Pagi yang sangat sibuk seperti biasa.
Perkenalkan namaku Sinta. Aku seorang pengusaha muda yang memiliki usaha di bidang kecantikan atau yang biasa orang kenal sebagai “CEO” atau “Owner” brand skincare yang cukup populer di negara Indonesia.
Aku tinggal di Jakarta dan sudah menikah. Memiliki suami bernama Bagaskara yang juga seorang pengusaha muda di bidang otomotif dan cukup sukses meskipun secara finansial, penghasilanku 2 kali lipat jauh lebih banyak daripada suamiku.
Kami memiliki seorang anak lelaki yang berumur tujuh tahun yang baru saja memasuki sekolah dasar yang kami beri nama Gabriel.
Kehidupan rumah tangga kami sangat harmonis. meskipun kami sama-sama sibuk, tapi kami saling mendukung satu sama lain. Berbagi tugas untuk mengasuh dan mendidik anak semata wayang kami dengan baik.
Beberapa bulan yang lalu, kami mungkin tidak serepot ini. Dimana ada kedua orang tuaku masih tinggal bersama kami di rumah ini. Dan tentunya membantu kami, menjaga anak kami selama kami berdua sibuk bekerja. Ya, ini adalah rumah orang tuaku sekaligus tempat aku lahir dan tumbuh selama ini. Sejak ayahku menderita penyakit jantung, kakak laki-lakiku sekaligus sodaraku satu-satunya yang kini tinggal di Amerika. Memaksa untuk membawa ayah dan ibuku tinggal bersamanya. Dengan alasan pengobatan di Amerika lebih menjanjikan. Meskipun menurutku, di Indonesia banyak juga rumah sakit atau dokter yang bagus. Aku pun setuju karena memang kakakku orang yang sangat aku hormati keputusannya.
Sementara kedua orang tua mas Bagas, sudah meningal dunia sejak dia masih bayi. Dan berakhir dia di rawat oleh Bibinya yang bernama Bibi Salamah. Alhasil kami hanya tinggal bertiga dan bahkan tanpa pembantu atau asisten rumah tangga. Di rumah yg menurut mas Bagas terlalu besar untuk kami bertiga.
Aku sibuk menyiapkan sarapan, dan mas Bagas sibuk menata Gabriel karena hari ini adalah hari pertama Gabriel masuk sekolah dasar.
“Mas, sarapan sudah siap. Gabriel, ayo sarapan sayang,” panggil Sinta lembut.
“yey! Cereal rasa coklat.”
“Makan dengan tenang, dan habiskan sarapanmu!”
“oke papa.”
“Sinta, setelah kita antar Gabriel ke sekolah, bisakah kamu menemani mas untuk mengunjungi Bibi Salamah? Baru saja dia mengirimiku pesan, katanya dia butuh bantuan.”
“Bantuan? Bantuan apa memangnya mas?”
“Entahlah. Mas khawatir, jadi sebaiknya kita kesana bersama. Apa kamu tidak keberatan?”
“Tentu saja tidak mas. Bibi Salamah kan bibi kamu, yg sudah aku anggap seperti ibu mertua aku sendiri. Jadi sudah sewajarnya aku ikut bersamamu.”
“Terima kasih sayang. Kamu memang istri yang sangat pengertian.”
Kami mengantar Gabriel ke sekolah bersama-sama tetapi dengan mobil yang terpisah. Hingga lanjut pergi kerumah Bibi Salamah yg berjarak lima kilo meter dari kediaman kami. Saling beriringan. Itu karena aku dan mas Bagas, harus pergi ke tempat kerja masing-masing setelah selesai dari kediaman bibi Salamah.
Akhirnya kami pun tiba di kediaman bibi Salamah.
Mas Bagas masuk terlebih dahulu dan aku menyusul di belakang. Karena memang parkiranku di belakang mas Bagas.
Terlihat Bibi Salamah berlari menyambut mas bagas dengan bercucuran air mata. Seolah ada kejadian memilukan yang sedang ia alami.
“Bagas, syukurlah kamu datang. Bibi butuh bantuanmu.”
“Bibi, apa yang terjadi?!” Ucap Bagas.
“Apa kabar Bibi?” Sapaku.
“Sinta, kok kamu ikut ? Bukannya Bu Bos selalu sibuk!”
