Senja datang seperti biasa. Langit yang semula biru muda perlahan berganti warna abu-abu gelap. Udara gerah belum sepenuhnya digantikan hawa dingin. Aktivitas manusia masih terlihat padat di jalanan tengah kota.
Pada sebuah gang yang cukup lebar untuk dilewati kendaraan roda empat, berderet rumah-rumah kokoh dengan cat warna-warni. Perumahan padat penduduk yang tampak damai, tetapi penghuninya tidak saling mengenal satu sama lain. Makhluk sosial yang jarang bersosialisasi karena sibuk dengan urusan masing-masing.
Perumahan di tengah kota yang cukup terkenal karena nyaris semua warganya bekerja di perkantoran elit. Mungkin kondisi yang demikian itu merupakan surga bagi sebagian orang. Tidak ada tetangga julid yang akan mengusik kehidupan rumah tangga orang lain.
Perempuan berkulit sawo matang mengayuh sepeda tua dengan dua keranjang di bagian belakang. Keranjang tampak berat berisi bungkusan-bungkusan makanan dalam plastik dan kertas minyak. Mulut perempuan itu bersiul-siul ringan, menggambarkan kegembiraan. Semalam ia bermimpi mendapat durian runtuh, yang diharapkan membawa rejeki pada dunia nyata.
Perempuan berusia pertengahan empat puluh tahun, merupakan penjual makanan yang menjadi langganan salah satu keluarga yang tinggal di perumahan elit. Tadi pagi dia mendapat pesan singkat untuk mengantar makanan pada jam 6 sore. Satu ekor ayam panggang utuh dan sayur urap sudah disiapkannya sepenuh hati.
Perempuan penjual makanan menepikan sepedanya saat sampai di sebuah rumah dengan pagar bercat abu-abu. Ia sudah sering berkunjung, sehingga tidak merasa perlu untuk mengetuk pintu. Seperti biasanya perempuan itu memutar menuju ke pintu belakang. Yang ada di benaknya, pemilik rumah akan menyambut di bagian dapur belakang dengan ekspresi yang tampak tak acuh.
Terdengar gemericik bunyi kran air dinyalakan saat perempuan penjual makanan berada di sisi rumah. Samar-samar juga tercium aroma gas LPG. Perempuan penjual makanan mempercepat langkah. Namun ternyata di bagian belakang rumah tampak sepi. Ada jendela kaca bening seukuran dengan daun pintu. Dari jendela itulah perempuan penjual makanan dapat melihat siluet pemilik rumah sedang duduk di kursi dapur.
Perempuan penjual makanan mengetuk pintu dan mengucap salam. Namun pemilik rumah tampak bergeming, duduk membelakanginya. Belum sempat dia mengayunkan jari untuk mengetuk jendela kaca tiba-tiba dalam sekejap muncul kobaran api, disertai suara ledakan yang keras memekakkan telinga. Perempuan penjual makanan jatuh terpental di halaman belakang.
Asap hitam mengepul di udara. Suara sirine dari mobil damkar meraung di kejauhan. Sementara ambulance dan mobil kepolisian menyusul di belakang. Suasana gang yang biasanya relatif sepi, sore ini penuh dengan teriakan. Semua orang panik karena api terus membesar.
Perempuan penjual makanan mendapatkan perawatan di mobil ambulance. Tidak ada luka yang berarti, tetapi ekspresinya terlihat seperti orang linglung. Dua petugas kepolisian perempuan berjaga di sebelahnya.
"Bagaimana dengan penghuni rumah itu?"
Kalimat pertama yang keluar dari mulut penjual makanan. Tubuhnya seperti tersengat sesuatu, ia tersentak dan mulai mengulangi pertanyaannya beberapa kali dengan setengah berteriak.
"Tenanglah Bu. Kami masih berusaha menjinakkan api. Apakah semua penghuni rumah itu berada di dalam? Apakah kamu melihatnya Bu?" Salah satu polisi perempuan langsung mencecar penjual makanan dengan beberapa pertanyaan.
"Aku melihat Nyonya di dapur. Lalu aku mengetuk pintu dan rumah meledak. Nyonya pasti sudah. . ." Perempuan penjual makanan tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Tubuhnya kembali terkulai lemas tak berdaya. Sementara kobaran api kian membara. Warna merah menyala menjilat cakrawala.
Anggoro Tali Jiwo, nama yang terdengar gagah dan berwibawa. Namun sayangnya, penyandang nama tersebut adalah seorang pemuda kelas 11 IPA 5 yang berbadan kurus kering dengan punggungnya yang sedikit bungkuk. Wajahnya cukup tampan dengan kulit putih bersih. Akan tetapi kantong matanya yang hitam menggantung terlihat sedikit mengganggu.
