NovelToon NovelToon

IS HE BACK??

Chapter 1

Happy Reading

..._____________________...

...JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN YAA...

...Hati-hati typo!!!...

...Semoga suka yaa....

...__________________________________...

HALOO KAKAK YANG GANTENG/CANTIK, INI CERITA PERTAMA KU YANG BERJUDUL IS HE BACK??

PASTII KALIAN BERTANYA-TANYA KAN KENAPA IS HE BACK??

JAWABANNYA ADA PADA CERITA

JADI SIMAK TERUSS CERITANYA, OKE??

__________________

Di salah satu kota di Amerika, seorang gadis berusaha melarikan diri dari sebuah apartemen.

“I have to run away from here.”

(Aku harus lari dari sini.)

“This is a golden opportunity to escape from this cursed place!”

(Ini kesempatan emas untuk melarikan diri dari tempat terkutuk ini!) gumamnya dengan suara lirih.

Dengan hati-hati, ia melangkah perlahan, memastikan tidak ada suara yang bisa menarik perhatian siapa pun.

Setiap detik terasa menegangkan, dan jantungnya berdebar kencang.

Begitu berhasil keluar dari apartemen, ia langsung berlari sekuat tenaga ke tepi jalan.

Matanya liar mencari kendaraan yang bisa membawanya pergi.

Saat sebuah taksi melintas, ia segera melambaikan tangan, menghentikan kendaraan itu.

Begitu pintu terbuka, tanpa ragu ia masuk dan berkata kepada sopir.

“To the airport, please!”

(Ke bandara, tolong!)

Taksi pun melaju, meninggalkan bayang-bayang tempat yang selama ini membelenggunya.

________________________

2 TAHUN KEMUDIAN....

Di sebuah gedung Sekolah Menengah Atas, seorang gadis bernama Alya Putri Kirana berjalan di koridor sekolah dengan senyuman yang tidak pernah pudar, menyapa setiap orang yang ia temui.

Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, dan matanya yang berbinar mencerminkan kehangatan yang selalu ia pancarkan.

Hingga langkah terhenti karena mendengar teriakan seseorang memanggil namanya.

“Alya, tungguin gue!” begitulah teriakan orang tersebut.

Alya menoleh ke belakang ternyata yang berteriak itu adalah temannya bernama Aulya Sasa Pratama yang kerap dipanggil Sasa.

“Hai Lya, kabar lo gimana?” tanya Sasa saat sudah di dekat Alya.

Alya menjawab dengan senyuman. 

“Iya seperti biasa lah,”

“Eh tau gak katanya bakal ada murid baru.” ujar Sasa dengan semangat.

Kedua alis Alya bertaut. “Lo tau darimana?”

Sasa menjawab dengan bangga. 

“Apa sih yang gak gue tau di sekolah ini,"

“Iya iya deh, ayo kita ke kelas.” jawab Alya.

“Ayok.” ucap Sasa.

Saat mereka tiba di kelas, Alya langsung menaruh tasnya di atas meja dan mengambil handphonenya.

Sementara Sasa langsung duduk di bangkunya.

Alya menghampiri Sasa dan duduk di sebelah Sasa. “Sa, kapan murid barunya ke sekolah kita?”

“Nah kalo itu gue gak tau.” jawab Sasa tersenyum lebar.

Alya memutar bola mata malas. “Yee tadi lo bilang tau semuanya,”

“Lya, lo pernah ngerasain diposesifin ga?” tanya Sasa tiba-tiba.

Alya menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

“Gimana rasanya, enak ga?” Sasa penasaran bagaimana rasanya punya cowok posesif.

“Engga enak sama sekali,” jawab Alya

Sasa heran dengan jawaban temannya itu. “Bukannya enak ya?”

Alya tersenyum ke Sasa lalu menjawab pertanyaan Sasa. “Yang bilang enak itu, belum pernah ngerasain punya pasangan yang posesif.”

Sasa bingung dengan jawaban Alya namun memutuskan untuk tidak bertanya tentang hal itu lagi.

“Gue balik ke bangku gue dulu ya.” pamit Alya lalu meninggalkan Sasa.

Beberapa saat kemudian guru yang akan mengajar di kelas Alya pun datang.

Guru itu mulai pembelajaran hingga tanpa terasa waktu istirahat telah tiba.

“Baik anak-anak karena sudah waktunya istirahat, silahkan kalian istirahat.” Setelah itu, guru tersebut pun keluar dari kelas.

Sasa menghampiri Alya dan mengajak ke kantin. “Lya, kantin kuy.” Alya mengangguk.

Sasa dan Alya berjalan ke kantin, mereka sesekali menyapa siswa siswi yang mereka kenal.

Sampai akhirnya mereka berdua tiba di kantin. 

Mereka memesan makanan dan mencari tempat duduk. “Lya, kita duduk sana aja yuk.” Alya menjawab dengan anggukan.

Sementara itu di tempat yang berbeda, dua orang laki-laki sedang membicarakan sebuah rencana. “Ini data yang tuan minta.”

“Baik, terimakasih.” jawab laki-laki yang memakai topeng, mengambil map berisi suatu informasi dari tangan ajudannya.

“Ambilkan handphone saya.” perintah Laki-laki bertopeng, menaruh map itu.

Ajudannya itu segera mengambilkan handphone laki-laki bertopeng tersebut. “Tuan akan melakukan apa?”

“Memberi kabar bahagia untuk gadis itu.” jawab laki-laki bertopeng.

Ia tersenyum dibalik topeng tersebut kemudian ia tertawa.

“Bagaimana responnya?”

“Seperti perkiraan saya, ayo sekarang kita segera kita pergi dari sini.” ucapnya meninggalkan ajudannya.

Ia tersenyum dari balik topeng tersebut lalu tertawa.

...•••...

Alya hendak memasukan makanan ke dalam mulutnya tidak jadi, karena ada notif pesan dan Alya melihat handphonenya. 

Ting....

Alya membuka pesan tersebut dan membalasnya.

Keringat dinginnya keluar saat membaca balasan pesan itu dengan wajah yang panik ia langsung mencari orang yang mencurigakan namun tidak ada sama sekali.

Sasa melihat tingkah Alya yang aneh mengerutkan dahinya dan bertanya. “Kenapa lo?”

Namun Alya tidak merespon pertanyaan sahabatnya itu, karena terlalu fokus mencari seseorang yang mencurigakan di kantin. 

Akhirnya Sasa menepuk bahunya dan itu membuat Alya kaget. “Apa?”

“Ya, lo yang kenapa?” tanya Sasa, Alya hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Sa, gue makan di kelas aja ya.” ujar Alya beranjak dari tempat duduknya, pergi meninggalkan Sasa di kantin yang masih kebingungan. 

Alya berjalan menuju kelas dengan wajah yang datar tidak seperti biasanya, melihat sekeliling dengan serius untuk memastikan orang dia hindari selama ini tidak ada.

Sesampainya di kelas Alya segera ke tempat duduknya dan segera menghabiskan makanannya.

Setelah makanannya habis, Alya menunggu bel pergantian jam. 

Waktu istirahat telah selesai, semua siswa di harapkan memasuki kelas masing-masing

Suara yang di nanti-nantikan Alya akhirnya berbunyi.

Semua anak pun memasuki kelas mereka masing-masing.

Kelasnya Alya jamkos lebih tepat kelas XI A dan teman sekelasnya memanfaatkan jamkos ini untuk konser dadakan, namun ia sama sekali tidak tertarik untuk ikut.

Alya melamun dan memikirkan siapa pengirim pesan tersebut.

