"Hati-hati di jalan Mas." ucap istriku, setelah ku kecup pipinya yang lembut itu berkali-kali.
Aku mengangguk, menutup helm yang ku kenakan lalu menyusuri jalanan gang dengan hati yang selalu gembira.
Belum juga pergi , rasanya sudah ingin kembali mengingat pergulatan hangat yang baru saja kami lakukan. Harap waktu ini segera sore, ingin segera menghabiskan malam yang hangat bersamanya.
Tak terbayang, dulu dia adalah orang asing yang hanya bisa ku pandang sekilas, lalu merekam wajahnya dalam ingatan untuk di jadikan bahan fantasi, berharap suatu hari menemukan wanita secantik kekasih sahabatku ini.
Ya, dia kekasih sahabatku Dias, bahkan mereka sempat akan menikah. Tapi, jodoh memang tak bisa di tebak. Sahabat baikku itu tertular penyakit HIV, ketahuan setelah menjalin hubungan lebih dari satu tahun dengan istriku.
Beruntung Dias memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Eva. Istriku sangat kecewa, marah dan bersedih tentunya, karena Dias tidak menjelaskan hal sesungguhnya sebab malu.
"Kamu membuatku berharap lalu mencampakkan ku begitu saja." kata Eva.
Masih ku ingat bagaimana Eva begitu kecewa, aku saksi dari kisah cinta dramatis berakhir perpisahan diantara mereka.
"Dias, dia sangat mencintaimu. Tidak kah kau memikirkan ulang keputusan mu?" ucapku, aku tak tega melihat Eva yang terus seperti itu, merasa sudah termakan harapan lalu di sia-siakan.
"Eva tak pernah ku sentuh. Aku terlalu mencintainya Sen, dan aku tidak akan menghancurkan hidupnya." kata Dias dengan kecewa pula.
Andai bisa ku gantikan, aku akan menikahi gadis itu. Begitulah pikiranku jadi kemana-mana ketika itu, sungguh Eva sangat cantik.
Sore itu, setelah satu bulan. Dias sengaja mengajakku bertamu ke rumah Eva. Yang ku pikir Dias masih rindu, akhirnya aku mau-mau saja menemaninya.
Pertengkaran terjadi, Eva mengamuk dengan kedatangan Dias.
Kali pertama pula aku menyaksikan pertengkaran hebat diantara sepasang kekasih. Dias menatap sendu wajah Eva yang menangis terisak. Gadis itu memukuli Dias, dia mengamuk hingga puas dan dias membiarkannya.
Kasihan, padahal mereka adalah pasangan serasi, Dias tampan dan beruang, Eva cantik dan seksi.
Dias bilang, aku tidak akan menikahimu. Tapi ketika ada pria yang mendekati wanitanya dia malah cemburu.
Memang bukan rahasia, dulu Dias memiliki banyak kekasih, mungkin itu pula yang membuat dia tertular penyakit mematikan yang kini mulai menggerogoti tubuhnya. Tapi yang ku lihat kali ini dia berbeda. Dia menginginkan Eva, tapi takdir membuatnya tak bisa.
"Sen, nikahilah Eva. Aku yakin kau bisa membahagiakannya." kata Dias, aku sampai tercengang mendengarnya.
Walaupun hatiku merasakan senang tapi sebagian rasaku tak tega. Sejak pertama aku melihat wajah kekasih Dias itu, aku sudah jatuh cinta tapi tak mungkin pula aku menikahinya sedangkan dia adalah wanita yang dicintai Dias sahabatku.
"Aku tidak akan menikah, aku tak layak mendapat kebahagiaan. Hidupku sudah berakhir." kata Dias dengan raut wajah sedih tak terkata.
"Kamu jahat Mas! Kamu bajing_an!" teriak Eva ketika itu.
Ternyata ini penyebab mereka bertengkar hari ini, Dias meminta Eva menikah dengan ku.
"Aku benci kamu! Pengecut! Aaaaaagh..!"
Dias meninggalkannya begitu saja, membiarkan gadis itu menangis sendirian, sedangkan aku hanya bisa memandanginya dengan kasihan.
Jika ku bujuk, apakah dia akan mau?
Ku beranikan diri untuk mendekatinya, setelah dia duduk meringkuk terisak sedih. Ku rasa tenaganya pun sudah habis.
"Dek." panggilku pelan.
