NovelToon NovelToon

Legenda Pedang Surgawi

Panggilan Takdir 命运的呼唤

Kabut putih melayang-layang di sekitar puncak Gunung Kunlun, menciptakan pemandangan bak lukisan tinta yang mengambang di antara langit dan bumi. Di salah satu sudut istana yang megah, seorang pemuda berpakaian sederhana duduk termenung di tepi kolam teratai. Pantulan wajahnya di air menunjukkan fitur yang tampan namun lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tajam.

Wei Xialong menghela napas panjang. Sudah tiga bulan berlalu sejak ia terbangun di tubuh pangeran muda yang dikutuk ini, namun ia masih belum bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Yang ia ingat terakhir kali hanyalah sedang mengerjakan tugas akhir di perpustakaan universitasnya di Beijing modern, sebelum semuanya menjadi gelap.

"Pangeran Ke-lima," suara seorang pelayan tua memecah lamunannya. "Yang Mulia Kaisar memanggil Anda ke Aula Keadilan Surgawi."

Xialong bangkit perlahan, membersihkan jubah sederhananya yang berwarna biru pudar. Berbeda dengan para pangeran lain yang selalu mengenakan jubah mewah dengan bordiran naga emas, ia lebih memilih pakaian sederhana—sesuatu yang sering mengundang cemoohan dari saudara-saudaranya.

"Baiklah, Paman Chen. Aku akan segera ke sana."

Sepanjang perjalanan menuju aula utama, para dayang dan pejabat yang berpapasan dengannya segera menepi dan menunduk, namun Xialong bisa mendengar bisikan-bisikan yang familiar:

"Itu Pangeran Ke-lima, yang tidak bisa menggunakan Qi..." "Kasihan sekali, padahal ia putra Selir Yang yang cantik itu..." "Ssst! Jangan keras-keras. Bagaimanapun dia tetap seorang pangeran..."

Xialong tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa dengan gosip-gosip semacam ini. Di dunia di mana kekuatan Qi adalah segalanya, seorang pangeran yang tidak bisa menggunakan energi spiritual dianggap sebagai aib kerajaan. Namun ada sesuatu yang tidak mereka ketahui—sesuatu yang bahkan Xialong sendiri baru mulai memahaminya.

Setiap malam, ketika ia bermeditasi sendirian di paviliunnya, ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dalam aliran darahnya. Bukan ketidakmampuan untuk mengendalikan Qi seperti yang semua orang kira, melainkan sebuah kekosongan yang haus—seolah tubuhnya adalah sebuah wadah tak berdasar yang siap menyerap segala bentuk energi spiritual.

Aula Keadilan Surgawi menjulang tinggi dengan pilar-pilar merah dan atap berlapis emas. Di dalamnya, Kaisar Li Tianming duduk di singgasana naga emasnya, dikelilingi oleh para pejabat tinggi dan empat pangeran lainnya yang berdiri dalam barisan rapi.

"Wei Xialong," suara Kaisar menggelegar. "Kau terlambat."

"Maafkan hamba, Ayahanda Kaisar." Xialong membungkuk dalam, mengambil posisi di ujung barisan, jauh dari keempat saudaranya yang menatapnya dengan campuran kasihan dan mencemooh.

"Hari ini," Kaisar melanjutkan, "adalah hari yang ditunggu-tunggu. Para ahli nujum telah meramalkan bahwa Pedang Surgawi Tian Jian akan memilih pewaris barunya."

Suara bisik-bisik kagum memenuhi aula. Tian Jian, pedang legendaris yang konon ditempa dari bintang jatuh dan diberkati oleh para Dewa Pedang, telah tertidur selama seribu tahun di Kuil Pedang Surgawi. Menurut legenda, hanya mereka yang memiliki takdir besar yang bisa membangunkan dan menggunakan pedang tersebut.

"Keempat putraku yang berbakat," Kaisar menatap bangga pada empat pangeran di barisan depan, "akan mengikuti ritual pemilihan. Dan Xialong..."

Semua mata tertuju padanya.

"...kau juga akan hadir sebagai saksi."

Xialong bisa mendengar tawa tertahan dari Pangeran Ketiga, Wei Tianfeng, saudaranya yang paling suka mengejek kelemahannya. Namun ia tetap membungkuk hormat. "Terima kasih atas kemurahan hati Ayahanda."

