalaupun harus rusak, aku tidak sampai hati membuangnya, Sayang."
"Lain kali jangan sampai barangmu diambil sama dia," Angga menunjuk dengan dagunya ke arah Chaya. Chaya hanya diam, membalaspun dia tak bisa. "Kalau dia tidak bisa berlaku sopan, setidaknya kamu harus tegas, mana barangmu, mana barang dia. Jangan biarkan dia ngelunjak."
Kata-kata Angga hanya bisa Chaya telan tanpa bisa memberi perlawanan.
"Aku tidak bisa lama-lama, kamu tahu sendiri seperti apa sibuknya aku. Aku ke sini cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja, aku tahu kamu sekarang lagi mens, jadi aku bawakan kamu coklat."
"Kamu baik sekali, Sayang. Tanpa diminta kamu sudah tahu apa yang aku mau," puji Sintya.
....
"Non, makan dulu ya, habis itu minum obat."
Bik Minah datang menemui Chaya yang terbaring lemah di ranjangnya, dengan sepiring nasi lengkap dengan lauknya Bik Minah mendekati Chaya. Dengan sekuat tenaga pula Chaya berusaha untuk duduk. Sejak pagi hari, badannya terasa sangat lemas, padahal dia tidak pernah absen minum obat. Bisa dibilang hidupnya hanya di habiskan untuk minum obat dan berbaring di kamar.
" Hari ini gimana kabarnya, Non?" Tanya Bik Minah peduli. Dari tiga pembantu di rumahnya, bisa dibilang Bik Minah yang paling peduli padanya. Mungkin karena Bik Minah adalah orang yang paling lama merawat Chaya. Bik Minah juga orang yang paling dekat dengan Chaya, melebihi keluarganya sendiri.
"Yah, seperti ini, Bik. Tidak ada yang benar-benar baik."
Setiap kali Chaya mengatakan keadaannya, Bik Minah merasa sangat teriris hatinya. Chaya berjuang dengan penyakit leukimia dari dia berusia 2 tahun, Bik Minah tahu betul bagaimana keadaan Chaya. Dia tidak pernah baik-baik saja. Seandainya, keluaganya benar-benar peduli, sayang mereka hanya peduli pada Sintya, anak pertama mereka. Bahkan, Chaya seperti bukan anak kandung. Mereka memperlakukan Chaya seperti orang lain.
"Sepertinya harus minum obat biar bisa sedikit lebih seger," ucap Bik Minah menghibur. Padahal, dia sendiri selalu khawatir melihat wajah pucat Chaya dan juga tubuh lemahnya.
"Perasaan sama saja, Bik. Dari kecil aku nggak pernah nggak minum obat, tapi gini-gini aja."
"Hus, nggak boleh ngomong gitu. Allah tidak suka sama orang yang mudah menyerah."
"Iya, aku tahu," Chaya berusaha memaksakan diri untuk tersenyum. "Yang lain sudah makan?"
Yang lain yang Chaya maksud itu adalah keluarganya, bisa dibilang Chaya jarang makan bersama di meja makan bersama mereka. Chaya lebih sering makan di kamar atau paling tidak dia makan bersama para pembantu dan para supir di dapur. Orang tuanya sering tidak suka jika Chaya ikut makan bareng mereka.
"Belum, Papa belum datang, Mama juga belum pulang arisan. Kalau Kakak sepertinya dia tidak keluar kamar sejak masuk kamar habis disamperin Mas Angga, Non. Kakak kan biasa gitu kalo lagi mens."
"Oh, gitu."
"Iya, sekarang Non makan dulu. Habis itu obatnya di minum."
Chaya mengangguk lemah
....
Chaya Bagaskara, nama yang Chaya dapatkan dari keluarganya. Meskipun mereka tidak peduli padanya, setidaknya dia masih memiliki nama 'Bagaskara' di belakang namanya. Satu-satunya yang bisa dia banggakan saat ini.
Nama Chaya sendiri memiliki arti bayangan, Chaya berasal dari bahasa Yunani, setidaknya itu yang Chaya ketahui dari Neneknya. Yang memilih nama Chaya memang neneknya, menurutnya nama itu sangat pas untuk putri kedua seorang Arif Bagaskara, Chaya akan selalu ada untuk mereka sebagaimana bayangan yang selalu ada untuk setiap manusia. Lebih dari itu, neneknya berharap Chaya mampu menarik seluruh kasih sayang dari keluarganya, mampu menopang kemakmuran keluarganya.
