NovelToon NovelToon

Dunia Tempat Kamu Berada

01.) Open House Bupati Bawera

Chapter 1: Regent’s Open House

“Kak, besok bisa gantiin Papa menghadiri undangan open house Pak Radja?” tanya Papa melalui sambungan telepon.

“Open house lebaran, Pa?” tanyaku memastikan.

“Yaa open house lebaran, dong. Ini kan lagi momennya. Kamu aja nih yang momennya kebalik. Disaat orang-orang pada mudik, kamu malah merantau.”

“Yaa salah siapa coba nyuruh-nyuruh ikut gabung perusahaan? Ini juga kalau Pak Radja ternyata rekan bisnis Papa, Lila ga mau gantiin.” rajukku.

Papa tertawa. “Iyaa… Iya… Salah Papa. Tenang aja, Pak Radja itu sahabat Papa.” jelasnya. “Papa jamin ga ada udang di balik batu masalah perusahaan. Dah nyerah Papa minta kamu gabung ke perusahaan. Kalau kamu mau hadir bagus juga ntar buat perkembangan yayasan kamu. Siapa tau kan ketemu orang penting kota itu?” bujuknya.

“Hmm… Baiklah. Undangannya jangan lupa di forward ke Lila.” kataku menyetujui. 

“Ini langsung Papa kirim.”

°°°

Aku menghentikan mobilku di area lobby bangunan berbentuk joglo ini. Sesuai dengan undangannya “Open House”, acaranya pun juga dilakukan di kediaman pribadi Pak Radja. Untungnya Pak Radja menyediakan parkir valet sehingga aku tidak perlu susah payah memarkir mobil sendiri. Turun dari mobil, segera kuserahkan kunci kepada petugas yang juga sudah membantuku membuka pintu.

“Terimakasih.”

Seorang wanita bergamis hitam mengarahkanku menuju meja registrasi. Sembari menunggu antrian, aku menyiapkan undangan digital yang sudah diteruskan oleh Papa kemarin.

“Atas nama Moreno Adipramana? Diwakili?” tanya petugas registrasi setelah aku menscan barcode undangan.

“Ya. Saya Kalila Adipramana.”

Kembali kuikuti wanita bergamis hitam yang tadi mengarahkanku ke meja registrasi. Kali ini kami berjalan memasuki bagian utama joglo tempat berlangsungnya acara. Sembari berjalan aku mengamati dekor mewah bernuansa khas idul fitri yang terpasang dengan apik. Semua warna yang ada terlihat cantik dan serasi karena di undangan juga sudah ditentukan agar para tamu mengenakan busana ‘white-core’.

Setelah cukup mengamati dan berpapasan dengan tamu yang lain, sepertinya Papa termasuk tamu VIP dalam acara ini. Karena hanya beberapa tamu saja yang menerima perlakuan sepertiku ini. Kebanyakan yang sudah berumur dan terlihat memiliki jabatan.

Setelah mengamati yang lain juga, aku cukup merasa lega karena tidak salah kostum. Midi dress lengan pendek berwarna putih dengan bahan satin yang jatuh menjadi pilihanku. Selendang berwarna putih dengan aksen bordir bunga lily di setiap ujungnya kusampirkan di atas kepala, kubiarkan menjuntai hingga menutup kedua lengan yang cukup terbuka. Dengan begini aku jadi terlihat ‘normal’ dan tidak mencolok di acara ini.

“Tamu VIP Papa ya, mbak?” cegat seorang pria.

Wanita bergamis hitam yang mengarahkanku terkesiap kaget mendengar teguran pria asing yang sepertinya adalah anak dari Pak Radja. “Pak Satya.” sapanya penuh hormat.

Ia menyingkir sedikit sehingga aku bisa berhadapan langsung dengan pria yang tampak gagah dalam busana semi formalnya itu.

“Tamu VVIP Pak Radja, Pak. Ini Nona Kalila Adipramana, mewakili bapak Moreno Adipramana.”