Perjalanan ke Kuil Pedang Surgawi memakan waktu setengah hari. Rombongan kerajaan bergerak dalam formasi megah, dengan para pengawal berkuda dan kereta-kereta mewah yang dihiasi lambang naga emas. Xialong memilih untuk menunggang kuda sendiri di bagian belakang rombongan, menikmati pemandangan gunung yang semakin liar dan mistis.

Ketika mereka tiba, matahari sudah condong ke barat, memberikan cahaya keemasan yang memantul di atap kuil yang terbuat dari jade putih. Di halaman kuil, puluhan pendeta Tao berbaju putih telah menunggu, dipimpin oleh seorang tetua tua dengan jenggot putih panjang.

"Yang Mulia Kaisar," tetua itu membungkuk. "Tian Jian telah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Bintang-bintang telah berbaris dalam formasi Pedang Surgawi."

Ritual dimulai dengan pembakaran dupa dan pembacaan mantra kuno. Para pangeran berbaris di depan altar utama, tempat Tian Jian beristirahat dalam sarung pedang jade hijaunya. Xialong berdiri di sudut, mengamati dalam diam.

Satu per satu, para pangeran maju untuk mencoba mengangkat pedang tersebut. Pangeran Pertama, Wei Tianhao yang terkenal dengan kultivasi Qi-nya yang mencapai level Awan Ungu, mencoba dengan penuh percaya diri—namun pedang itu tetap tak bergerak. Pangeran Kedua dan Keempat mengalami nasib yang sama.

Ketika giliran Pangeran Ketiga, Wei Tianfeng, suasana menjadi tegang. Di antara semua pangeran, dialah yang dianggap paling berbakat dalam ilmu pedang. Dengan gerakan anggun, ia mengulurkan tangan, jemarinya hampir menyentuh gagang Tian Jian.

Tiba-tiba, angin kencang bertiup dari nowhere, memadamkan semua lilin di altar. Kabut putih yang biasanya menyelimuti puncak gunung berubah keemasan, berpilin seperti naga yang menari-nari di udara.

Dan di tengah kekacauan itu, Xialong merasakan sesuatu yang aneh. Darahnya berdesir, seolah merespons panggilan dari sesuatu yang kuno dan berkuasa. Tanpa sadar, kakinya melangkah maju.

"Lancang!" Wei Tianfeng berteriak. "Kau tidak diizinkan mendekati Tian Jian!"

Namun Xialong seolah tidak mendengar. Matanya terpaku pada pedang di altar, yang kini mengeluarkan cahaya kebiruan yang lembut. Semakin ia mendekat, semakin kuat resonansi yang ia rasakan dalam darahnya.

Ketika jemarinya menyentuh gagang Tian Jian, dunia seolah membeku. Suara-suara di sekitarnya menghilang, digantikan oleh dengung halus yang familiar—seperti melodi kuno yang telah lama terlupakan.

"Akhirnya..." sebuah suara bergema dalam kepalanya, "sang pewaris telah kembali."

Dengan satu gerakan mulus, Xialong mengangkat Tian Jian dari altar. Pedang itu terasa ringan di tangannya, seolah telah menunggunya selama ribuan tahun. Cahaya kebiruan memancar lebih terang, membungkus tubuhnya dalam balutan energi spiritual yang murni.

"Tidak mungkin..." Wei Tianfeng tergagap. "Bagaimana bisa seseorang yang bahkan tidak bisa menggunakan Qi..."

Namun kata-katanya terputus ketika melihat apa yang terjadi selanjutnya. Qi murni dalam jumlah besar mulai mengalir dari segala arah, tertarik seperti magnet ke tubuh Xialong. Fenomena yang belum pernah terlihat sebelumnya—seorang kultivator yang mampu menyerap dan mengendalikan Qi dalam skala sebesar ini.

Tetua Tao tua itu tiba-tiba berlutut, diikuti oleh semua pendeta lainnya. "Ramalan kuno telah terpenuhi... Sang Pewaris Dewa Pedang telah kembali!"

Wei Xialong berdiri tegak, Tian Jian berkilau dalam genggamannya. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun di dunia ini, ia merasakan kepastian dalam hatinya. Inilah takdirnya. Inilah alasan mengapa ia dipanggil ke dunia ini.

