°
°
°
A-a-pa... pergi dari rumah? Risna kabur begitu maksudnya, Pak?" tanya Akmal pada Pak Rusli. Pemuda itu begitu syok mendengar perkataan calon mertuanya yang datang mengabarkan bahwa Risna calon istrinya kabur dari rumah.
"Iya, Nak," jawab Rusli lirih.
Akmal tampak frustasi dengan berbagai pertanyaan memenuhi benaknya. Padahal besok mereka akan menikah tapi pengantin wanitanya malah kabur. Apa kata orang nanti?
"Pak Rusli... tolong, Anda ceritakan bagaimana kronologinya?" pinta Pak Deni.
"Karena sejak pagi saya belum melihat Risna anak saya, maka..." Pak Rusli lantas menceritakan dari awal kejadiannya tanpa di tambahkan dan dikurangi.
Pak Deni tampak mengangguk-anggukkan kepala mencoba menelaah apa yang terjadi, agar tidak salah dalam mengambil keputusan.
Sementara Akmal sendiri dari tadi terus menghubungi ponsel Risna calon istrinya, namun hanya ada jawaban nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan.
"Begini saja, Pak Rusli. Sebaiknya sekarang Bapak dan Ibu segera mencari Risna, mungkin dia belum jauh," saran Pak Deni.
"Baik, Pak! Kami akan mencari Risna sampai ketemu. Kalau seandainya Risna sudah pulang apakah Bapak sekeluarga, terutama Nak Akmal masih mau memaafkan dan menerima anak kami?" tanya Pak Rusli ragu-ragu.
"Bagaimana denganmu, Mal? Apa kamu masih mau menerima andai Risna kembali?" tanya Pak Deni.
"Iya, aku mau, Yah," jawab Akmal.
"Nah, Bapak dengar sendiri kan? Jadi begitu Pak Rusli menemukan Nak Risna sebaiknya langsung menghubungi kami," jawab Pak Deni.
"Baiklah kalau begitu, Pak, Bu, dan Nak Akmal, terimakasih dan maaf telah mengganggu waktunya. Kami mohon pamit." Pak Rusli dan Bu Rahma lalu bangkit dari duduknya dan bersalaman dengan calon besan mereka.
"Tidak apa-apa, Pak. Semoga Nak Risna segera ditemukan," ucap Pak Deni.
Setelah mengucapkan salam, Pak Rusli dan Bu Rahma langsung pamit dan meninggalkan rumah calon besannya.
"Ada apa, Nak?" tanya Bu Marini ibunda Akmal yang baru saja keluar dari dapur.
"Risna pergi dari rumah, Bun. Dia kabur," ujar Akmal lirih.
"Astaghfirullah... bagaimana mungkin, Nak? Pernikahan kalian tinggal besok, apalagi semua undangan sudah terlanjur disebar. Lalu..." Bunda Marini tidak melanjutkan kata-katanya. Beliau bahkan hampir saja limbung andai Pak Deni sang suami tidak segera menahan tubuhnya.
"Sabar, Bu. Pak Rusli sekarang sedang mencari keberadaan Risna. Semoga bisa segera diketemukan," ucap Pak Deni.
"Bagaimana jika asumsi Bapak itu salah? Dan mereka sengaja ingin mempermalukan kita!" Bunda Marini mulai terisak, membayangkan kemungkinan terburuk.
°
Hari mulai beranjak siang dan terik matahari kian terasa menyengat kulit. Namun semua itu bukan penghalang bagi pasangan suami istri itu, untuk terus menyusuri jalanan beraspal. Menjelajahi setiap area keramaian yang mereka temui guna memastikan sang anak berada di sana.
Kekhawatiran dan kegelisahan jelas kentara melanda hati serta pikiran Pak Rusli dan Bu Rahma. Pasalnya pihak keluarga Akmal sudah memberikan bantuan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk biaya pesta. Tentu hal itu semakin membuat mereka dihantui perasaan ketakutan andai Risna benar-benar kabur.
