TRANG!
TRANG!
Denting pedang beradu memecah udara dalam kelam dan kengerian. Langit pekat membumbung menyelimuti hamparan bumi utara.
Bau amis darah dan aroma hangus daging-daging manusia yang terbakar membuat sesak.
JLEB!
Satu tusukan pedang mempersembahkan satu mayat di atas tanah seperti tumbal---ke sekian ratus.
Napas-napas memburu resah. Jantung berdetak cepat seolah di penghabisan.
Tanah dan cipratan darah di badan seakan menjadi pakaian akhir.
Apakah esok pasang-pasang mata itu akan kembali melihat sinar mentari?
Tentu saja!
Tapi hanya untuk pemenang!
“Hidup Kapten Blood! Hidup Utara!”
Xavier Blood berdiri tinggi dengan napas masih terengah di atas tumpukan mayat prajurit musuh. Di tangan kanannya, tergenggam pedang andalan berselimut darah yang masih basah, sedang di kiri mencengkram rambut dari penggalan kepala seseorang yang baru dia tebas pisah dari tubuhnya.
Pemimpin penjajah dari suku Ugras pada akhir kalah dan mati di tangan panglima perang sejati milik kekaisaran ---Xavier Blood.
“Hidup Kapten Blood! Hidup Utara!”
Akhirnya perang panjang memiliki ujung yang puas dan mengesankan.
Xavier dan prajuritnya berhasil meratakan musuh.
Utara kembali ke tangan kekaisaran.
Suku Ugras adalah suku terkuat yang menduduki Utara sebagai penjajah setelah satu suku sebelumnya berhasil terusir. Ugras juga adalah suku yang membuat dua panglima hebat sebelumnya gugur di medan tempur, kemenangan atas mereka.
Lalu kedatangan Xavier sebagai panglima terakhir yang memimpin hanya lima ratus pasukan prajurit, menjadi penutup kecongkakan suku yang tiran itu.
Jurang hitam menjadi taburan abu Ugras setelah dibantai habis lalu ditutup kremasi asal-asalan.
...----------------...
Kepulangan Xavier dan para prajurit tersisa hidup, disambut suka cita penduduk kekaisaran Zorg dan istana.
Kaisar Zorg ---Bjorn Philaret, tak henti memuji keberhasilan pasukan terakhir yang dipimpin Xavier.
Terutama Xavier sendiri.
Ini adalah kemenangan ketiga Xavier dalam peperangan memperebutkan kekuasaan wilayah selama dua tahun terakhir. Kehebatannya semakin diakui secara nyata. Taktik perang yang mematikan, hanya dia yang memangku kelebihan itu.
Xavier dikirim cepat ke Utara satu hari setelah kepulangannya dari pantai Seth, barat kerajaan yang dijajah bajak laut dari tanah yang jauh, ujung kekaisaran Zorg.
...----------------...
Saat ini di bawah singgasana Kaisar, Xavier berdiri menghadap, merunduk tipis saja dengan ekspresi biasa.
“Panglima terkuat keprajuritan Zorg--Kapten Xavier De Jongh, ... pesta kemenangan bersama rakyat baru saja usai, aku yakin kau sangat lelah setelah pertempuran panjang. Karena itu, Kapten ... aku izinkan kau pulang ke keluargamu untuk beristirahat selama satu minggu penuh. Setelah waktu itu habis, kau akan kembali kupanggil untuk menerima hadiah yang kujanjikan.”
Xavier menerima dengan hormat ala dirinya, dingin dan mengesankan. “Baik, Yang Mulia Kaisar. Terima kasih untuk sejumlah waktu yang berharga itu. Hamba akan pulang malam ini juga.”
”Pilihan bagus. Selamat beristirahat.”
Xavier undur diri. Melewati semua orang yang berjejer kiri dan kanan, menteri dan para petinggi istana yang terdiri dari para Duke dan Count, mereka berasal dari keluarga-keluarga besar berpengaruh, termasuk ayahnya sendiri---Balthazar De Jongh, ada di antaranya. Tatapan mata pria tua itu ... kelam. Tidak ada pengakuan, tidak ada kebanggaan apa pun layaknya ayah terhadap prestasi bersinar yang dicapai darah dagingnya.
Hanya ada kebencian mutlak.
Sedang di mata semua orang, kegagahan Xavier baik dalam berperang maupun secara perangai, sungguh membuat segan. Garis wajah yang tegas dengan takar ketampanan membius, warna mata semerah darah membuat siapa pun akan terpaku lena tanpa bisa meronta untuk berpaling.
