Gadis bertubuh kecil itu berlari menuju balai kesehatan sambil memegangi erat kedua anak pada tangan kanan dan kirinya. Mereka berdua tidak pernah bisa lepas darinya sehingga harus dibawanya pula dalam situasi yang genting begini. Setelah dirinya mendapat kabar kalau suaminya dan istri pertamanya mengalami kecelakaan.
"Itu Laila! istri kedua Pak Ahmad." Tunjuk salah satu warga yang berkerumun di sana.
"Bagaimana keadaan Pak Ahmad dan Teh Nini?" Laila sudah bergabung dengan mereka dan melihat sendiri keadaan suami istri itu.
Pak Ahmad yang merupakan suaminya sudah tidak bergerak dengan mata yang tertutup. Pria itu telah meninggal lebih dulu.
"Baba" panggil kedua anaknya sambil menangis kencang.
Sedangkan Teh Nini sedang berjuang, menatap Laila. Seperti ingin menyampaikan sesuatu pada madunya itu.
"Ma-af" ucapnya lirih.
Laila segera meraih lalu menggenggam erat tangan Teh Nini. Perempuan yang merelakan suaminya menikahinya hanya karena warga kampung selalu mengejeknya pembawa sial. Sebab suami pertama Laila harus meninggal di saat malam pertama. Dan kesialan itu menimpa Pak Ahmad yang tadi pagi menikahinya. Ternyata bukan hanya Pak Ahmad, Teh Nini juga.
"Teh Nini harus kuat." Laila menghapus air mata yang bercampur darah pada wajah Teh Nini.
Teh Nini menggeleng lemah, matanya sudah mulai terpejam tapi berusaha dikuatkannya untuk tetap terbuka.
"A-ku ti-tip Sal-wa, Hal-wa."
"Iya, aku akan menjaga mereka."
Teh Nini tersenyum di tengah rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya yang telah remuk.
"Ang-gap sa-ja mereka anak-anak ka-mu."
Laila mengangguk sambil berurai air mata. Kemudian membimbing Teh Nini mengucapkan kedua kalimat syahadat saat nyawanya di ujung tenggorokannya.
"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un" ucap seluru warga yang menyaksikan kepergian Teh Nini.
"Mama."
*****
Satu minggu setelah kepergian Pak Ahmad dan Teh Nini. Kehidupan Laila dan kedua anaknya mulai terasa berat. Apa yang ada di rumah sederhana itu sudah mulai dijual guna memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Laila yang tidak sekolah membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal sudah ada satu pabrik besar yang berdiri di Kampung Telaga itu. Sudah ada ratusan warga yang bekerja di sana tapi semuanya lulusan SMA/Sederajat.
Belum lagi kedua anak perempuan yang tidak bisa ditinggalkannya. Mengikat langkahnya untuk terus berada di dekat anak-anak itu. Terutama Salwa yang membutuhkan perhatiannya hampir 24 jam.
"Halwa masih mau makan, Bu." Anak berusia 4 tahun itu mengangkat piring plastiknya ke hadapan Laila. Meminta nasi yang hanya tersisa untuk dirinya saja.
Sembari tersenyum Laila memberikan setengah dari jatahnya karena ditakutkan Salwa akan memintanya juga. Dan ternyata memang benar sesuai dugaannya.
"Salwa juga mau, Bu" Salwa meminta nasinya juga. Laila pun kembali tersenyum sembari menaruh setengah nasinya lagi di atas piringnya.
Tidak masalah kalau malam ini Laila tidur dalam keadaan perut kosong, hanya air putih saja yang memenuhi perutnya karena memang dari pagi belum ada terisi nasi.
Halwa dan Salwa masih terlelap, sedangkan Laila harus terbangun tengah malam guna berdoa. Meminta kemudahan untuk segala sesuatu dalam hidupnya. Termasuk untuk besok pagi.
Setelah melipat sajadah Laila mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang bisa dijualnya. Terapi sayang, sudah tidak ada yang bisa dijadikannya uang.
Sebelum terdengar azan subuh Laila mendatangi warung yang terhalang tiga rumah dari rumahnya. Perempuan itu akan menebalkan muka untuk berhutang di warung itu. Demi satu liter beras dan seperempat kilo telur ayam.
"Pagi-pagi kok sudah menghutang, Laila?."
"Maaf, Bu. Nanti saya bayar."