Hingga menjelang sore hari, tak menemukan anak gadisnya, Pak Rusli dan Bu Rahma memutuskan untuk pulang ke rumah. Namun ketika mereka tiba di rumah, keduanya justru dikejutkan dengan keberadaan anak gadisnya yang sedang tertidur meringkuk di kamar.
"Astaghfirullah al'adzim, Risna! Darimana kamu...? Bapak sama ibu berkeliling ke sana kemari mencari keberadaan kamu! Kenapa ponsel juga tidak bisa dihubungi, hahhh!" Dengan geram Bu Rahma mengoyang-goyangkan tubuh Risna dengan kasar saking kesalnya
"Ris, bangun, Nak! Katakan pada kami, tadi kamu ke mana?" tanya Pak Rusli seraya menepuk pelan bahu anak gadisnya.
Sementara Bu Rahma langsung berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Pandangannya tajam ke arah gadis yang masih tergolek di atas kasur.
Perlahan Risna bangkit dari tidurnya dan mengucek matanya yang terlihat sembab.
"Kamu tadi darimana, hemmm? Jawab ibu Risna, jangan diam saja!" tegas Bu Rahma.
Risna hanya menggeleng tanpa menatap ibunya. Gadis itu memalingkan wajahnya ke arah jendela. "Sebaiknya pernikahannya dibatalkan saja. Risna belum siap untuk menikah," ujar Risna santai.
"Apa kamu bilang...? Batal...? Astaghfirullah...! Kamu ini sudah tidak waras atau bagaimana, Risna! Membatalkan pernikahan setelah semua terlanjur begini? Terus mau ditaruh mana muka orangtuamu ini, Risna...!" teriak Bu Rahma dengan hati bergemuruh dikuasai amarah.
"Daripada setelah menikah nanti kita bercerai, Bu," jawab Risna.
"Jangan terlalu emosi, Bu. Ingat nanti darah tinggi Ibu kumat." Pak Rusli memperingatkan.
"Astaghfirullah al'adziiim!" Bu Rahma beristighfar seraya menepuk dadanya yang terasa sesak bagai terhimpit beban yang sangat berat. Ya memang berat, karena pasti jika pernikahan dibatalkan tentu akan menanggung rasa malu yang tak terbayangkan oleh mereka sebelumnya.
"Risna, sebaiknya kita segera pergi ke rumah Nak Akmal, dan minta maaf pada keluarga mereka." Pak Rusli bergegas keluar namun langkahnya terhenti tatkala mendengar perkataan anak gadisnya.
"Kenapa harus meminta maaf, Pak? Kita kan tidak salah apa-apa sama mereka." Ucapan Risna sontak memancing amarah Bu Rahma semakin menjadi.
"Sebenarnya kamu tadi darimana dan ketemu sama siapa, Risna! Kenapa kamu jadi berubah seperti ini? Tidakkah kamu memikirkan perasaan Bapak dan ibu, hahhh!" marah Bu Rahma lalu menghempaskan bahu anak gadisnya dengan kasar.
Akhirnya dengan berat hati Bu Rahma meminta Pak Rusli untuk menghubungi calon besannya dan mengabarkan jika Risna sudah pulang.
°
Sementara itu Akmal sendiri baru saja pulang setelah seharian berkeliling, mencari Risna calon istrinya. Dia tidak ingin hanya diam berpangku tangan saja, didatanginya tempat-tempat yang pernah dikunjungi bersama Risna. Enam bulan kebersamaan mereka telah banyak keduanya menghabiskan waktu bersama dan menjelajahi daerah wisata. Bahkan restoran, kafe, dan warung kaki lima semua dia datangi namun nihil.
Akmal mengingat kembali pertemuannya dengan Risna. Keduanya diperkenalkan oleh salah seorang teman. Pribadi Risna yang malu-malu juga lemah lembut tutur katanya, membuat Akmal terpesona. Beberapa bulan saling mengenal, Akmal menyatakan perasaannya. Bak gayung bersambut, ternyata Risna juga menyimpan perasaan yang sama. Akmal kemudian membawa Risna ke rumah, memperkenalkannya pada kedua orangtua dan kehadirannya langsung diterima dengan baik oleh Pak Deni dan Bunda Marini.