Namun sayang, satu kekurangan dalam dirinya menutup semua kelebihan itu.
“Andai bau amis darah busuk dari tubuhnya tidak menyesakkan napas, dia akan menjadi yang paling sempurna di kekaisaran ini.”
”Benar!” Yang lain menyetujui.
“Andai saja dia tidak terkutuk, putriku pasti akan sangat tergila-gila.”
“Ya! Mungkin juga istrimu."
“Sialan! Itu tidak akan terjadi.”
“Kutukan yang mengerikan.”
Telinga Xavier jelas mendengar, tapi dia tidak peduli sebanyak dan sedalam apa pun mereka menghujat kekurangannya.
Perangainya datar tidak terusik.
Tanpa perlu melihat, Xavier sangat tahu, orang-orang konyol itu sedang menahan napas saat dirinya melewati tubuh mereka. Wajah-wajah meringis menahan jijik.
Kutukan mengerikan sedari kecil.
Namun, alih-alih sangat tersiksa dan terpuruk, Xavier justru menikmati takdir menyedihkan itu dengan menjadi sosok yang menonjol dibanding semua orang bodoh yang sibuk dengan cibiran.
...Ω Ω Ω Ω...
Keluarga De Jongh, satu dari tujuh keluarga bangsawan yang memiliki kontribusi penting atas kekaisaran. Mendominasi bisnis transportasi hampir di sepertiga ibukota kekaisaran.
Adalah keluarga Xavier.
“Bagaimana bisa dia masih hidup saja?! Berapa nyawa yang dia miliki?!” Esmera De Jongh--ibu tiri Xavier, terus saja mengumpat. Urat-urat di wajahnya meregang kencang, marah setelah mendengar Xavier pulang dari peperangan membawa kemenangan besar. “Suku Ugras itu sangat kuat. Tapi manusia kutukan itu malah bisa memenggal kepala pemimpinnya dengan sangat mudah.”
“Dia hanya masih beruntung, Ibu. Lama-lama juga dia akan mati. Masih banyak peperangan yang akan dihadapinya. Dewa Thanatos tidak akan sebaik itu terus membiarkannya selamat.” Keelan De Jongh--anaknya, mengomentari tenang seraya melempar butir demi butir berry ungu ke dalam mulut.
“Kau ini jangan terlalu santai bisa tidak?!” Esmera membentak putranya. “Keberadaannya sangat mengancam kita, terutama dirimu!”
“Ayah sangat membencinya, Ibu! Posisi tuan muda utama ini akan tetap jadi milikku!” Keelan menghardik terbawa kesal, langsung berdiri. “Sudahlah. Pesta lajang temanku akan dimulai. Aku harus pergi.”
“Keelaaaan!”
Pemuda 23 tahun itu tidak berbalik lagi.
Di luar ....
Mobil Rolls Royce yang membawa Xavier teronggok diam.
Melalui kaca yang tak disibak, mata darah Xavier menatap dingin ke arah pintu yang tertutup sombong seolah enggan memberi celah untuk dirinya.
“Anda akan turun, Tuan?” Supirnya---Proka, memberanikan diri bertanya.
Pandangan Xavier masih sama, tapi menjawab di lima detik kemudian, “Tidak! Ayo pergi.”
“Baik.”
Mobil itu bergerak lurus, melewati gerbang tinggi kediaman De Jongh.
“Rumah yang seharusnya menjadi tempatku pulang dan dimanjakan sebagai tuan muda, hanya dongeng belaka.”
Bibirnya menarik senyuman kecut.
“Aku sudah dewasa untuk peduli pada hal-hal sekonyol itu. Ckk!”
Waktu berselang ....
Sebuah rumah tinggal dua lantai yang tidak terlalu besar di selatan Zorg, mobil Xavier berhenti di halamannya.
Seorang pria paruh baya sudah menyambutnya di teras dengan lima pijakan tangga untuk mencapainya.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda." Dilakukannya dengan penuh hormat. Ada binar haru dan bahagia yang tercetak di wajah lelaki ini. “Saya senang Anda kembali dalam keadaan baik. Selamat atas kemenangan Anda.”
“Ya, Luhde. Terima kasih. Bagaimana kabarmu?”