“Nona Kalila. Ini Pak Satya Dierja, anak Bapak Radjasa Dierja sekaligus…”

Ucapan wanita tersebut terpotong lantaran pria yang diperkenalkannya tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk berjabatan tangan kepadaku.

“Satya saja. Tidak perlu embel-embel yang lain.”

Aku membalas jabatan tangannya. “Kalila saja, Mas Satya.” kataku masih tetap memperhatikan sopan-santun karena sepertinya pria tersebut juga berusia di atasku.

Mas Satya tersenyum setuju. “Nah begitu lebih baik. Daripada dipanggil bapak, bukankah saya lebih cocok dipanggil mas?” candanya. “Kalila saya saja yang mendampingi bertemu Papa, mbak.”

“Baik, Pak Satya. Saya kembali ke depan.”

Mas Satya menatapku bertanya. “Tidak keberatan kan jika saya saja yang mendampingi Kalila sepanjang acara ini?”

Meski cukup tergelitik dengan pemilihan katanya yang agak unik menurutku, aku tetap menjawab pertanyaannya dengan penuh senyuman.

“Tentu tidak. Saya malah jadi tersanjung karena dijamu langsung sama tuan rumahnya.”

“Kalau begitu kita menemui Papa terlebih dahulu. Baru setelahnya mencicipi berbagai kuliner yang ada.” ajaknya ramah.

Berdampingan kami berjalan menuju pusat acara dimana berdiri sepasang suami-istri yang mengenakan busana senada dengan Mas Satya tampak dikerumuni oleh tamu-tamu yang hadir.

“Pa.. Ma..”

Orang-orang yang sebelumnya mengerumuni Pak Radja dan istrinya langsung menyingkir begitu mendengar suara Mas Satya memanggil orang tuanya.

“Eh, Pak Satya datang bareng calonnya ini?” tanya seorang ibu-ibu sembari mengerling ke arahku dan Mas Satya yang datang berdampingan.

“Pak Radja sama Ibu segera punya hajat besar ini.”

“Waah.. kalau Mas Satya yang punya hajat bukan cuma Pak Radja lagi, tapi satu kabupaten nanti.”

“Iya benar itu, warga kabupaten kan juga sudah ga sabar menyambut Ibu PKKnya.”

Mas Satya tertawa mendengar celetukan-celetukan dari tamu-tamu yang sebelumnya mengerumuni Papanya. Sementara aku hanya tersenyum simpul pura-pura mendengar omongan para orang tua yang sangat kupahami maksudnya. Biar Mas Satya saja yang bertanggungjawab meredam godaan tamu-tamunya.

“Mohon doanya… Bapak-bapak, Ibu-ibu.” katanya. “Kalau begitu boleh saya pinjam dulu Papa sama Mama, biar kabupaten bisa segera punya hajat.” selorohnya.

“Sangat boleh, Pak Satya. Ditunggu segera lho undangannya.”

Para tamu yang sebelumnya mengerumuni Pak Radja dan Ibu segera pergi menjauh setelah sebelumnya berpamitan kepada tuan rumah. Mereka langsung diarahkan oleh petugas WO yang mengenakan seragam berwarna hitam ke stand makanan untuk menikmati hidangan.

Aku mencubit pelan lengan kiri Mas Satya yang berdiri di sebelah kananku setelah memastikan semua sedang sibuk sendiri.

Mas Satya menatapku bertanya. “KDRT lho Kalila.” katanya main-main.

Aku mencebik kesal. “Salah siapa ngawur gitu bicaranya?’ kataku kembali mencubit agak keras.

“Aduh!” serunya pura-pura kesakitan. Aku memelototinya sebentar agar tidak kembali berulah karena Pak Radja dan istrinya yang mulai memusatkan perhatian kepada kami.

Takut pria yang berdiri di sampingku ini bicara ngawur lagi, aku segera maju mendekati Pak Radja dan Ibu. “Selamat hari raya idul fitri, Pak Radja, Ibu. Saya Kalila Adipramana. Hadir di sini mewakili Papa yang berhalangan datang secara langsung.”

Ibu Radja segera menarikku ke dalam pelukannya setelah mengetahui identitasku yang sebenarnya. “Nak Kalila sekarang sudah besar ya. Terakhir ketemu dulu kamu  masih pre-school.”