"Tidaklah Laila, nanti warung ku apes kalau pagi-pagi sudah dihutangi."
Laila terdiam, perempuan itu pun tidak ingin menimbulkan kemalangan untuk orang lain.
Laila pulang ke rumah dengan tangan kosong, wajah Halwa dan Salwa selalu melintas dalam benaknya. Apa yang akan dikasihnya pagi ini kepada mereka?.
Tidak putus asa begitu saja, setelah melaksanakan shalat subuh Laila mendatangi bebarapa tetangga guna meminta bantuan berupa pinjaman. Tapi sudah lima rumah yang didatanginya tapi belum membuahkan hasil.
Air mata mulai jatuh, rasa percaya dirinya sudah hilang, kakinya kian sulit melangkah. Dengan langkah gontai Laila kembali ke rumah.
Senyum Halwa dan Salwa menyambutnya saat tiba di rumah. Kekuatan dan rasa percaya dirinya kembali pulih dengan cepat.
"Tadi Ibu Desi ke sini. Memberikan ini untuk Ibu." Salwa menyodorkan amplop putih pada Ibu Laila.
"Ini apa?" tanyanya.
"Tidak tahu, Bu. Katanya Ibu Desi, Ibu diminta datang ke rumahnya untuk bantu-bantu." Jawab Salwa menyampaikan pesan dari Ibu Desi.
Ibu Laila pun membuka amplopnya dan matanya seketika basah dengan bibir yang tidak berhenti berucap syukur. Rezeki datang dari orang dan tempat yang tidak terduga.
"Kita ikut ya, Bu" Salwa menaruh satu tangannya pada leher Ibu Laila.
"Iya, kita akan ke sana sama-sama."
Ibu Laila segera memasak nasi dan menggoreng telur untuk kedua anaknya sebelum berangkat ke rumah Ibu Desi.
Ibu Laila dan kedua putrinya telah tiba di rumah Ibu Desi. Ternyata di rumah orang kaya itu akan ada acara khitan untuk putra sulungnya yang sudah berumur 10 tahun. Ada anak-anak tetangga juga yang sedang bermain di sana.
"Ibu mau bantu-bantu di dapur, kalian main di sini saja bersama yang lain. Kalau ada apa-apa panggil Ibu segera, ya?."
"Iya." Halwa dan Salwa mengangguk.
"Tolong kamu jaga Kak Salwa" bisik Ibu Laila pada Halwa.
Halwa mengangguk sambil mengacungkan jempolnya ke arah Ibu Laila. Perempuan berhijab putih itu bergabung dengan yang lainnya di dapur besar itu.
Cukup lama Laila berada di dapur, sudah banyak pula yang dikerjakannya di sana. Sejak tadi Laila menulikan pendengarannya dari omongan-omongan tetangga yang kurang enak di dengar mengenai banyak hal. Akan tetapi yang lebih disorot adalah fakta tentang anaknya, Salwa.
"Si Salwa mau jadi apa nanti kalau masih belum sekolah?."
"Paling tidak akan jadi apa-apa."
"Ya paling-paling tidak jauh, menjadi sampah masyarakat."
"Orang kurang se-ons gitu mana bisa belajar."
"Padahal Pah Ahmad dan Teh Nini sangat terkenal agamis tapi sayangnya punya anak yang kurang se-ons."
"Lihat saja, sebentar lagi pasti Salwa akan mengamuk."
Mulut Laila begitu rapat, tidak mau membukanya untuk balik membalas perkataan mereka yang menyakitkannya. Selain karena ini bukan yang pertama kali mendapatkan cemoohan seperti ini mengenai Salwa. Tetapi mereka semua adalah Ibu-Ibu yang seusia dengan almarhumah Ibunya. Jadi Laila masih menghormati mereka. Asalkan bukan perlakuan fisik yang diterima Salwa.
Salah seorang anak kecil masuk dengan suara tangis yang cukup kencang. Ternyata kepalanya sudah benjol cukup besar.
"Salwa mendorong aku, Bu?." Adu si anak.
Bersambung.....
"Heh! Anak gila!" dengan begitu cepat Ibu itu menghampiri Salwa lalu mendorongnya hingga jatuh.
Ibu Laila pun berlari menghampiri putrinya yang mengaduh kesakitan, tapi tidak sampai menangis.
Salwa segera memeluknya, berlindung di balik tubuh mungil Ibunya.