“Saya sangat baik, Tuan Muda.” Pria bernama Luhde itu langsung mengikuti dari belakang saat Xavier melewatinya.
Keduanya berjalan menaiki tangga ke lantai dua lalu masuk ke sebuah ruangan.
“Bagaimana keadaan di perusahaan?” tanya Xavier, melepas sarung tangannya lalu duduk di kursi kerja.
Luhde berdiri di hadapannya terhalang meja. “Semua berjalan baik,” jawab Luhde, lalu menyerahkan sebuah dokumen ke hadapan Xavier. “Ini laporan rinci selama ada berada di medan perang.”
Xavier segera memeriksanya. Huruf demi huruf dan angka-angka dibaca detail, kemudian, “Bagus. Kau menanganinya dengan sangat apik.”
“Terima kasih. Sudah seharusnya saya lakukan."
Dokumen ditutup kembali, punggung Xavier kini tersandar kursi. “Soal perkembangan mansion?”
Luhde menjawab gegas, “Sekitar dua puluh persen lagi, bangunan itu akan sempurna. Anda bisa pindah ke sana dalam waktu dekat, Tuan Muda.”
“Aku senang mendengarnya.”
Balthazar De Jongh baru turun dari mobilnya. Menapak halaman rumah dengan langkah-langkah lebar, perangai rusuhnya seperti baru pulang dari kelahi. Dari wajahnya, mood lelaki berumur ini jelas sedang tidak baik-baik saja.
“Kau pulang, Suamiku?” Esmera menyambut dari dua anak tangga terakhir, lalu benar-benar turun.
Balthazar tidak menjawab. Dasi pita di lehernya lekas dilucut lalu dicengkram dalam genggaman sembari jalan. Esmera mengikutinya dari belakang. Sofa di ruang tengah dipilih Balthazar untuk mengempas tubuh bersandar di sana.
“Apa ada masalah di istana?" tanya Esmera lagi, mengambil posisi duduk bersebrang dengan Balthazar tersekat meja dengan vas berisi serangkai bunga gerbera di tengah-tengah.
Tatapan keruh Balthazar terdorong ke wajah istrinya, lalu menceritakan singkat sebab kekesalannya, “Anak itu semakin sombong. Dia bahkan tidak menyapa ayahnya sendiri dalam pertemuan istana di depan Yang Mulia dan semua petinggi yang hadir.”
Mendengar jawaban itu, Esmera sedikit merasa lucu, terkikik sampai menuai pelototan mata Balthazar.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Balthazar tak paham.
“Kenapa harus marah? Bukankah memang begitu baiknya?” kata Esmera ringan sekali.
“Maksudmu?!”
Esmera menjawab, “Orang akan menganggap kesombongannya juga bentuk kedurhakaan terhadap ayahnya sendiri. Namanya akan memburuk karena hal kecil. Bukankah itu bagus untuk menjatuhkan anak terkutukmu itu, Suamiku?”
Balthazar De Jongh terperangkap di wajah istrinya sembari berpikir, lalu menimpal, “Kau benar, Esme.” Seringainya muncul, pertanda perasaannya mulai membaik.
...----------------...
Lima hari Xavier berkutat dengan semua tugas terkait bisnis yang digeluti.
Sampai sebuah surat datang dari tangan Luhde yang dibawa seorang kurir beberapa saat lalu.
“Surat dari istana, Tuan Muda.”
Segel Kaisar terpampang jelas di dasar amplop berwarna merah dengan tali emas yang kini ada di tangan Xavier.
Semua tahu bahwa Xavier tak tinggal bersama keluarganya, termasuk pihak istana. Alasan yang tersebar adalah karena Xavier memilih mengasingkan diri terkait kutukan yang dideritanya. Sebagian benar, sebagian besarnya adalah salah.
Xavier membuka amplop itu lalu membaca. Pasang mata merahnya bergulir menyapu semua huruf yang ditulis sekretaris Kaisar di kertas pucat yang dilebarkan.
Jangan lupa datang ke istana di waktu yang disebutkan. Yang Mulia Kaisar akan menepati janjinya tentang hadiah kemenangan perang yang akan diberikan khusus untuk Kapten Blood, secara resmi di depan para petinggi.
Hanya satu paragraf singkat. Bisa melalui panggilan telepon, tapi itu pemberitahuan resmi.
Xavier langsung mengempas kertas itu ke atas meja dengan raut sedikit kesal.
“Kenapa dipercepat? Bukankah waktu liburku seminggu penuh? Ckk!”