Anggoro dipanggil ke ruang BK siang ini. Dia melangkah dengan ragu, karena tidak tahu ada apa kiranya hingga harus dipanggil oleh Pak Nafi'. Langkah kaki Anggoro terlihat ringan tidak meninggalkan bunyi pada lorong sekolah yang sunyi.
Di ujung lorong, ruangan bercat putih bersih menyambut Anggoro. Ruangan yang seharusnya menjadi tempat yang nyaman untuk bercerita juga berkeluh kesah bagi siswa nyatanya merupakan ruangan yang paling ingin Anggoro hindari. Namun hari ini ia tidak memiliki pilihan lain, harus menghadap guru yang selalu tersenyum tetapi menguarkan aura yang menakutkan itu.
Anggoro mengetuk pintu. Suara serak dari dalam ruangan terdengar mempersilahkan masuk. Pak Nafi' duduk di sofa yang ada di tengah ruangan. Dan seperti yang Anggoro duga, guru BK itu tersenyum dengan mata yang nyaris tertutup.
"Silahkan duduk Anggoro," ucap Pak Nafi'. Dia membetulkan kacamatanya yang bulat.
Anggoro melangkah perlahan. Kemudian duduk di sofa berhadap-hadapan dengan Pak Nafi'. Guru berusia 35 tahun itu memandang Anggoro sejenak, kemudian berdehem.
"Kamu tahu alasan dipanggil ke ruang BK?" tanya Pak Nafi'. Anggoro menggeleng cepat. Sejujurnya dia juga merasa penasaran. Bukankah biasanya yang dipanggil ke ruang BK adalah siswa bermasalah?
"Begini, minggu depan klub pecinta alam akan mengadakan perkemahan di perbukitan kawasan desa Karang," ucap Pak Nafi' tersenyum.
"Klub Pecinta Alam?" Anggoro bergumam. Dia menelan ludah. Hatinya gusar saat teringat dengan sosok ketua Klub Pecinta Alam.
"Iya. Bapak ditunjuk oleh Kepala Sekolah untuk menjadi penanggungjawab, mendampingi para siswa. Ketua klub pecinta alam adalah Aldo, teman sekelasmu yang juga sekaligus putra satu-satunya Kepala Sekolah kita," jelas Pak Nafi'.
Anggoro terdiam. Tanpa Pak Nafi' jelaskan pun dia sudah sangat tahu soal klub pecinta alam, juga Aldo. Semua siswa juga pasti tahu. Aldo yang menjuluki dirinya sendiri dengan sebutan bintang sekolah, sosok angkuh yang tidak segan menindas siswa yang lebih lemah untuk menunjukkan kekuasaannya.
"Lalu, apa hubungannya dengan saya Pak?" tanya Anggoro lirih. Ada ketakutan yang tersirat di wajahnya.
"Kepala Sekolah menyetujui kegiatan perkemahan dengan syarat, kegiatan juga diisi dengan pembelajaran dengan metode tutor sebaya. Bapak dan Aldo memilihmu untuk ikut dalam kegiatan perkemahan sebagai seorang tutor untuk pembelajaran matematika, kimia, dan fisika nantinya. Kamu adalah siswa berprestasi dalam mata pelajaran itu," jawab Pak Nafi'. Senyumnya semakin lebar, sedangkan ketakutan Anggoro semakin tidak bisa ditutupi.
Anggoro merasa yakin, perkemahan dengan kegiatan pembelajaran tutor sebaya itu hanyalah akal-akalan Aldo. Anggoro tahu betul sifat Aldo yang sangat suka menindasnya. Mungkin Aldo belum merasa puas menghina di sekolah, jadi mungkin saja merencanakan hal jahat di perkemahan. Membayangkannya saja membuat Anggoro berkeringat dingin.
"Ini lokasi perkemahannya. Dekat dengan villa di tepian sungai milik Bu Anggun." Pak Nafi' menyodorkan sebuah brosur pada Anggoro.
Dengan dahinya yang berkerut, Anggoro memperhatikan denah perkemahan. Villa Bu Anggun memang tertulis berjarak seratus meter dari lokasi perkemahan. Anggoro teringat cerita mengerikan dari villa tersebut.
Beberapa tahun silam, konon katanya villa Bu Anggun menjadi tempat pembantaian karena dendam masa lalu. Anggoro tidak tahu detailnya. Di media sosial memang ramai dibahas, tetapi beritanya terkesan simpang siur dan berlebihan. Seolah semua itu hanya dongeng, legenda, ataupun teori konspirasi.