‘Siapa ya pengirim pesan ini?’ batin Alya menatap layar handphonenya.

“Ga mungkin dia kan?” gumam Alya lalu mencari screenshot chat dirinya dengan seseorang di galeri.

Damn

‘Shit benar itu dia tapi gue kan udah buang barang pemberiannya sebelum gue pergi!’

Alya meremas rambutnya sendiri. “Argh tau ah gue pusing.”

“Gue harus apa sekarang?” tanya Alya pada pantulan kaca wastafel kamar mandi.

Alya meremas rambutnya sendiri.

“Argh tau deh gue pusing.”

la keluar kelas tanpa meminta izin kepada ketua kelas.

Dan tujuannya adalah kamar mandi sekolah.

Alya menatap pantulan kaca yang ada di depannya.

Dengan bibir bergetar, disusul dengan air matanya yang mengalir deras dengan sendirinya.

Dadanya terasa sesak, seolah ada beban yang menghimpit hingga napasnya pun terasa berat.

Dengan lirih ia berkata, “Tuhan, aku hanya ingin hidup dengan tenang seperti dulu, bersama kedua orang tuaku.” Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam gemetar tubuhnya.

Hingga akhirnya, tangis yang ia tahan kini telah pecah, diiringi arungan pilu yang sangat menggores hati.

Alya segera membasuh wajahnya, berusaha menghapus jejak air mata yang tertinggal.

Ia tidak ingin ada yang menyadari betapa hancurnya dirinya saat ini.

Namun, matanya tetap sembab, dan dalam hatinya, luka itu masih terasa begitu nyata.

Kemudian berjalan meninggalkan kamar mandi.

Saat sudah di kelas, Alya melamun dan memikirkan cara supaya tidak bertemu dengan laki-laki itu lagi.

Alya tidak sadar jika bel pulang sekolah sudah berbunyi. “Lya, mau tetap disini atau pulang?”

Alya menoleh dengan mengangkat alisnya. “Hah emang udah pulang?”

“Iya, udah dari tadi.” jawab Sasa. 

Alya melihat sekeliling kelasnya ternyata memang sudah sepi. “lya pulanglah yakali gue tidur disini!”

...•••...

Saat menunggu taksi, Alya tiba-tiba dilempari secarik kertas oleh sebuah mobil.

Alya yang penasaran mengambil kertas itu dan membukanya.

Have you really forgotten me? If you have, I will remind you who I am.

^^^From N^^^

Artinya:

Apa benar kamu sudah melupakan aku? Kalau memang kamu benar lupa, aku akan mengingatkanmu siapa aku.

^^^Dari N^^^

Setelah selesai membacanya dengan cepat meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada disana.

Tidak lama dari itu taksi yang dipesan sudah datang, tidak ingin lebih lama disana Alya langsung masuk ke dalam taksi tersebut.

Di dalam taksi Alya menatap ke jendela melihat jalanan di kota yang sangat padat, ia melamun sepanjang jalan.

‘Ma, Pa kalian baik-baik saja kan disana?’ batin Alya.

Lagi-lagi karena melamun Alya tidak sadar kalau taksi tersebut sudah di depan apartemennya.

“Mbak kita sudah sampai.” perkataan supir itu menyadarkan Alya dari lamunannya.

“Oh makasih ya, Pak, saya sudah bayar pake aplikasi ya, Pak!” sahut Alya, lalu keluar dari taksi itu.

Alya berjalan memasuki lobby apartemen yang dia tinggali dari 2 tahun lalu.

Lalu menekan tombol lift, beberapa detik kemudian pintu lift pun terbuka.

Alya masuk ke dalam lift dan menekan nomor yang akan dituju.

Beberapa detik berlalu pintu lift pun terbuka, Alya segera keluar dari sana dan berjalan ke unitnya.

Alya membuka pintu unitnya lalu masuk ke dalam kamarnya dan mengganti semua pakaiannya.

Kini Alya duduk balkon kamarnya, memikirkan kenapa laki-laki itu bisa menemukannya.

Tok...tok...tok....

Mendengar suara pintunya di ketuk Alya segera menghampiri pintu dan membukanya, ternyata petugas apartemen.

“Permisi mbak, tadi ada orang yang nganter makanan katanya untuk mbak Alya Putri Kirana.”

Alya menautkan alisnya. “E-eh iya mbak, makasi ya.” Petugas itu tersenyum dan beranjak pergi dari sana.

Ting....

...🐱🐱🐱...

...Sampaii sini dulu ya guys...

...Gimana seru ga?...

...Sekian terimakasih...

...See you all...

Chapter 2

Happy Reading

...________________...

...Hallo semua...kalian baca cerita ini pagi, siang, sore atau malam nih?? atau malah ada yang tidur?...

...∅∅∅...

...Ingat like dan komennya ya, hati-hati ya ada typo guys....

...—————————————————...

Alya menutup pintu lalu mengambil handphonenya yang ia taruh di meja belajarnya.

“Haah dia lagi” ucap Alya kesal.

Alya memutar malas bola matanya dengan terpaksa dia membalas pesan tersebut.

“Argh brengsek, kenapa hidup gue gak bisa tenang?” tanya Alya geram lalu melempar handphonenya ke kasur.

Saat Alya ingin membuang makanan itu tiba-tiba perutnya berbunyi dan dengan terpaksa ia memakan makanan itu.

Jam dinding menunjukkan pukul 05.35 sore dan Alya merasa bosan hanya berdiam diri di apartemen. “Bosen banget, mau jalan-jalan tapi ajak siapa ya?”

“Apa ajak Sasa aja ya?” tanya Alya pada dirinya lalu mengambil handphonenya dan menghubungi Sasa.

Call On

Nada panggilan terdengar sebelum akhirnya tersambung.

“Hello, ada apa, Lya?” suara Sasa terdengar ceria di ujung telepon.

“Sa, lo sibuk gak? Kalo nggak, kita jalan-jalan kuy.” Alya langsung ke inti pembicaraan.

“Kebetulan banget gue lagi nggak sibuk, tapi kemana?”

Alya berpikir sebentar, lalu tersenyum kecil. “Gimana kalau kita piknik ala-ala gitu?”

“Wah, gue setuju tuh! Tempatnya di mana?”

“Nanti gue sherlock ya.”

“Oke, gue siap-siap dulu ya.”

“Iya, sampai ketemu nanti.”

Tut… tut… tut…

Call Off

Alya mengerutkan kening, memikirkan lokasi yang cocok. “Nah, di sana aja,” gumamnya setelah menemukan tempat yang pas.

Tanpa buang waktu, dia melangkah ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Air dingin menyegarkan tubuhnya, menghapus sisa kantuk yang masih tersisa.

Setelah berpakaian santai dengan kaos putih longgar dan celana jeans pendek, Alya mengambil tas kecil berisi camilan ringan.

Saat melangkah keluar apartemen, angin sore menyambutnya dengan lembut.

Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara yang sejuk sebelum akhirnya berjalan menuju taman.

...•••...

Taman yang berada tak jauh dari apartemennya terlihat cukup ramai sore itu.

Beberapa keluarga sedang duduk di atas tikar piknik, pasangan muda menikmati obrolan ringan, dan anak-anak berlarian dengan tawa riang.

Alya melirik jam tangan. “Lah, gue kira Sasa yang bakal duluan nyampe, ternyata gue.” Dia terkekeh sendiri, lalu memilih tempat di bawah pohon rindang yang agak sepi dari keramaian.

Tak lama kemudian, sosok yang dikenalnya melambaikan tangan dari kejauhan.

“Alya! Lo udah dari tadi ya? Sorry banget, tadi gue kejebak macet,” kata Sasa, sedikit terengah-engah.