Aku hanya meringis karena tidak ingat pernah bertemu Ibu Radja.

“Selamat hari raya idul fitri juga, Nak Kalila. Moreno sama Tara sehat?” sapa Pak Radja.

“Papa dan Mama sehat semua. Kebetulan mereka berdua sedang mengunjungi adik yang kuliah di London, jadi tidak bisa menghadiri undangan ini.”

“Oh ya… Kalau Nak Kalila masih kuliah juga?”

Aku menggeleng. “Saya sudah wisuda beberapa bulan yang lalu, Bu.”

“Eeh… panggilnya Om sama Tante aja. Sahabat kentel Reno sama Tara kita berdua ini.” tegur Tante Radja. “Lha sekarang kesibukannya apa, Nak?”

“Saya fokus merintis Yayasan Muda Berguna sekarang, Tan. Mulai dari kabupaten ini yang potensi pemudanya menjanjikan. Semoga bisa merata ke seluruh Indonesia.”

“Waah bagus itu kesibukannya. Kalau butuh apa-apa di kabupaten ini langsung kontak Satya saja, Nak.” sahut Om Radja.

“Betul itu. Kalau Kalila perlu bantuan bisa langsung menghubungi saya. Saya itu penguasa kabupaten ini, Kalila.” sahut Mas Satya jumawa.

Tanpa sadar aku mencibir mendengar nada sombong Mas Satya. “Sombong banget, Mas. Kaya Bupati sini saja lagaknya.”

Mas Satya menatapku penuh rasa kaget yang terlihat dibuat-buat. “Loh. Kalila merintis yayasan di kabupaten sini apa ga riset dulu? Kasih paham, Ma!”

Tante Radja memukul pelan lengan putranya. “Sudah. Kamu ini ketemu Nak Kalila kok malah jadi usil begini.” tegurnya. “Pa, itu anaknya tolong diamankan dulu. Bisa kabur nanti Nak Kalila lama-lama.”

“Loh, kalau bukan Satya yang ngikat Kalila biar ga kabur. Siapa lagi, Ma? Kok malah mau diamankan.” sahut Mas Satya

Om Radja tertawa. “Lagi kumat ini, Ma. Anaknya…” komentarnya. “Mending Mama bawa Nak Kalila makan dulu aja. Biar anak ini nemenin Papa njalanin tugasnya disini.”

“Waah… Ya ga mau saya. Ini kan Open House Pak Radja. Kalau Open House Bupati kan sudah kemarin. Bisa-bisa tamunya pada bingung nanti.” tolak Mas Satya. 

“Sama aja. Bupatinya kan ya anaknya Pak Radja.” sahut Tante Radja yang membuatku terkejut. “Kebanyakan malah pada cari kamu daripada Papa.”

Pantas saja Papa kemarin bilang kemungkinan aku bertemu orang penting kota ini. Kukira aku hanya akan menemui pejabat atau pebisnis daerah sini saja. Ternyata malah bertemu langsung dengan orang nomor satu di kabupaten ini. Sepertinya aku perlu melakukan riset yang lebih dalam lagi.

02.) Yayasan Muda Berguna

Chapter 2: Yayasan Muda Berguna

Selepas gelar sarjana resmi kuperoleh, Papa mulai rewel memintaku ikut bergabung di perusahaan. Aku yang sejak semula tidak pernah tertarik ikut campur mengurus perusahaan keluarga menolak keras permintaan Papa tersebut. Sebagai salah satu sumber penopang terbesar hidup mapan dan nyaman keluarga, aku tidak akan membiarkan diri ini mengacau perkara coba-coba yang sering digaungkan banyak pihak demi membujukku ikut andil dalam perusahaan.

Jiwa dan hatiku tidak pernah berada di bisnis keluarga.

Mama yang mengerti keinginanku menyarankan untuk merintis yayasan sosial dengan donatur utama dan tetapnya adalah perusahaan Adipramana. Dengan begitu aku tetap bisa ikut berkontribusi pada bisnis keluarga tapi tidak mengesampingkan keinginanku.

