Terlihat, seorang wanita cantik bergaun hitam turun dari mobilnya. Tatapan matanya tertuju pada sebuah gedung pernikahan yang ada di hadapannya. Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah seringai. Sejenak, ia membenarkan letak kaca mata hitamnya yang bertengger di hidung mancungnya.
"Let's play." Gumam wanita itu sebelum menatap setangkai bunga mawar hitam yang ada di tangannya. Saat ini, ia datang ke pernikahan sang kekasih dan sahabatnya.
"Ayo Ra, aku udah siap nih!"
Wanita bernama Serra Anastasia menoleh, ia melihat sahabatnya Jenia datang dengan membawa papan bunga bertuliskan "Selamat menempuh hidup baru cangc0rang gatal!" Begitu lah kira-kira tulisannya. Serra yang melihat itu tersenyum, ia puas melihat papan yang Jenia bawa itu.
"Kamu gak papa? Dia kan teman baik mu?"
"Temen baik apa? Cuih! Gak sudi punya temen baik cangc0rang gatal kayak dia. Tahu-tahunya, kekasih temen sendiri di embaat. Emang dasar yah manusia gak tahu diri! Bumi pun rasanya mual nampung makhluk kayak dia." Greget Jenia.
Serra tersenyum, ia pun melangkah masuk dengan memegang setangkai mawar hitam di tangannya. Jenia mengikutinya dari belakang, ia sibuk memegang tiang papan bunga yang berukuran persegi panjang itu. Sampai-sampai, wajahnya tertutup papan tersebut.
Keduanya melewati papan nama sang pengantin, dan masuk ke dalam aula gedung. Ramainya orang, tak membuat keduanya merasa malu. Serra dan Jenia berjalan dengan anggun, tak peduli tatapan terkejut semua tamu undangan termasuk sepasang penganting.
Bisik-bisik tamu mulai terdengar, Serra masih tetap berjalan menuju altar sembari menatap lekat sepasang pengantin yang syok melihat keberadaan. Tak ada yang berani menghalangi jalannya, hingga Serra menaiki altar bersama Jenia dan berhenti tepat di hadapan kedua pengantin.
"Apa-apaan ini!" Sentak wanita paruh baya dengan tatapan tajam.
"Apa? Aku hanya datang sebagai kekasihnya menantumu, bukankah begitu Eric?"
Eric Bagas Arkatama, kekasih Serra itu hanya diam saat di tatapan tajam. Ia bingung, dan kaget menghadapi situasi sekarang ini. Sedangkan wanita yang baru saja dia nikahi, mendadak membisu melihat keberadaan Serra.
Serra beralih mendekati pengantin perempuan, ia lalu merangkul bahu wanita itu dan mencengkramnya dengan kuat. "Waah Tara! Lihat, kamu sungguh cantik! Harusnya kamu mengabariku jika kamu ingin menikah dengan kekasihku. Biar aku putuskan dulu dia, baru kalian menikah. Kalau begini kan kalian jadi ... tidak dapat amplop dariku. Tapi tenang saja, aku sudah membawakan bunga khusus untuk mu! Ambillah!"
"Eeh, ayo ambil!" Karena Tara tak kunjung mengambil bunga nya, Serra menarik tangan wanita itu dan memaksanya untuk menggenggam tangkai bunga mawar tersebut.
"Aaah aww!" Tara merasakan sakit di tangannya saat duri tangkai mawar itu menusuk kulit tangannya. Mendengar kesakitan Tara, para orang tua pengantin pun tak terima dan langsung membentaknya. Para tamu dan keluarga yang hadir tentu syok dengan apa yang Serra lalukan.
"APA-APAN KAMU?! WANITA TAK TAHU MALU! KENAPA KAMU MENYAKITI MENANTUKU!" Sentak seorang wanita paruh baya yang berdandan modis.
"Tante Alma, apa kamu mendadak lupa denganku? Kita pernah ke salon bersama, berbicara berdua tentang pernikahanku dengan putramu. Kenapa sekarang kamu bertanya seolah kamu tidak tahu alasanku menyakiti menantu ... mu ini." Serra melirik ke arah Tara yang masih meniup tangannya lantaran perih terkena duri tangkai bunga mawar itu.
"Heh! Jangan salahkan putraku! Salahkan dirimu sendiri yang ...."