"Aku tidak apa-apa, Bu." Salwa tersenyum, memperlihatkan dirinya yang baik-baik saja di depan Ibu yang sangat disayanginya..
"Dasar anak gila!" serang Ibu yang anaknya benjol. Tangannya sudah maju ke depan guna memukul wajah Salwa namun tidak sampai mengenai. Keburu Ibu Laila memasang punggungnya, menutupi wajah polos anaknya.
Bugh
Alhasil tamparan itu mengenai punggung Ibu Laila cukup kencang.
"Punggung Ibu sakit?" tanyanya polos.
Ibu Laila menunduk seraya menggeleng, menatap wajah khawatir Salwa.
Pemilik rumah pun datang mengakhiri amukan Ibu yang tadi. Memberikan sejumlah uang untuk mengobati anaknya yang kepalanya benjol. Karena tidak ingin membuatnya malu di depan tamu yang mulai memenuhi rumahnya. Pun dengan Laila yang pulang bersama kedua anaknya.
"Ibu, aku mandi sendiri, ya?."
"Iya, tapi yang bersih ya mandinya."
"Iya, Bu."
Ibu Laila menyiapkan pakaian untuk Salwa.
"Aku nanti saja makannya, Bu" Salwa yang sudah berpakaian langsung berbaring di atas bale-bale yang dialasi kasur busa yang sudah tipis.
"Tidak makan dulu?." Ibu Laila menghampiri Salwa yang membelakanginya.
Anak perempuan itu menggelengkan kepalanya.
Ibu Laila pun beranjak meninggalkan Salwa, perempuan itu ke dapur. Menata makanan yang diberikan Ibu Desi sebelum dirinya pulang. Halwa pun meminta makan karena tergiur dengan daging ayam.
Sore pun datang, dari kamar Ibu Laila mendengar suara rintihan. Ibu Laila segera melepas mukena yang masih menutupi tubuhnya. Mendatangi sumber rintihan tersebut. Di ruangan tengah, terlihat Halwa sedang mengompres Salwa.
"Kenapa Kak Salwa?."
"Demam."
Ibu Laila menaruh telapak tangannya di atas kening Salwa dan ternyata sangat panas.
"Tadi tidak kenapa-kenapa."
Kemudian mata Ibu Laila mengikuti pergerakan tangan Halwa yang menarik ke atas celana kulot yang dipakai Salwa.
"Luka kenapa ini, Hal?." Laila menyentuh luka biru keunguan.
"Sebenarnya tadi kenapa Kak Salwa mendorong anak Ibu itu, karena Kak Salwa didorong duluan dan kakinya kena ujung teras."
Sesaat Ibu Laila menatap wajah Halwa. "Besok-besok katakan saja semuanya sama Ibu. Supaya Ibu bisa lebih mengantisipasi kalau ada luka seperti ini."
"Baik, Bu. Maaf, ya."
"Tidak apa-apa."
"Ibu bawa ke Bidan saja."
"Aku ikut, Bu."
"Iya."
Karena tidak ada ojek saat menjelang malam, Ibu Laila pun menggendong Halwa di atas punggungnya dengan mengikatkan kain. Tangan kanannya memegangi tangan kecil Halwa. Untung saja jaraknya tidak terlalu jauh jadi cukup menempuh waktu tiga puluh menit saja untuk sampai di sana.
"Bagaimana keadaan Salwa, Bu Bidan?." Tanya Laila setelah Bidan memeriksa Salwa.
"Demam tinggi."
"Apa demamnya karena luka pada kakinya?."
"Bisa jadi. Karena lukanya cukup dalam."
"Iya."
"Nanti ada obat minum dan salep juga."
"Iya, Bu Bidan."
Obat sudah di tangan Halwa, mereka pun pulang.
"Aku jalan saja, Bu."
"Tidak, kaki kamu pasti sangat sakit." Ibu Laila sudah dalam posisi siap menggendong Salwa.
"Bisa aku tahan, Bu." Salwa bersikukuh untuk tetap jalan.
"Cepat naik ke punggung, Ibu." Seraya mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes.
Salwa langsung menurutinya, Ibu Laila dan Halwa mulai menempuh perjalanan. Menerobos gelapnya malam karena minim pencahayaan.
*****
Pagi-pagi sekali Laila sudah harus ke sawah, mengais rezeki di sana. Untung saja itu juga ada yang menyuruhnya kerja di sana. Hanya karena demi mengisi perutnya dan anak-anaknya. Walaupun itu dikerjakannya untuk pertama kali.