Singkat cerita, karena sudah merasa cocok dan yakin dengan pilihan hatinya, Akmal pun menyampaikan keinginannya untuk meminang Risna. Tentu saja hal itu disambut baik oleh kedua orang tua mereka masing-masing dan langsung menentukan hari pernikahan. Bahkan Risna sendiri yang memilih kebaya dan gaun pengantinnya.
Tok tok tok
Akmal segera beranjak dari tempat tidurnya, untuk membukakan pintu.
"Bunda... ada apa?" tanya Akmal
"Sebaiknya segera bersiap kita akan ke rumah Pak Rusli. Risna sudah pulang!" titah Bunda Marini.
"Baik, Bund."
Setelah bundanya berlalu, Akmal segera bersiap. Dia tersenyum senang mendapatkan kabar Risna pujaan hatinya sudah kembali.
°
Akhirnya malam itu juga Akmal beserta keluarga mendatangi rumah Pak Rusli. Tak butuh waktu lama hanya dua puluh menit perjalanan tibalah Akmal beserta kedua orang tuanya di rumah Pak Rusli.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, silakan Pak, Bu, Nak Akmal." Pak Rusli dan Bu Rahma meyambut kedatangan calon besan dan calon menantunya dengan suka cita, meskipun hatinya diliputi perasaan bersalah.
"Maaf, Pak, Bu. Apa benar Risna sudah pulang?" tanya Akmal.
"Iya benar, Nak. Dia ada di kamarnya, sebentar ibu panggil dulu." Bu Rahma beranjak dari tempat duduknya dan berlalu ke belakang untuk memanggil Risna.
Bunda Marini menangkap adanya keraguan dan kecanggungan dari sikap tuan rumah. Suasana hening seketika, atmosfer udara di ruang tamu itu seolah terhenti dan kosong, menampilkan helaan napas panjang serta dalam dari masing-masing individu yang berada di sana.
"Maaf, Pak Rusli. Jika memang Nak Risna sudah pulang, kenapa tidak langsung mengajaknya menemui kami?" Suara Pak Deni memecah keheningan.
Wajah tegang bercampur gelisah tercetak jelas pada Pak Rusli. Bahkan beliau langsung menundukkan kepala tak sanggup menerima tatapan yang begitu mengintimidasi dari tamunya.
Tak berselang lama keluar kembali bersama dengan Risna dan Bu Rahma. Kemudian dengan kepala tertunduk Risna duduk di hadapan Akmal. Dia seperti enggan menatap mantan calon suaminya.
"Maafkan kami, Pak Deni beserta keluarga. Sebenarnya kami merasa malu jika harus datang ke rumah Bapak. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kami tidak bisa melanjutkan pernikahan ini." Pak Rusli langsung berbicara pada pokok permasalahan.
"Apa maksud Bapak tidak bisa melanjutkan pernikahan ini? Apa itu artinya..." Akmal tidak sanggup berkata lagi, tenggorokannya terasa tercekat, dan bibirnya bergetar hebat, wajahnya berubah pias.
"Maafkan kami, Nak Akmal. Risna mengatakan belum siap untuk menikah dan meminta pernikahan ini dibatalkan."
Jdeeerrr
°
°
°
Hallo readers setiaku...😍
Selamat berjumpa kembali di cerita baru Moms TZ . Semoga betah menemani moms ya.
Jangan lupa kritik dan sarannya yang membangun, asal jangan menghujat. Berkarya tidak mudah, mohon dukungannya, terimakasih 🙏🙏🙏😍😍😍
°
°
°
Jdeeerrr
Bagai petir menyambar di siang hari yang terik. Meski lirih, namun perkataan Pak Rusli terdengar sangat jelas mengingat malam itu suasana sangat hening. Pak Deni dan Bunda Marini langsung menatap ke arah Pak Rusli dengan sorot mata tajam menyiratkan kemarahan dan kekecewaan, namun Pak Deni berhasil menguasai dirinya. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Bu Marini.