"KAAAU!" Eric menarik tangannya turun dari Altar. Jenia yang asik berpose di tengah altar sembari memegangi papan bunga itu pun mendadak panik melihat sahabatnya di tarik begitu saja.
"HEH KADAL KREDIT! SAHABATKU MAU KAMU BAWA KEMANA HAAH?!" Teriak Jenia. Ia tadinya akan mengejar, tetapi tak mungkin membawa papan bunga itu. Jadilah, ia memberikannya pada Tara dan menatap penuh peringatan padanya.
"Pegaaang! Aku bayar mahal nih buat beli ginian doang demi cangc0rang kayak situ!"
"Jen ...,"
"Aku benar-benar gak nyangka, jika kamu bisa diam-diam menjerat kekasih sahabatmu sendiri. Tabur tuai tuh ada, selamat menanti balasan!" Jenia mengangkat sedikit gaunnya agar lebih mudah berjalan.
"YUHUUU SERAAA AKU DATAAANG!" Seru Jenia dan turun dari Altar untuk mencari keberadaan Serra.
Sementara itu, Eric membawa Serra ke belakang altar. Merasa cengkraman Eric lumayan kuat, Serra mencoba untuk menariknya. Namun, ia merasa kesulitan.
"Lepaskan!" Serra membentak Eric.
"Kita sudah berakhir Serra! Kita berakhir sejak kamu mengatakan pilihanmu untuk childfree! Kenapa kamu begitu egois? Aku butuh penerus! Aku ingin memiliki anak! Tapi pilihanmu membuatku memilih menikahi Tara di bandingkan menikah denganmu!" Sentak Eric dengan tatapan tajam.
Serra menatap benci ke arah Eric, "Kalau begitu, kenapa harus sahabatku?! Kenapa?! Kenapa kamu memilih sahabatku?! Banyak wanita lain kenapa harus sahabatku?! Kamu benar-benar br3ngsek!"
"Diam! Serra, aku lakukan ini untuk kita! Untuk kita! Jika kamu ingin childfree, aku akan menerimanya. Aku bisa mendapatkan anak dari Tara dan kita masih berhu ...."
PLAK!!
"Dengan kamu menikah dengannya, kita berakhir Eric. Aku tidak mau berbagi! Lepaskan!" Serra menarik tangannya yang masih di genggam oleh Eric. Ia lalu berbalik dan berniat pergi dari sana.
"KARENA PILIHANMU ITU, TIDAK AKAN ADA YANG MAU MENIKAH DENGAMU SERRA! PEGANG KATA-KATAKU! SEHARUSNYA KAMU MERASA BANGGA JIKA AKU MASIH MAU ...,"
BUGH!
"Makan tuh bangga!" Serra melempar sepatu heels nya dan tepat mengenai mulut Eric. Ia lalu berjalan cepat menuju pintu keluar dengan hanya memakai satu sepatunya.
"RAAA TUNGGUIN!" Jenia mengejar Serra, sedikit kesulitan sebenarnya karena gaun yang ia pakai memang sangat heboh.
Eric mengusap bibirnya yang terkena lemparan maut Serra. Ia menunduk, menatap sepatu heels milik wanita itu. Ia mengenalinya, sebab dirinya lah yang membelikannya. Perlahan, Eric meraihnya. Ia jadi teringat saat peringatan dua tahun hari jadi mereka, itulah hadiah yang dia berikan. Nyatanya, sekarang sudah tak ada lagi tentang mereka.
"Eric, ada apa ini? Kata mama mu ada wanita gila yang datang?" Seorang pria paruh baya datang menghampiri putranya yang memegang sebuah sepatu. Dia baru saja kembali dan justru mendapati situasi yang berantakan.
"Yah, hanya orang aneh saja." Ucap Eric berusaha semaksimal mungkin menutupi kebenaran yang terjadi. Karena tentang dia dan Serra, hanya mama nya saja yang tahu.
.
.
.
Sedangkan di sisi lain, terlihat seorang pria yang tengah menunduk dalam sembari kedua tangannya memegang kertas dan meremasnya secara perlahan. Tubuhnya bergetar, tatapannya terlihat nanar. Kertas yang dirinya pegang, menunjukkan sesuatu hal yang seolah menghancurkan hidupnya.
“Tuan Dean, anda terkena Azoospermia. Dimana, pengidapnya akan sulit memiliki anak lantaran tidak adanya sp3rma dalam air ma.ni."
Degh!!