Sayangnya, saat neneknya meninggal sejak Chaya berusia 10 tahun, nama Chaya sendiri semakin tergambar pada diri Chaya. Neneknya mungkin lupa bahwa bayangan memang selalu ada di setiap manusia, tapi manusia sendiri bahkan tidak peduli dengan bayangan mereka. Mereka tidak pernah benar-benar memperhatikan keberadaan bayangan mereka, bahkan mungkin mereka menganggap bayangan itu tidak ada. Seperti itulah Chaya di mata keluarganya saat ini.
Chaya keluar dari kamar mandi dengan sedikit sempoyongan, dia baru saja memuntahkan makan malamnya. Tubuhnya lebih sering menolak makanan yang dia makan, sehingga tubuhnya semakin ringkih dan lemah.
"Tuhan, aku tidak apa-apa. Aku baik kok, aku hanya sedikit lelah. Kalau boleh, malam ini aku ingin tidur dengan tenang." Chaya bermonolog.
Bisa dikatakan itu adalah sugesti terbaik untuk dirinya ketika penyakit ganas itu berusaha untuk meruntuhkan kekuatan tubuhnya. Chaya masih bisa memeluk tubuhnya sendiri di tengah keterbatasannya. Dia tidak ingin menyerah.
"Aku kuat, Tuhan," ulangnya.
Pusingnya tak reda juga, dia berusaha mencari obat di dalam laci samping tempat tidurnya. Tidak sulit, dia mengambil beberapa obat yang dikhususkan untuknya. Dari saking terbiasanya, dia mampu menelan obat tanpa perlu bantuan air.
"Tuhan, bantu aku tidur dengan tenang," sugestinya lagi. "Besok ada hari yang lebih cerah untuk kunikmati. Bantu aku, Tuhan."
Chaya selalu berharap esoknya dia masih diberikan waktu untuk membuka mata dan menikmati hari-harinya dengan baik. Karena dengan keadaannya, Chaya tidak tahu kapan waktunya tiba-tiba terhenti.
"Di mana anak itu?"
"Kata Bi Minah dia di kamar, lagian anak itu juga nggak pernah ke mana-mana. Tumben sekali kamu menanyakan anak itu?"
Arif dan Mayang adalah kedua orang tua Chaya dan Sintya, orang tua yang tidak pernah memperlakukan Chaya sama dengan Sintya. Mereka menganggap Chaya hanyalah patung di rumah ini. Tidak pernah menganggap keberadaan Chaya, satu-satunya kepedulian mereka terhadap Chaya adalah tentang pengobatan penyakit Chaya, meski tidak peduli terhadap Chaya, mereka masih mau membelikan obat-obatan yang dibutuhkan Chaya.
"Apa kata dokter kemarin? Kamu kan yang antar dia chek-up," ujar Arif pada istrinya.
"Bukan, yang antar Pak Naryo. Aku nggak tahu hasilnya. Aku bilang sama dokter agar hasilnya di kirim melalui email saja. Aku belum dapat emailnya," jawab Mayang. Tangannya masoh sibuk merias diri.
"Belum dapat atau belum kamu cek?"
Mayang yang sedang merias diri karena sebentar lagi dia akan ikut suaminya bertemu dengan klien tampak tak suka dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut Arif suaminya, seperti tuduhan.
Dengan tetap tak bergeming di depan kaca rias, Mayang menjawab apa yang suaminya tanyakan. "Harusnya kamu tidak perlu menanyakan hal itu, kamupun sudah tahu apa jawabannya."
Arif mengangguk mendengar jawaban dari Mayang, yah lagi pula mereka juga sama-sama tidak peduli terhadap Chaya. Mereka tidak pernah menginginkan keberadaan Chaya. Sejak adanya Chaya, rencana mereka untuk menjadikan Sintya pewaris tunggal di keluarga ini berantakan. Chaya ada karena keteledoran mereka.
"Kamu sudah siap?" Tanya Arif mengalihkan pembicaraan. Membahas soal Chaya membuat mereka mumet, padahal masih banyak pekerjaan yang lebih penting untuk mereka urusi. "Jangan lama-lama, klien kita yang ini sangat on time."