Luhde mendengar tapi tak menyela masalah itu, hanya sedikit inisiatif, “Saya akan minta Proka siapkan mobil.” Dia sangat tahu, meski wajahnya kesal, Xavier tidak akan mengabaikan perintah Kaisar begitu saja.
“Ya. Dan cepatlah kembali, bantu aku memasang lilitan kain.”
“Baik, Tuan Muda.” Luhde berlalu dari ruangan setelah membuat anggukan singkat.
Kursi kerja dan segala dokumen akhirnya dicampakkan Xavier untuk beranjak. Naik ke kamarnya untuk memilih baju.
Tak lama Luhde kembali muncul sesaat setelah Xavier melepaskan pakaian di seluruh tubuh.
Tanpa basa-basi, pria yang usianya sepuluh tahun di atas Xavier itu langsung menggamit kasa putih panjang di atas ranjang yang sudah disediakan sang tuan muda.
Xavier merentang kedua tangan ke samping dengan sikap tegak, siap dibaluti kasa.
Lilitan demi lilitan dilakukan Luhde untuk membalut sekujur badan tuan mudanya yang ungu kehitaman dengan serat kulit sedikit kasar, demi menyamarkan bau kutukan yang menyengat dari balik tubuh yang dari bentuk sebenarnya sangat sempurna.
Tidak terlalu tebal seperti mumi.
“Selesai, Tuan Muda.”
Setelan akhir dengan dasi khas sudah terpasang.
Xavier sudah sangat gagah.
Rambutnya yang selalu rapi disisir habis ke belakang, menonjolkan kening licin tanpa komedo dan papiloma.
Malam hari yang dituju Xavier pun tiba.
Mobil Rolls Royce yang membawanya sudah sampai di parkiran istana.
Proka--sang supir kepercayaan ikut masuk ke dalam, tidak mencemaskan mobil tuannya yang sudah dijaga pihak istana.
Sampai di aula utama.
Xavier cukup terkejut, bukan hanya orang-orang yang ada dalam kepalanya yang dihadirkan di kesempatan ini, melainkan juga dari rakyat-rakyat terpilih mendapat undangan, mereka cukup banyak.
Dengan langkah tegap dan gagah, Xavier menapaki karpet biru yang memanjang menuju singgasana, Proka menyisi ke satu bagian berbaur dengan barisan rakyat.
Kaisar Bjorn Philaret sudah duduk dengan kewibawaan di tempatnya. Di kanan sedikit bawah dari kursi agungnya, Ratu Jennefit duduk dengan gaun biru kemuliaan. Pangeran Arion duduk di seberang ibunya. Tidak ada Maleca, seorang selir tidak akan diikutsertakan kecuali itu acara keluarga saja, adalah syarat dari Ratu Jennefit saat Bjorn memutuskan menikahi putri Kerajaan Mervas dari timur kekaisaran itu.
“Hormat pada Yang Mulia Kaisar," Xavier menghadap, menunjukkan sikap yang sudah ditetapkan sebagai aturan pemberian hormat pada Kaisar.
“Selamat datang, Kapten Blood.”
Kapten Blood, diketahui adalah julukan Xavier di medan perang, tapi sebenarnya bukan. Akan jelas seiring mengalirnya jalan cerita.
Xavier menegakkan badan setelah hormatnya diterima Kaisar.
Di sisi kanan deretan para petinggi istana, Balthazar beraut kecut.
Siapa yang akan peduli kecuali mereka penyebar rumor.
“Putramu nampak sangat sempurna, Duke," kata seorang duke tua yang berdiri di samping Balthazar dengan suara pelan.
“Tentu saja. Dia anakku," jawab Balthazar, percaya diri namun hanya di muka, dalam hati jelas menampik.
“Bagus sekali, Anda nampak sempurna menjadi ayah seorang putra terkutuk. Ckk, mengharukan.”
Mata Balthazar langsung melotot, tapi tidak menoleh pada lawan bicara yang mencibirnya secara halus. “Sial!”
Sekarang dia tak yakin ucapan istrinya tentang tuduhan anak durhaka untuk Xavier adalah benar. Yang ada justru dirinya yang mendapat cacian konyol.
“Seharusnya aku tidak berkata sebangga itu mengakui dia sebagai anakku.”
Tidak ada percakapan lagi.
Janji Kaisar akan segera dikumandangkan.