Begitulah Bibi Salamah. Meskipun aku menganggapnya seperti ibu mertua aku sendiri, tapi sikapnya kepadaku sedikit jutek. Semenjak keinginannya membeli rumah senilai 5 milyar untuk anaknya Bimo dengan meminjam uang mas Bagas gagal. Karena aku lebih menyarankan untuk membeli rumah sesuai kemampuan Bimo yang juga adik sepupu mas Bagas. Bagaimana tidak, Bimo bekerja sebagai salah satu pegawai dari perusahaan mas Bagas tapi sikapnya seolah pemilik dari perusahaan otomotif tersebut. Masuk jam berapa pun yang dia mau, dan pulang kapan pun yang dia inginkan. Setiap hari berfoya-foya dengan para wanita di club malam. Bahkan mobil yang mas Bagas berikan kepada Bimo sebagai hadiah seorang kakak kepada adiknya, telah di jual untuk memenuhi kehidupannya yang bak konglomerat. Lalu bagaimana bisa, dengan keadaannya yang menurutku belum punya tanggung jawab terhadap pekerjaan nya, justru meminjam 5 milyar untuk membeli rumah dengan jaminan pekerjaan. Apalagi akhir-akhir ini pendapatan usaha otomotif mas Bagas mengalami penurunan. Jadi aku menyarankan agar Bimo membeli rumah sesuai kemampuan di banding berhutang.
“Mas Bagas bilang bibi butuh bantuan, jadi saya ikut siapa tahu Bibi membutuhkan bantuanku juga.”
“Membantuku? Kapan kamu membantu bibi atau Bimo? kamu itu pelit. Bahkan aku minta bantuan Bagas yang aku besarkan dari bayi, itupun kamu tolak. Padahal itu perusahaan Bagas uang Bagas. Bukan uang kamu.”
“Bibi, sudahlah. Kita duduk dan ceritakan padaku apa masalah bibi. Dan kamu Sinta, duduklah bersamaku,” ucap Bagas.
Aku pun duduk bersampingan dengan mas Bagas dan mulai mendengarkan cerita dari Bibi Salamah dengan cermat.
“Begini Bagas, kamu kan sudah seperti anak kandung bibi yang bibi besarkan sejak bayi. Bimo juga seperti adik kandung kamu. Jadi bibi minta tolong kepadamu, tolong Bimo nak. Bimo masuk penjara karena di tuduh mencuri uang di club malam nak.”
“Bibi jangan khawatir Bi, saya akan berusaha membebaskan Bimo secepatnya.”
“Bibi, tapi kalau itu cuma tuduhan seharusnya bibi tidak perlu khawatir. Pasti di tempat seperti club ada cctv yang bisa di jadikan barang bukti kalau Bimo tidak bersalah,” ujarku.
“Tapi itu masalahnya, yang terlihat di cctv itu Bimo. Bagas percayalah nak. Bimo anak yang baik, dia pasti terpaksa. Tolong Bimo nak.”
“Jadi, Bimo benar-benar mencuri Bi?” Tanya Sinta polos.
“Kau ini! Bimo itu mabuk. Jadi tidak sadar, dan kau tau tidak mungkin Bimo mencuri. Kalaupun iya pasti terpaksa. Kau tahu Bagas, Bimo terpaksa berbutang untuk hidup dia dan Bibi. Jadi mungking Bimo terpaksa melakukan itu untuk membayar hutang.”
“Bibi, sebenarnya bibi harus tau. Bimo selain suka berfoya-foya dia juga suka berjudi Bi. Itu yang membuat Bimo terjerat hutang. Tapi bibi tidak perlu khawatir, aku akan membebaskan Bimo secepatnya.”
Bagas mencoba memberitahu Bibi Salamah yang sebenarnya. Namun tetap saja sepertinya Bibi Salamah tidak peduli dengan perilaku anak kesayangan nya itu dan justru seolah menyalahkan keadaan pada sang keponakan.
“Bimo yang malang, dia pasti berjudi karena terpaksa. Dia pasti berusaha keras untuk dapat uang lebih agar tidak di hina orang. Kau itu kakaknya, hidupmu enak. Rumah, mobil, perusahaan, semuanya ada. Sementara Bimo adikmu, tidak punya apa-apa. Dia di hina karena tidak sepertimu. Dia tertekan. Kasihan Bimo.”
Tangisan yang menyayat hati menggema seiring celoteh Bibi Salamah tentang kehidupan nya dan Bimo.