"Aku, Wei Xialong," suaranya bergema di seluruh kuil, "dengan Tian Jian sebagai saksiku, bersumpah akan mengungkap misteri takdir ini dan melindungi keseimbangan tiga alam!"

Saat ia mengangkat Tian Jian ke langit, petir menyambar di kejauhan, seolah surga sendiri memberi restu pada sumpahnya. Era baru dalam sejarah Kekaisaran Tianchao telah dimulai, dan Wei Xialong, sang pangeran yang dulunya dikutuk, akan segera membuktikan bahwa takdir terkadang memilih jalannya sendiri yang misterius.

Bayangan yang Mengintai 暗影浮现

Bulan purnama menggantung seperti lentera raksasa di langit malam Gunung Kunlun. Di sebuah paviliun tersembunyi, Wei Xialong duduk bersila, Tian Jian terbaring di pangkuannya. Sudah tujuh hari berlalu sejak ritual pemilihan, namun bisikan-bisikan misterius yang ia dengar saat pertama menyentuh pedang itu masih menghantuinya.

"Berhati-hatilah," suara kuno itu kembali bergema dalam benaknya. "Mereka yang bermain-main dengan takdir akan terbakar olehnya."

Xialong membuka mata, menatap pedang di pangkuannya. Dalam keremangan, ia bisa melihat ukiran-ukiran kuno yang berpendar kebiruan di sepanjang bilah Tian Jian—simbol-simbol yang tak pernah ia lihat sebelumnya, namun entah mengapa terasa familiar.

"Siapa sebenarnya 'mereka' yang kau maksud?" bisiknya pada pedang itu. Seperti biasa, hanya keheningan yang menjawab.

Tiba-tiba, sebuah ledakan energi Qi yang kuat mengguncang paviliun. Xialong bangkit dengan sigap, Tian Jian tergenggam erat. Di kejauhan, kobaran api menerangi langit malam—berasal dari arah Perpustakaan Kekaisaran.

Tanpa pikir panjang, ia melompat ke atap paviliun. Berkat resonansi dengan Tian Jian, kemampuannya mengendalikan Qi telah meningkat pesat dalam seminggu terakhir. Dengan langkah ringan, ia berlari di atas atap, melompati celah-celah di antara bangunan.

Ketika tiba di perpustakaan, pemandangan yang menyambutnya membuat darahnya membeku. Pintu utama telah didobrak paksa, dan di dalam, sosok-sosok berpakaian hitam sedang mengobrak-abrik rak-rak gulungan kuno.

"Cari yang lebih cepat!" salah satu dari mereka berteriak. "Gulungan Rahasia Dewa Pedang pasti ada di sini!"

Xialong mengerutkan kening. Gulungan Rahasia Dewa Pedang? Mengapa mereka mencari—

Pikirannya terputus ketika sebuah bayangan melesat ke arahnya. Dengan gerakan refleks yang mengejutkan dirinya sendiri, ia mengangkat Tian Jian, menangkis sebilah pedang hitam yang nyaris menembus lehernya.

"Wah, wah..." suara dingin terdengar dari balik topeng hitam penyerangnya. "Sang Pewaris Dewa Pedang sendiri yang datang. Ini akan memudahkan pencarian kami."

Lima penyerang lainnya segera mengepung Xialong. Dari aura Qi mereka, ia bisa merasakan bahwa mereka bukan kultivator sembarangan—setidaknya setingkat dengan para jenderal elite kerajaan.

"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan dari Gulungan Rahasia itu?"

Pemimpin mereka tertawa kecil. "Kau memiliki kekuatan itu tapi tidak tahu apa-apa tentangnya? Sungguh menyedihkan. Para Dewa Pedang pasti sudah putus asa sampai memilih wadah kosong sepertimu."

Kata-kata itu menusuk, tapi Xialong tidak membiarkan emosinya terpancing. Sebaliknya, ia memusatkan perhatian pada detail-detail kecil. Cara mereka bergerak, formasi mereka, dan terutama—simbol samar yang terbordir di ujung lengan baju mereka.

Sebuah ular hitam yang melilit pedang patah.

Mendadak, ingatan yang bukan miliknya membanjiri benaknya. Visi tentang pertempuran kuno, pengkhianatan besar, dan... pembantaian. Tian Jian bergetar di tangannya, memancarkan cahaya biru yang lebih intens.