Aku menghela nafas berat, ketika dia malah membuang muka. Meskipun demikian aku memahami jika suasana hatinya sedang kecewa dan terluka.
Ku biarkan dia menangisi Dias, ku dengarkan saja apapun keluh kesahnya tentang Dias, ku dampingi dia dengan sepenuh hati. Hingga satu hari aku bisa melihat senyumnya yang pertama kali.
Matanya yang bening itu terlihat bengkak, wajah ayunya sembab hingga menjepit bibirnya yang mungil merah merekah. Dia terlihat seksi karena terlalu lelah menangisi Dias.
Jiwa kelelakianku semakin menuntut untuk memilikinya. Apalagi saat itu aku sudah mulai memberanikan diri kerumahnya, bahkan di saat bangun tidurpun di mataku dia begitu sempurna. Diam-diam aku benar-benar berniat untuk menjadikannya istri.
Singkat cerita, akhirnya dia bersedia menikah dengan ku karena kekecewaan kepada Dias.
Pelan-pelan akhirnya aku bisa merebut hati Eva yang teramat aku cintai. Aku akan memenuhi janjiku kepada Dias untuk selalu membahagiakannya.
Terkadang aku tertawa dengan kisahku ini, bahkan temanku sering menggodaku dengan lagi dangdut, 'ku titipkan kepadamu'. Aku tidak tahu apa judulnya tapi aku selalu tertawa mendengarnya, seperti kisah ku, Dias, dan istriku tercinta, Eva.
Hari-hari berlalu juga, Dua tiga hari, atau paling lama satu Minggu sekali, Dias selalu menanyakan kabar ku. Meskipun hati ku berkata dia tidak sedang ingin tahu kabarku, tapi merindukan istriku. Tapi aku nyaman-nyaman saja selama Dias tidak menghubungi istriku. Toh pernikahanku juga karena Dias mengikhlaskan Eva untuk ku.
"Tenang saja, wanita mu baik-baik saja bersama ku." aku berkata sambil bercanda. Kamipun tertawa lepas menutupi rasa yang sengaja di sembunyikan di dalam hati masing-masing.
Hingga dua bulan kemudian, aku sangat bahagia mendapat kabar bahwa istriku hamil.
Tak bisa ku bendung rasa bahagia ku, namun tak ku bagi kabar itu kepada Dias, hingga satu hari Eva mengidam ingin sekali memakan buah Kesemek. Aku sampai berkeliling kota mencarinya namun tidak ketemu karena memang sedang tidak musim.
Karena sering bertanya kepada teman-temanku, maka sampailah kabar itu kepada Dias.
"Benarkah?" tanya Dias.
Aku tercekat, diam sejenak menarik manik mata milik Dias sahabatku. Dia tertawa dan menjabat tanganku, tapi dapat ku tangkap kesedihan di wajahnya. Tentulah hatinya terluka.
Sejak itu kami jarang bertemu, diapun kembali sibuk mengambil projek di luar kota, meskipun telepon darinya tetap rutin menyapa telingaku, bahkan ketika aku dirumah seperti sengaja ingin mendengar apa saja kegiatan istriku. Ku harap dia bahagia mendengar istriku sehat dan bahagia, paling tidak aku sudah memenuhi janjiku padanya, juga pada diriku sendiri agar istriku selalu bahagia.
Namun jodoh memanglah rahasia. Setahun berlalu, Dias pulang dari proyeknya yang sukses. Dia tidak datang ke rumah kami, hanya saja dia mengajakku menemui seseorang di satu tempat.
"Siapa yang akan kita temui?" tanya ku penasaran.
"Seorang perempuan yang ingin menemui aku." kata Dias.
Aku terkejut, bukankah dia sudah katakan tidak ingin menikah. Lalu mengapa seorang perempuan datang dari tempat dia bekerja, jauh sekali datang menyusulnya hingga ke kota ini.
"Dia ingin menjadi istriku." katanya.
"Kau tidak membohonginya kan?" tanya ku.
Dia tersenyum kecut. "Tentu saja tidak, aku sudah mengatakan semuanya dengan sangat detail, sampai ke akar-akarnya. Tapi dia masih ngotot ingin menjadi istriku." kata Dias.
Aku jadi penasaran dengan perempuan itu, apakah dia benar-benar ingin menikah dengan Dias yang sudah jelas memiliki riwayat penyakit menular?