Bisik-bisik di barisan para bangsawan mulai terdengar. Apa yang akan diberikan Kaisar Philaret pada panglima perang terhebat di kekaisaran yang dipimpinnya.
Desas-desus tersebar, bahwa separuh daerah Utara akan dijadikan sebagai hadiah jika seorang panglima berhasil menumpas para penjajah.
Kebenarannya akan terjawab sesaat lagi.
Dan ....
“Kapten Blood, panglima dan ksatria terhebat kekaisaran Zorg, terima kasih telah mempersembahkan kemenangan dan mengembalikan Utara ke tangan kita semua. Dengan ini, aku Bjorn Philaret sebagai Kaisar Zorg ke-8, menghadiahkan padamu ....”
Semua menunggu dengan penasaran yang sangat pekat.
Sialnya, Bjorn dengan senyumnya malah senang bermain-main dengan membuat sesi jeda seperti itu, padahal semua orang sudah tak sabar.
Sampai akhir ....
“Aku hadiahkan padamu ... Grim Hills di ujung selatan, perbatasan Kerajaan Arwen. Kau bisa memiliki kuasa di sana secara penuh.”
Keadaan langsung gaduh, saling lempar komentar terjadi seperti kicau ratusan burung meminta makan.
“Grim Hills?!”
Dari namanya saja sudah bermakna suram.
Xavier diam, ekspresinya tidak terbaca semua orang. Hanya dalam hatinya tersenyum kecut, “Inilah alasan kenapa aku malas berharap banyak. Sejak kematian Kaisar Eugen, tidak ada lagi Philaret yang loyal.”
Semua tahu, Grim Hills adalah wilayah mati dengan pabrik-pabrik dan pertambangan yang sudah usang, tidak lagi beroprasi sejak kematian kaisar sebelum Bjorn. Lahan pertanian yang tidak menjanjikan kesuburan, tidak ada kehidupan layak untuk manusia.
Puas membiarkan semua orang bergaduh ria tentang hadiah itu, tangan Kaisar naik ke atas, meminta semua orang berhenti saling bicara.
“Aku belum selesai!”
Sontak semua diam dan kembali fokus pada lelaki itu.
“Selain Grim Hills, masih ada satu hadiah lain yang akan aku berikan pada Panglima.”
Mata Xavier mencuat naik, namun masih merunduk dengan hormatnya.
Hadiah lainnya?
“Apa itu, Yang Mulia?” Sampai seorang melontar ketidaksabaran, dari kursi rakyat biasa.
Kaisar tersenyum, melempar tatapan pada semua orang.
Dan ....
“Putri Ashiana! Hadiah bonusnya adalah keponakanku, Putri Ashiana!”
Lebih mengejutkan dari hadiah sehamparan Grim Hills yang gersang itu.
Putri Ashiana memang seorang putri, tapi dia putri dengan kerusakan mental----Putri gila.
“Bonus hadiahnya adalah ... Putri Ashiana!”
Xavier melebarkan mata. Wajahnya yang terus tenang kini melengak pada Kaisar.
“Kenapa harus Tuan Putri Ashiana, Yang Mulia?” Tidak ada alasan untuk takut, impulsif pertanyaan itu dilontarkannya. “Maksudku ... Grim Hills saja aku sudah merasa cukup!” sambungnya untuk menekan sumbang pertanyaan sebelumnya.
Semua orang yang ada di aula besar itu masih tercengang.
Kaisar tersenyum tanpa dosa, lalu menjawab pertanyaan Xavier dengan santainya, “Aku tidak ada maksud khusus, ini murni hadiah untukmu dari kebaikan kami sebagai keluarga kekaisaran. Karena bagaimana pun keadaannya, Putri Ashiana tetap seorang putri. Apa kau tidak bangga mendapat hadiah seorang wanita dari keturunan Kaisar?! Aku menghadiahkannya padamu secara mutlak.”
Tidak ada raut tersinggung atas penyikapan Xavier tentang hadiah kedua yang dia berikan, Kaisar sungguh dengan rela melepaskan keponakannya sebagai hadiah. Apa itu tidak berlebihan?
“Tapi tidak dengan putri Ashiana!” Semua orang mendebat itu, tapi tentu saja hanya bunyi teriakan di dalam hati.
Meskipun [katakan saja] mereka merasa jijik dengan kutukan bau amis busuk tubuh Xavier, tapi lelaki bermata darah itu tetap seorang panglima yang sudah berjasa besar membawa kemenangan penuh dalam sekian perang untuk kekaisaran.