Aku tentu saja sangat setuju dengan usul Mama tersebut. Empat bulan penuh aku melakukan riset mendalam mengenai yayasan seperti apa yang ingin aku bentuk. Bertemu dan berdiskusi dengan banyak orang dan pihak pun terus aku lakukan. Dalam prosesnya yang panjang dan melelahkan tersebut Mama senantiasa mendampingiku mewujudkan mimpiku yang juga impian Mama sejak lama.

Mama sering mengajakku ikut serta dalam berbagai kegiatan sosialnya sejak aku kecil. Saking aktifnya Mama berkegiatan sosial, jiwa filantropiku pun juga ikut terbentuk karena Mama hampir selalu mengajakku ikut serta bila tidak ada halangan. Bahkan ketika menempuh pendidikan pun aku lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi yang bersifat sosial daripada kegiatan belajar mengajarnya sehingga prestasi akademikku pun tidak begitu cemerlang.

Meski begitu, Papa dan Mama tidak pernah menekanku karena tidak memiliki prestasi yang cemerlang. Mereka berdua menyadari jika setiap anak punya keistimewaannya masing-masing. Bahkan Mama sangat senang ketika aku setuju untuk merintis yayasan sosialku sendiri.

“Terimakasih sudah membantu mewujudkan mimpi Mama, Kak.” bisik Mama ketika seluruh syarat legal pendirian Yayasan sudah kukantongi.

Tak ingin menunda waktu yayasan untuk segera beroperasi, aku langsung berangkat menuju kabupaten. Wilayah ini dipilih sebagai tempat dimulainya Yayasan Muda Berguna karena potensi anak mudanya yang menjanjikan. Semua sudah dipersiapkan dengan baik mulai dari kantor yayasan yang berada lokasi strategis hingga para relawan pegiat filantropi yang memiliki minat di bidang pengembangan pemuda.

Dan bisa-bisanya risetku melewatkan hal penting mengenai siapa pemimpin kabupaten ini sekarang.

“Waow… Apa ini?” seru Renata, salah satu relawan YMB seraya melambaikan sebuah kertas yang terlihat seperti undangan.

“Apa tuh?” tanya anak-anak relawan lain kepo. Mereka bergegas mengerumuni Renata.

Aku tersenyum melihat anak-anak muda yang sudah memiliki jiwa sosial tinggi di usianya sekarang. Selain Renata, ada 5 orang pemuda yang ikut bergabung menjadi relawan di YMB ini. Mereka bernama Arabella, Santika, Rama, Putra dan Yudha. Semuanya merupakan anak daerah asli sini yang juga masih aktif menjadi mahasiswa di kota sebelah.

“Undangan gathering ormas dari pemerintah kabupaten.”

“Waah… bukannya YMB baru berdiri beberapa hari ini ya? Tapi sudah bisa dapat undangan bergengsi dari pemerintah gini?” celetuk Rama.

“Koneksi Mbak Kalila kan ga main-main, Ram.”

“Ini undangan untuk 2 orang… Siapa yang diajak hadir, Mbak? Pingin ikut…” tanya Renata kepadaku penuh harap.

“Pastinya sama pasangannya, dong. Kamu jangan jadi obat nyamuk gitu, Ren.”

“Yee.. aku kan kepo, kalau acara pemerintah gini tuh kayak gimana.”

“Halah. bilang aja mau liat Mas Bupati secara langsung.”

“Bonus itu… Siapa sih yang ga mau ketemu langsung sama Mas Bupati ganteng yang masih single itu?”

“Yakin masih single? Rumornya kemarin bawa gandengan tuh Bupati di Open House keluarganya.”

Aku menegang mendengar celetukan terakhir Rama. Kemungkinan besar rumor tersebut berpotensi mengarah kepadaku, mengacu pada latar kejadian di acara open house Om Radja. Agar lebih pasti, aku berjalan mendekati anak-anak yang duduk mengelompok.

“Tau dari mana, Ram? Emang kamu hadir di acara itu?”