—————
Hai para pembaca, terimakasih sebelumnya sudah mampir di karya perdanaku. Mohon dukungan nya untuk like tiap episode. Like anda sangat berarti bagi saya 🥰
“Bu Sinta, ini dokumen yang anda minta. Oh ya bu, baru saja ada transaksi penarikan uang sebesar 500 juta atas nama bapak Bagaskara.”
“Benarkah? Baiklah akan aku periksa. Terimakasih Rini untuk laporan nya.”
Pagi ini lagi-lagi Sinta di kejutkan tentang penarikan uang oleh Bagas dengan nominal yang cukup fantastis. Setelah drama Bibi Salamah tadi pagi, mas Bagas menyuruh sang istri untuk tidak ikut campur tentang Bimo. Karena dia takut jika Sinta ikut serta, Bibi Salamah dan sang istri akan sering berdebat dan itu tidak baik untuk hubungan mereka. Jadi Bagas yang akan menyelesaikan masalah adik sepupunya itu sendiri dan dengan cara dia sendiri.
Tapi di sisi lain, Bagas tidak ijin ataupun memberitahu Sinta terlebih dahulu mengenai penarikan uang tersebut. Sedikit informasi meskipun perusahaan itu di pimpin oleh Bagas, tapi sebenarnya perusahaan itu milik kakak lelaki Sinta yang sekarang tinggal di Amerika.
Dulu, Bagas adalah karyawan kepercayaan kakak Sinta yang bernama Arya. Karena Prestasinya, Arya memberikan kepercayaan penuh kepada Bagas untuk mengelola perusahaan tersebut. Sebab Arya resmi membuka perusahaan yang lebih besar di Amerika dan memutuskan untuk tinggal disana bersama anak dan istrinya. Setiap laporan keuangan ataupun masalah yang di hadapi perusahaan tersebut Arya menugaskan Bagas untuk wajib melapor melalui Sinta sang adik ataupun ayahnya Pak Basuki. Disitulah benih-benih cinta tumbuh antara Sinta dan Bagas.
Tapi semenjak mereka menikah, memang peraturan tersebut entah mengapa terabaikan begitu saja. Mungkin karena Bagas menganggap bahwa mereka sudah menjadi satu kesatuan dan tidak memiliki batasan seperti dahulu antara bos dan karyawan.
————
Malam hari di kediaman Bibi Salamah.
“Bibi, saya sudah memenuhi janji kepadamu. Bimo sudah bebas sepenuhnya. Dan kalian bisa berkumpul kembali di rumah. Jadi saya harap Bimo bisa berubah. Tolong berhenti berjudi, pikirkan masa depanmu. Bekerjalah dengan baik kasihani ibumu. Kamu mengerti!” ucap Bagas tegas kepada Bibi dan juga sepupunya Bimo.
“Bagas, bibi sungguh sangat bersyukur punya keponakan sepertimu. Tidak sia-sia Bibi membesarkanmu dari bayi. Bibi keluarkan biaya banyak untuk pendidikanmu. Kau tau bagaimana membalas budi nak.”
“Bibi, saya tidak akan pernah lupa tentang jasa bibi membesarkan saya. Dan juga bibi sudah seperti ibu kandung saya. Jadi bibi tidak perlu sungkan.”
“Kau memang anak yang baik, tidak seperti istrimu yang pelit itu. Dulu bibi pikir dia bos yang dermawan, tapi makin lama makin terlihat sifat asli istrimu itu, sangat pelit dan perhitungan. Bibi menyesal membiarkanmu menikahinya.”
“Bibi, tolong jangan salah paham. Sinta wanita yang baik. Dia juga menyayangi bibi. Jadi tolong jangan bicara hal buruk tentang Sinta bi, bagaimanapun dia istriku.
“Mas Bagas, meskipun aku sudah bebas, tapi pasti hidup aku dan ibu tetap tidak akan tenang. Kau tau sendiri hutangku masih ada 700 juta. Apa yang harus aku lakukan? bagaimana melunasinya? Kau harus menolongku agar ibu juga bisa hidup dengan damai,” jawab Bimo khawatir.
“Nak Bagas, bibi tau bibi sering merepotkanmu. Tapi bibi mohon bantulah adikmu. Uang 700 juta itu uang yang sedikit buat kamu nak, tolong adikmu bibi mohon.”