“Saya ... Mandul maksudnya dok?” Suaranya terdengar bergetar, matanya terlihat berkaca-kaca. Kenyataan itu, sungguh mengguncang dirinya.
"Azoospermia merupakan salah satu penyebab kemandulan pada pria."
Dean Zavion tak menyangka jika akan mendapatkan ujian ini. Dia tidak tahu, mengapa dirinya bisa mendapatkan hal bu.ruk tersebut. Awalnya dia hanya ingin mengecek kesehatannya dan kesuburannya sebagai seorang pria. Berniat, dalam waktu dekat dia akan menikahi seorang wanita. Namun ternyata, apa yang dokter Katakan menghancurkan harapannya.
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Dean beranjak pergi dari ruangan dokter itu tanpa menunggu penjelasan lain. Ia berjalan lunglai di koridor rumah sakit, menatap lemah ke arah lantai. Dia tidak tahu lagi harus apa atau bagaimana.
Dertt!
Dertt!
Ponsel Dean berdering, ia lalu menatapnya dan melihat nomor tanpa nama yang sangat ia hafal. Lalu, ia pun mengangkatnya dan mencoba untuk tetap tenang.
"Dean ...,"
"Aku tidak mau melanjutkan proses perjodohan itu Ma,"
"A-apa? Tapi Dean ...." Dean mematikan sambungan telepon itu. Ia kembali menatap hasil rekam medisnya.
"Siapa yang mau menerima pria mandul seperti ku? Jika pun ada, aku tidak mau mengorbankannya jika nantinya dia menikah denganku dan tak memiliki keturunan. Wanita mana yang tidak mau memiliki anak setelah menikah? Aku tak ingin egois." Batin Dean.
___
Hai Hai Hai, ketemu lagi kitaa🥳
Jangan lupa dukungannya yah kawan😉 bocil cadel? Adaaaa, setelah ini yah🤓
Serra mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia begitu emosi saat ini karena perkataan Eric tadi. Jenia sampai tak bisa mengeluarkan suara, ia mencengkram erat pegangan kursi dan memejamkan matanya. Ia merasa, nyawanya akan hilang setelah ini.
"Kurang ajar si Eric itu! Kadal bu.suk dasar! Seenaknya dia ngajak aku buat jadi simpanannya! DIa pikir aku ini wanita macam apa hah?!" Kesal Serra.
"Ra, jodohku masih nyangkut di lain hati. Tolonglah, jangan kayak gini." Cicit Jenia, ia mencoba membuka matanya dan melirik ke arah sahabatnya itu.
"Kalau dia gak setuju yaudah! Tinggal putus, kenapa harus nikah diam-diam. Biar aku mau gitu jadi selingkuhannya? Dasar orang gilaa!" Greget Serra
Jenia meneguk kasar lud4hnya, ia menutup mulutnya saat merasakan mual di perut nya. "Serra, aku mual."
"Hah?! Bentar, bentar. Ada minimarket di depan." Serra menghentikan mobilnya tepat di depan mini market yang tadi ia tunjuk.
Setelah mobil terhenti, bergegas Jenia turun. Sebelum menutup pintu, ia berbalik dan menatap ke arah Serra. "Pulang duluan sana, aku mau naik ojek aja."
"Beneran?" Tanya Serra ragu.
"Beneraaan! Aku gak mau naik mobil orang putus cinta! Bisa ma.ti k0ny0l! Udah sana, nanti malam kita video call aja!"
"Ooh oke." Serra melajukan mobilnya kembali. Meninggalkan Jenia yang berada di minimarket itu.
"Eh, aku lupa minta tagihan bayaran tuh papan bunga sama pasangan kadal itu! Mana lumayan lagi, buat beli seblak seminggu." Gumam Jenia sembari menepuk keningnya.
Sementara itu, Serra masih menyetir mobilnya menuju rumahnya. Ia menatap jalanan dengan mata berkaca-kaca. Sejenak, Serra mencoba menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Tak ada yang mau menikah denganmu!"
"Tak ada yang mau menikah denganmu!"
"Tak ada yang mau menikah denganmu!"
"ARRGHH!" Serra melempar kaca matanya, ia mencoba memukul kepalanya agar suara bising itu tak lagi dia dengarkan.
"Memangnya menikah bagian penting dalam hidupku?! Tidak! Cinta? Cinta itu bisa ma.ti kapan saja, ayolah ... ngapain bersedih karena pria seperti dia. Tinggal buka lagi penangkaran buaya yang sempat di tutup." Gumam Serra sembari menarik sudut bibirnya.