Aku pulang dengan pikiran yang ikut-ikutan rumit memikirkan perempuan yang mengejar Dias. Bagaimana mungkin seorang perempuan begitu ikhlas menerima Dias sedangkan sudah jelas apa resiko dan konsekuensinya jika menjadi istri Dias. Hatiku tak bisa berhenti bertanya-tanya.
"Mas." Istriku masuk ke dalam kamar kami, membawa anak ku yang masih menyusu dalam dekapannya.
"Apa Seina sudah tidur?" tanyaku, memeluk istriku mengajaknya duduk di ranjang.
"Sebentar lagi." bisiknya, dia tahu betul bahwa aku sedang memberi kode malam, aku sudah tak sabar menikmati keindahan dan kehangatan istriku. Setiap malam aku tak pernah bosan.
Beberapa menit kemudian, anakku yang gembul itu sudah tertidur pulas dengan mengemut bibirnya yang basah. Kuambil tubuh bulatnya lalu ku tidurkan di dalam box bayi. Aku sudah tidak sabar bercinta dengan istriku, terlebih lagi sejak tadi memandanginya memberikan asi untuk anakku. Membuat sesuatu di dalam segitiga ku memberontak tak sabar.
Hampir satu jam permainan panas kami berakhir, aku memeluknya erat sambil menghempas nafas penuh kepuasan. Aroma wangi keringat istriku selalu membuat aku mabuk kepayang, namun ku putuskan hanya satu ronde saja karena pikiranku masih terusik dengan perempuan yang tadi kami temui bersama Dias.
"Kenapa Mas, apa kamu capek?" kata Eva, dia memelukku juga, jari kecil nan lentiknya mengelus dadaku.
"Tidak juga Sayang." jawabku, mengecup kening Eva.
"Oh iya. Tadi kamu pergi kemana?" tanya Eva, mendongak wajahku.
Ku tatap bening matanya yang indah, tak ku lihat lagi kesedihan tentang Dias sejak aku berhasil membuatnya hamil dan sekarang kami sudah punya anak. Sempat hati ku bertanya, apakah secepat itu istriku melupakan Dias yang dulu di tangisnya berhari-hari?
Tapi sudahlah, aku lah yang salah di sini, masuk diantara kehidupan dan kisah cinta mereka.
"Tadi aku pergi bersama Dias." kataku, dia menautkan alisnya yang melengkung, menatapku seolah bertanya.
"Ada seorang perempuan yang datang dari daerah proyeknya. Kau tahu sayang, perempuan itu ingin menikah dengan Dias."
"Hah!"
Bibir mungil yang sedikit bengkak itu terbuka hingga membentuk huruf O.
Sejenak kami saling berdiam. Ku lirik wajah istriku, ku cari semburat kesedihan atau kekecewaan di sana, namun tak seperti yang ku kira dia malah ikut berpikir lalu berkata dengan bingung. "Apakah wanita itu tahu kondisi Mas Dias?"
Ku dekap istriku semakin erat, ku kecup keningnya cukup lama lalu ku jawab. "Sudah sayang."
Eva mendesah berat, lalu tak terdengar lagi ia berbicara.
"Dias meminta pendapatku." kata ku lagi, aku menunduk menatap wajah istriku, tapi ternyata dia sudah tidur dengan nafas teratur.
Setelah beberapa hari Dias memikirkan tentang perempuan itu, akhirnya ku sarankan saja untuk mengikuti apa kata hatinya. Lagipula Dias tidak akan tahan hidup sendirian tanpa seorang wanita.
Perihal perempuan itu akan tertular atau tidak, bukankah dia sendiri yang bersedia menerimanya.
Sebagai seorang lelaki, aku curiga jika perempuan itu juga bukanlah perempuan rumahan seperti istriku. Mana mungkin dia begitu nekat mengejar Dias dan mengaku sangat mencintainya, padahal sudah tahu kondisi sahabat ku yang berbahaya. Atau jangan-jangan, dia juga sama?
Singkat cerita, akhirnya Dias memutuskan untuk menikahi perempuan yang hadir bak malaikat itu. Namanya Lusia
Eva tak memilih hadir dalam pernikahannya, pun dengan diriku tak memaksakan. Kebetulan di hari yang sama adik dari ibu mertua ku meninggal dunia. Sehingga kami pergi keluar kota.