Alya mengangkat bahu santai. ”Gapapa. Eh, lo udah bawa perlengkapannya kan?” tanyanya memastikan.

“Udah dong!” Sasa mengangkat tas besar di tangannya.

Mereka pun mulai menata makanan dan minuman yang mereka bawa.

Alya mengeluarkan sandwich yang sudah dia buat tadi pagi, sementara Sasa mengeluarkan buah-buahan dan dua botol minuman dingin.

Mereka menggelar tikar, lalu duduk bersandar di bawah bayangan pohon.

Langit sore mulai berubah warna, dari biru menjadi jingga keemasan.

Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman.

“Sumpah ini tuh bikin rileks banget,” gumam Sasa sambil menggigit anggurnya.

Alya tertawa kecil. ”Iya, kan? Gue butuh banget momen kayak gini setelah semua kekacauan yang terjadi.”

Sasa menoleh, memandang sahabatnya dengan ekspresi lembut. ”Lo baik-baik aja, kan?”

Alya terdiam sejenak, menatap langit yang semakin gelap.

Lalu, dia menghela napas dan tersenyum tipis. ”Untuk sekarang, iya.”

Mereka kembali bercanda, membahas hal-hal ringan, tertawa lepas seolah tak ada beban.

Sore yang damai itu mendadak berubah tegang.

“Eh, Alya… kok gue ngerasa orang itu ngeliatin kita deh,” bisik Sasa pelan, nadanya penuh kewaspadaan.

Alya yang tengah menggulung tikar spontan menoleh ke arah yang dimaksud.

Pandangannya bertemu dengan seorang pria yang berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan hoodie hitam dan celana jeans gelap.

Sekilas, dia terlihat seperti orang biasa, tapi Alya mengenali sorot matanya dingin, penuh pengawasan.

Jantungnya berdegup kencang, nafasnya tercekat.

Tidak. Itu tidak mungkin.

Dia menelan ludah, berusaha menguasai diri, lalu menatap Sasa dengan wajah serius. “Sa, kita harus pergi dari sini.”

Sasa yang melihat perubahan ekspresi Alya langsung mengangguk, meski masih bingung.

Tanpa banyak tanya, mereka segera membereskan barang-barang dengan gerakan tergesa.

Tangan Alya sedikit gemetar saat memasukkan makanan ke dalam tas.

Begitu semua siap, mereka bangkit dan berjalan cepat ke parkiran.

Langit sore yang tadinya terasa hangat kini berubah menekan.

Sasa menoleh ke Alya, masih merasa ada yang tidak beres. “Al, lo bareng sama gue aja!” ajaknya, suaranya terdengar cemas.

Alya menggeleng tegas. “Enggak, Sa. Gue pulang sendiri aja.”

Sasa mengerutkan kening. “Tapi orang itu—”

“Udah, lo pulang aja. Nanti kalau gue udah sampai apartemen, gue bakal chat lo. Oke?” Potong Alya cepat, berusaha agar suaranya terdengar mantap.

Sasa menatap Alya, jelas tidak setuju, tapi dia tahu sahabatnya keras kepala.

Dengan berat hati, dia akhirnya menghela napas dan masuk ke dalam mobil. “Lo hati-hati ya, Al.”

Begitu mobil Sasa menjauh dan menghilang dari pandangan, Alya mengeratkan genggaman tangannya.

Dia menoleh ke arah pria tadi yang masih berdiri di tempatnya, sama sekali tak bergerak.

Tanpa pikir panjang, Alya melangkah mendekatinya.

“You're his subordinat'e, right?” katanya tajam, langsung menusuk ke inti.

(Kamu bawahannya, kan?)

Pria itu tidak bereaksi. Tidak mengiyakan, tidak membantah.

Alya mengepalkan tangan, rahangnya mengatup rapat.

Napasnya memburu, penuh emosi yang tertahan. “Tell him, stop bothering me and never look for me again! I'm fed up!”

(Katakan padanya, berhentilah menggangguku dan jangan pernah mencari ku lagi! Aku sudah muak!)

Tak menunggu jawaban, Alya langsung berbalik dan melangkah pergi.

...•••...

Setibanya di apartemen, perasaan gelisah masih menggerogoti dadanya.

Lift sedang di lantai atas, dan dia tak ingin menunggu lama.

Dengan langkah cepat, dia memilih menaiki tangga.

Setiap langkah terasa berat, seakan ada sesuatu yang menekannya.

Begitu sampai di unitnya, dia segera mengunci pintu dan merapatkan gorden.

Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk Sasa.

Setelah mengirim pesan tersebut ia mengembuskan napas panjang, lalu berjalan ke kamar mandi.

Dia menyalakan keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menghilangkan sisa ketegangan.

Namun saat menatap bayangannya di cermin, matanya menyiratkan sesuatu takut, marah, dan lelah.

“Sial banget hidup gue harus berurusan dengan seorang psikopat!” gerutunya lirih, nyaris seperti bisikan untuk dirinya sendiri.

Dia menutup matanya sejenak, lalu menghela napas panjang.

Tanpa membuang waktu, dia berganti pakaian dan langsung merebahkan diri di tempat tidur.

Di tempat yang berbeda seorang laki-laki bertopeng melancarkan aksinya yaitu meny*y*t t*b*h seseorang yang sudah jadi m*y*t.

Namun kegiatannya terganggu dengan kedatangan seseorang. “Ada apa?”

Laki-laki yang baru saja datang itu keluar dan menunggu di suatu ruangan.

Tidak lama laki-laki bertopeng itu menghampirinya. “Langsung ke intinya aja.”

“Gadis itu tau saya siapa dan mengatakan, berhentilah menggangguku dan jangan pernah mencari ku lagi! Aku sudah muak!” ucap laki-laki yang baru datang itu.

“Oh, dia tahu? berarti gadis itu masih ingat dengan kita,” jawab laki-laki bertopeng itu

Laki-laki yang baru datang itu menaikkan satu alis. “Tuan tidak marah?”

“Buat apa saya marah, sudah sekarang kau boleh pergi.” ucapnya mengusir laki-laki itu.

Lalu laki-laki itu berbalik dan melangkah keluar dari ruangan tersebut.

"Aku tidak sabar menanti hari esok dan melihat wajah cantiknya ketika ketakutan." gumam laki-laki bertopeng itu diakhiri dengan tawa khasnya.

...•••...

Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah tirai kamar, menyinari seorang gadis yang masih terlelap.

Gadis itu adalah Alya.

Alya menggeliat pelan sebelum membuka matanya.

Saat melihat jam di dinding, ia tersentak. Setengah enam!

Dengan cepat, dia bangkit dari tempat tidur dan membuka tirai jendela, membiarkan udara pagi masuk.

Tak ingin berlama-lama, dia segera beranjak ke kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, Alya keluar dengan seragam sekolah yang sudah rapi.

Rambutnya di kuncir sederhana, dan tak lupa ia merapikan wajahnya dengan makeup tipis agar terlihat segar.

Dia mengambil tasnya, lalu memasukkan buku-buku yang diperlukan hari ini.

“Semuanya sudah. Tinggal nunggu taksi aja.” gumamnya sebelum melangkah keluar, memastikan pintu kamar tertutup rapat.

Seperti kemarin, Alya memilih turun lewat tangga karena malas menunggu lift.

Setibanya di lobi apartemen, taksi yang dipesannya sudah menunggu.

Perjalanan menuju sekolah berjalan lancar karena masih pagi.

Jalanan tidak terlalu macet, sehingga tak butuh waktu lama bagi Alya untuk sampai di gerbang sekolah.