“Bibi, hari ini saya sudah menarik uang perusahaan 500 juta untuk membayar pengacara dan memberi uang jaminan agar Bimo bisa bebas. Bahkan saya belum berbicara kepada Sinta tentang penarikan tersebut. Jadi tidak mungkin saya menarik uang lagi dengan nominal yang lebih besar. Apalagi bibi tau sekarang perusahaan sedang mengalami penurunan omset. Itu bisa mengganggu keuangan perusahaan.”
“Kalau begitu ibu, kita harus menjual rumah ini, untuk bisa membayar hutangku.”
“Astaga Anakku, ini rumah satu-satunya milik kita. Dan bagaimana ibu bisa menjual rumah peninggalan mendiang ayahmu ini? Lagipula kalau di jual mungkin cuma laku 500 juta. Kita masih butuh 200 juta lagi.”
“Bibi, saya pikir ini jalan terbaik untuk masalah ini. Saya punya kenalan orang yang bisa menjual rumah dengan cepat. Kita bisa membayar 500 juta terlebih dahulu lalu sisanya bisa di cicil. Saya yakin Bimo akan bekerja keras agar bisa mencicil uang sisanya. Bagaimana..?”
“Tapi, Bibi sama Bimo mau tinggal dimana? Bibi sudah tidak punya apa-apa lagi kalau rumah ini di jual nak.”
“Bibi, di perusahaanku memiliki rumah untuk fasilitas karyawan. Kebetulan masih ada rumah yang kosong. Bagaimana kalau bibi dan Bimo tinggal sementara di rumah itu.”
“Kalau nak Bagas bilang begitu, bibi dan Bimo setuju.”
“Tapi mas Bagas rumahnya kan ada tiga, aku mau rumah yang paling besar. Jadi suruh karyawan di situ pindah ke rumah lain nya. Oh ya, untuk mobil bisa tidak aku pakai mobil mas Bagas. Untuk sehari-hari. Mas tau kan mobilku sudah aku jual. Jadi bagaimana aku bisa bekerja kalau tidak ada mobil.”
“Tapi mobil ini satu-satunya mobilku Bimo. Jika mobil ini kamu ambil mas pakai apa?”
“lho kan mobil di rumah mbak Sinta banyak. Mobil milik mertuamu itu nganggur. Mbak sinta juga sudah pakai mobil sendiri, jadi nggak papa kan kalau ini aku pakai. Ya mas ya. Masak si, mas Bagas tega sama adik sendiri.
——————
Pukul 23.20
Sinta menunggu kepulangan suaminya dengan gelisah. Meskipun sudah menelfon dan memberitahu bahwa suaminya akan pulang larut malam, Sinta tetap menunggu sambil menghangatkan kembali makanan yang sudah dingin di meja makan.
“Mas, kamu pulang naik taxi? Ada apa dengan mobilmu?”
“Emm, itu mobilnya aku tinggal di rumah bibi, jadi mas pulang pakai taxi. Gabriel sudah tidur?”
“Ma, jangan-jangan…”
Belum sempat Sinta menyelesaikan kalimatnya ,Mas Bagas buru-buru memotongnya.
“Sayang, mas gerah, mas mau mandi dan setelah itu mau tidur. Badan mas capek.”
“Tapi mas belum makan. Aku sudah siapin makan malam untuk mas Bagas.”
“Besok pagi saja mas makannya ya.”
—————
Pagi ini entah kenapa aku merasa mas Bagas bebeda. Dia seperti sedang menghindariku. Tidak banyak bicara seperti biyasanya dan seperti ada yang di sembuyikan.
“Hari ini biar mas saja yang antar Gabriel ke Sekolah..”
“Tidak perlu mas,?hari ini sekretarisku Rini yang akan mengantar Gabriel. Dia kesini untuk meminta tanda tanganku jadi aku meminta dia untuk sekalian mengantar gabriel ke sekolah.”
“Yey! sama tante Rini lagi. Sudah lama Gabriel gak ketemu sama tante Rini,” ucap Gabriel penuh semangat.
“Nanti baik-baik ya sama tante Rini. Dan jangan nakal ok!”
“Ok Mom!”
“Sayang, Apa tidak merepotkan? Lagipula kenapa harus datang bukankah kamu juga mau ke kantor pagi ini?”
“Pagi ini aku ingin ke kantormu dulu mas. Ada beberapa laporan yang harus aku laporkan pada Kak Arya.”
Pov. Bagas.