Hari-hari berjalan, sesekali aku berkunjung ke rumah Dias bersama teman-teman sekolah di sore hari. Seperti biasa kami mengobrol dan bercanda, namun di sana juga akhirnya perangai Lusi mulai terlihat, dia tak lagi bersikap lembut dan sopan, pemurah dan rajin sedekah seperti awal awal mengejar cinta Dias. Kini Lusi terlihat angkuh, acuh, sombong, dan terkadang juga menghina seorang temanku yang memang pengangguran.
"Ternyata Dias menikahi nenek sihir." kata Riko, sahabatku yang memang malas bekerja, sering meminta uang untuk membeli rokok kepada Dias, juga kepada ku. Bedanya Eva tidak sampai menghinanya, hanya menggeleng melihat kelakuan temanku.
Sejak saat itu aku mulai memahami keadaan rumah tangga Dias, aku membatasi diriku agar tak mengganggu ketenangan pengantin baru seperti mereka. Aku juga sering tidak nyaman dengan sikap Lusi yang sering bertanya tentang aku dan istriku. Dapat ku tangkap apa maksudnya, dia begitu penasaran dengan Eva.
"Sen, bagaimana jika malam ini kita makan bareng. Ajak saja Eva bersamamu, aku juga bersama Lusi." kata Dias melalui sambungan telepon.
Ku tatap wajah Eva, meminta persetujuannya terlebih dulu.
"Iya Mas." kata istriku.
"Baiklah, kau yang traktir?" candaku.
"Tak ku sangka sahabatku yang sangat pekerja keras kini meminta untuk di traktir." jawabnya tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya kami memutuskan untuk makan bersama di malam akhir pekan.
Ku genggam tangan kecil Eva, lalu ku kecup jarinya dengan nikmat. Ku harap istriku sudah tidak menyimpan rasa pada sahabatku itu, setelah setahun lebih menjadi istriku.
"Hai! Akhirnya kau datang juga." kata Dias, Kami berjabat tangan khas sebagai sahabat, dapat ku tangkap manik mata Dias langsung melirik istriku.
"Sayang, ini istri Dias. Yang aku ceritakan waktu itu." kata ku, memeluk Eva dengan intim. Tak kan ku biarkan mata Dias menelisik istriku. Aku tahu persis dias masih teramat mencintai Eva.
"Apa kabar Mbak?" Eva mengulurkan tangannya dengan raut wajah ramah.
"Baik, aku Lusia." jawab istri Dias, matanya memindai istriku dari kepala hingga ujung kaki seperti mencari sesuatu, atau mungkin kekurangan istriku.
"Senang bertemu dengan mu Mbak Lusia." kata Eva, istriku itu duduk tenang, hanya sekilas saja dia melempar senyum kepada Dias, lalu mengindari kontak mata dengan mantan kekasihnya itu.
Suasana berlangsung canggung, hingga istriku tersedak ketika makan. Aku pun reflek menyodorkan air putih kepadanya, tapi disaat bersamaan Dias pun melakukan hal yang sama membuat kami semua menatapnya.
Sejak hari itu, istriku tidak pernah mau lagi bertemu dengan Dias apalagi istrinya, jika ada undangan di tempat yang sama, maka istriku akan memilih untuk tidak datang, takut terjadi salah faham.
Tapi berbanding terbalik dengan istri dias, Lusia seperti sangat penasaran dengan Eva, dia bahkan sering mendatangi ibuku berpura-pura membeli kue dan mengobrol cukup lama.
Awalnya ku biarkan saja, karena Dias dan ibu memang cukup dekat sudah seperti anak sendiri. Tapi lama-lama sepertinya memang Lusia sedang mencari sesuatu dari istriku.
"Sen, kenapa Eva tidak mau berteman dengan Lusia?" tanya ibu, ketika aku berkunjung di hari Minggu. Aku sengaja datang sendiri karena Seina sedang tak enak badan.
"Kata siapa Bu? Bukankah ibu tahu hubungan antara Eva dan Dias itu dulunya seperti apa. Mungkin istriku sungkan." jawabku.
"Ya, tapi tidak sombong juga."
Aku mengernyit heran, kok tiba-tiba ibu berkata kalau istriku sombong?
"Kasihan Lusia itu perantau, dia tidak punya teman dan butuh teman. Dia sering datang kemari cerita sampai berhari-hari. Katanya di rumah sendirian bosan."