"Tunggu sebentar, aku sedang memasang anting yang kamu belikan pas ulang tahun pernikahan kita. Sayang sekali jika anting ini dibiarkan nganggur. Kamu membeliku tentu tidak murah kan, sayang?"
"Aku tidak pernah membelikan barang murahan untuk orang yang aku sayang."
"Aku mengerti."
Setelah siap, keduanya turun ke meja makan. Jam menunjukkan pukul 8 lewat lima belas menit. Mereka akan bertemu klien jam 10 nanti, namun karena jakarta yang super macet mengharuskan mereka berangkat lebih awal. Arif sengaja tidak berangkat dari kantor karena semalam Mayang sudah mewanti-wanti agar mereka berangkat bersama.
"Kami tidak sarapan pagi ini, namun untuk menjaga-jaga, tolong siapkan bekal kami di jalan, kami takut macetnya cukup lama," perintah Mayang pada salah satu pembantunya.
Tepat saat Mayang dan Arif menunggu bekal yang diminta disiapkan, Sintya putri kesayangan mereka baru saja turun dari lantai atas. Penampilannya cukup rapi, dia pasti akan berangkat kerja. Pekerjaannya sebagai model yang memiliki jam kerja tak menentu terkadang membuat Sintya harus menjelaskan berulang kali pada kedua orang tuanya.
"Hari ini sampai jam berapa?"
Sintya baru saja bergabung dengan kedua orang tuanya, dia sudah mendapatkan pertanyaan klise dari Papanya.
Tangan lentik Sintya segera mengambil susu hangat yang sudah tersedia, "Mungkin sampai malam. Jadwal hari ini cukup padat," jawabnya.
Arif dan Mayang tampak tak suka dengan jawaban Sintya, mereka memang sudah biasa mendapati Sintya bekerja sampai larut malam. Tapi, untuk malam ini harusnya Sintya mengosongkan jadwal, kalaupun harus tetap bekerja, Sintya harusnya pulang lebih awal. Mereka sudah merencanakan ini jauh-jauh hari.
"Kamu tidak lupa kan nanti malam ada apa?" ucap Mayang mengingatkan.
Satu potong roti tawar dengan selai kacang kesukaannya sudah habis, Sintya tak niat menambah.
"Ya, aku ingat."
"Lalu?"
"Akan aku usahakan pulang lebih cepat," ujar Sintya, tapi kedua orang tuanya tak yakin dengan apa yang Sintya katakan. "Jam 8 malam kan?"
"Papa harap kali ini kamu bisa dipercaya."
....
Malam ini adalah malam yang Angga tunggu-tunggu, pertemuan keluarga antara keluarga Angga dan juga keluarga Sintya. Mereka tunangan sudah hampir tiga tahu, dan ini adalah saat-saat yang Angga sangat nantikan. Tapi, kali ini wajah Angga tampak tak tenang, bagaimana dia bisa tenang jika kedua orang tuanya dan juga orang tua Sintya sudah berkumpul sedangkan Sintya tak tampak batang hidungnya.
"Kemana, Sin," gumam Angga jengah, dia menahan emosinya agar tak meledak malam ini.
Sintya tak bisa dihubungi, ponselnya tak aktif. Angga tahu jika Sintya hari ini ada pemotretan, jadwalnnya sangat sibuk dan padat. Sebenarnya, mereka sempat berdebat, Angga yang meminta Sintya mengosongkan jadwalnya malam ini membuat Sintya marah. Sintya beralasan jika dia sudah jauh-jauh hari menaruh jadwalnya, tidak segampang itu mengotak-atik. Perdebatan mereka berakhir dengan kesepakatan jika Sintya akan pulang lebih awal, begitu juga penuturan kedua orang tua Sintya tadi, Sintya akan pulang lebih awal. Namun, ini apa? Sintya bahkan tak bisa dihubungi.
"Apa tetap tak bisa dihubungi?" suara berat dan tegas menyapa telinga Angga.
Angga membalikkan badannya, emosinya dia tahan betul-betul.
"Belum bisa, Pa," jawabnya.