Serra melakukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tadinya ingin pulang ke rumahnya, tetapi jalanan tiba-tiba macet. Tak ada sama sekali ruang, bahkan mobil di depannya tak bergerak sama sekali. Serra pun lalu membuka kaca mobilnya, ia bertanya pada penjual minuman yang berdiri di pembatas jalan.
“Pak, ada apa ini? Kok macet?” Tanya Serra.
“Di depan ada kecelakaan neng.”
“Ooh gitu, ya sudah makasih Pak!” Serra kembali menutup jendela mobilnya. Sejenak, ia berdiam diri dan menatap sekitar.
“Lewat gang aja deh.” Serra melihat sebuah gang dengan ukuran jalan yang bisa di masuki oleh dua mobil. Takut macetnya akan memakan waktu lama, Serra memutuskan untuk melewati gang itu. Siapa tahu, di ujung sana ada jalan tembusan lain.
“Coba dulu deh, hoki-hokian kan yah.” Gumam Serra.
Mobil Serra melaju perlahan, Untungnya keadaan gang sepi. Ia pun melajukan mobilnya dengan hati-hati. Dalam hatinya ia merasa khawatir, takutnya mobilnya justru mendapati jalan buntu dan akan menyulitkannya. Tapi semoga saja tidak.
Tiba-tiba, Serra menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang terdapat plang bertuliskan panti asuhan. Sejenak ia terdiam, kata-kata Eric kembali terngiang di pikirannya. Serra memutuskan untuk turun dari mobilnya, ia lalu berjalan pelan mendekati pintu. Belum sempat ia sampai, tiba-tiba seorang wanita paruh baya keluar dan memergokinya.
“Eh, ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya.
Serra sempat kaget, tapi ia merubah ekspresinya dengan cepat. “Saya hanya ingin datang berkunjung, sekalian mau donasi juga.” Ujat Serra. Ia juga tidak tahu mengapa datang ke panti ini. Hatinya seolah terketuk ingin tahu tentang panti tersebut.
“Oh begitu, mari masuk Bu.” Serra mengangguk saat dipersilahkan masuk. Ia mengikuti ibu panti itu masuk ke dalam bangunan yang di jadikan panti. Memang tak besar tapi, menurut Serra tempatnya sangat nyaman.
Suara berisik anak-anak memasuki gendang telinga Serra. Keadaan cukup ramai, banyak sekali anak di panti asuhan itu. Umurnya juga bervariasi, tetapi beberapa juga ada yang sudah remaja.
“Maaf yah Bu, anak-anak lagi ramai.”
“Oh iya, enggak papa. Saya justru senang datang kesini dan lihat keseruan mereka.” Balas Serra.
“Disini total ada tiga puluh anak, paling besar usia delapan belas tahun. Paling kecil tiga tahun, baru masuk tiga harian ini.”
“Oh gitu? Mereka sudah tidak ada orang tuanya atau ....”
Ibu panti itu tersenyum, ia tahu maksud dari Serra. “Ada yang sudah tidak punya orang tua, ada yang di buang karena tidak di inginkan, yah ... begitu lah.”
Serra masih menatap ke sekitar, beberapa anak menyapanya dengan ramah. Serra merasa kasihan pada anak-anak itu. Mengapa ada orang tua yang tega membuang anak mereka? apa salah anak mereka? Serra merasa miris melihat kehidupan anak-anak itu yang menjadi korban akan keegeoisan orang tua mereka.
“Kalau gak siap punya anak ngapain punya anak coba. Yang jadi korban kan anak-anaknya, taunya cuman bikin doang.” Batin Serra.
Serra memainkan ponselnya, ia memesan makanan sebagai hadiah untuk anak-anak itu. Lalu, ibu panti mengajaknya mengobrol di ruang tamu. Serra menurut, ia mengikuti ibu panti itu. Keduanya pun. Berbincang santai, sampai pesanan yang Serra pesan tiba.
“Bu, saya pesan makanan untuk anak-anak.”
“Astaga Mba, terimakasih banyak. Anak-anak pasti senang ini.” Ucap ibu panti.
Serra tersenyum, ia mulai membantu ibu panti untuk membagikan makanan yang dia pesan. Semuanya tampak senang, padahal hanya makanan biasa saja. Nasi dan ayam dengan brand nama yang terkenal. Melihat kesenangan mereka, Serra pun ikut tersenyum.