Sedangkan Akmal menatap Risna dengan nanar. "Benar itu Ris? Kamu ingin membatalkan pernikahan kita? Apakah keputusanmu sudah bulat untuk membatalkan pernikahan kita?" tanya Akmal. Dalam hati ia berharap Risna merubah keputusannya.
"Iya, benar. Aku sudah yakin dan mantap. Sebaiknya memang pernikahan kita batalkan saja, daripada setelah kita menikah akhirnya harus bercerai," jawab Risna.
"Tapi kenapa begitu mendadak, Ris? Bukankah jarak dari aku melamarmu sampai kita akan menikah ada rentang waktu satu bulan? Lalu kenapa baru sekarang? Katakan padaku apa alasanmu!" Akmal terlihat emosional tangannya mengepal kuat, namu Pak Deni langsung memegang erat pergelangan tangan Akmal agar jangan sampai lepas kendali.
"Aku masih muda dan aku belum siap menikah, itu saja," sahut Risna.
Akmal tersenyum getir mendengar jawaban Risna. "Masih muda katanya? Bahkan Adzana saja menikah belum lulus kuliah!" gumam Akmal dalam hati.
"Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, aku terima. Aku lega karena mendengarnya langsung dari kamu. Terimakasih untuk sembilan bulan waktu kita bersama. Dan mengenai apa yang sudah aku berikan padamu, aku ikhlas. Aku anggap itu sebagai sedekah bagi orang yang membutuhkan!" Perkataan Akmal begitu tenang namun penuh penekanan di akhir kalimat yang diucapkannya.
Pak Rusli dan Bu Rahma merasakan ucapan mantan calon menantunya itu bagaikan ujung pisau tajam yang mengoyak jantungnya. Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha menahan rasa malu akibat ulah anak gadisnya.
"Kalian tidak bisa mempermainkan kami seperti ini. Bukan masalah nominal yang sudah kami keluarkan, tapi ini menyangkut tanggung jawab dan harga diri." Bu Marini berkata dengan berapi-api bahkan sampai berdiri dari duduknya.
Tidak ada yang ada berani menyahut, semua sibuk dengan pemikiran masing-masing.
"Bagaimana Anda berdua mendidik anak gadis Anda menjadi seorang yang plin-plan dan tidak punya pendirian. Seharusnya kalau memang belum siap menikah, kan bisa bicara jujur sebelum semuanya terlanjur! Saya benar-benar kecewa dengan keluarga ini. Ayo... Pak, kita pulang! Assalamualaikum." Bu Marini menarik tangan Akmal dan membawanya keluar dari dalam rumah diikuti oleh Pak Deni. Wajahnya juga menampakkan kekecewaan yang mendalam.
Setelah tamunya pergi, Bu Rahma menjerit keras, meraung meluapkan rasa sesak di dada yang sejak tadi ditahannya. Suara tangisnya menggema memenuhi seluruh ruangan rumahnya.
"Puas kamu, Risna! Sudah puas kamu sekarang mempermalukan orangtuamu, hahhhh...!!" Bu Rahma kembali meraung. Sementara Pak Rusli hanya bisa diam dan berusaha menenangkan istrinya.
°
.
Sesampai di rumah suasana mendung masih menyelimuti keluarga Pak Denny. Begitu dingin dan sunyi selaras dengan penghuninya yang memilih bungkam, namun pikiran mereka terisi oleh berbagai praduga. Tak ada kehangatan bahkan Bu Marini masih merasakan dadanya berdenyut nyeri mengingat pernikahan putranya yang dibatalkan sepihak.
Akmal, putranya yang malang. Rasa tak terima itu begitu mencengkeram erat sanubarinya hingga terlalu sulit untuk meleburnya. Ditambah ego yang tinggi kian membelenggu batinnya. Netranya mulai berembun dengan pandangannya yang sedikit berkabut membuatnya terpejam untuk sesaat. Lalu tanpa sepatah kata ibunda Akmal itu membawa langkah kakinya memasuki kamar.
Pun demikian halnya dengan Akmal, dia memasuki rumah dengan langkah terhuyung, lalu mendudukkan dirinya dengan sembarangan di sofa. Meraup mukanya dan membiarkan telapak tangan itu menutupi wajahnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Meski berusaha untuk kuat dan baik-baik saja, tak dapat dipungkiri hatinya tetap terasa perih. Ia tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa untuk melanjutkan hari-harinya esok.