Lha, bukankah Lusia itu tidak suka jika ada yang datang bertamu, bahkan kesannya ingin mengusir, apalagi kalau yang datang bermain ke rumahnya itu orang susah. Kok bisa betah mengobrol dengan ibu yang notabene tergolong orang miskin?
"Bu, sebaiknya ibu tidak dekat-dekat dengan Lusia."
"Lho, kok malah di suruh menjauhi Lusia? Kasihan dia Sen! Dia itu di rumahnya gak betah karena gak akur sama ibu mertuanya!"
"Bu! Ibu nggak tahu bagaimana aslinya Lusia? Kalau sama ibu mertuanya saja tidak akur, apa ibu pikir dia akan baik sekali dengan ibu? Lebih baik ibu jauhi dia, dia_"
"Bu!"
Aku menoleh pintu yang terbuka, Lusia berdiri dengan raut wajah hampir menangis, dia menatap aku dan ibu.
"Lusia." Ibu segera menghampiri istri Dias itu.
"Mas Seno kok tega ngomong gitu tentang aku." dia menangis betulan sekarang.
"Udah nggak usah mendengarkan kata Seno. Kamu jangan sedih, sini masuk." ibu mengajaknya masuk, duduk di sofa, tepatnya di hadapanku.
"Ya sudah, aku harus pulang." ucapku. Malas sekali berlama-lama di sini.
Ku tangkap dari situasi ini, Lusia sepertinya bukan orang yang baik. Andaikan Eva mau berteman dengannya pun, maka akulah yang akan melarangnya.
Tak butuh waktu lama, setengah jam kemudian aku sudah tiba di rumahku. Menyesal aku datang ke rumah ibu dan bertemu dengan perempuan itu, mood ku jadi tak enak.
"Assalamu_"
"Mas." Salam ku terpotong, Eva menghampiri ku dengan wajah kesal.
"Ada apa Sayang?" tanyaku.
"Mas, Lusia mengata-ngatai aku di sosial media. Dia menyindirku dengan banyak sekali ucapan yang menyakiti aku." adunya, sambil menggenggam ponsel di tangannya.
Ku tarik nafas dalam-dalam, dan ku peluk dia. "Sayang, jangan terpengaruh dengan kalimat yang kau anggap sebagai sindiran. Belum tentu dia mengataimu."
"Awalnya begitu Mas, tapi kemudian aku penasaran karena semua ucapannya menjurus kepada kehidupan kita. Lalu ku tanyakan baik-baik padanya, dan dia membalas ucapan ku dengan kata-kata yang lebih tajam."
Dia pun menyodorkan benda pipih itu padaku.
Ku lihat dengan teliti, ternyata benar Lusia mengumpat dan mengatai istriku dengan tak sopan, dan waktu yang tertera adalah setelah aku pulang dari rumah ibu. Setengah jam yang lalu.
Satu hal yang membuatku geram, dia bilang aku hanyalah pria miskin, tak punya apa-apa dan masih banyak lagi.
"Apa maksudnya?" ucapku, menatap wajah Eva yang sudah sangat marah. "Kamu ada nyinggung dia Dek?" tanyaku.
"Nggak ada Mas, kamu bisa lihat sendiri." katanya.
Geram juga akhirnya aku, setelah habis-habisan mengatai istriku, perempuan itu bahkan menghina diriku terang-terangan. Meskipun gajiku tak sebesar Dias, tapi hidup kami aman-aman saja, istriku tak pernah kelaparan.
Ku tatap layar ponsel istriku yang terus menyala, ada banyak pesan yang terus Lusia kirimkan. Bahkan sudah tengah malam.
Dan tidak pernah ku lihat Sebelumnya, ternyata istriku bisa marah juga.
Eva meraih ponselnya menghubungi seseorang. Setelah sekian lama dia menjaga jarak dengan Dias, malam ini dia menghubunginya dengan perasan penuh emosi.
"Halo Mas, tolong urus istrimu agar tidak selalu mengurusi hidupku. Dan jangan sekali-kali menghina suamiku, juga kehidupan kami. Kau tahu, aku bahkan tidak pernah mengusik dirimu, aku benar-benar kecewa!"
Aku sampai tercengang melihat keberanian istriku menghubungi dias. Dapat ku tebak Dias di seberang sana pasti akan marah besar.
*
*
*
Sudah hampir enam bulan setelah itu, istriku benar-benar menjauhi Dias, tak mau tahu sekecil apapun tentang sahabatku itu.