“Ada yang belum dapat?” Tanya Serra. Namun, anak-anak di hadapannya sudah dapat semuanya. Sampai, tatapan Serra jatuh pada seorang anak yang paling kecil di antara mereka berada di barisan paling belakang. Anehnya, bukannya maju untuk mengambil makanan yang Serra berikan anak itu justru mundur dan terlihat kesulitan.
“Itu Chio, sebentar.” Ibu panti menghampiri anak bernama Chio itu. Lalu ia menggendongnya dan membawanya mendekat pada Serra.
“Mba, ini anak yang paling kecil. Dua minggu lalu dia sama orang tuanya terlibat kecelakaan. Motornya di tabrak truk, orang tuanya meninggal dan sudah tidak ada keluarga lagi. Jadi, dia di titipkan disini. Tangannya patah, kakinya juga luka tapi sedang dalam proses penyembuhan.” Terang ibu panti memperkenalkan anak yang tengah ia gendong.
Sejenak, Serra mengamati anak itu. Wajah Chio terlihat takut dan tak nyaman. Seolah, anak itu tak mau menatapnya. Wajahnya juga terlihat lesu, tubuhnya kurus. Entah mengapa, saat anak itu menatapnya jantung Serra berdebar kencang.
“Hai, Tante punya coklat. Mau coklat?” Chio mengangkat pandangannya, dia menatap Serra yang memberikan coklat padanya.
“Nah, ambil.” Ibu panti mengarahkan tangan Chio. Tapi, sepertinya anak itu ragu.
“Gak papa, ambil sayang.” Ucap Serra, ia menempatkan coklat itu di tangan kecil Chio.
“Maaf, apa dia tidak bisa bicara?” Tanya Serra karena sejak tadi tak ada suara yang keluar dari mulut Chio.
Ibu panti menggeleng, “Dia bisa bicara, hanya memang pendiam saja. Saat pertama kali datang kesini dia sempat berteriak histeris mencari orang tuanya. Tapi untungnya, sekarang dia tenang.”
Serra menganggukkan kepalanya, pasti ada rasa trauma di hati anak itu. Walaupun umurnya masih kecil, tapi tentu saja dia mengingat kejadian yang paling menyakitkan. Entah anak itu mengerti atau tidak jika orang tuanya sudah tidak ada, Serra merasa kasihan padanya.
“Bu, sudah sore. Saya pamit pulang dulu yah, kapan-kapan ... saya main lagi kesini.”
“Oh iya Mba Serra, hati-hati yah. Mari, saya antar kedepan.” Ibu Panti mengantar Serra sampai di teras. Ia tetap berdiri di sana sampai Serra masuk ke dalam mobilnya.
Sebelum melajukan mobilnya, Serra lebih dulu melambaikan tangannya. Chio juga menatapnya, tatapan anak itu terlihat polos. Serra memutuskan pandangannya, ia mulai melajukan mobilnya pergi. Namun, dari spion mobilnya ia masih menatap Chio yang menatap ke arah kepergiannya.
"Anak yang menggemaskan." Gumam Serra dengan senyuman manis di bibirnya.
.
.
.
Dean memasuki mobilnya, ia memukul kepalanya dan membenturkannya ke stir mobilnya. Tadinya ia hanya ingin mengecek kesehatan, ia juga mengajukan beberapa keluhan tentang dirinya. Tak menyangka, dokter malah memvonis ke hal yang paling tak pernah ia pikirkan.
“Bagaimana bisa? Aku seperti sehat-sehat saja, kenapa bisa aku mandul.” Batin Dean.
Tok!
Tok!
Dean menatap lemas ke arah jendela mobilnya, ia menurunkan kaca setelah melihat pria berjas putih yang mengetuk jendela mobilnya. Dia seolah tak ada tenaga lagi untuk meledek orang yang kini bersandar di jendela mobilnya.
“Kenapa? Hasilnya udah keluar?” Tanya pria berjas dokter itu.
Dean menyerahkan hasil pemeriksaannya pada pria yang merupakan sepupunya itu. Dengan cepat, pria itu meraihnya dan melihatnya. Sama hal nya dengan Dean, dia sungguh syok melihatnya. Tak menyangka, jika hasilnya akan seperti itu.