“Budheku yang pengusaha itu kan rekannya Pak Radja, jadi kemarin dapet undangan ke acara itu. Katanya sih budheku liat sendiri calonnya Pak Satya. Cantik banget gitu.”

“Liat fotonya! No Pic, Hoax ya.”

“Ga ada. Ketat banget acaranya, masuk aja semua alat komunikasi harus dititipin. Gimana mau foto coba?”

Aku menghela nafas lega mendengar keterangan yang disampaikan Rama. Baru tau juga jika acara kemarin mewajibkan semua alat komunikasi untuk dititipkan. Kemarin ponselku tidak diminta, jadi tetap kubawa masuk ke lokasi acara meski tidak keluar dari tas sama sekali.

“Lah, tamunya pada ga bisa pamer foto sama Mas Bupati dong?”

“Yaa kan kemarin juga bukan open housenya, Mas Bupati?”

“Tetep masih bisa pamer sih. Semua dokumentasi acara aman diurus sama WO keluarga Pak Radja. Jadi setiap tamu yang foto sama tuan rumah langsung dikirim hasilnya ke email masing-masing tamu.”

“Yaah…. Strict banget ya. Jadi gabisa liat muka calonnya Mas Bupati.”

Dalam hati aku bersyukur karena keluarga Om Radja yang sangat memperhatikan privasi. Bisa-bisa wajahku ini menghiasi kolom gosip panas kabupaten. Sepertinya aku harus menjaga jarak aman bila bertemu Mas Satya.

“Lagi pada bahas apasih? seru banget keliatannya.” sapaku.

Keenam anak muda ini berbalik menghadapku.

“Eh, Mbak Kalila. Ini lho ada undangan gathering ormas dari pemerintah.”

“Undangannya buat 2 orang lho, mbak.” info Renata. “Ntar perginya sama siapa, Mbak? Pacarnya ya?”

Aku tersenyum menanggapi kekepoan Renata. “Ga ada pacar. Kamu aja yang jadi plus one ku ntar gimana?” tawarku. “Atau yang lain ada yang mau?”

“Mau, Mbak. Mau banget aku. Kapan lagi bisa ketemu deket sama Mas Bupati?” sahut Renata antusias.

Aku menggeleng gemas. “Yang lain gimana? Ada yang kepengen juga?” tawarku ke anak-anak yang lain. “Kalau ada kalian aja yang datang mewakili. Kapan lagi kan bisa ketemu Mas Satya langsung?”

Mereka berenam berseru heboh.

“Waduh, manggilnya mesra banget, Mbak? Mas Satya.”

“Kenal dekat sama Mas Bupati ya, Mbak?”

Aku tersenyum tenang menanggapi godaan remaja di hadapanku ini. Kalau gugup malah makin menjadi nanti godaannya.

“Aku kan cuma ngikutin cara kalian manggil Bupatinya. Lagian namanya benar Satya kan? alamat riset lagi nih aku kalau salah.”

“Yaa bener sih. Tapi jarang aja ada yang manggil kaya Mbak Kalila gitu. Biasanya Pak Satya atau Mas Bupati.”

Aku tertawa. “Baiklah… Baiklah… Ntar aku ikut warga sini aja bagaimana manggilnya.” kataku menyerah. “Dimaklumi yaa… Kan bukan penduduk asli sini.” tambahku ngeles.

“Nikah sama orang sini aja, Mbak. Biar jadi penduduk tetap.”

Kembali aku tertawa. “Ya mohon doanya. Biar dapat jodohnya orang sini.” balasku menanggapi godaan mereka.

Kompak mereka mengamini perkataanku.

“Jadinya gimana nih? Ada yang mau pergi ke gatheringnya selain Renata?” tanyaku mengembalikan topik pembicaraan.

Mereka berlima kompak menggeleng. “Ga dulu, Mbak. Kami berlima ini orang sibuk. Cuma Renata aja yang gabut.”

“Waa ngajak berantem nih kalian? Awas aja ya kalau iri pengen ketemu Mas Bupati juga.”

“Sudah.. Sudah.. Renata siap-siap ya jadi plus one ku. Kapan sih acaranya?” leraiku.