Sebelum turun, ia menoleh ke arah sopir taksi. “Terima kasih, Pak.”

“Iya, sama-sama.” jawab sang sopir ramah.

Alya pun keluar dari taksi dan melangkah masuk ke area sekolah.

Baru beberapa langkah, suara seseorang yang familiar terdengar.

“Alya...!”

Alya menoleh dan melihat seorang gadis berlari ke arahnya. Itu Sasa.

“Lama-lama gue budek tau gak!” omel Alya saat sahabatnya itu semakin mendekat.

Sasa mendengus. “Ish, gue kan mau ngasih tau lo sesuatu!”

Alya mengangkat alis, lalu kembali berjalan santai di lorong sekolah. “Apaan?”

Sasa mengejarnya dengan semangat. “Murid baru itu datang hari ini!”

Alya hanya mengangguk tanpa banyak reaksi lalu meninggalkan Sasa.

Tapi Sasa belum selesai. “Dan lo tau gak, dia pindahan dari mana?”

Alya menggeleng tanpa menoleh.

“Dari Amerika!” seru Sasa dengan antusias.

Langkah Alya langsung terhenti. “Hah, Amerika?”

Sasa mengangguk cepat. “Iya. Kok lo kayak kaget gitu?”

Alya berusaha terlihat tenang, tapi pikirannya mulai berputar.

‘Orang Amerika itu banyak, Alya. Tapi kenapa perasaan gue tiba-tiba gak enak ya?’

Dia menelan ludah sebelum bertanya, “Oh ya, Sa. Lo tau nama sekolah murid baru itu yang sebelum pindah gak?”

Sasa mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Itu loh, sekolah lo yang dulu. SMA apa sih namanya, susah banget nyebutnya.”

Jawaban itu membuat Alya mematung.

Jantungnya berhenti berdetak dalam beberapa detik.

‘Semoga bukan dia….’ batinnya.

Sasa menatap Alya dengan cemas. “Lya, lo kenapa?”

Alya cepat-cepat menggeleng. “Hah? E-enggak papa, Sa.”

Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kelas.

Namun baru beberapa langkah, suara jeritan histeris para siswi menggema di seluruh lorong.

Alya dan Sasa spontan menoleh ke arah kerumunan siswa yang berkumpul di depan gerbang sekolah.

Dua pria baru saja keluar dari dalam mobil hitam yang terparkir di sana.

Napas Alya tercekat. Dadanya terasa sesak.

Tangan Sasa meraih lengan Alya saat melihat perubahan ekspresinya. “Heh, kenapa lo?” tanyanya cemas.

Badan Alya bergetar. Wajahnya pucat pasi.

Saat lelaki itu menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu.

Detik itu juga, darah Alya seperti membeku.

‘Sial… Sasa, tolong bawa gue pergi dari sini…’

Di kejauhan, lelaki itu menatap Alya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

‘As expected,’ batinnya

Sasa mengguncang bahu Alya. “Lya! Sadar, heh!”

Alya menarik napas dalam, mencoba menguasai diri.

Dengan cepat, ia menggenggam tangan Sasa. “Sa, ayo ke kelas!” desaknya, langkahnya semakin terburu-buru.

Namun sebelum mereka benar-benar pergi, suara yang begitu familiar itu terdengar.

“Honey, why do you look so rushed?”

(Sayang, kenapa kamu kelihatan terburu-buru sekali?)

Alya membeku.

Suaranya…suara yang selalu menghantui mimpinya.

Dia enggan menoleh. Dia tidak ingin melihatnya.

Tanpa menjawab, Alya kembali berjalan dam semakin mempercepat langkahnya.

Setibanya di kelas, dia langsung duduk di bangkunya dengan tatapan kosong.

“Enggak mungkin!” serunya tiba-tiba, membuat beberapa siswa menoleh ke arahnya dengan heran.

Sasa menepuk pundaknya, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Alya, lo kalo ada masalah cerita sama gue.”

Tapi Alya tidak menjawab. Tatapannya masih kosong, pikirannya berantakan.

Tak lama kemudian, suara langkah berat memasuki kelas.

“Anak-anak, Bapak minta waktunya sebentar!” ucap seorang guru saat memasuki kelas XI A.

Di sebelahnya, berdiri dua remaja laki-laki.

Saat melihat siapa mereka, Sasa menoleh ke Alya dengan wajah syok. “Lya…tampar gue sekarang dan bilang ini bukan mimpi.”

Alya menoleh perlahan, dan saat matanya bertemu dengan mereka, seluruh tubuhnya terasa lemas.

Bukan karena gurunya.

Tapi karena dua pria yang berdiri di depan kelas.

Alya menunduk, tak berani menatap mereka.

“Saya ingin menyampaikan bahwa ada siswa baru di kelas kalian. Silakan perkenalkan diri kalian,” kata sang guru.

Lelaki yang berdiri di sebelah kiri berbicara lebih dulu.

“Gue Vian Prasamana. Panggil aja Vian.”

Setelah itu, lelaki yang berdiri di sebelahnya melangkah maju.

Namun alih-alih langsung memperkenalkan diri, dia menoleh ke Alya.

Dengan langkah santai, dia berjalan ke meja Alya, membuat suasana kelas menegang.

Alya yang masih menunduk tidak sadar bahwa dia semakin dekat, sampai jari dingin lelaki itu mengangkat dagunya.

Bisikan pelan, namun penuh tekanan, terdengar di telinganya.

“Aku tidak suka saat aku berbicara tidak diperhatikan.”

Seluruh kelas langsung riuh. Para siswi histeris, sementara Sasa hanya bisa membeku di tempat.

Setelah puas melihat ekspresi Alya yang membeku, lelaki itu kembali ke tempatnya.

Lalu, dengan tatapan tajam yang tak lepas dari Alya, dia memperkenalkan diri.

“Gue Nakula Vagastia Aldari. Panggil aja Nakula.”

Alya menggigit bibirnya, berusaha menahan ketakutan yang kembali menyerang.

Sementara itu, Nakula hanya menatapnya, seolah mengatakan. ‘Aku sudah menemukanmu lagi.’

Guru mereka kembali berbicara. “Baik, karena guru yang akan mengajar kalian hari ini tidak masuk dan tidak ada guru penggantinya, kalian bebas melakukan apa pun. Jangan ada yang ribut atau bolos!”

Begitu sang guru keluar, suasana kelas langsung ramai.

Namun Alya tetap diam di tempatnya, tubuhnya terasa berat.

...🤡🤡🤡...

...Apa yang akan dilakukan Alya setelah ini dan Nakula akan melakukan apa........

......Next?......

Chapter 3

Happy Reading

...__________________...

...⚠️Warning⚠️...

...MENGANDUNG KATA-KATA VULGAR...

...⚠️⚠️⚠️...

...Halo semua!...

...Sebelum kita mulai, pastikan kalian membaca dengan teliti, ya jangan sampai kelewatan detail penting. Oh iya, kalau menemukan typo tandai pakai komen ya....

..._________________________________...

Setelah guru meninggalkan kelas, Alya kembali menundukkan kepala, enggan menatap siapa pun terutama Nakula.

Tanpa peringatan, Nakula menjatuhkan tasnya dengan kasar di atas meja Alya.

Suara benturan itu membuat Alya tersentak, tetapi ia tetap menolak untuk melihat ke arahnya.

Geram melihat sikap Alya yang mengabaikannya, Nakula mencengkeram dagunya dengan paksa, memaksanya menatapnya. “Ikut aku!” perintahnya tajam, lalu tanpa menunggu jawaban, ia menyeret tangan Alya.