Raut kecewa tampak dari wajah Papa Sintya yang juga telah Angga anggap Papanya sendiri. Perjodohan antara dirinya dan Sintya mungkin perjodohan bisnis, Papinya menginginkan Angga berjodoh dengan Sintya karena Papa Sintya menjanjikan beberapa proyek dan saham, mereka berteman bisnis cukup lama. Meski Angga dan Sintya dijodohkan karena urusan bisnis, tapi keduanya sama-sama saling suka, saling cinta, dan saling ingin memiliki, karena jauh sebelum adanya perjodohan, mereka sudah bersama.
"Padahal dia sendiri yang bilang tadi pagi, dia akan pulang lebih awal."
"Mungkin pekerjaannya belum selesai, kita tunggu saja," ujar Angga. Sejujurnya, dia juga sangat kecewa, karena pertemuan malam ini adalah pertemuan penting, mereka akan membahas soal pernikahan keduanya yang sudah di depan mata.
"Untung Sintya mendapatkan orang sepertimu, tidak dibayangkan jika orang lain yang jadi tunangannya. Sintya tidak pernah mau berubah."
"Aku tidak apa-apa, Pa. Sintya begini juga karena dia masih ada pekerjaan yang belum selesai, kita juga harus memahami dia, memahami pekerjaan dia."
"Sudah lama Papa minta Sintya berhenti dari pekerjaannya ini. Biar dia gabung di perusahaan Papa yang mana pun, tapi kamu tahu dia, sama sekali dia tidak menggubris omongan Papa."
Angga memaksakan senyumnya. Sintya benar-benar keras kepala, selama ini Angga selalu mengalah demi Sintya, demi rasa cintanya. Terkadang, Angga merasa Sintya tidak benar-benar mencintainya, tapi secepat mungkin Angga menepis pikiran buruk semacam itu. Mana mungkin Sintya tidak mencintainya, bukankah Sintya yang jatuh cinta lebih dulu?
"Ayo kita tunggu Sintya di dalam saja, mungkin sebentar lagi dia datang."
"Iya, ayo, Pa."
.....
"Bi, Papa sama Mama ke mana kok nggak ada?" tanya Chaya.
Setelah seharian hanya berbaring di atas ranjangnya, Chaya memberanikan diri turun dari kamarnya, Chaya ingin makan malam di dapur bersama para pembantunya.
"Non Chaya nggak tahu?" tanya Bik Mamut sewot, dia sejak awal terlihat kurang suka dengan Chaya.
"Dia tidak tahu, makanya dia tanya," balas Bik Minah dengan sewot pula. Bukan, bukan sewot pada Chaya, Bik Minah membalas sewot pada Bik Mamut. Bik Minah sudah beberapa kali memperingati Bik Mamut agar bersikap sopan pada Chaya, bagaimanapun Chaya juga majikan mereka.
"Gimana mau tahu, orang dari pagi ngurung diri di kamar."
"Heh! Yang sopan, ya, kalo ngomong. Siapa juga yang mau ngurung diri di kamar seharian kalau bukan karena sakit. Awas aja kamu sakit, tak suruh kamu tetap kerja," Bik Minah tetap tak mau kalah.
Chaya tak ambil hati omongan Bik Mamut, dia sudah biasa dengan sikapnya. Chaya penasaran ke mana perginya kedua orang tuanya, apa ada urusan bisnis lagi? Lagi pula, mereka banyak sekali urusannya, beda dengan Chaya yang mengurusi penyakitnya yang tak kunjung sembuh.
"Papa dan Mama lagi ada pertemuan sama keluarga Den Angga, Non. Mereka sedang merapatkan pernikahan Non Sintya dan Den Angga," Bik Minah menjelaskan dengan lembut.
Ah, Chaya lupa jika Kakaknya akan segera menikah. Terkadang Chaya merasa sangat iri dengan Sintya, dia bisa mendapatkan perhatian kedua orang tuanya, dia mendapatkan pasangan yang sempurna dan begitu mencintainya. Kehidupannya penuh dengan rasa cinta. Sedangkan Chaya? Ah, untuk apa dibandingkan. Diberi kesempatan untuk hidup sampai saat ini saja Chaya sudah sangat bersyukur.
"Aku mau makan, Bi," ucap Chaya memberitahu tujuan awal dia pergi ke dapur.
Sebenarnya, lidahnya terasa getir dan hambar. Tapi kalau tidak dipaksakan makan, Chaya bakal dapat kekuatan dari mana?