“Nanti malam, Mbak.” jawab Renata seraya menyerahkan undangan kepadaku.

“Yang benar aja?” seruku kaget. Aku segera mengecek undangan yang sudah berada di tanganku. “Ini panitianya waras atau gimana? Ngasih undangan kok beberapa jam sebelum acara? Kalau ga niat ngundang yaudah gausah ngundang.”

Arabella terkikik mendengar gerutuanku. “Biasaaa, Mbak. Pemerintah kalau buat acara emang sukanya bikin gedandapan.”

Aku mendengus kesal. “Ga sehat ini iklimnya, kalau gini.” komentarku. “Kalau bukan gara-gara baru merintis, gamau aku hadir ke undangan kaya gini. Ga menghormati tamunya.”

“Sabar, Mbak…” kata Yudha. “Orang sabar jodohnya Mas Bupati.” lanjutnya.

“Aku juga mau sabar kalau itu ganjarannya.” seloroh Santika.

Aku segera berpamitan kepada anak-anak untuk mempersiapkan diri hadir di acara gathering nanti malam. “Duluan ya, teman-teman. Mau siap-siap dulu cari busana yang cocok.” pamitku.

”Renata, ntar aku jemput ke rumahmu setengah jam sebelum acara. Sudah harus siap ya.” peringatku yang sangat paham bagaimana cewek kalau berdandan.

“Siap, Mbak. Begitu mobil Mbak Kalila sampai depan rumahku, Aku sudah siap sedia di depan rumah.”

03.) Pertemuan

Chapter 3: Gathering

Konsep acara gathering ormas ini berbeda dari acara-acara serupa yang biasa kudatangi bersama Mama. Meski aktif mengikuti organisasi sewaktu masih kuliah, aku tidak pernah bersedia menghadiri undangan dari pemerintah yang masuk ke organisasi.Ada orang lain yang lebih kompeten mewakili organisasi dalam acara-acara tersebut. Karena itu aku cukup kaget dan canggung mendapati vibes acara yang berbeda dari biasanya.

Untung saja ada Renata yang terlihat cukup paham tentang bagaimana jalannya acara yang diselenggarakan pemerintah.

“Mbak Kalila belum pernah datang ke acaranya pemerintah ya?” komentar Renata sesaat setelah kami turun dari mobil.

Aku menggeleng. “Belum. Dulu selalu temanku yang mewakili kalau ada undangan-undangan begini. Emang kenapa?” tanyaku.

Renata terkikik. “Pantesan ga tau.” katanya. Ia mendekatkan dirinya kearahku. “Coba Mbak lihat tamu-tamu yang lain. Pada pakai batik.” bisiknya.

Mengikuti perkataan Renata, aku mengedarkan pandangan untuk mengamati tamu-tamu yang lain. Dan benar yang diucapkan Renata, hampir semua tamu memakai outfit bernuansa batik. bahkan Renata sendiri juga memakai dress full corak batik sogan.

Kembali kupandangi outfit semi formalku yang memadukan midi dress satin lengan seperdelapan berwarna hitam polos. Selendang hitam bermotif samar juga kusampirkan ke atas kepalaku. Dengan pikiran bahwa acara ini akan seperti open house lebaran khusus ormas dan pemerintah, aku berusaha tampil sopan mengikuti momen idul fitri yang masih hangat. Akan tetapi, sepertinya aku salah kostum kali ini.

“Ada DCnya?” tanyaku seraya mengingat-ingat isi undangan gathering ini.

“Engga ada, Mbak.” jawab Renata. “Tapi emang udah jadi kaya kesepakatan tak tertulis gitu, kalau ada undangan dari pemerintah yaa pada pakai batik.” tambahnya.

Mendengar perkataannya aku langsung membalikkan langkah menuju keluar ruangan.

“Mau kemana, Mbak?” cegah Renata.

“Pulang. Ganti baju.”

“Lah, telat ntar. Itu meja registrasi sudah di depan mata. Ngapain balik segala?”