"Aku mau ikut" rengek Salwa.
"Kaki kamu belum sepenuhnya sembuh."
"Sudah tidak sakit lagi, Bu."
"Ada Halwa di rumah."
Salwa menggeleng dengan wajah memelas.
Ibu Laila pun tersenyum sambil mengangguk. Mengalah pada putrinya.
Halwa dan Salwa duduk menunggu di saung.
"Kalau kalian lapar dan haus ada nasi dan minumnya di sini." Ibu Laila menaruh kantung plastik di dekat Halwa.
"Iya, Bu." Jawab keduanya.
"Ibu kerja di sana." Tunjuk Ibu Laila pada sawah yang ada di depannya. Di sana juga sudah ada bebarapa orang yang bersiap akan memulai pekerjaannya.
"Iya, Bu." Keduanya mengangguk.
Kemudian Laila turun ke sawah bergabung dengan yang lainnya. Bebarapa dari orang itu pun mulai bicara menyindir Laila.
"Cantik, pembawa sial, tidak sekolah ya ke sawah-sawah juga turunnya."
"Iya, nasibnya kurang baik."
"Tahu nih sekarang masih ada yang mau apa tidak pada janda dua orang anak itu."
"Sepertinya sudah tidak ada."
"Kalau pun ada mungkin Kakek tua miskin yang sudah bau tanah."
Mereka pun tertawa menatap Laila yang hanya diam saja. Perempuan itu tetap fokus pada pekerjaannya.
Suara azan zuhur telah berkumandang, Laila dan beberapa orang telah menerima upah dari pemilik sawah. Dan mereka langsung pulang.
Dalam diamnya Salwa selalu memperhatikan Ibu sambungnya. Pakaian dan kulit putih Ibunya telah terkotori oleh tanah sawah yang baunya pun kurang sedap menusuk hidung.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja Salwa memeluk Ibunya. Menahan langkah kedua kaki Ibu Laila. Tidak lagi menghiraukan bau dan betapa kotornya tanah sawah.
"Kenapa?" tanya Laila lembut.
"Maaf, aku menyusahkan Ibu."
Ibu Laila diam terpaku. Anak yang selalu dikatakan gila, kurang se-ons, tidak bisa apa-apa oleh orang-orang. Nyatanya bisa mengucapkan kata yang begitu menyentuh. Ibu Laila pun berjuang menahan air matanya dengan menarik kedua sudut bibirnya setinggi mungkin.
"Tidak, Kak. Kakak dan Halwa tidak menyusahkan Ibu sama sekali. Jutsru Ibu sangat bersyukur memiliki kalian berdua."
Halwa ikut memeluknya dari sisi kanan. "Untuk kami Ibu harus bekerja berat seperti ini."
"Tidak, Halwa."
"Coba saja Mama sama Baba masih ada, Ibu tidak akan kerja keras seperti ini." Sambung Salwa sambil berurai air mata.
Laila pun tidak sanggup lagi membendung air matanya. Ketiga perempuan beda usia itu menangis bersama. Namun itu tidak langsung lama karena Ibu Laila segera membuat suasana kembali ceria.
"Ayo kita pulang, Ibu sudah kebelet pipis."
"Iya, Bu."
"Tahan dulu ya, Bu."
"Makanya ayo, cepat!. Jangan sampai Ibu pipis di celana."
Ketiga pun tertawa sembari berjalan cepat.
Halwa yang kelelahan sudah tidur di kamar Laila, sedangkan Laila sendiri baru selesai mengobati luka Salwa. Anak berusia 7 tahun itu pun ikut tidur di samping Adiknya.
Laila sendiri menatap uang pecahan lima puluh ribu dan dua puluh ribu, masing-masing satu lembar. Itu untuk upahnya dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang.
Memang janda dua anak itu tidak memiliki keahlian apapun selain hanya belajar karena keterpaksaan dan keadaan. Sekarang pun dirinya harus belajar memutar otak untuk kelangsungan hidupnya.
Laila pun berencana membuat cemilan kesukaan kedua anaknya. Cemilan yang biasa dibuat almarhumah Teh Nini.
Bersambung.....
Sambil menikmati dinginnya udara sore hari karena guyuran deras air hujan. Sebuah cemilan telah berhasil dibuat oleh Ibu Laila untuk menyenangkan kedua anak perempuannya. Cemilan itu sangat disukai anak-anaknya semasa almarhumah Teh Nini hidup. Kue kacamata dan Nagasari.