"Klan Ular Hitam," nama itu meluncur dari bibirnya tanpa ia sadari. "Kalian seharusnya sudah musnah seribu tahun lalu."

Hening sejenak. Kemudian, tawa dingin pemimpin mereka memecah kesunyian. "Oh? Sepertinya ada yang mulai mengingat. Tapi terlambat, Pewaris Kecil. Malam ini, kami akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami!"

Pertarungan meledak dalam sekejap. Lima pedang hitam menyerang dari berbagai arah, membentuk formasi yang dirancang untuk menguras Qi lawannya. Namun mereka tidak memperhitungkan keunikan kemampuan Xialong.

Alih-alih terkuras, setiap serangan yang ia tangkis dengan Tian Jian justru membuat energi Qi-nya bertambah kuat. Seperti lubang hitam, ia menyerap sebagian energi dari setiap serangan, membuat para penyerangnya semakin frustrasi.

"Mustahil!" salah satu dari mereka berteriak. "Bagaimana bisa—"

Kata-katanya terputus ketika Xialong melancarkan serangan balasan. Tian Jian bergerak seperti naga biru yang menari, meninggalkan jejak cahaya di udara. Dua penyerang terpental, tubuh mereka menghantam rak-rak gulungan.

Namun di tengah pertarungan, Xialong menangkap sesuatu yang janggal. Serangan mereka, meski mematikan, seolah dirancang untuk mengalihkan perhatian. Dan benar saja—ketika ia melirik ke sudut perpustakaan, sosok keenam sedang membuka sebuah panel rahasia di lantai.

"Ketemu!" sosok itu berseru, mengangkat sebuah kotak kayu berukir.

Xialong hendak mengejar, tapi pemimpin kelompok itu menghadangnya. "Terlambat, Pewaris Kecil. Rahasia yang kau bahkan tidak tahu telah menjadi milik kami."

Tepat saat itu, dentang lonceng alarm kerajaan berkumandang. Pasukan pengawal istana pasti sudah dalam perjalanan. Para penyerang mundur dengan teratur, melemparkan bom asap yang menghalangi pandangan.

Ketika asap menipis, mereka telah menghilang, meninggalkan perpustakaan dalam kondisi berantakan. Xialong berdiri di tengah kekacauan, pikirannya berkecamuk. Siapa sebenarnya Klan Ular Hitam? Apa isi gulungan rahasia yang mereka curi? Dan yang paling mengganggunya—mengapa ia bisa mengenali mereka?

"Pangeran Kelima!" seruan para pengawal yang berdatangan memecah lamunannya. "Anda tidak apa-apa?"

Sebelum ia bisa menjawab, sosok anggun melangkah masuk ke perpustakaan. Selir Yang, ibunya, dengan wajah cantiknya yang selalu tenang namun menyimpan kesedihan.

"Xialong," suaranya lembut seperti biasa, tapi ada getaran aneh di dalamnya. "Ikut ibu. Ada yang harus ibu ceritakan."

Di paviliun pribadi Selir Yang, di bawah cahaya lilin yang temaram, Xialong duduk berhadapan dengan ibunya. Wanita itu menuangkan teh dengan gerakan anggun yang telah terpatri dalam ingatannya, namun malam ini ada sesuatu yang berbeda—seolah beban berat yang selama ini ia pikul sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Ibu selalu tahu hari ini akan datang," Selir Yang memulai, suaranya nyaris berbisik. "Sejak pertama kali melihat tanda lahir berbentuk pedang di punggungmu..."

Xialong tersentak. Tanda lahir itu—sesuatu yang selama ini ia anggap tidak berarti.

"Klan Ular Hitam..." Selir Yang melanjutkan, matanya menerawang jauh. "Mereka bukan hanya musuh para Dewa Pedang. Mereka adalah pengkhianat yang mencuri dan mencoba meniru teknik terlarang—teknik yang membuat mereka bisa mencuri dan menyerap jiwa para Dewa Pedang sendiri."

"Tapi bukankah mereka sudah dimusnahkan seribu tahun lalu?"