"Ayo, Non, kita makan sama-sama. Mumpung kita di sini pada belum makan. Non, mau makan apa? biar Bibik siapkan."
"Apa yang ada saja, Bi."
"Bapak ikut makan, ya, Non," sambung Pak Naryo yang baru datang.
Chaya sangat bahagia, makan bersama mereka adalah kebahagiaan baginya. Bahagia yang sederhana.
"Aku nggak ikut makan deh, nggak napsu. Mending makan entaran aja, siapa tahu dibawakan makanan sama Tuan dan Nyonya," ucap Bik Mamut tetap dengan nada sewotnya.
"Nggak usah makan juga nggak apa-apa," balas Pak Naryo dan Bik Minah kompak.
"Nggak punya mata?"
Sintya terlihat sangat marah ketika Chaya tanpa sengaja menubruk tubuhnya, Chaya sama sekali tak berniat untuk menubruk Sintya. Hanya, Chaya tidak mampu mengontrol tubuhnya yang lemah.
"Gue udah berdiri di sini dari tadi dan lo masih nggak liat gue? Lo sakit mata juga?" Sekali lagi Sintya membentak Chaya.
Malam ini Chaya merasakan haus yang teramat sangat, mungkin efek pusing sejak tadi, Chaya juga sudah minum obat tapi pusingnya tak reda. Chaya turun dari lantai atas guma untuk mengambil air, air minumnya habis sedangkan Chaya sangat kehauasan. Meskipun tubuhnya sedang lemah, Chaya paksakan karena hausnya yang tak bisa ditunda.
"Maaf, Kak. Aku liat kok ada Kakak di situ," jawab Chaya lemah. Chaya tak ada tenaga jika harus beradu argumen dengan Kakaknya kali ini. "Aku lagi lemes aja, aku nggak sengaja nubruk Kakak karena badan aku nggak bisa dikontrol."
Sintya mendengus kesal. Malam ini Angga mendiaminya, sekarang dia juga harus bertemu dengan penghuni rumah yang paling tidak dia sukai. Ya, Sintya tidak suka dengan Chaya.
"Apapun alasannya, lo nggak bisa seenaknya nubruk gue. Lo tahu gue ini model terkenal, kalau sampai gue lecet dan kenapa-kenapa lo mau tanggung jawab, hah?"
Chaya membalas dengan gelengan kepala, dia sudah tidak ada tenaga untuk mendebat Kakaknya.
"Ah, gue lupa. Lo bertanggung jawab sama diri lo sendiri aja nggak bisa, gimana mau bertanggung jawab sama orang lain," ujar Sintya menohok.
"Gue sampe mikir, gunanya lo idup itu apa? Gunanya lo bertahan sampai sekarang itu apa? Lo sakit, tapi herannya tuhan kayak enggan cabut nyawa lo. Atau karena lo setidak berharganya sampai tuhan aja lupa kalo di dunia ini ada lo yang idupnya sekarat?"
Kata-katanya menyakitkan, Chaya sudah biasa mendapatkan kata-kata itu, tapi tetap saja rasanya menyakitkan. Chaya tidak pernah benar-benar kuat menahan setiap cacian yang keluar dari mulut anggota keluarganya, dia hanya berpura-pura kuat agar tak ada yang memikirkan soal perasaannya. Dibanding dengan sakit yang dia derita, cacian dari keluarganya lebih menyakitkan dari apapun.
Hampir saja air matanya jatuh, tapi sekuat mungkin Chaya menahannya. Dia berusaha untuk tersenyum, seolah cacian itu hanya omongan biasa yang tidak berarti apa-apa.
"Mau nangis ya nangis aja kali," Sintya menyadari jika ucapannya barusan cukup keterlaluan, tapi sama sekali dia tidak menyesal. "Lagian lo mau nangis darah juga gue nggak peduli. Bukan hanya gue, bokap sama nyokap juga nggak akan peduli."
Apa yang dikatakan Sintya tidak semuanya salah, mungkin Chaya memang tidak berharga untuk siapa-siapa sampai tidak ada yang peduli terhadap dirinya dan perasaannya.
"A-ak-aku mau ambil minum." Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya setelah cacian yang cukup menguliti hatinya keluar dari mulut sang kakak. "Kakak ngapain ada di sini malem-malem? Harusnya Kakak sudah tidur, begadang nggak baik untuk kesehatan Kakak."