Memang tidak banyak yang dibuat Ibu Laila, tapi cukup mengobati rasa kangen mereka terhadap cemilan yang satu itu.
"Buatan Ibu lebih enak." Puji Halwa yang diangguki langsung Salwa. Karena memang mereka sangat hafal dengan rasa cemilan yang suka dibuat sang Mama sewaktu hidup.
"Buatan kami sama-sama enak."
"Benar, Bu." Salwa menegaskan.
Ibu Laila hanya tersenyum.
Mereka melanjutkan menikmati hidangan tersebut sampai waktu magrib.
Malam sebelum tidur, Salwa mendekati Ibu Laila yang baru selesai melipat sajadahnya. Meninggalkan sang Adik yang sudah terlelap.
"Aku mau bantu Ibu kerja, kerja apa saja bisa."
"Kak Salwa masih kecil, belum saatnya bekerja. Nanti juga akan ada waktunya, Kak."
"Sekarang biar Ibu saja yang bekerja untuk kalian."
"Kalau jualan bagaimana, Bu?."
"Mau jualan apa?. Ibu tidak bisa memasak."
Ibu Laila dan Salwa keluar kamar, duduk di bale-bale tempat Ibu Laila melepas penat. Karena kasur di dalam kamar hanya muat untuk berdua saja.
"Jualan yang tadi kita makan saja, Bu."
"Apa iya itu enak?."
"Enak banget, Bu. Aku sama Halwa saja suka."
"Alhamdulillah kalau nantinya banyak yang suka dan habis, kalau tidak laku ya bisa kita makan." Salwa menyampaikan ide sekaligus keinginannya karena Salwa tidak ingin melihat Ibunya kerja keras seorang diri.
Ibu Laila tampak berpikir, mengakumulasi pengeluaran untuk bahan-bahan bakunya. Memang tidak terlalu mahal tapi tidak murah juga. Sepertinya akan lebih baik jika uang yang dimilikinya dipakai berjualan walau masih belum tahu pasti akan hasilnya.
"Tidak usah bikin banyak, Bu. Seadanya modal saja."
"Kalau mau jualan di mana? Kalau keliling Ibu tidak setuju."
Salwa pun tampak berpikir.
"Di dekat Sekolah Dasar saja, Bu. Ibu pernah lihat ada bebarapa orang yang jualan di sana 'kan?. Karena jalan itu biasa juga dilewati orang-orang yang akan ke ladang, pabrik sama ke sawah."
"Ada tapi beberapa orang."
"Ya sudah, aku mau jualan di sana saja. Aku sudah besar juga bisa menjaga diri dan Adik Halwa."
Laila tersenyum.
Selama ini memang Ibu Laila tidak pernah menganggap Salwa sebagai anak yang memiliki kekurangan. Justru Ibu Laila selalu memperlakukannya sama dengan anak-anak lain yang seusianya. Walau tidak dipungkiri kalau Ibu Laila selalu meminta bantuan pada Halwa untuk menjaga Kakaknya.
"Besok kita coba ya, Kak. Bahan-bahan yang tadi Ibu beli masih ada."
"Iya, Bu."
Keesokan paginya.
Hari ini pertama kalinya Salwa dan Halwa berjualan. Sedangkan Laila sendiri harus ke sawah lagi, alhamdulillah rezekinya ada di sana. Masih saja ada yang usil kepada Laila, tapi lagi-lagi Laila tidak bisa marah karena tidak ingin membuang energinya untuk itu. Laila hanya berpasrah diri pada pemilik hidupnya.
"Tumben anak se-ons itu tidak ikut."
"Tidak." Laila masih bisa tersenyum.
"Baguslah, mata saya sakit kalau ada anak se-ons itu."
Sementara itu Salwa dan Halwa masih menunggu orang yang datang membelinya.
"Belum ada yang beli, Kak" sejak tadi Halwa menghitung kue yang buat sang Ibu yang belum berkurang jumlahnya.
"Sabar, Dik. Semoga saja sebelum sekolah tutup ada yang membeli kuenya." Optimis Salwa.
Si kecil Halwa mengangguk.
Waktu begitu cepat berlalu, sebagian anak-anak sekolah sudah ada yang pulang. Ada bebarapa anak yang melihatnya. Tapi belum ada yang membelinya. Tak berselang lama, ada seorang Ibu yang melintas. Kemudian berhenti tepat di depan Salwa.