“Ada apa ini? Kenapa mendadak sekali Sinta ingin ke kantor. Atau jangan-jangan Sinta tau tentang penarikan uang kemaren. Bagaimana ini, apa yang harus aku katakan padanya nanti.”
“Mas, Sebenarnya aku sudah tau semuanya tentang masalah keuangan perusahaan ini. Tapi aku diam karena berharap kamu bisa menjelaskan semuanya tanpa aku minta. Jadi sekarang tolong jelaskan tentang penarikan uang yang ternyata sudah kamu lakukan sebanyak tiga kali dalam tiga bulan terakhir ini. Dan juga kerjasama perusahaan ini dengan perusahaan Adipura, kenapa mereka bisa menuntut perusahaan ini dengan nominal yang sangat fantastis?”
Keheningan terjadi di sebuah ruangan pribadi di kantor tempat Bagaskara bekerja setiap harinya. Ada perasaan marah dan juga kecewa yang dirasakan Sinta terhadap suaminya Bagas.
Bukan hanya perkara uang atapun perusahaan yang ternyata sedang bermasalah, tapi tentang kejujuran dan saling terbuka antar pasangan. Semenjak Bimo dan Bibi Salamah menginginkan rumah mewah seharga 5milyar yang kemudian di tolak oleh sinta, sejak itupula Bagas suami Sinta mulai berubah. Terutama tentang perusahaan. Dulu, tanpa Sinta minta Bagas selalu rajin melaporkan keuangan dan kemajuan perusahaan. Tapi semenjak tiga bulan terakhir ini seakan banyak sekali yang Bagas sembunyikan dari sinta. Setiap kali di tanya tentang perusahaan Bagas hanya menjawab singkat bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi kini Bagas sudah tidak bisa menyembunyikan apapun lagi karena Sinta sudah mengetahui semuanya.
“Mas minta maaf, sama kamu sayang. Mas benar-benar minta maaf”
“Hanya itu mas?”
“ Sebenarnya, Dalam tiga bulan terakhir ini mas sedang banyak masalah. Untuk penarikan yang kemaren memang mas yang melakukan nya. Mas ambil 500 juta untuk biaya pembebasan Bimo dari penjara..”
“Lalu yang dua kali sebelumnya? Juga masalah dengan perusahaan Adipura?”
“Yang dua kali sebelumnya Bimo yang melakukan nya. Saat itu dia sedang ada masalah. Dia melakukan penarikan secara diam-diam atas namaku dengan nominal 300 juta dan 1 milyar. Saat itu mas sudah menegurnya. Tapi dia bilang bahwa dia terpaksa jika dia ingin tetap hidup. Sementara bibi, dia juga mengancam untuk bunuh diri jika terjadi sesuatu terhadap Bimo.
Mas bingung. Mas tidak ingin kehilangan mereka berdua. Mas tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain mereka. Mas coba menutupinya darimu karena tidak ingin ada masalah antara kamu dan keluarga mas. Mas benar-benar minta maaf.”
“Lalu bagaimana dengan perusahaan Adipura? Kenapa mereka menuntut kita ganti rugi dengan nominal yang sangat besar? 20 milyar bukan uang yang sedikit mas. Dan jika itu terjadi maka perusahaan ini bisa bangkrut.”
“Mas tau. Ini semua salah mas. Mas tidak bisa mengirim pesanan barang kepada mereka sesuai kesepakatan kontrak karena terkendala produksi. Dimana keuangan perusahaan yang terganggu hingga menghambat produksi. Tambah lagi pemasukan dari perusahaan lain mengalami penurunan. Dan-”
“Bimo? Karena Bimo? Mas sadar ga si, semenjak Bimo masuk ke perusahaan ini banyak sekali masalah yang ia timbulkan. Penarikan uang 300 juta, 1 milyar, belum lagi dia sangat ceroboh dalam bekerja menyebabkan kerugian hingga ratusan juta. Masuk kerja tidak tau waktu, pulang kerja juga seenaknya. Minta gaji tinggi bahkan setara dengan gaji mu. Mentang-mentang kamu kakak sepupunya, minta di belikan mobil mewah seharga milyaran tapi mana? Dia jual juga habis. Sekarang masuk penjara karena ketahuan mencuri. Hutang dimana-mana, dan mas masih membelanya. Astaga mas!”
Sinta tidak bisa lagi membendung amarahnya. Dia menangis sambil merancau karna begitu kesalnya terhadap suaminya yang selama ini di anggap nya terlalu berlebihan memanjakan adik sepupunya itu.