"Orang penyakitan dilarang sok menggurui orang yang sehat! Mending lo diem."
"Soal tadi, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja."
Sintya tak menggubris.
Chaya melanjutkan langkahnya menuju dapur yang sudah gelap, pasti para penghuni dapur sudah pada tidur. Jam menunjukkan hampir dini hari, pantas saja penghuni dapur sudah tidur, karena seharusnya Chaya juga sudah tidur. Sayang, badannya malam ini tak bersahabat, butuh waktu yang lebih untuk negosiasi dengan tubuhnya agar tenang dan bisa diajak tidur.
"Akhirnya kamu angkat telpon aku juga, Sayang. Dari tadi aku tuh khawatir."
Chaya yang belum melangkah terlalu jauh dari tempat Sintya berdiri mendengar jelas jika Sintya tengah berbicara, seperti tengah berbicara dengan seseorang di telpon. Chaya menoleh untuk memastikan. Benar saja, Sintya terlihat sangat bahagia dengan telpon menempel pada telinganya.
"Aku minta maaf, aku tahu aku salah, tapi kamu harus ngertiin aku, Sayang."
Suara Sintya sangat lembut, berbeda dengan cara bicaranya barusan pada Chaya.
"Pekerjaan aku belum selesai, aku tidak bisa pergi begitu saja kalau pekerjaan aku belum selesai. Jangan marah, Sayang. Aku nggak bisa tidur kalau kamu marah kayak gini."
Perbedaan antara Chaya dan Sintya, Chaya tidak bisa tidur karena penyakitnya yang tidak bisa diajak kompromi, sedangkan Sintya tidak bisa tidur karena sedang marahan dengan Angga. Sangat jauh sekali, tapi Chaya akan terus mensyukuri apapun yang ada dalam hidupnya.
"Drama Korea part kesekian sudah dimulai," gumam Chaya sambil terus melangkah menuju dapur.
....
"Anak Papa itu cuma kamu, Sin. Harusnya kamu bisa menjadi yang Papa banggakan. Papa tidak pernah meminta banyak, Papa nggak pernah nuntut ini dan itu sama kamu. Tapi kamu kayak gini, nggak dengerin Papa."
Ruang makan menjadi mencekam karena Arif menumpahkan kekecewaannya semalam pada Sintya. Bagaimana tidak, Sintya tak jadi datang semalam sehingga rapat tentang pernikahannya dan Angga berjalan tanpa kehadiaran Sintya.
Tampak tidak ada yang aneh dengan ruang makan yang terisi tiga orang keluarga, ada Sintya, ada Mayang dan juga Arif. Mayang dan Sintya masih diam. Tapi, yang tidak mereka lihat, di tangga ada Chaya yang mendengar semua kemarahan Arif yang tumpah untuk Sintya. Kemarahan yang nyatanya juga membuat Chaya sakit, karena dalam kalimat kemarahan Papanya mengatakan jika anaknya hanya Sintya. Lalu, Chaya ini apa? Tanpa terasa air mata Chaya menggelinding tanpa diminta. Bendungannya tak kuat, ini terlalu menyakitkan.
"Anak Papa cuma Kak Sintya," gumam Chaya sengau. "Kak, betapa bahagianya kamu memiliki rasa cinta yang penuh dari Papa dan Mama. Padahal, dibagi padaku sedikit saja tidak akan berkurang."
Sementara itu, Arif masih tak habis pikir dengan Sintya. Dia sama sekali tak terlihat bersalah. Sintya diam, tapi dia seperti tidak pernah benar-benar ingin memperbaiki diri. Untung orang tua Angga dan juga Angga memaklumi sikap Sintya. Pernikahan akan tetap terlaksana bulan depan, persiapan sudah setengah jalan.
"Apa Angga ada menghubungimu pagi ini?" Arif tak jadi marah pada Sintya, karena sepertinya percuma saja marah pada Sintya, tidak ada gunanya juga.
"Ada, kenapa, Pa?" jawab Sintya tanpa beban, padahal baru saja Papanya itu meluapkan kekecewaannya.
Sintya sangat tahu seperti apa sifat Papanya, dia tidak akan bisa marah pada Sintya. Sintya adalah anak kesayangan, apapun yang Sintya mau tidak pernah ditolak, semua terpenuhi dalam sekejap mata.