“Dean, tapi kamu tenang aja. Ini masih bisa di sembuhkan, masih bisa di obati. Tapi emang makan waktu dan hasilnya ... kita gak bisa pastikan. Apa salahnya usaha dulu kan?”
“Mario, hal itu akan sia-sia aja. Aku akan sulit punya anak dan mungkin bahkan tidak pernah bisa! Siapa yang mau nikah sama pria mandul seperti ku?!” Sentak Dean frustasi.
Mario menghela nafas pelan, “Menurutku ya ... kamu adopsi anak aja si. Sampai berjalannya waktu kamu bertemu wanita yang nerima kekuranganmu, kehidupanmu akan sama aja. Lengkap,”
“Ngaco!” Dean tertawa hambar, tak mungkin ada wanita yang mau dengannya. Namun, tiba-tiba Dean terpikirkan sesuatu.
“Kalau aku mati, yang warisin hartaku siapa dong? Masa situ? Gak sudi aku.”
“Astaga nih anak masih mikir warisan. Ya makanya, adopsi aja! Kamu punya penerus, yah walaupun bukan darah daging tapi setidaknya kehidupanmu juga gak hambar-hambar banget lah.” Dean terdiam, ia seolah tengah mencerna perkataan sepupunya itu.
“Dari pada di cecar terus sama Tante minta cucu. Kalau mau, aku cariin deh anak adopsi di panti asuhan! Gimana? Oke gak?” Dengan ragu, Dean menganggukkan kepalanya.
“Nah gitu kek!”
Sampai di rumah, Serra memikirkan tentang anak bernama Chio tadi. Entah mengapa, bayangan wajah anak itu terus memenuhi hati dan pikirannya. Hal itu, membuat Serra tak fokus dalam melahap makan malamnya. Sang mama yang memperhatikannya pun langsung menegurnya.
“Serra! Kamu ini kenapa? Makan kok malah melamun. Lagi ada masalah sama Eric?!”
Serra terkesiap, ia tersadar dari lamunannya. “Aah enggak, aku gak mikirin dia kok.”
“Terus mikirin apa? Jujur saja, ada masalah sama Eric? Dia kenapa?” Tanya wanita paruh baya itu penasaran.
Serra menggelengkan kepalanya, tatapan matanya masih menatap ke arah makan malamnya. “Sebenarnya aku sama Eric sudah gak ada hubungan lagi Ma, kami sudah selesai."
“HAH? APA?! KAMU JANGAN PRANK MAMA YAH!” Eriska Liliana, dia begitu kaget mendengar perkataan putrinya.
“Enggak Ma, aku mau menikah dengan dia asal dia mau menuruti persyaratan ku.” Eriska mengerutkan keningnya dalam, dia benar-benar tak tahu apa pertanyaan yang putrinya ajukan.
“Aku ingin childfree dan Eric tidak setuju. Jadi ...,”
“Astaga Serraaa! Jelas saja Eric menolak! Kok bisa sih kamu punya pikiran begituuuu!” Greget Eriska, ia semakin tak habis pikir cerita dari putrinya.
“Ma! Aku gak mau jadi kayak Mama! Aku gak mau anakku ada di posisiku! Bagimana kalau Eric kayak papa? Ninggalin kita! Gak perdulikan kita? Sampai sekarang aja aku gak tahu papa masih hidup apa enggak! Kita gak akan tahu bagaimana nanti kedepannya, bisa saja Eric mengkhianati ku. Pilihanku tetap, aku ingin childfree!!”
“Astaga, Serra ... terserah ... sakit kepala Mama. Asal kamu tahu Serra, tidak semua pria sama seperti papamu.”
“Pokoknya semua pria tuh sama Ma! Aku gak sebutuh itu punya suami! Kalau Mama mau cucu, besok aku bawakan cucu untuk mama!” Setelah mengatakan hal itu, Serra beranjak pergi begitu saja.
“Serra! Serraa! Maksudnya apa?! Kamu mau mungut anak dimana hah?! Astaga, anak itu ....” Eriska memijat kepalanya yang terasa sakit. Tak menyangka, jika cerita hidupnya dapat membuat putrinya trauma.
Serra masuk ke dalam kamarnya, ia memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Dirinya heran, mengapa orang-orang tak setuju dengan pilihannya. Ini pilihan hidupnya, salahkah ia memutuskan untuk memilih pilihan hidupnya sendiri? Tidak salah bukan jika memilih childfree? apa yang salah dengan itu?