Senyum sedih menghiasi wajah cantik ibunya. "Tidak ada yang benar-benar musnah, Xialong. Mereka hanya menunggu, bersembunyi dalam bayangan, mencari waktu yang tepat..." Ia berhenti sejenak, seolah ragu untuk melanjutkan. "Seperti darah para Dewa Pedang yang mengalir dalam tubuhmu."

Dunia Xialong seolah berputar. "Apa maksud ibu?"

"Kau bukan hanya pewaris Tian Jian, anakku. Kau adalah reinkarnasi dari pemimpin terakhir para Dewa Pedang—seseorang yang mengorbankan dirinya untuk menyegel kekuatan Klan Ular Hitam. Dan sekarang, dengan bangkitnya kembali kekuatanmu..."

Suara ledakan dahsyat menghentikan kata-kata Selir Yang. Dari kejauhan, api hitam membubung tinggi ke langit malam, diikuti aura jahat yang membuat udara terasa berat.

"Mereka sudah memulai ritual terlarang," Selir Yang bangkit dengan wajah pucat. "Xialong, dengarkan ibu. Gulungan yang mereka curi berisi mantra kuno untuk membangkitkan kembali jiwa-jiwa yang tersegel. Jika mereka berhasil..."

"Semua Dewa Pedang yang tersegel akan menjadi budak mereka," Xialong menyelesaikan kalimat itu, pemahaman mengerikan membanjiri benaknya. Bukan hanya tentang bahaya yang mengancam, tapi juga tentang dirinya sendiri—tentang mengapa ia bisa berada di dunia ini, mengapa ia dipilih.

Tian Jian berdengung di punggungnya, seolah merespons pemahaman barunya. Xialong berdiri, menatap api hitam di kejauhan. Untuk pertama kalinya, ia merasa takdir yang selama ini membingungkannya mulai menunjukkan bentuknya—meski dalam rupa yang jauh lebih gelap dan berbahaya dari yang ia bayangkan.

"Ibu," ia berbalik menatap Selir Yang. "Masih banyak yang ingin kutanyakan, tapi sekarang ada yang harus kulakukan."

Selir Yang mengangguk, air mata menggenang di sudut matanya. "Pergilah. Tapi ingat—jangan biarkan masa lalu menentukan siapa dirimu sekarang. Kau adalah Wei Xialong, putraku, sebelum kau menjadi apapun yang takdir inginkan."

Dengan satu anggukan mantap, Xialong melompat ke atap, bergerak cepat ke arah api hitam yang membubung. Di belakangnya, Selir Yang menatap sosoknya yang menjauh dengan ekspresi rumit—campuran antara bangga, cemas, dan... sesuatu yang lebih dalam, sebuah rahasia yang masih belum siap ia ungkapkan.

"Semoga para Dewa Pedang melindungimu, anakku," bisiknya pada angin malam. "Karena badai yang sesungguhnya... baru akan dimulai."

Malam Bulan Darah 血月之夜

Api hitam membubung tinggi ke langit malam, menelan cahaya bulan purnama yang kini berpendar kemerahan. Wei Xialong melompat dari atap ke atap, Tian Jian berdengung gelisah di tangannya. Setiap langkah membawanya lebih dekat ke pusat energi jahat yang kini memancar dari arah Kuil Seribu Bayangan—sebuah kuil tua yang sudah lama ditinggalkan di pinggiran ibukota.

"Hati-hati," suara kuno dalam kepalanya memperingatkan. "Mereka yang bermain dengan jiwa-jiwa terlarang akan membangkitkan hal yang lebih mengerikan dari kematian."

Tepat saat ia mendarat di atap terakhir, sebuah teriakan membelah malam. Suara yang familiar—Wei Tianfeng, Pangeran Ketiga.

"Kakak ketiga?" Xialong mempercepat langkahnya. Meski hubungan mereka tidak baik, ia tidak bisa mengabaikan jeritan kesakitan itu.

Pemandangan yang menyambutnya di halaman kuil membuat darahnya membeku. Wei Tianfeng tergeletak di tanah, tubuhnya diselimuti energi hitam yang tampak seperti ular-ular kecil yang menari. Di sekelilingnya, enam anggota Klan Ular Hitam membentuk formasi, chanting mantra dalam bahasa kuno yang membuat udara bergetar.

"Selamat datang, Pewaris Kecil," pemimpin mereka berkata tanpa menghentikan chantinya. "Kau datang tepat waktu untuk menyaksikan kelahiran kembali era baru."