"Tidak perlu takut soal cerita masa lalu wilayah itu. Pada dasarnya lokasi perkemahan sangat terawat, keindahan hutan bagaikan lukisan. Sudah banyak orang yang berkemah disana. Masa lalu yang kelam sudah ditutup dengan keindahan. Lagipula cerita yang beredar juga Bapak yakin dilebih-lebihkan," rayu Pak Nafi' seolah bisa menebak isi pikiran Anggoro.
"Masalahnya bukan itu Pak. Saya sedang mempersiapkan diri untuk ikut lomba MIPA satu bulan lagi. Tentu saya ingin membuat bangga sekolah, dan diri sendiri. Saya harus banyak belajar," bantah Anggoro menggebu-gebu. Bagaimanapun Anggoro sangat berharap guru BK di hadapannya dapat mengerti dan memberi dukungan pada muridnya. Namun ekspresi Pak Nafi' menunjukkan hal sebaliknya. Senyuman yang sedari tadi tersungging, kini lenyap. Berganti sorot mata tajam menusuk.
"Kamu harus mengerti, apa yang Bapak sampaikan bukanlah tawaran, tetapi merupakan perintah. Tidak diperbolehkan untuk menolaknya," ucap Pak Nafi' setengah berbisik. Anggoro menahan napas.
"Lagipula, kamu tidak akan diberangkatkan ke lomba MIPA sebagai perwakilan sekolah jika menolak perintah. Kamu seharusnya bersyukur, Aldo menyukaimu sampai memohon pada Ayahnya harus mengikutkanmu di perkemahan," lanjut Pak Nafi' mengancam.
Anggoro mencengkeram lututnya sendiri. Dia tertunduk dalam. Kalimat Pak Nafi' benar-benar membuat dadanya terasa sesak. Aldo tidak pernah menyukai Anggoro, semua siswa pasti tahu akan hal itu. Aldo hanya ingin menindas siswa lemah, kutu buku seperti Anggoro.
Tidak bisa dibayangkan rencana seperti apa yang disiapkan Aldo untuk menyiksa Anggoro di tempat perkemahan nanti. Anggoro pernah berpikir, jika dirinya mati saat dirundung Aldo, maka kasusnya akan menguap begitu saja. Satu sekolah pasti akan menutupinya.
Dalam kondisi terjepit terbersit di benak Anggoro untuk melawan balik. Bukankah hutan adalah tempat yang cocok untuk membalas dendam? Anggoro memang lemah secara fisik, tetapi otaknya jauh lebih cerdas dari siswa lain. Dengan persiapan matang, Anggoro merasa yakin bisa membalas perlakuan Aldo.
"Bagaimana Anggoro?" tanya Pak Nafi' kembali tersenyum menyeringai.
"Saya bersedia dengan syarat," ucap Anggoro. Pak Nafi' mengernyit tak puas.
"Apa?" tanya Pak Nafi' ketus.
"Ijinkan saya mengambil dispensasi untuk tidak masuk sekolah tiga hari ke depan," jawab Anggoro bersungguh-sungguh. Pak Nafi' menggaruk keningnya terlihat keberatan.
"Saya mau mempersiapkan materi untuk kegiatan tutor sebaya di perkemahan. Sekalian belajar lebih intens untuk lomba MIPA. Saya akan mengikuti perkemahan dengan bersungguh-sungguh, dan di sisi lain saya akan tetap mengejar hasil terbaik pada lomba MIPA," pinta Anggoro.
"Baiklah. Tentu saja diperbolehkan. Kamu memang siswa yang luar biasa," balas Pak Nafi'. Untuk sesaat sorot mata guru BK itu tersirat kesedihan. Mungkin pujian yang baru saja dilontarkan pada Anggoro benar-benar berasal dari hati.
"Terimakasih Pak. Sekarang bolehkah saya kembali ke kelas?" tanya Anggoro kemudian.
"Yah tentu saja," jawab Pak Nafi' menghela napas.
Anggoro berdiri, membungkuk sesaat kemudian berbalik badan dan melangkah pergi. Pikirannya dipenuhi rencana-rencana jahat yang entah datang darimana. Mungkin memang benar, di saat terjepit semut sekalipun mampu menggigit bahkan menumbangkan seekor gajah.
"Akan kupastikan Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang. Kamu akan mendapat kejutan yang tidak disangka, Aldo," batin Anggoro mengepalkan tangan erat.