Alya tersentak. Panik, ia berusaha melepaskan diri. “Nakula, lepas!!”

Namun, usahanya sia-sia. Genggaman Nakula semakin erat. “Berhenti memberontak dan diam, atau aku akan menghukum mu!” suaranya terdengar tajam, penuh ancaman.

Alya menahan napas. Matanya membelalakkan ketakutan, dan tanpa pilihan lain, ia akhirnya berhenti melawan.

Nakula menggenggam pergelangan tangan Alya erat dan menyeretnya menuju gudang belakang sekolah.

“Nak, ngapain kita ke sini?” tanya Alya dengan suara bergetar, perasaan was-was menguasai dirinya.

Nakula tak menjawab. Ia hanya membuka pintu gudang dengan satu tangan, lalu mendorong Alya masuk sebelum menutup pintu rapat-rapat.

Alya menelan ludah. Ruangan itu gelap dan berdebu.

Langkah Nakula yang mendekat membuatnya refleks berjalan mundur tanpa sadar, punggungnya terbentur tembok.

Nakula kini berdiri tepat di hadapannya, menatapnya tajam. “Mencoba kabur lagi?” tanyanya, nadanya dingin dan mengintimidasi.

Alya tidak menjawab. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang.

Nakula menyeringai miring. “Sudah puas bersenang-senangnya, babe?” ucapnya, menekankan panggilan itu dengan nada mengejek.

Alya tetap diam, matanya menatap Nakula penuh kewaspadaan.

Gertakan rahang Nakula terlihat jelas saat kesabarannya mulai habis. “Sudah bosan dengan mulutmu, hmm?” tanyanya, suaranya lebih rendah, lebih mengancam.

Alya buru-buru menggeleng.

“Jawab yang benar, Lya,” suara Nakula kini penuh tekanan.

Alya menelan ludah. “Enggak....” jawabnya pelan.

Namun, Nakula belum puas. “Aku tanya sekali lagi. Sudah puas bersenang-senangnya, sayang?” ulangnya sekali lagi, kali ini lebih menuntut.

Alya mengangkat dagunya, meski ketakutan masih bergelayut di matanya. “Sebelum lo datang ke sini, gue puas. Tapi setelah lo muncul, kepuasan itu hilang.”

Seketika, wajah Nakula mengeras. Matanya menatap Alya dengan kilatan bahaya. “Aku-kamu. Bukan lo-gue. Paham?” desisnya, mendekatkan wajahnya.

Alya menggigit bibir, lalu mengangguk cepat. “I-i-iya.…”

Nakula menarik napas pendek, lalu melanjutkan dengan nada lebih tegas. “Satu lagi. Setelah ini, kamu tinggal bersamaku.” Tatapannya menusuk. “Dan nanti pulang, jangan coba-coba pesan taksi.”

Dada Alya berdegup kencang. Ia tahu, perintah itu bukan sekadar ancaman biasa.

‘Setelah dua tahun membiarkanmu pergi, kamu semakin cantik saja.’ Nakula membatin, matanya tak lepas dari sosok Alya.

“Kamu makin cantik, sayang.” ucapnya, suara lembutnya penuh ketenangan yang justru membuat Alya semakin gelisah.

Alya tak menanggapi, hanya menunduk. Perasaan tidak nyaman menjalar di tubuhnya ketika Nakula tiba-tiba melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Ayo, kita kembali ke kelas.” ujar Nakula, membimbingnya melintasi koridor sekolah.

Sepanjang perjalanan, mata para siswa dan siswi tertuju pada mereka.

Bisik-bisik samar terdengar, tatapan penasaran dan keheranan tak bisa dihindari.

Alya merasa risih. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi nyalinya ciut begitu saja.

Nakula, yang peka terhadap perubahan Alya, menoleh sekilas. “Kenapa?” tanyanya datar, tapi sorot matanya tajam.

Alya mengangkat wajahnya sedikit, sekadar menatap Nakula dengan ragu. “Risih,” bisiknya pelan.

Seketika, Nakula menghentikan langkahnya. Ia menatap tajam ke arah siswa-siswi yang masih memperhatikan mereka. Rahangnya mengeras.

“Bosan punya mata, hah?!” tegurnya lantang, membuat mereka langsung berpaling dan berpura-pura sibuk dengan urusan masing-masing.

Setelah itu Alya dan Nakula kembali melanjutkan berjalan ke kelas.

Sesampainya di kelas, Alya langsung duduk di bangkunya tanpa banyak bicara.

Napasnya masih sedikit tersengal, dan jantungnya berdebar tak karuan.

Nakula, tanpa ragu, duduk di kursi kosong di sebelahnya.

Sasa, yang sejak tadi memperhatikan, buru-buru menghampiri Alya. “Lo gak kenapa-kenapa, kan, Lya?” tanyanya dengan nada khawatir.

Alya tersenyum tipis, meski sorot matanya berkata lain. “Gue gapapa kok,” jawabnya, berusaha meyakinkan.

Tapi Sasa tidak cukup peka untuk menangkap isyarat itu.

Ia hanya mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya.

Nakula mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya lebih pelan namun tetap menekan. “Sayang, kamu sudah makan?”

Alya menoleh, ragu-ragu. “Belum, tadi buru-buru.”

Nakula menyeringai kecil. “Kalau begitu ayo ke kantin,” ajaknya.

Alya ingin menolak, tapi baru membuka mulut, tatapan tajam Nakula langsung menghentikannya. Ia terpaksa diam.

“Vian, lo ikut nggak?” tanya Nakula, masih dengan sikap santainya.

“Kemana?”

“Kantin.”

Vian hanya mengangkat bahu. “Oh, nggak.”

Setelah mendapatkan jawaban itu, Nakula langsung merangkul pinggang Alya dan membawanya keluar kelas.

Alya menegang, tapi tak berani melawan.

Namun, baru beberapa langkah, Nakula berhenti.

Tatapannya berubah serius, bibirnya sedikit menekuk ke samping seolah baru menyadari sesuatu.

“Sayang, sepertinya kamu melanggar sesuatu.”

Alya menatapnya heran. “Hah? Melanggar apa?”

Nakula mendekat, jarak di antara mereka semakin sempit.

Matanya menelusuri wajah Alya dengan intens.

“Kamu pakai makeup.” Suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti gumaman.

Alya tercekat.

‘Astaga…apalagi ini, Tuhan.…’ batinnya panik.

“Apa kamu pernah bilang kalau aku nggak boleh pakai makeup?” tanya Alya, mencoba terdengar santai meski jantungnya mulai berdegup kencang.

“Iya, pernah.” jawab Nakula tanpa ragu.

Tatapan matanya semakin tajam, membuat Alya makin tak nyaman.

“Apa kamu lupa, hmm?” suaranya sedikit berbisik, tapi penuh tekanan.

Alya buru-buru menggeleng, mencoba menyusun kata-kata agar tidak semakin memancing kemarahan Nakula.

“Mana mungkin aku lupa? Sepertinya kamu terlalu serius. Aku tadi cuma bercanda.”

Sejujurnya, itu hanya alasan. Dalam hati, Alya panik.

Tapi Nakula tidak semudah itu dibodohi. Rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa ia tahu Alya sedang mengarang alasan. “Kamu melanggar lagi.”

‘Mampus…bisa-bisanya gue lupa kalau dia bisa tahu orang bohong atau nggak.…’

Alya menelan ludah.

“Aku izin ke kamar mandi buat hapus makeup ini,” ucapnya, berharap bisa segera kabur.

Tapi Nakula tidak menggubris. Ia hanya menatap Alya sekilas, lalu berbalik.