“Ya kamu aja yang gantiin. Kayaknya juga aku ga packing baju batik kemarin.”

“Yaudah. Gausah pulang, Mbak. Pede aja kali, cantik gini kok.” bujuk Renata.

“Kenapa masih berdiri di sini?” tegur suara maskulin yang terasa familiar di belakang kami. “Ayo segera masuk. Acara akan segera dimulai.”

Serempak aku dan Renata membalikkan tubuh untuk mengetahui siapa yang berbicara kepada kami. Berdua kami terdiam speechless setelah melihat yang berdiri di belakang kami adalah sang Bupati. Tokoh utama acara ini sekaligus orang yang telah menegur kami, sepertinya.

“Mm… Pak Satya.” sapaku hampir memanggilnya Mas. Untung aku segera ingat bagaimana anak-anak YMB bergosip tadi siang.

Mas Satya menaikkan alisnya mendengar sapaanku yang berbeda dari kemarin. Aku yang menyadari kodenya berpura-pura tidak paham dengan mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Mas Bupati…” sapa Renata ramah. “Ini lho, Mas. Mbak kalila geger minta balik soalnya merasa salah kostum. Ga pakai batik sendiri.” adu Renata sok akrab.

Mas Satya tersenyum jenaka mendengar aduan Renata. “Engga salah kostum kok, Mbak Kalila. Di undangan tidak ada aturan berpakaian kecuali aturan universal acara yaitu bebas, rapi, dan sopan.” kata Mas Satya mengikuti cara Renata memanggilku.

“Lagian saya juga ga pakai batik.” tambahnya.

Aku langsung memerhatikan outfit yang digunakan Mas Satya malam ini. Memadukan blazer berwarna hitam dengan kaos putih dan celana bahan berwarna hitam. Penampilan Mas Satya jadi terlihat lebih muda dan fresh, santai tanpa menghilangkan wibawa pemimpinnya.

“Waah iyaaa… Malah kayak jadi couple-an sama Mbak Kalila.” seru Renata yang membuat semua orang memusatkan perhatian ke kami.

“Naah, jadi ga perlu risau lagi ya Mbak Kalila…” sahut Mas Satya.

Salah seorang staf yang mengikuti Mas Satya membisikkan sesuatu yang membuat Mas Satya melirik arloji di pergelangan tangannya.

“Mari segera masuk, Mbak Kalila dan temannya. Biar acara segera dimulai, jadi tidak terlalu malam nanti selesainya.” ajak Mas Satya.

“Baik Mas Bupati. Saya Renata.” sahut Renata memperkenalkan dirinya. “Mas Bupati duluan masuk saja. Saya dan Mbak Kalila mau ke meja registrasi dahulu.”

“Okee… Habis ini langsung ke meja registrasi dan segera masuk yaa.”

Mas Satya dan rombongannya berjalan memasuki aula tempat acara berlangsung. Setelah semua masuk ke aula, Renata menarik tanganku menuju meja registrasi. Aku membiarkan Renata yang mengurus pendaftaran kehadiran acara ini.

Selesai mengisi data diri, kami diantar salah satu panitia masuk ke dalam ruangan, karena hanya tinggal kami berdua yang masih di luar. Panitia tersebut mengarahkan kami duduk di bangku yang masih kosong, paling belakang dan pojok. Tidak strategis menurut Renata, tapi aku senang mendapat tempat ini sehingga bisa menghindari sorotan.

Susunan acara yang dibacakan mengisyaratkan jika acara ini akan berlangsung secara formal. Para pejabat pemangku pemerintahan daerah yang hadir memberikan sambutan sepatah-dua kata di awal. Beberapa juga menyampaikan harapan agar semua organisasi yang ada di kabupaten dapat bersinergi secara positif dengan pemerintah. Tak ketinggalan Mas Satya selaku Bupati turut serta menyumbangkan aspirasinya.

“Oh yaa.. Nanti waktu sesi ramah tamah jangan pada mengerumuni saya yaa. Biar saya saja yang mendatangi meja kalian satu-satu. Jadi bisa adil semua bisa menyampaikan aspirasinya.” pesan Mas Satya sebelum menutup sambutannya.