“Masalah mama tuh satu, cucu! Oke, aku kasih mama cucu besok! Eh tapi ....” Serra mengingat tentang Chio, tiba-tiba ia jadi senyum sendiri.
“Oke, karena Chio pandanganku sedikit berubah. Anak-anak tak semenyusahkan itu, dia sangat menggemaskan. Jika tak ada laki-laki yang mau menikah denganku, aku sudah ada Chio sebagai anakku. Mama kan hanya ingin cucu.” Gumamnya.
.
.
.
Hari ini, Serra kembali datang ke panti asuhan. Dia datang dengan tujuannya, yaitu mengadopsi Chio. Entah mengapa, pikirannya selalu tertuju pada anak itu. Membuat Serra, tak tenang dan ingin segera mengadopsi nya.
Bertepatan saat Serra akan mengetuk pintu, tiba-tiba seorang pria menyerobotnya lebih dulu. Serra akan membuka mulutnya, tetapi mendengar suara pintu yang terbuka membuatnya mengurungkan niatnya.
“Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?” Sapa Ibu panti.
“Bu, saya mau mengadopsi seorang anak!” Seru Serra dan pria itu secara serentak. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah Dean. Ia datang, setelah Mario merekomendasikan panti asuhan untuk pria itu mengadopsi anak.
Keduanya saling menatap, Dean pun menatap Serra dengan tatapan heran. Bisa-bisanya keduanya berbarengan ingin mengadopsi seorang anak? Jika ia lihat, Serra masih sangat muda. Apa sama seperti nya?
“O-oh ya, silahkan masuk. Kita akan bicara di dalam.” Ibu panti membawa mereka masuk. Sesampainya di ruang tamu, Serra dan Dean duduk berdampingan. Karena hanya ada sofa itu saja, sedangkan ibu panti mengenakan kursi lain yang tersisa.
“Tadi malam sepupu saya sudah hubungi Ibu,”
“Oh iya, Mas Mario. Disini paling kecil umurnya tiga tahun, tidak ada yang lebih kecil dari itu.” Perasaan Serra tiba-tiba tak enak mendengar perkataan ibu panti.
“Bu, saya mau mengadopsi Chio.”
“Eh?! Aduh, bagaimana yah.” Ibu panti itu kaget, dua orang di depannya ingin mengadopsi anak yang sama. Serra dan Dean saling pandang, tapi hanya sebentar sebelum keduanya kembali menatap ke arah ibu panti.
“Saya panggilkan anaknya sebentar.” Ibu panti beranjak pergi, dan tak lama kembali dengan Chio yang ada di gendongannya.
Melihat keberadaan Chio, Dean yakin jika anak itu adalah anak yang ibu panti maksudkan pada Mario. “Ya, saya mau anak itu jadi anak saya!”
“EH, gak bisa gitu dong! Saya duluan yang mau mengadopsi Chio!” Sentak Serra tak terima.
“Loh, sepupu saya sudah mengajukannya semalam. Jadi, saya duluan!” Balas Dean yang sama-sama tak terima.
“Heh cula badak! Ngajak ribut nanti aja, saya duluan yang bilang kok!”
Ibu panti bingung dengan perdebatan kedua orang di hadapannya. Sampai-sampai, Chio ketakutan karena suara tinggi dari kedua orang itu. Serra tak terima, begitu pun dengan Dean. Keduanya sama-sama ingin mengadopsi Chio.
“Tuan, Nona, kalian putuskan saja, harus ada yang mengalah. Lagian, mengadopsi tidak semudah yang kalian bayangkan. Kalian bisa kembali dulu dan memikirkan keputusan yang akan di ambil. Mungkin, bisa cari panti lain.”
Serra dan Dean keluar dari panti, karena keduanya selalu ribut mengenai siapa yang bisa mendapatkan hak asuh Chio. Sampai pun, mobil mereka ternyata saling berhadapan. Serra bersandar di kap mesin mobilnya, begitu pun dengan Dean. Sejenak, keduanya merenung dan berpikir bagaimana cara mendapatkan Chio.
“Kamu kenapa mau mengadopsi anak?” Tanya Serra melupakan bahasa formalnya tadi. Ia melihat Dean pria yang tampan, apalagi dia memiliki warna mata keabu-abuan. Apa pria itu sama seperti dirinya? Memilih childfree?
“Aku? Aku ... gak bisa punya anak.”
“Eh?!” Ternyata tebakan Serra salah.