Balthazar mengetatkan rahang, dua tangan di sisian tubuhnya mengepal keras. “Lagi-lagi aku harus dipermalukan seperti ini!”
“Baiklah, Yang Mulia. Terima kasih dengan tambahan hadiahnya. Saya merasa terhormat.”
Perkataan Xavier yang legawa itu mengejutkan semua orang, terlebih ayahnya sendiri.
“Merasa terhormat katanya?!”
Putri Ashiana adalah putri dari mendiang Kaisar Eugen Philaret--kakak kandung Bjorn--kaisar saat ini.
Kondisinya tidak baik-baik saja.
“Haha! Aku senang mendengarnya. Kau sungguh ksatria sejati, Kapten Blood!” Kaisar memuji senang.
“Terima kasih, Yang Mulia," tanggap Xavier, seakan menerima pujian itu dengan senang hati.
Sekilas melalui ekor mata saja, Xavier melihat raut samar Ratu Jennefit. “Kelicikan!"
Pikiran semua orang kini nyaris sama.
Panglima terbaik, Xavier si iblis perang, mendapat hadiah penghargaan yang tak terduga.
Tidak ada hadiah separuh utara seperti yang dirumorkan, tidak yang pantas dibanggakan dari yang diterimanya hari ini.
Prestasinya hanya seharga dua lukisan yang sudah rusak.
Grim Hills yang tandus, dan ... Putri Ashiana yang tidak waras.
“Aku putuskan ... Pernikahan Kapten Blood dan Putri Ashiana akan dilangsungkan dua pekan dari sekarang. Istana akan mengadakan pesta pernikahan terbaik untuk mereka.”
Mulut semua orang kembali berisik. Tepuk tangan yang lemah, wajah penuh tanya dalam keterkejutan, menjadi pemandangan satu rupa di ruangan itu.
Sedang Xavier diam dalam iramanya sendiri.
“Aku kira Kapten hanya diminta membawa Putri ke kediaman dan merawatnya, ternyata harus dinikahi juga!”
Itu yang paling mencuat ke permukaan dari sekian mulut yang berisik itu.
“Tidak di keluarga ayahku, tidak di istana Kaisar, pada akhir aku tetap menjadi sampah.”
Tapi apa tujuan Kaisar sebenarnya? Membuang Ashiana ... atau lainnya?
...----------------...
Dua hari berlalu.
Balthazar duduk resah di kursi ruang kerja kediamannya, tengah menunggu kedatangan seseorang.
Secangkir teh telah tandas dalam dua tegukan saja.
Lima menit kemudian ....
“Dia telah telah datang, Tuan Duke.” Orang kepercayaannya mengabarkan.
Tanpa mengangguki dan menimpal kata, gegas Balthazar keluar, beriringan dengan Esmera yang juga menyembul dari balik pintu kamarnya. Keduanya berjalan bersama menuruni tangga.
Dari jarak sekian meter sebelum sampai, aroma itu sudah menyengat. Esmera langsung menutup hidung.
“Cihh, aku benci bau sialan ini.”
Balthazar tak menimpali, terus melangkah untuk mendekat ke ruang keluarga yang sudah ada seorang yang dia tunggu di sana.
Sosok itu sudah terlihat.
Xavier.
Lelaki ini berdiri sembari menatap deretan foto keluarga yang tidak satu pun ada dirinya. Hanya Balthazar serta istri dan anak mereka-- Duke Muda Keelan De Jongh.
Suara hentak sepatu terdengar, lima detik kemudian dia menoleh dan mendapati ayah dan ibu tirinya sudah duduk di masing-masing sofa khusus mereka.
Dengan tenang Xavier mendekat, lalu duduk di tempatnya tanpa terbeban dengan tatapan keruh orang tuanya. “Aku cukup terkejut, Ayah sampai memanggilku kemari. Apakah kita akan membicarakan pernikahanku dengan Putri?”
Wajah Balthazar kelam membaja. “Bagaimana bisa kau menerima pernikahan itu? Apa kau sungguh ingin mengacau nama besar ayahmu?!”
Nada yang sangat tinggi untuk pembuka obrolan.
Xavier mengerut kening sembari memulas senyuman tipis. “Mengacaukan nama besar Ayah? .... Dari mana Ayah memetik kesimpulan itu?”