Akhir pekan datang dengan secercah sinar matahari hangat menerpa pelataran rumah sederhana di sudut kota. Anggoro duduk di teras depan dengan tas ransel besar berisi perlengkapan untuk berkemah. Kakinya tak berhenti bergerak menunjukkan kegundahan yang juga tergambar dari raut wajah.
Tidak berselang lama sebuah minibus berwarna hitam menepi di depan rumah. Anggoro menarik napas dalam-dalam sembari mengepalkan tangan. Kaca jendela mobil turun, menunjukkan wajah Pak Nafi' yang tersenyum seperti biasa. Pintu samping mobil pun terbuka, Anggoro melangkah masuk.
"Selamat datang di acara perkemahan, Pak Guru MIPA," ucap gadis yang duduk di kursi deret kedua mengejek Anggoro. Senyuman yang tampak menyebalkan tersungging di bibirnya. Gadis itu bernama Nana, siswa dengan peringkat terbawah dalam satu kelas. Meski nilai akademisnya bobrok, tetapi dia memiliki keahlian di bidang beladiri. Bahkan pernah juara di tingkat provinsi. Bisa dikatakan Nana adalah pengikut setia Aldo yang paling kuat, seorang Bodyguard perempuan yang menakutkan.
Anggoro mengangguk masam. Dia mengedarkan pandangan. Minibus berkapasitas lima belas kursi yang terbagi atas lima deret. Beberapa kursi tampak sudah ditempati oleh enam orang termasuk Pak Nafi' sebagai pengemudi minibus.
Nana duduk di deret kedua bersama Yuzi. Pemandangan yang cukup kontras mengingat Nana dengan tingkah tomboy nya, sedangkan Yuzi adalah gadis pesolek dengan bedak tebal yang tidak pernah luntur. Di deret ketiga, ada Gery dan Putra yang menatap Anggoro dengan sorot mata tajam penuh kebencian.
Di mata Anggoro, sosok Gery dan Putra tidak lebih seperti sampah yang menjalani kehidupan masa sekolah dengan mengabdikan diri kepada Aldo. Gery berperawakan tinggi besar, seorang yang menyandang gelar raksasa jago basket di tingkat SMA. Awalnya dulu Anggoro menduga, Gery tidak akan tunduk pada Aldo. Namun ternyata nyali Gery tidak sebesar badannya.
Sedangkan Putra merupakan sosok yang tidak berpendirian. Biasa disebut kutu loncat. Hinggap sana-sini, bahkan tidak ragu untuk menjilat demi mendapatkan perhatian Aldo. Mungkin sosok seperti Putra kelak akan menjadi seorang pekerja yang lebih banyak membual memuji bosnya, tanpa bisa bekerja dengan sungguh-sungguh.
Anggoro menunduk kemudian melangkah ke bagian sudut, kursi paling belakang. Dia duduk di dekat jendela. Minibus perlahan mulai melaju kembali.
Perhatian Anggoro tertuju pada sosok yang duduk di sebelah Pak Nafi'. Sosok laki-laki berbadan tegap dengan topi lebar di atas kepalanya. Sosok yang tidak Anggoro kenali, tetapi terasa tidak asing. Seolah Anggoro pernah bertemu dengan laki-laki itu di suatu tempat.
Mobil melambat saat sampai di sebuah rumah sederhana tak jauh dari alun-alun kota. Terlihat remaja laki-laki berbadan kurus tengah merokok di bawah pohon mangga. Saat melihat mobil minibus menepi, remaja itu buru-buru membuang rokok kemudian berlari kecil menuju ke mobil.
Bastian merupakan siswa yang paling sering berbuat onar di kelas. Sifatnya yang keras kepala dan tak suka diatur membuat Kepala Sekolah pun kewalahan menanganinya. Bastian nyaris dikeluarkan dari sekolah, tetapi Aldo menyelamatkannya. Aldo memohon pada Ayahnya agar keputusan mengeluarkan Bastian ditangguhkan. Sejak saat itulah, meski tidak sepenuhnya mengikuti Aldo, Bastian termasuk salah satu prajurit Aldo yang setia.
"Bahkan di rumah pun kamu santai merokok Bas. Apakah orangtuamu tidak memarahimu?" tanya Pak Nafi' sedikit membentak. Akan tetapi bibirnya tetap mengulas senyum.
"Orangtuaku tidak cerewet seperti guru BK," sahut Bastian cuek. Dia mengambil duduk di deret ke empat. Pak Nafi' tersenyum masam, sembari menginjak pedal gas.
Tidak berselang lama, minibus kembali menepi. Kali ini pemberhentiannya di sebuah rumah megah dengan sebuah gazebo di bagian depannya. Tampak dua orang duduk di gazebo dengan tiangnya yang terbuat dari kayu jati dipernis cokelat mengkilap.