"Lepaskan dia!" Xialong mengacungkan Tian Jian, namun langkahnya terhenti oleh barrier energi tak terlihat.

"Ah, masih naif seperti biasa," sosok baru melangkah keluar dari bayangan. Seorang pria tua dengan rambut putih panjang dan mata ular yang berkilat dalam kegelapan. "Seperti seribu tahun lalu, kau selalu terlalu peduli pada nyawa-nyawa tidak berharga."

Ingatan asing kembali membanjiri benak Xialong. Wajah itu—ia mengenalnya dari kehidupan yang bahkan tidak ia ingat. "Guru... Liu?"

Tawa dingin menggema. "Oh? Kau masih mengingatku? Ya, aku adalah Liu Mengxin, guru pedang yang kau khianati seribu tahun lalu ketika kau memilih untuk melindungi manusia lemah alih-alih mencari kekuatan sejati!"

"Xialong... lari..." Wei Tianfeng tiba-tiba bersuara, darah mengalir dari sudut bibirnya. "Mereka... menggunakan tubuhku sebagai wadah..."

"Diam!" Liu Mengxin menendang Tianfeng. "Kau harusnya berterima kasih. Tubuhmu yang dipenuhi dendam dan iri hati adalah wadah sempurna untuk kebangkitan Kaisar Ular!"

Mendadak, ingatan-ingatan berkelebat dalam benak Xialong seperti pecahan cermin yang berserakan. Pengkhianatan besar seribu tahun lalu. Guru Liu yang terobsesi dengan kekuatan terlarang. Ritual kuno yang membutuhkan jiwa yang dipenuhi dendam sebagai wadah...

"Tidak..." Xialong maju selangkah, barrier energi membakar kulitnya. "Kau tidak bisa membangkitkannya. Dia sudah kusegel dengan nyawaku sendiri!"

"Justru itu!" Liu Mengxin mengangkat gulungan kuno yang dicuri. "Dengan darah reinkarnasimu dan wadah yang dipenuhi dendam, segel itu bisa dipatahkan. Kaisar Ular akan bangkit kembali, dan kali ini, tidak akan ada Dewa Pedang yang tersisa untuk menghentikannya!"

Ritual mencapai klimaksnya. Energi hitam membubung dari tubuh Tianfeng, membentuk sosok ular raksasa yang melayang di udara. Mata merahnya menatap tajam ke arah Xialong, lidah bercabangnya menjulur dalam tawa tanpa suara.

"Akhirnya..." suara berat bergema dalam kepala semua orang. "Setelah seribu tahun, aku bisa mencium udara kebebasan lagi."

"Yang Mulia Kaisar Ular!" Liu Mengxin berlutut. "Dengan kebangkitan Anda, era Dewa Pedang akan berakhir!"

Namun ada yang aneh. Xialong melihat kilatan kepuasan di mata Wei Tianfeng—sesuatu yang tidak seharusnya ada pada seseorang yang dijadikan wadah paksa.

Tiba-tiba, Tianfeng tertawa. Bukan tawa kesakitan, tapi tawa dingin yang penuh perhitungan. "Guru Liu yang malang... kau pikir kau bisa mengendalikan kekuatan yang bahkan tidak kau pahami?"

Dalam sekejap, energi hitam yang menyelimuti tubuhnya berubah arah, menyerang balik para anggota Klan Ular Hitam. Liu Mengxin terpental, wajahnya pucat. "Tidak mungkin! Ritual ini..."

"Ritual ini membutuhkan wadah yang dipenuhi dendam?" Tianfeng bangkit, matanya kini berkilat dengan cahaya ular yang sama. "Kalian memberiku tepat apa yang kubutuhkan. Selama bertahun-tahun aku menunggu, membiarkan kalian mengira akulah yang terhasut oleh dendam... padahal akulah yang memanipulasi dendam kalian!"

Xialong terhuyung mundur saat pemahaman menghantamnya. "Kau... sejak awal..."

"Ya, adik kecil," Tianfeng—atau siapapun yang kini mengendalikan tubuhnya—tersenyum kejam. "Aku sudah ada di sini sejak lama, bersembunyi dalam darah keluarga kerajaan, menunggu momen yang tepat. Guru Liu hanya membantuku mencapai tujuanku lebih cepat."