“Nanti aja gue pikirin hukuman yang cocok buat lo. Sekarang kita ke kantin dulu.”

Alya tahu, itu berarti Nakula sedang menahan marahnya.

Sialnya, itu lebih menyeramkan daripada jika ia langsung dihukum saat itu juga.

Dengan enggan, Alya mengikuti Nakula dari belakang.

Sesampainya di kantin, mereka memesan makanan tanpa banyak bicara.

Setelah mendapatkan pesanan, Nakula memilih duduk di meja paling belakang, jauh dari keramaian. Alya hanya menurut.

Suasana di antara mereka sunyi, tak ada yang membuka percakapan.

Alya bahkan tidak berani menatap Nakula terlalu lama.

‘Aduh, kok canggung gini…’ pikir Alya sambil menusuk-nusuk makanannya dengan garpu.

Tapi kemudian ia mengerutkan kening. ‘Eh, ngapain juga gue ngerasa begini? Harusnya gue seneng dong kalau dia diem aja!’

Seolah bisa membaca kegelisahannya, Nakula akhirnya membuka suara. “Aku mau nanya sesuatu.”

Alya mendongak, sedikit terkejut. “Nanya apa?”

Nakula menatapnya dalam, pandangannya tajam seperti sedang meneliti ekspresi Alya. “Selama sekolah di sini, ada yang ganggu kamu atau mungkin…ada yang mendekati kamu, sayang?”

Alya meletakkan garpunya dan balas menatap Nakula. “Kurasa nggak.”

“Kalau kamu gimana? Ada seseorang yang kamu suka di sekolah ini?” tanya Nakula tiba-tiba.

Alya menatapnya dengan tatapan penuh minat. ‘Kerjain dikit, ah…’ batinnya.

Ia pura-pura terlihat ragu sebelum akhirnya menjawab, “Ehem…sebenarnya, aku suka sama seseorang.”

Sekelebat perubahan terlihat di wajah Nakula. Rahangnya menegang, matanya menyipit tajam. “Siapa namanya?” desaknya, suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya.

Alya menahan tawa. Ia bisa merasakan gelombang emosi dari Nakula, dan itu membuatnya semakin ingin bermain-main.

Dengan santai, ia mengangkat bahu. “Masa sama nama sendiri lupa sih? Gimana sih kamu.”

Dahi Nakula berkerut. “Maksudmu?”

Alya menahan senyum dan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Iya, aku suka sama seseorang, dan orang itu adalah kamu, Nakula.”

Sebelum Nakula bisa mencerna ucapannya, Alya segera bangkit dan berlari keluar dari kantin. “Duluan yaaa!” serunya sambil tertawa kecil.

Nakula terdiam sejenak, masih mencoba memahami situasi.

Namun begitu kesadarannya kembali, ia langsung berdiri dengan geram. “Argh! Gadis itu selalu aja ada-ada aja kelakuannya!”

Tanpa pikir panjang, ia segera menyusul Alya.

Alya sudah sampai di kelas dan mendapati ruangan itu kosong.

Ia melangkah masuk sambil menghela napas. “Yah…Sasa kemana sih?” gumamnya, merasa sedikit kecewa.

“Sepertinya dia sedang bersama Vian.” Sebuah suara familiar terdengar di belakangnya.

Alya menoleh dan menemukan Nakula yang baru saja masuk ke kelas.

Laki-laki itu berjalan santai menuju bangku paling belakang dan duduk. “Sayang, kemari.”

Alya menelan ludah, tapi tetap melangkah mendekatinya. “Ya, ada apa?” tanyanya hati-hati.

Nakula menepuk pahanya. “Duduklah.”

Alya mengerutkan kening. “Tapi–”

“Tidak ada tapi-tapian!” potong Nakula cepat, nada suaranya penuh perintah.

Alya terpaksa duduk di pangkuannya. Rasanya canggung, apalagi Nakula langsung melingkarkan lengannya di pinggangnya. “Aku sangat merindukanmu, sayang.”

Mendengar itu, perasaan Alya mendadak tidak enak.

Ia menunduk, menghindari tatapan Nakula. “Kenapa waktu itu kamu meninggalkanku?” tanyanya lirih.

‘Sial... gue harus jawab apa?’ batinnya kacau.

Nakula tidak sabar menunggu jawaban. Ia mengeratkan pelukannya. “Jawab dong, sayang!”

Alya tetap diam, tidak tahu harus berkata apa.

Lalu, dengan nada rendah tapi tajam, Nakula berbisik di telinganya. “Kalau kamu masih diam saja…aku akan membuatmu h*m*l.” Tangan Nakula bergerak mengelus perutnya dengan gerakan lambat.

Alya terkejut. Ia menegang. “Kumohon, jangan....”

Nakula terkekeh. “Baiklah, aku tidak akan melakukannya.” Ia menyandarkan dagunya di bahu Alya. “Tapi kamu harus menjelaskan kenapa kamu kabur dariku.”

Alya menggigit bibirnya, menahan getaran emosinya. “Aku meninggalkanmu karena ibumu…dan karena kamu selalu kasar padaku.” ucapnya lirih, suara hampir bergetar.

Nakula membalik tubuh Alya hingga mereka saling berhadapan. “Jadi kamu pergi karena itu?” tanyanya, ekspresinya sulit ditebak.

“Aku hanya kasar kalau kamu tidak menurut, sayang. Dan soal ucapan wanita itu…lebih baik kamu lupakan. Aku juga tidak suka mendengarnya.”

Alya menghela napas dan memutar bola matanya. “Lalu apa yang kamu lakukan setelah dia mengatakan hal buruk tentangku?”

Nakula menyeringai. “Tanpa aku beri tahu pun, kamu pasti sudah tahu apa yang kulakukan.”

Alya memutar malas mata. ‘Iya sih…kenapa gue nanya hal kayak gitu?’ batinnya.

“Sayang, aku sungguh rindu padamu.” Nakula kembali menarik Alya dalam pelukannya, mencengkeramnya erat seperti takut kehilangannya lagi. “Kamu juga rindu aku, kan?”

Alya diam sejenak, lalu menghela napas. “Maaf kalau jawabanku membuatmu marah, tapi…aku tidak rindu padamu.”

Nakula tak langsung merespons. Namun, setelah beberapa detik, ia tertawa kecil, nada suaranya entah kenapa terdengar lebih dingin.

“Tidak apa-apa kalau kamu tidak merindukanku. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu…aku sangat merindukanmu.”

Ia mendongak sedikit, menatap Alya intens. “Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Vian. Aku pernah gila karena kamu pergi.”

Alya tak terkejut dengan pengakuan itu. Ia malah tersenyum miring. “Bukankah kamu memang sudah gila dari dulu?”

Ekspresi Nakula berubah. “Maksudmu?”

Alya menatapnya datar. “Kamu suka memb*n*h orang tanpa sebab dan melakukan tindak kriminal. Bukankah itu definisi gila?”

Alih-alih marah, Nakula tertawa. Tawanya rendah, khas, membuat bulu kuduk Alya sedikit meremang. “Kamu sekarang sudah mulai berani, ya?” katanya sambil menatap Alya tajam. “Hukumanmu bertambah, sayang.”

Alya yang awalnya tersenyum miring langsung melotot. “Hah?! Yang bener aja!”

“Iya, sayang. Aku sudah menemukan hukuman yang pas untukmu.”

Alya menelan ludah. “Hukuman yang seperti apa?” tanyanya hati-hati, rasa penasaran bercampur takut.