“Mas, aku ingin melaporkan masalah ini ke pihak berwajib. Aku ingin Bimo bisa menyadari kesalahan nya dan kamu mas berhenti membelanya, atau perusahaan ini akan hancur.”
“Tidak! Tolong jangan lakukan itu Sinta mas mohon! Bimo baru saja keluar penjara. Mas yakin setelah ini dia akan berubah. Percayalah! Mas mohon Sinta. Tolong keluarga mas.”
“Apa yang harus aku katakan tentang kehancuran perusahaan ini kepada kak Arya?”
“Sinta, mas tau perusahaan skincare kamu sedang naik daun. Bukankah penghasilan perusahaanmu mengalami kenaikan. Bisakah kamu membantuku membayar ganti rugi terhadap perusahaan Adipura? Setelah ini mas janji akan memperbaiki lagi perusahaan ini agar kembali bangkit dan sukses kembali. Mas mohon Sinta.”
Sinta terdiam. Bukan ia enggan menolong suaminya, tapi masalahnya dengan dia membantu keuangan suaminya, maka Bimo akan merasa bahwa apa yang ia lakukan selama ini baik-baik saja. Tidak ada efek jera. Tapi sisi lain, suami yang ia cintai sedang mengalami masalah,. Sudah seharusnya ia membantu tapi, ini terlalu rumit. Sinta berfikir sejenak hingga akhirnya.
“Baiklah. Aku akan membantu perusahaan ini, tapi mas bisa jamin kalau Bimo bisa berubah?”
“Tentu! Lihat, rumah Bibi sedang ada yang melakukan transaksi jual beli. Mereka berniat menjual rumah untuk membayar hutang Bimo senilai 700 juta. Selanjutnya Bimo akan bekerja keras untuk membayar sisanya.
Dan untuk sementara, mereka tinggal di rumah fasilitas karyawan perusahaan. Mobil mas sengaja pinjamkan dulu agar bisa mreka gunakan.”
“Baiklah mas. Untuk sementara mas bisa pakai mobil ayah dulu. Dan semoga kedepan nya Bimo bisa lebih bertanggung jawab lagi.”
“Terimakasih Sayang, kamu memang istri yang sangat pengertian. Mas sangat mencintaimu.”
“Aku juga mas.”
Merekapun berpelukan dengan perasaan lega. Mereka berharap akan ada perubahan kebaikan di masa mendatang mengenai keluarga dan juga perusahaan.
————
Satu bulan berlalu.
Perusahaan skincare Sinta semakin sukses di tambah peluncuran produk-produk baru yang membuat konsumen semakin tertarik.
Sementara perusahaan otomotif Bagaskara belum menunjukan peningkatan yang signifikan. Namun ada perbaikan dari sebelumya dan itu sudah membuat Bagas lega. Setidaknya perusahaan ini tetap berdiri dan tidak jadi bangkrut.
Di sisi lain Bimo dan ibunya merasa hidup mereka begitu membosankan.
Tinggal di rumah fasilitas perusahaan dengan fasilitas terbatas membuat mereka menginginkan kehidup yang lebih mewah.
“Bu, lihatlah! Gaji Bimo selalu di potong untuk membayar hutang dan sisanya hanya cukup untuk kita hidup sehari-hari. Semua orang memandang rendah kita dan menyamakan aku seperti karyawan lain karena harus tinggal di rumah fasilitas perusahaan seperti ini. Sementara mas Bagas hidup enak dengan tinggal di rumah mewah dan berstatus sebagai pengusaha hebat. Dia juga beberapa kali di sorot media sebagai suami dari pengusaha skincare ternama yang memiliki kehidupan bak sultan. Sementara kita? Cuih! Menyedihkan!”
“Bersabarlah nak. Ibu akan lakukan segala cara agar kita bisa hidup enak seperti Bagas dan istrinya.”
“Ibu, benarkah itu?”
“Iya, tentu saja. Ibu punya rencana.
Tapi sebaiknya kau hubungi Bagas sekarang dan bilang bahwa ibu sakit!”
—————
Keceriaan menyelimuti keluarga kecil Sinta. Dimana Bagas asik bercanda gurau dengan anak semata wayangnya Gabriel.
“Mom, Gabi sudah gak sabar ketemu opa sama oma di Amerika.”