Meskipun begitu, aku tetap menjaga hubungan baik dengannya, aku tidak mungkin meninggalkan Dias yang tentunya butuh teman selain istrinya untuk berbagi. Meskipun tak sedekat dulu, aku hanya menyempatkan mengobrol dengannya jika sedang kebetulan bertemu. Aku tak pernah menghindar, bagaimana pun juga dia adalah sahabat ku.
Kehidupan kami berjalan dengan baik-baik saja, hanya saja terkadang sedikit terganggu dengan ucapan ibu yang masih saja terpengaruh dengan Lusia. Ku larang pun percuma karena perempuan itu masih saja datang ke rumah ibu dengan alasan membeli kue.
Namun demikian terus saja ku katakan pada ibu, jika Lusia tak sebaik itu, Lusia bahkan sudah mengatai anaknya terhina dan miskin.
Malam itu, aku melajukan sepeda motor ku dengan kecepatan yang lumayan kencang. Aku sedikit terburu-buru karena malam ini Seina rewel. Di setengah jalan menuju pulang, aku baru menyadari kalau ponselku berdering dan bergetar.
Ku hentikan sejenak lalu ku lihat siapa yang menghubungiku.
"Dias?" aku mengernyit heran, sudah lama sekali sejak Eva memarahinya, dia tak pernah menghubungiku. Tapi ini dia bahkan sudah menelepon ku berulang kali.
"Halo Dias!"
Terdengar gemerusuk di seberang sana, suara sahabatku itu pun hanya terbatuk tanpa bicara. Setelah beberapa kali aku memanggilnya tak juga di jawab, suara yang terdengar pun membingungkan.
Dengan ragu ku pacu sepeda motor ku ke arah lain. Entah mengapa, perasan ku sungguh khawatir.
Hingga sudah berada di depan pintu rumahnya, ku lihat ada Mbak Nia yang juga datang membawa rantang makanan.
"Lho, Sen! Kau dari mana?" tanya Mbak Nia, kakak perempuan Dias.
"Baru pulang kerja Mbak, ini tadi Dias menghubungiku. Tapi nggak ngomong. Aku jadi khawatir Mbak." jawabku.
"Halah, paling kepencet Sen ! Wong dia itu kalau lagi rehat proyek, kerjanya tiduran terus." jawab Mbak Nia.
Benar juga, mungkin Dias hanya kepencet.
Tapi, kepencet kok sampai beberapa kali? Aku berdiri ragu di depan rumah sahabatku itu.
Jika ingat bagaimana istrinya menghina ku, juga mengatai istriku. Malas rasanya masuk ke dalam sana. Mungkin sebaiknya aku lanjut pulang, Eva pasti sudah menunggu.
"Diaaaaaaassss !!! Aaaaarghh.. Tolong!!!"
Ku letakkan helm di atas sepeda Motor maticku, ada apa di dalam sana sehingga Mbak Nia sampai menjerit.
"Mbak!" panggilku.
"Seno, tolong...." Mbak menangis histeris di sudut ruang makan. Akupun segera menghampirinya.
Dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat Dias sudah terkapar dengan baju yang bersimbah darah.
"Dias!" teriakku, ku dekati Dias yang sudah hampir tak sadarkan diri. Ku lihat ponselnya juga sudah jatuh, tangannya yang kurus tak lagi mampu menahan ponselnya.
Batuknya terdengar pelan, matanya sesekali melotot lalu terpejam, dia begitu lemah.
"Agghh." dia berusaha tetap terjaga.
"Bertahanlah Dias, kita akan kerumah sakit." ucapku, namun tangannya berusaha menggapai tanganku.
"Dias." gumam ku, aku sudah tak yakin dia dapat bertahan.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka menganga di bagian ulu hati.
"Siapa yang melakukan ini, Dias." tanyaku. Namun Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah.
"Eva." ucapnya, seiring dengan tangannya yang menggenggam tanganku terlepas.
Kemudian tubuhnya menegang, lalu melemas dengan mata tertutup rapat.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Siapa yang melakukan ini pada Dias sahabatku?
"Diaaaaaaass!!!!" Pekikan Mbak Nia terdengar menyayat hati, mengundang beberapa orang tetangga Dias masuk dan mencari tahu apa yang terjadi.
Aku terduduk lemas tanpa kata, satu hal yang sekarang membuatku masih bertanya-tanya.
Mengapa Dias menyebut nama istriku di akhir nafasnya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!