Nakula mendekatkan wajahnya, lalu menekan bibirnya ke bibir Alya dalam ciuman singkat sebelum melepaskannya. “Seperti itu hukumannya, sayang.”

Alya mematung. Matanya membesar, otaknya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. “Aaaaa! First kiss-ku kamu ambil!”

Nakula hanya tersenyum kecil sebelum mendekatkan wajahnya ke telinga Alya. Suaranya terdengar rendah, berbahaya. “Bukan hanya first kiss-mu…tapi suatu saat nanti, aku juga akan mengambil kep*r*w*n*n mu.”

Darah Alya berdesir. Ia menggeleng cepat, mendorong dada Nakula dengan kedua tangannya. “Tidak! Kamu boleh mengambil apa pun dariku, tapi tidak itu!”

Nakula memiringkan kepalanya, ekspresinya seolah menantang. “Jadi, kep*r*w*n*n mu lebih berharga daripada dirimu sendiri?”

Alya menegakkan tubuhnya. “Iya...jika aku harus mati, aku rela, asal aku masih p*r*w*n!”

“Kenapa?”

Alya menggigit bibirnya. Matanya memancarkan keteguhan. “Aku tidak mau setelah kep*r*w*n*n ku diambil, orang itu pergi begitu saja.”

Nakula mendengus pelan. “Tapi kalau aku yang mengambilnya, bagaimana?” tanyanya, nada suaranya ringan tapi mengandung ancaman terselubung.

Alya mendengus. “Pertanyaan macam apa itu?” Ia memukul bahu Nakula, mencoba mencairkan suasana yang membuatnya tertekan.

Nakula hanya tersenyum tipis, senyuman yang sulit diartikan.

Ia menatap Alya lekat-lekat sebelum berkata, “Jangan coba-coba mendekati laki-laki lain, selain Vian, aku, orang suruhanku, dan ayahmu.”

Alya menelan ludah. “Kenapa?”

“Karena kalau kamu melanggarnya, aku pastikan kamu akan menjadi wanitaku sepenuhnya, bukan sekadar gadisku lagi. Mengerti?”

Alya menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. “I-iya…mengerti.”

“Good girl.” Nakula mengusap pipi Alya dengan ujung jarinya, senyumnya semakin melebar. “Untuk hari ini, hukumanmu hanya beberapa kissmark saja.”

Alya membelalak. “Hah?! Lebih baik aku digores pakai pisau kesayanganmu daripada hukuman itu!”

Nakula mengangkat sebelah alis. “Yakin, sayang?”

Alya menghela napas, lalu mengangguk ragu-ragu. “Ya, meskipun sakit, tapi aku masih bisa mengatasinya…”

Nakula tertawa kecil. "Akan kupikirkan nanti."

Keheningan sesaat menyelimuti mereka sebelum Nakula tiba-tiba bertanya, “Kenapa kamu memakai makeup?”

Alya mendesah kesal. “Karena aku ingin kamu tidak mengenaliku. Tapi percuma saja...kamu tetap saja mengenaliku, huh.”

Nakula terkekeh. “Sebesar apa pun usahamu untuk mengubah wajahmu, aku tetap akan mengenalimu.”

Alya mendengus. Ia tahu itu benar. Seberapa pun ia berusaha bersembunyi, Nakula selalu bisa menemukannya.

Sesaat kemudian, ia menatap wajah laki-laki itu dengan lekat.

Wajah yang selalu membuat banyak perempuan terlena, tapi bagi Alya…wajah itu adalah mimpi buruknya.

“Aku ingin bertanya, tapi…”

“Tanyakan saja, sayang.”

Alya menggigit bibirnya ragu-ragu. “Setelah aku tidak bersamamu, apa kamu mencari gadis lain di sana?”

Nakula menyipitkan matanya. “Apakah aku harus menjawab pertanyaan itu? Jawabannya sudah jelas, sayang. Aku mencari kamu… dan sekarang aku ada di depanmu.”

Alya merasa ingin menampar dirinya sendiri. ‘Alya, lo bego banget sih. Bisa-bisa dia malah tambah besar kepala!’

Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ah, ya juga…”

Nakula menatapnya dalam-dalam, membuat Alya merasa tidak nyaman.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya curiga.

Nakula tersenyum tipis. "Tidak, aku hanya rindu tatapan matamu."

Lalu, dengan gerakan perlahan, ia menangkup wajah Alya dengan kedua tangannya. “Dan aku juga sangat rindu wajah ini.”

Alya menahan napas. ‘Semoga aja muka gue nggak merah sekarang…’ batinnya panik.

Namun sebelum Nakula bisa berkata lebih jauh–

“Ekhm.”

Suara dehaman familiar terdengar, membuat Alya dan Nakula menoleh bersamaan.

Di ambang pintu, Vian berdiri dengan tangan di saku. Di sampingnya, Sasa tampak canggung.

"Sepertinya kita mengganggu. Sebaiknya kita keluar," ucap Vian dengan santai.

Sasa menatap Alya dan Nakula dengan wajah penuh tanda tanya.

“Ehh, jangan! Kalian nggak ganggu, kok! Lagian kita nggak ngapa-ngapain!” bantah Alya buru-buru.

Alya segera menghampiri Sasa. “Sa, dari mana?”

Sasa tersenyum kecil, masih terlihat canggung. “Dari taman, Al.”

Di sisi lain, Vian dan Nakula hanya saling bertukar pandang, seperti berbicara tanpa kata.

“Vian, lo ikut ke kantin nggak?” tanya Nakula tiba-tiba.

Vian mendengus. “Nggak.”

Setelah melihat Nakula dan Alya keluar dari kelas, Vian tanpa peringatan menarik tangan Sasa, menyeretnya keluar.

“Eh, mau ke mana?” tanya Sasa, tapi Vian tetap berjalan tanpa menjawab.

Ternyata, laki-laki itu membawanya ke taman belakang sekolah, tempat yang lebih sepi.

Vian berbalik menatap Sasa. “Lo temannya Alya, kan?”

Sasa mengangguk. “Iya.”

“Orang tuamu…Gani dan Nesia?” tebak Vian.

Sasa terbelalak. “Iya. Eh… lo tau dari mana?”

Vian menyeringai. “Kamu nggak ingat denganku?”

Sasa menggeleng, wajahnya penuh kebingungan. “Gue nggak kenal sama lo.”

Vian menghela napas pelan. “Bagaimana calon istriku bisa lupa denganku?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Sasa tersentak. “Hah?! Maksudnya?”

Tanpa menjawab, Vian mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.

Begitu melihatnya, wajah Sasa langsung pucat. Ia berkedip beberapa kali, memastikan ia tidak sedang bermimpi.

“Hah… Ini nggak mimpi, kan?”

Vian tersenyum miring. “No, darling. This isn’t a dream.”

Sasa refleks mundur selangkah, berusaha menjauh. Tapi—

Hap!

Vian berhasil menangkap pergelangan tangannya dan menariknya mendekat. “Mau ke mana, darling?”

Sasa menegang. “Tadi gue memang mengagumi lo…tapi setelah tahu siapa lo sebenarnya, rasa kagum itu hilang!”

Vian tertawa kecil, tapi tawanya terdengar berbahaya. “Aku-kamu. No lo-gue. You understand?”

Sasa menelan ludah. “I-iya, paham.”

“Good girl. Dan jangan pernah menyebut kata itu di depanku lagi.”

“I-iya.”

Vian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Sasa erat. “Ayo, kita kembali ke kelas.”

Begitu mereka tiba, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah Nakula yang masih memangku Alya.

Alya menarik napas dalam sebelum berbicara. “Nakula, aku sama Sasa mau ke kamar mandi sebentar.”