"Pengkhianat!" Liu Mengxin meludahkan darah. "Kau menggunakan kami!"

"Seperti kalian menggunakan orang lain?" Tianfeng mengangkat tangannya, dan lima anggota Klan Ular Hitam lainnya tiba-tiba mencengkeram leher mereka sendiri, tercekik oleh kekuatan tak terlihat. "Selamat tidur, para pion yang tidak berguna."

Saat tubuh-tubuh itu terjatuh tanpa nyawa, Xialong akhirnya memahami situasi sepenuhnya. Bukan hanya satu, tapi dua musuh yang harus ia hadapi. Dan yang lebih buruk—salah satunya adalah kakaknya sendiri.

"Jadi, adik kecil," Tianfeng melangkah maju, energi hitam menari-nari di sekelilingnya. "Apa yang akan kau lakukan? Membunuh kakakmu sendiri untuk menyelamatkan dunia? Atau membiarkan Kaisar Ular bangkit sepenuhnya melalui tubuh ini?"

Tian Jian bergetar di tangan Xialong, memancarkan cahaya biru yang lebih terang. Untuk pertama kalinya sejak terlahir kembali di dunia ini, ia merasakan beban takdir yang sesungguhnya di pundaknya.

Namun sebelum ia bisa membuat keputusan, sosok anggun mendarat di antara mereka. Selir Yang, dengan rambut hitamnya yang berkibar tertiup angin malam, mengacungkan sebilah pedang tipis yang berkilau keperakan.

"Ibu?" Xialong dan Tianfeng berkata bersamaan.

"Maafkan ibu," air mata mengalir di pipi Selir Yang. "Ibu telah gagal melindungi kalian berdua."

Pedang di tangannya mengeluarkan cahaya yang membuat Kaisar Ular dalam tubuh Tianfeng mendesis mundur. "Pedang itu... tidak mungkin! Pedang Bulan Perak yang menghilang!"

"Ya," Selir Yang menatap kedua putranya bergantian. "Karena ibu adalah yang terakhir dari Klan Pemburu Bulan—pelindung rahasia yang ditugaskan mengawasi segel Kaisar Ular. Dan sekarang..." ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Ibu harus melakukan apa yang seharusnya ibu lakukan sejak dulu."

Angin malam bertiup kencang, membawa aroma dupa yang terbakar dari kuil dan bau metalik darah. Xialong merasakan Tian Jian beresonansi dengan Pedang Bulan Perak milik ibunya—dua senjata legendaris yang tidak pernah ia sangka akan bertemu dalam situasi seperti ini. Dadanya sesak oleh berbagai emosi yang berkecamuk: pengkhianatan, kebingungan, amarah, dan yang paling menyakitkan—rasa bersalah. Seandainya ia lebih cepat menyadari keanehan dalam diri kakaknya, mungkin semua ini bisa dihindari. Namun saat ia menatap mata Tianfeng yang kini dipenuhi kilatan ular jahat itu, ia tahu bahwa penyesalan tidak ada gunanya. Yang tersisa hanyalah pilihan—pilihan yang akan menentukan tidak hanya nasib keluarganya, tapi juga keseimbangan dunia itu sendiri.

Selir Yang, seolah membaca kegelisahan putra bungsunya, berbisik lembut tanpa mengalihkan pandangannya dari Tianfeng. "Xialong, dengarkan ibu. Takdir seorang kultivator sejati bukan ditentukan oleh darah yang mengalir dalam tubuhnya atau ramalan kuno yang tertulis dalam gulungan. Takdir sejati ditentukan oleh pilihan yang ia buat saat menghadapi ujian terberat dalam hidupnya." Ia menggenggam Pedang Bulan Perak lebih erat, cahaya keperakan menari-nari di sekitar bilahnya. "Dan malam ini, anakku, adalah malam di mana kau harus membuat pilihan itu."

Malam semakin larut, dan bulan di langit kini benar-benar merah seperti darah. Di bawah cahayanya, tiga sosok berdiri dalam ketegangan—seorang ibu dengan pedang legendaris, seorang putra yang dirasuki iblis kuno, dan seorang pewaris takdir yang harus memilih antara ikatan darah dan takdir dunia.

Badai yang sesungguhnya... baru saja dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!