"Bukannya dia sudah bilang?" Kali ini Mayang yang bertanya.
"Bilang apa? Angga cuma mengucapkan selamat pagi dan jangan lupa sarapan," kata Sintya, kali ini dia tidak berbohong. Bahkan, setelah Sintya membalas pesannya, Angga tidak merespon lagi. Mungkin dia masih ada sedikit rasa kecewa.
"Hari ini kalian fitting baju, Papa sudah atur jadwalnya dengan designer-nya."
"Sekarang banget, Pa?" tanya Sintya tak yakin. Hari ini dia ada pemotretan sore, cuma dia tidak yakin bisa datang tepat waktu jika sudah bersama Angga. Angga tidak akan membiarkan Sintya pulang cepat jika sudah bersama. Maklum, Angga bucin berat. Membayangkan saja kadang Sintya senyum-senyum sendiri.
"Kamu pikir? Pernikahan kalian sudah bulan depan, Sintya. Ayolah, lebih serius sedikit. Satu lagi, pernikahannya tidak jadi di gedung itu. Papa, Mama dan juga orang tua Angga sepakat pernikahannya diadakan di rumah ini. Sudah tidak ada waktu untuk mencari gedung lain."
"Atur saja bagaimana baiknya menurut Papa."
Sementara Chaya, dia tetap turun tangga. Pagi ini bisa dikatakan pagi yang cukup baik untuknya. Tidak ada drama mimisan pagi-pagi, tidak ada drama pusing ataupun lemas. Chaya ingin makan bersama keluarganya, sudah lama Chaya tidak makan bareng dengan mereka.
"Selamat pagi," sapa Chaya. Chaya memasang wajah seceria mungkin.
Arif, Mayang dan Sintya melihat ke arah Chaya yang datang ke meja makan. Chaya memilih duduk di samping Sintya dan bersebrangan dengan Mayang, Mamanya.
"Aku ikut makan di sini, ya," pinta Chaya hati-hati.
Tidak ada jawaban dari tiga orang tersebut, Chaya tidak putus asa, dia tetap berusaha memasang tampang ceria. Meski pias sekali saat respon mereka acuh akan kedatangannya.
"Aku sudah lama tidak makan bareng kalian," lanjut Chaya.
Tetap tidak ada jawaban. Chaya mengambil piring dan sendok dengan hati-hati, Mayang membuang muka saat tak sengaja bertemu tatap dengan Chaya.
"Aku ada meeting sampai malam, aku mungkin pulang sedikit terlambat," ujar Arif. Tentu perkataan itu hanya ditujukan pada Mayang dan Sintya, tidak untuk Chaya. "Kalau ada yang perlu dibahas dengan Papa, kalian hubungi sekretaris saja."
"Kayak siapa aja, kita ini keluarga Papa, masak harus menghubungi sekretaris," sewot Sintya.
"Kalian harus ingat, Papa ini seorang pimpinan, selama di kantor Papa harus profesional."
"Iya deh iya, Papa pulangnya nanti lewat depan Alfaapril yang di simpang tiga itu 'kan?"
"Iya, kenapa?"
"Beliin aku batagor dong, Pa. Aku udah lama nggak makan batagor," rengek Sintya seperti anak kecil.
Sedangkan Chaya yang tidak diajak bicara berusaha menelan nasi yang telah iya kunyah. Menelan nasi rasanya sulit sekali ketika sambil melihat kebahagiaan yang juga ingin dia rasakan. Sayang, Chaya tidak pernah mendapatkan itu.
"Mau makan batagor malam-malam? Nggak takut gemuk, entar susah lagi dietnya," kelakar Papanya, dia tahu jika Sintya diet ketat untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal seperti sekarang
"Sekali doang, Pa. Boleh ya ...." Sintya mengedipkan matanya demi mendapatkan perhatian Papanya.
"Iya, apa sih yang nggak buat anak Papa ini."
"Aku juga mau, Pa," celetuk Chaya yang membuat tiga orang tersebut menoleh ke arahnya. Entah dari mana dia mendapatkan keberanian sebesar itu. "Aku juga mau batagor."
Jangan dikira mereka langsung peduli, setelahnya mereka kembali bersikap acuh. Chaya dianggap bayangan yang tidak berguna.
"Apa boleh kalau aku minta dibelikan batagor juga?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!