Nakula melirik Alya sekilas, ekspresinya datar tapi matanya tajam, seolah menimbang sesuatu. “Iya, boleh. Tapi jangan lama-lama.”

Alya mengangguk cepat. “Ayo, Sa.”

Sasa ragu. Ia menoleh ke Vian. “Boleh?”

Vian hanya mengangguk pelan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tanpa membuang waktu, Alya dan Sasa segera keluar dari kelas, langkah mereka sedikit terburu-buru.

Di dalam kelas, Nakula dan Vian saling bertukar pandang.

Nakula menyeringai tipis, lalu berjalan mendekat. “Gue rasa lo juga sudah menemukannya.”

Vian tersenyum miring, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ya. Gue nggak nyangka ternyata mereka sahabatan.”

_____

Sesampainya di kamar mandi, Alya dan Sasa langsung mengunci pintu.

Begitu mereka merasa cukup aman, tubuh mereka seolah kehilangan kekuatan.

Tanpa pikir panjang, mereka saling berpelukan erat, isakan pelan mulai terdengar.

Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, tapi gagal. “Sa….”

Sasa juga tak bisa menahan air matanya. “Alya.…”

Pelukan mereka semakin erat, tubuh mereka sama-sama bergetar karena ketakutan yang selama ini mereka tahan.

“Gue takut, Sa….” isak Alya, mencengkeram punggung Sasa seperti anak kecil yang mencari perlindungan.

Sasa menutup matanya, tenggelam dalam kepedihan yang sama. “Sama, Lya…gue juga takut.”

Alya menguatkan diri, lalu menarik sedikit tubuh Sasa agar bisa menatap wajah sahabatnya. "“Sa, jelasin ke gue…lo diapain sama Vian?”

Sasa menundukkan kepala, bahunya bergetar hebat.

Suaranya tersendat-sendat saat ia akhirnya berbicara. “Dulu g-gue diculik sama dia...”

Alya menggenggam tangan Sasa, mencoba memberikan ketenangan meskipun tangannya sendiri ikut gemetar. “Pelan-pelan, Sa. Gue di sini.”

Sasa menarik napas tersendat sebelum akhirnya berkata, “Dan gue juga dip*rk*s* bahkan...dia minta tebusan ke orang tua gue. Tapi mereka nggak membayar…mereka malah….” suara Sasa pecah di akhir kalimatnya. “Mereka malah memberikan gue ke dia, Lya…seolah gue ini barang yang bisa ditukar!”

Alya terperangah. “Apa?”

Tangis Sasa semakin pecah, membuat Alya ikut menangis. Ia menarik Sasa ke dalam pelukannya lagi.

“Sa…lo pasti hancur banget sekarang, ya?” suara Alya bergetar. “Luka lama lo malah kebuka lagi….”

Sasa hanya bisa mengangguk di bahu Alya, sesenggukan tanpa bisa berkata apa-apa.

Hening sejenak. Hanya suara tangisan mereka yang memenuhi ruangan kecil itu.

Setelah beberapa saat, Sasa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Lya...pas lo lihat Nakula jadi murid baru, muka lo pucat banget. Kenapa?” tanyanya, masih dengan suara serak.

Alya terdiam. Tangannya mengepal, tubuhnya menegang.

Sasa menatap Alya penuh kekhawatiran. “Lya?”

Alya akhirnya membuka mulut, suaranya hampir seperti bisikan. “Waktu gue masih di Amerika…gue nggak sengaja lihat Nakula… memb*n*h.”

Sasa membelalak. “Memb*n*h siapa?”

Alya menghembuskan napas panjang, matanya mulai memanas lagi. “Adik gue.”

Sasa terdiam, terlalu terkejut untuk berkata-kata.

Alya melanjutkan, suaranya penuh kepedihan. “Sialnya…dia tau gue lihat kejadian itu. Dia langsung membawa gue, mengklaim gue sebagai miliknya. Orang tua gue awalnya cuma mikir gue nginep di rumah sepupu. Tapi pas berita penemuan j*s*d itu muncul di TV, mereka mulai panik. Mereka nelpon gue, nelpon adik gue…tapi handphone gue udah dirampas sama Nakula.”

Air mata Alya mulai jatuh lagi. “Sampai sekarang, mereka nggak tau kabar gue, Sa….”

Sasa menutup mulutnya, terisak. “Astaga, Lya… lo harus lihat adik lo dib*n*h di depan mata?”

Alya mengangguk, air matanya mengalir deras.

Sasa menarik Alya ke dalam pelukan erat, seolah ingin melindungi sahabatnya dari semua luka yang pernah ia alami.

Setelah beberapa saat, Sasa bertanya, “Kenapa lo nggak coba hubungi orang tua lo lagi?”

Alya menggeleng pelan. “Gue udah nyoba...tapi nomor mereka udah nggak aktif.”

Sasa menggigit bibirnya, merasa putus asa. Mereka berdua menangis dalam diam, saling menguatkan satu sama lain.

Namun, momen itu terhenti begitu mereka mendengar suara familiar.

“Udah puas nangisnya, hmm?”

Alya dan Sasa tersentak.

Mereka menoleh ke arah pintu dan di sana, berdiri Nakula dan Vian, dengan ekspresi yang membuat bulu kuduk mereka meremang.

“Siapa yang nyuruh kalian nangis?” suara Nakula terdengar dingin dan penuh penekanan.

Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara isakan yang lirih dan menyayat hati.

Alya dan Sasa tetap membeku di tempatnya, masih saling berpelukan, berharap bisa menghilang begitu saja.

“Ku mohon… biarkan kami di sini dulu,” Alya akhirnya bersuara, terisak di sela kata-katanya

Matanya memohon, tapi Nakula hanya menatapnya tajam.

“Kalian pikir kami sebodoh itu membiarkan kalian menangis di kamar mandi sekolah?” bentak Nakula, suaranya memenuhi ruangan kecil itu.

Sasa tersentak. Tubuhnya menegang saat merasakan tangan Vian mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat.

“Sasa…sepertinya kamu sudah melanggar perintahku.” Suara Vian terdengar rendah, tapi dingin dan mengancam. Tanpa peringatan, ia menarik Sasa dengan paksa.

“Kamu juga, Alya!” Nakula menatap Alya dengan tatapan yang gelap. “Kamu pikir aku akan membiarkanmu sesuka hati?”

Tangannya langsung meraih pergelangan tangan Alya, mencengkeramnya erat hingga terasa sakit.

“Lepas! Nakula, lepas! Aku bilang lepas!” Alya berusaha meronta, mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Nakula terlalu kuat.

Namun, semakin ia memberontak, semakin keras Nakula menggenggamnya.

Dan kemudian–

“Diam atau nasibmu akan sama seperti adikmu.”

Seketika, tubuh Alya membeku.

Napasnya tercekat, dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang sangat berat.

Nakula menatapnya, ekspresinya penuh kepemilikan dan ancaman yang nyata.

Sasa membelalakkan mata, wajahnya langsung pucat. “Nakula, jangan…” suaranya nyaris tak terdengar.

Tapi Alya, dengan sisa keberaniannya yang tersisa, justru menatap Nakula balik.

Matanya masih berlinang air mata, tapi kini ada api yang menyala di dalamnya.

“Ayo, b*n*h saja aku!”

Nakula menyipitkan matanya.

Alya menelan ludah, tapi suaranya tidak goyah. “Lebih baik aku bernasib sama seperti adikku daripada harus tersiksa seperti ini!”

Sasa terkejut. “Alya, jangan....”

...•••...

...Sampai sini dulu, maaf jika ada typo...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!