"Ibu Ratna mau beli?" tanya Salwa antusias.
"Berapaan kuenya?." Tanya si Ibu.
"Seribuan."
"Siapa yang buat?."
"Ibu Laila."
"Kalau enak saya beli semua." Kemudian Ibu Ratna mencoba satu persatu kuenya. Sambil tersenyum Ibu Ratna memuji kue buatan sang Ibu.
"Enak, Bu?." Tanya Halwa penuh antusias.
"Iya, sangat enak. Bungkus semua kuenya." Pinta Ibu Ratna yang merupakan tetangga jauh mereka.
"Baik, Bu." Salwa segera memasukkan kue-kue itu lalu menyerahkannya pada Ibu Ratna. Uang sebanyak dua puluh ribu pun sudah di tangannya.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
Keduanya tersenyum bahagia lalu pulang tepat pada saat anak-anak sekolah bubar juga. Ada yang kenal dengan sosok Halwa dan Salwa. Tetapi mereka lebih tertarik meneriaki Salwa.
"Salwa gila."
"Salwa kurang se-ons."
"Salwa sinting."
"Salwa anak yatim piatu."
Tidak ingin melawan, Salwa pun memegangi tangan Halwa lalu berlari kecil menuju rumah. Teriakan anak-anak itu sudah tidak terdengar lagi.
Keduanya sampai di rumah bertepatan dengan Ibu Laila yang baru sampai juga.
"Ibu jualannya habis!" seru Salwa sangat gembira.
"Alhamdulillah" sahut Ibu Laila.
"Aku besok mau jualan lagi ya, Bu."
Ibu Laila mengangguk.
Ibu Laila segera membersihkan diri lalu melaksanakan shalat bersama anak-anaknya. Kemudian setelahnya mereka membuka makanan yang dibawa Ibu Laila dari pemilik sawah. Penuh antusias Salwa memakannya sembari kembali bercerita pada Ibu Laila mengenai Ibu Ratna yang membeli semua dagangannya.
*****
Penuh rasa syukur Laila membuat kue-kue lagi yang akan dijual oleh Salwa. Tidak banyak yang dibuatnya, masih sama dengan jumlah seperti kemarin.
Seperti biasa Salwa bangun lebih dulu dari Adiknya. Anak kecil itu bergegas ke dapur, senyumnya tampak merekah saat melihat kue-kue sudah siap dijual.
Jualan pagi ini tidak seperti beberapa hari kemarin yang selalu habis diborong oleh Ibu Ratna. Sampai anak-anak sekolah bubar kue-kue itu tetap utuh. Dengan langkah gontai keduanya meninggalkan tempat itu.
"Tidak ada yang beli, Kak."
"Iya, Dik."
Tiba-tiba saja ada seorang Bapak yang memanggil Salwa dan anak itu pun berhenti.
"Bawa apa?."
"Kue jualan, Pak Dadang."
"Berapaan?."
"Seribuan, Pak Dadang."
"Saya beli lima ribu."
"Iya, Pak."
"Aku ambil sendiri saja, Salwa." Pak Dadang langsung mengambil kue kacamata lima dan kue Nagasari lima."
Kedua anak itu pun pergi setelah Pak Dadang mengambil kuenya.
"Alhamdulillah ya Kak ada yang beli."
"Alhamdulillah, Dik."
"Semoga saja ada yang beli lagi."
"Iya."
Ucapan Halwa pun terkabul. Ada Teh Linda yang membeli semua kuenya, namun dengan harga lima ribu. Sama persis dengan Pak Dadang. Namun mereka tidak memikirkan apapun kecuali senang saat pulang kue-kuenya habis.
Ibu Laila menyambut kepulangan putri-putrinya. Syukur pun terucap kala mengetahui jualan anaknya habis semua.
"Ibu besok jualan lagi, ya."
"Iya, Kak."
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Salwa langsung shalat sementara si kecil Halwa langsung tidur karena kecapekan.
"Bu ini uangnya." Salwa menyerahkan uang sepuluh ribu pada Ibu Laila.
"Hanya ini uangnya, Kak?."
"Iya, Bu. Tadi yang beli cuma dua orang. Pak Dadang dan Teh Linda."
Ibu Laila pun tersenyum karena tahu kalau Pak Dadang dan istrinya memaafkan putrinya.
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!