“Kamu sendiri?” Dean balik bertanya pada Serra.
Sebelum menjawab, Serra menghela nafas pelan, ia melipat tangannya di depan d4da dan menatap ke arah lain. “Aku memilih childfree dan mengadopsi anak.”
Dean tertawa mendengannya, “Terus buat apa childfree kalau adopsi anak? Mending buat sendiri, keturunan sendiri. Udah, kamu buat sendiri aja. Anak tadi, biar buat aku aja!”
“Eh, ya gak bisa gitu dong!” Serra menahan lengan Dean. Sebab, pria itu akan kembali masuk ke dalam panti.
“Kenapa aku harus melahirkan anak kalau aku bisa mengadopsinya? Mengadopsi seorang anak yang sudah tidak punya siapapun, apa salah?”
“Sumpah, mending kamu nikah terus punya anak sendiri deh. Aku aja mau punya anak sendiri, tapi yah gak bisa! Kamu beneran aneh tau gak!”
Serra berdecak kesal, ia menarik tangannya. Berbicara dengan Dean menurutnya percuma saja. Pria itu tak akan mengerti tentang mengapa ia bisa menjatuhkan pada pilihan tersebut.
“Terserah! Pokoknya aku yang bakal dapetin Chio!” Serra akan beranjak pergi, tapi kali ini Dean justru mencegahnya dengan memegang lengannya.
“Kita nikah aja deh, kamu childfree aku gak bisa ngasih kamu anak. Impas kan? Biar kita sama-sama dapat Chio. Saling menguntungkan bukan?”
Serra terkesiap, ia mematung sejenak. Namun, setelah di pikir-pikir ada benar nya juga. Mengingat tentang perkataan sahabatnya hari itu, membuat Serra bimbang.
“Benar, tidak akan ada yang mau menikah denganku karena pilihanku saat ini. Tapi pria ini, gak jelek, kelihatan mapan, gak nyusahin lah yah nanti. Tujuan kita menikah karena Chio dan pernikahan saling menguntungkan. Dengan menikah dengannya, kehidupan ku terlihat normal. Walaupun, sebenarnya berbeda dengan yang lainnya. Mama juga gak akan terus cerewet menasehatiku tentang pasangan dan anak.” Batin Serra.
“Gimana? Kalau gak mau aku ...,”
“Ya sudah, ayo nikah!“
.
.
.
Dean dan Serra keluar dari gedung yang baru saja mengesahkan hubungan mereka. masing-masing dari keduanya memegang buku nikah dengan warna yang berbeda. Raut wajah keduanya terlihat pias, seolah tak percaya dengan keputusan mereka sendiri. Yah, keputusan yang tak di pikirkan secara panjang dan matang. Hanya dalam beberapa hari saja, keduanya memutuskan untuk menikah karena harus menyiapkan berkas pernikahan.
"Ayah kamu beneran gak ada?” Tanya Dean ragu.
“Ada, tapi gak tahu dimana. Masih hidup atau enggak juga gak tahu. Kalau ma.ti kuburannya dimana juga gak tahu,” ucap Serra asal.
Serra memasukkan buku nikahnya ke dalam tasnya, ia lalu beralih menatap Dean yang masih memikirkan sesuatu. “Nah, ayo kembali ke panti dan urus surat adopsinya.”
“Ayo, aku juga akan menghubungi pengacaraku agar lebih cepat prosesnya." Serra mengangguk saja, ia tidak tahu bagaimana caranya mengurus surat adopsi. Tapi, sepertinya Dean lebih paham tentang hal itu.
Sesampainya di panti asuhan, ibu panti kaget dengan keputusan keduanya. Dirinya tak menyangka, keduanya akan memutuskan menikah untuk mendapatkan hak asuh Chio.
“Kalian beneran udah nikah?” Tanya ibu panti dengan ragu.
“Udah Bu, tadi kita nikah. Gak percaya? Nih buktinya." Serra menyerahkan buku nikah miliknya pada ibu panti.
“Y-ya saya percaya. Kalau gitu, ini beberapa hal yang harus kalian urus.” Dean dan Serra mendengarnya dengan seksama bagaimana penjelasan ibu panti.
“Setelah hasil surat pernyataan hak asuh keluar, baru kalian kembali kesini untuk mengambil Chio.”
“Baik kalau gitu, terima kasih Bu.”
“Sama-sama.”
___
Bocil gemasnya masih malu malu 🤣
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!