Aldo dan Ayahnya, Pak Wito Sang Kepala Sekolah terlihat bercengkerama penuh kehangatan. Jika dilihat pada momen seperti ini, Ayah dan anak itu merupakan perwujudan dari keluarga harmonis dan menyenangkan. Namun bagi Anggoro senyum keduanya hanyalah topeng untuk menutupi kebusukan hati.
Aldo dengan para pengikutnya di sekolah adalah penindas siswa yang lemah. Sedangkan Pak Wito akan selalu menjadi tameng untuk anak laki-lakinya. Menutupi kejahatan dengan dalih keisengan remaja yang biasa terjadi. Tidak pernah melihat dari sisi korban perundungan. Trauma dan ketakutannya nyata, menghantui setiap hari.
Anggoro menggenggam erat ujung bajunya saat menyaksikan Aldo mencium tangan Ayahnya di samping minibus. Adegan yang benar-benar memuakkan, penuh kepalsuan. Sorot mata Pak Wito yang penuh rasa bangga pada Aldo juga benar-benar menjengkelkan.
"Pak Nafi', titip anak-anak ya. Perkemahan seperti ini penting untuk mengenal alam, belajar tentang alam, sarana rekreasi dan ketahanan diri. Bukankah begitu?" ucap Pak Wito mengantar Aldo masuk ke dalam mobil.
"Tentu saja Pak Kepala Sekolah. Memang itu tujuan kegiatan kali ini. Mengisi hari libur dengan kegiatan yang bermanfaat daripada bermain gawai terus-menerus di rumah," sambung Pak Nafi' tersenyum.
Anggoro merasakan perutnya begah mendengar ucapan orang dewasa yang penuh basa-basi. Ingin rasanya sekali saja ia berteriak, ataupun memaki. Namun Anggoro tidak memiliki nyali untuk melakukannya.
Mobil minibus perlahan bergerak kembali. Yang tidak Anggoro duga adalah Aldo duduk di sebelahnya. Mengarahkan tatapan yang menghina, disertai seringai yang menyebalkan.
"Hey boss, saat di hutan nanti tunjukkan padaku tumbuh-tumbuhan yang berbahaya atau beracun. Pasti kamu tahu karena otakmu encer di pelajaran biologi," bisik Aldo tiba-tiba. Mata Anggoro membulat mendengarnya.
"Tenang saja kali ini aku tidak akan mengerjaimu. Kita berteman, dan aku serius," lanjut Aldo tersenyum. Anggoro diam bergeming. Udara dingin seolah menjalar dari hembusan napas Aldo yang duduk di dekatnya.
Anggoro tahu perbuatan sejahat apapun, jika dilakukan oleh remaja di bawah umur selalu akan dianggap sebagai kenakalan bocah. Namun menanyakan soal tumbuhan beracun untuk mengerjai orang lain jelas sesuatu yang sangat berbahaya. Sempat terbersit di benak Anggoro untuk melapor pada Pak Nafi', tetapi tentu saja hal itu membuang waktu dan sia-sia.
Mobil kembali berhenti di depan sebuah rumah. Terlihat seseorang berdiri menggunakan hoodie yang menutupi kepalanya. Aldo tiba-tiba saja meninggalkan Anggoro dan melompat turun dari mobil.
Anggoro baru menyadari sosok di depan rumah itu adalah Rina. Gadis manis yang merupakan kekasih Aldo. Anggoro tidak tahu sejauh apa hubungan mereka, tapi dari desas-desus yang beredar, Aldo dan Rina kerap menghabiskan waktu di penginapan saat pulang sekolah.
Dari jendela mobil Anggoro dapat melihat Rina berdebat dengan Aldo. Aldo sempat mencengkeram lengan Rina, tetapi gadis itu menghempaskan nya kemudian berjalan dengan menghentakkan kaki masuk ke dalam rumah. Aldo kembali ke mobil dengan wajah kusut. Anggoro buru-buru mengalihkan pandangan.
"Kenapa Do?" tanya Bastian. Di antara yang lain, Bastian memang paling berani bertanya pada Aldo.
"Rina tidak mau ikut. Katanya sedang tidak fit. Sial!" gerutu Aldo menendang kursi mobil. Bastian terkekeh. Entah apa yang ditertawakannya.
"Lalu, berarti kita berangkat sekarang Nak Aldo?" tanya Pak Nafi' memastikan.
"Rana tetep ikut. Kita tunggu dia sebentar lagi," jawab Aldo masih dengan raut wajah kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!