Mulut Balthazar terdiam, tapi tak lepas dari ekspresi geram. Belum ada jawaban di kepalanya untuk dilontar.
Malah Esmera yang tidak sabar. “Dengan hadiah Grim Hills saja kau sudah cukup membuat kami rendah, ditambah kau menerima menikahi putri yang gila itu! Bagaimana kau bisa memutuskan tanpa persetujuan kami?! Meskipun kau bukan lagi tuan muda utama di keluarga De Jongh, setidaknya orang-orang masih menganggap kau putra ayahmu! Dan kenyataan itu tidak akan pernah berubah!”
Xavier melengak sebentar saja, lalu ....
“Hahaha!” Tawanya meledak keras.
Melebarkan mata ayah kandung serta ibu tirinya.
Mereka sampai sulit berkata-kata.
Hanya sesaat, tawa Xavier sudah berhenti. Tatapannya kembali pada pasangan di hadapannya, orang tua yang mengerikan.
“Kalian sungguh merasa seperti itu?" tanyanya, santai namun terdengar sarkas.
Balthazar dan Esmera melotot lebar, lagi-lagi sulit untuk menjawab.
“Sayangnya aku tidak peduli,” tukas Xavier seraya membenturkan punggung ke sandaran sofa, lalu menyilang kaki. “Seharusnya kalian juga seperti aku, 'kan? ... Bukankah sudah jelas dan banyak orang mengetahuinya?" Dia menjeda beberapa saat. “Aku anak yang dibuang ayahnya sendiri.”
Balthazar dan istrinya terempas, diam dalam cemas dan keresahan. Bagaimana pun ... yang dikatakan Xavier adalah benar.
Tapi orang-orang di ibukota belum banyak yang tahu, dan mereka itu yang membuat Balthazar selalu merasa terjebak.
Antara kebanggaan dan rasa jijik atas kutukan, keduanya dimiliki Xavier. Balthazar dilema.
Tatapan Xavier kini berubah datar, sangat datar.
“Sejak hari itu ... hari dimana angka usiaku tepat 8 tahun. Hari di mana Ayah mencampakkanku ....” Xavier menjeda hanya untuk menenangkan lebih dulu hatinya yang bergemuruh. “.... aku sudah bukan lagi seorang De Jongh. Aku ... Xavier Blood. Aku seorang Blood.”
Balthazar menelan ludah.
Esmera membeku diam.
“Jadi jangan campuri apa pun urusanku. Aku menikah dengan siapa pun adalah pilihanku. Jika kalian ingin berperan sebagai orang tua, pasang wajah terbaik saat pernikahanku nanti.”
Xavier berdiri dari tempatnya, dua orang tua itu mengikuti pergerakannya dengan mulut terkunci.
“Masih banyak urusan yang harus aku tangani. Termasuk menemui calon pengantinku. Bukankah kalian juga harus mengurusi perjodohan Tuan Muda Keelan?”
Langkah-langkah lebar mendorong Xavier meninggalkan dua orang itu dalam kebekuan panjang.
Hujan turun deras saat pasang kaki Xavier melewati pintu keluar.
Proka sudah sigap dengan payung terbuka, diberikannya payung itu ke tangan sang tuan.
“Terima kasih, Proka.” Xavier menerimanya lalu menembus hujan yang deras, berjalan menuju mobilnya.
Proka mengikuti dari belakang dengan payung yang lain.
Sepanjang jalan, pikiran Xavier dipenuhi banyak hal yang melilit seperti coretan kacau. Tentang kelakuan ayahnya dan ibu tiri, hingga bayangan putri yang akan segera dinikahinya.
“Belum apa-apa aku sudah merindukan perang," cicit hatinya. “Keadaan sekarang sungguh membuat pusing.”
Saat pikiran itu bergelut di tengah bunyi derasnya hujan, pandangan Xavier tercuri oleh sesuatu di emperan sebuah toko, tepian jalan.
“Hentikan mobilnya!" titahnya pada Proka tanpa mengalihkan wajah dari pemandangan yang didapati.
Supir itu langsung menurut tanpa bertanya alasan tuannya.
Tatapan Xavier tertuju pada seorang wanita bertopeng dengan busana serba hitam, tengah melakukan sesuatu pada seorang pria tua yang kesakitan di hadapannya.
“Sihir penyembuhan ... dan pemurnian!” Mata merah Xavier membulat lebar. “Aku membutuhkan wanita itu!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!