Acara ramah tamah pun segera dimulai setelah Mas Satya turun dari panggung. Artis daerah yang sengaja diundang berganti naik panggung untuk memeriahkan suasana. Seperti janjinya tadi, Mas Satya segera menghampiri meja terdepan untuk memulai sesi ramah tamah versinya. Sementara itu pramusaji mulai menyajikan hidangan ke setiap meja.

“Ini set peralatan makannya emang ga lengkap begini ya?” bisikku pada Renata.

“Ga lengkap gimana, Mbak? Ini ada sendok, garpu, gelas.” tanya Renata bingung.

“Ini konsepnya fine dining kan?”

Renata melotot kaget. “Bukaan, Mbak. Ini konsepnya piring terbang. Tau ga?”

Aku menggeleng.

“Bentar aku searching dulu, biar mudah jelasinnya.” Renata segera sibuk mengutak-atik ponselnya.

“Nih dari wikipedia. Tradisi piring terbang adalah tata cara menghidangkan makanan dengan menggunakan pramusaji kepada tamu undangan.” jelas Renata seraya menunjukkan layar gawainya. “Dan untuk peralatan makan yang digunakan pun sesuai dengan apa yang diantarkan, Mbak. Jadi ga perlu bingung mau pakai sendok yang mana kaya table manner.”

Aku mengganggukan kepala paham. “Oh begituu…” gumamku.

Entah pembicaraan kami berdua yang terlalu panjang, atau Mas Satya yang cuma sebentar mampir-mampir di meja yang lain. Tiba-tiba saja beliau dan asistennya sudah sampai di meja kami.

Oh iya, meja yang tersedia ini berbentuk bulat dengan 8 kursi. Jadi seharusnya ada 4 organisasi dalam satu meja, karena satu undangan berlaku untuk 2 orang. Akan tetapi karena ada satu organisasi yang tidak hadir, di meja kami hanya terisi 6 orang saja.

“Waah, akhirnya ada tempat duduk juga yang bisa saya tempati.” sapa Mas Satya. Tanpa permisi ia langsung menduduki bangku kosong yang kebetulan tepat berada di sampingku.

“Ini dari organisasi mana saja?”

Bergantian kami memperkenalkan diri ke Mas Satya. Berlanjut saling mengungkapkan aspirasi masing-masing kepada Mas Satya secara langsung. Sementara dariku hanya memperkenalkan organisasi YMB yang baru berdiri serta harapanku agar dapat bersinergi dengan pemerintah.

Yang membuatku salut, Mas Satya tidak membiarkan aspirasi tersebut sia-sia. Sejak awal beliau mengkode asistennya untuk mencatat semua perkataan lawan bicaranya.

“Saya makan disini saja sekalian, gapapa kan? Riweuh banget kalau harus kembali ke depan, mumpung ada bangku kosong.” ijin Mas Satya.

Semua yang ada di meja ini mengangguk setuju. Asisten Mas Satya pun segera bergerak untuk mewujudkan keinginan bosnya tersebut.

Disaat yang lain sibuk berbincang satu sama lain. Mas Satya mendekatkan dirinya kepadaku.

“Saya ga suka lho, Mbak Kalila… Kalau dipanggil terlalu formal begitu.” bisiknya.

“Saya juga ga suka dipanggil Mbak, padahal jelas-jelas lebih tuaan bapak.” balasku.

“Loh! Saya kan cuma mengikuti cara Mbak Kalila memanggil saya. Kalau formal gitu ya lazimnya disini dipanggil Mbak, biar sopan”

Aku meliriknya sebal. “Tapi kenapa saya merasa sapaan Mbak dari Mas Satya itu terdengar seperti olokan yaa?” gerutuku.

Mas Satya tersenyum senang mendengarku kelepasan memanggilnya Mas. “Nah, kalau gini kan saya suka, Kalila. Jangan diganti lagi yaa.”

“Nanti pulangnya bareng saya saja, Kalila. Kamu kan pendatang, dan sepertinya acara ini selesai cukup larut. Biar aman.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!