“Sabar Gabriel sayang, tunggu dua hari lagi kita segera terbang ke Amerika buat ketemu oma sama opa.”
penjelasan Sinta membuat Gabriel senang.
“Yah! Papa sedih sekali harus di tinggal jagoan papa sama mama ke amerika.”
“Makanya ayo Papa ikut bersama kita,” sambung Gabriel kepada papanya.
“Ayo lah mas. Mumpung Gabriel liburan kamu juga perlu istirahat kerja kan? Biar nggak stress,”
Kemudian Sinta berbisik, “sambil kita honeymoon.”
“Hemm… pengen sekali Papa ikut, sayangnya ada pekerjaan yang tidak bisa di tinggal. Jadi papa minta maaf pada kalian berdua ya. Papa janji lain kali papa akan pergi liburan bersama kalian keliling dunia!”
“Yey! Asik. Papa janji ya,” jawab Gabriel kegirangan.
Telpon Bagas berdering tanda panggilan masuk dan Sinta pun segera memberikan nya kepada sang suami. Terlihat nama di layar yang menunjukan panggilan itu berasal dari Bimo.
Ada rasa kekhawatiran dan kecurigaan di hati Sinta kalau-kalu Bimo membuat masalah..namun ia coba untuk berfikir positif agar keadaan tidak menjadi buruk.
“Trimakasih sayang. Mas angkat telpon dulu ya.”
Sinta hanya mengangguk sembari tersenyum.
Tak lama terlihat raut wajah sang suami yang begitu khawatir.
Sambil tergesa-gesa Bagas segera menyambar kunci mobil dan berpamitan.
“Sinta, Bibi Salamah sakit, mas harus segera kesana.”
“Tapi kan ada Bimo mas.”
“Bibi Salamah membutuhkanku,” Bagas menjawab sambil berlalu pergi begitu saja.
Sementara Sinta hanya bisa memandang kepergian suaminya dan berharap tidak akan ada masalah di keluarga Bibi Salamah.
—————
Di kediaman Bibi Salamah.
“Bi, ayolah bi. Kita kerumah sakit. Saya takut bibi kenapa-kenapa.”
“Bagas, bibi tidak apa-apa nak. Hanya saja mungkin bibi tidak nyaman tinggal di rumah ini. Bibi merasa tertekan. Bibi kepikiran orang-orang memandang bibi dan Bimo sangat rendah karena tinggal di rumah ini, yang sebenarnya ini rumah untuk karyawan kamu,” ucap Bibi Salamah sambil berlinang air mata.
Bagas merasa begitu bersalah atas yang dirasakan bibi nya dan juga adik sepupunya Bimo.
“Bibi, saya mohon bertahanlah sebentar lagi. Saya sedang mengumpulkan uang untuk bisa membelikan rumah sederhana untuk bibi dan Bimo.”
“Sederhana seperti apa maksudmu nak? Kamu itu anak yang bibi besarkan dari bayi hingga sesukses sekarang. Kalau bibi tidak merawatmu mungkin kamu sudah berada di panti asuhan. Mungkin akan berakhir menjadi orang miskin. Sementara sekarang kamu jadi pengusahaha sukses. Bahkan banyak sekali media yang memberitakan kehidupan mewah kamu dan istrimu Sinta. Lalu kamu ingin bibi tinggal di rumah sederhana? Bagaimana orang akan menilaimu nak? hiks.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan untuk bibi?”
“Bibi mohon, berilah rumah yang pantas untuk kami agar namamu tidak buruk tentang keluargamu nak. Rumah yang nyaman seperti pilihan Bimo.”
“Tapi bi, rumah 5 milyar darimana aku dapat uang sebanyak itu? Bibi tau, perusahaan itu sebenarnya milik kak Arya. Kakak Sinta. Dan saya cuma dapat gaji perbulan yang juga habis untuk kebutuhan keluargaku dan kalian.”
“Lalu apa gunanya mas punya istri kaya raya kalau tidak bisa meminta sedikit saja darinya. 5milyar itu uang yang sangat sedikit untuk mbak Sinta mas,” kali ini Bimo yang berbicara.
“Maafkan bibi kalau terlalu memaksa nak. Tapi tolong mengerti keadaan bibi, jika kamu tidak bisa membelikan rumah itu, maka bawa kami tingal bersamamu.”
Deg!
Bagas tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan atas permintaan bibinya tersebut. Sungguh ini pilihan yang sulit bagi Bagas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!