Setelah sekian lama hatinya mulai terbuka untuk seorang wanita, tapi kini harus merasakan kepahitan dan mirisnya lagi dia ditolak di hari menjelang pernikahan. Sebagai lelaki sejati, Akmal merasa dilemparkan jauh ke dasar jurang yang dalam. Terhempas dan tercampakkan bagai sampah yang tak berguna. Namun rasa cintanya pada Risna mengalahkan logika. Meski tak terima, tapi dia masih berharap gadis pujaannya berubah pikiran. Begitulah kira-kira yang terpikirkan olehnya.
Pak Deni sebagai kepala keluarga berusaha tetap kuat dan tenang meski harga dirinya tercabik-cabik. Siapa orangtua yang rela putra kebanggaannya dicampakkan begitu saja.
"Assalamualaikum." Suara seseorang mengucap salam dari luar rumah.
"Waalaikumsalam." Pak Deni menjawab seraya bangkit dari duduknya dan membukakan pintu.
"Waahh, kebetulan kalian datang."
"Ayah, apa kabar?"
"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Ayo masuk masuk." Pak Deni membawa tamunya masuk setelah sebelumnya bersalaman dengan kedua orang yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
"Bunda, lihat siapa yang datang!" seru Pak Deni pada istrinya.
Di dalam kamar Bunda Marini langsung keluar begitu dipanggil. Dan wajahnya langsung sumringah saat tahu siapa yang datang, melupakan sejenak luka hatinya.
Tamu yang tak lain adalah Arbi dan Adzana beserta kedua anaknya itu disambut dengan gembira oleh tuan rumah. Bunda Marini langsung memeluk erat Adzana yang sudah dianggapnya anak sendiri.
Sedangkan Arbi langsung menghampiri sahabatnya yang duduk diam seolah tidak terusik dengan kedatangannya.
"Hai, Bro...! Kamu kenapa? Mau nikah kok malah galau!" Arbi menepuk pundak Akmal lalu merangkulnya, namun Akmal tetap bergeming seolah asyik dengan dunianya sendiri.
"Kak Akmal kenapa, Bund?" Gantian Adzana yang bertanya.
"Dia tidak jadi menikah, pihak perempuan membatalkan pernikahan dengan alasan ia masih muda dan belum siap untuk menikah," jawab Bunda Marini penuh kekecewaan.
"Astaghfirullah al'adzim...! Kak Akmal tidak jadi menikah?" Pekik Adzana kaget dengan mata membulat sempurna.
"Sayang, tolong jaga bicaranya, ya! Akmal sedang tidak baik-baik saja sekarang," ucap Arbi memperingatkan istrinya.
"Maaf,,," Adzana langsung mengeluarkan jurus andalannya yakni poppy eyes seraya menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada ke arah suaminya. Jika sudah begitu, bagaimana si Arbi tidak terZana-Zana coba. Ia lalu mendekat dan mengacak rambut istrinya dengan gemas.
"Haaa....!" Tiba-tiba Adzan berseru seraya menjentikkan jarinya dengan mata berbinar, membuat semua mata tertuju padanya.
"Bagaimana jika Kak Akmal menikah saja dengan Anaya!" celetuk Adzana.
"Apaaa...? Anaya teman kamu yang somplak bin nyeleneh itu?" tanya Akmal disertai gelak tawa.
"Sayang, kamu serius?" tanya Arbi tak percaya.
"Heemmm... dua rius malah," jawab Adzana dengan raut wajah tegas.
"Siapa Anaya itu, sayang?" tanya Bunda Marini.
"Dia sahabat sejati aku, Bun," jawab Adzana.
"Dan Kak Akmal, jangan meremehkan Naya! Meskipun rada somplak tapi dia itu teman yang setia. Dia juga pekerja keras dan menjadi tulang punggung keluarganya, menanggung semua kebutuhan ibu juga kedua adiknya yang masih sekolah." Adzana berhenti sejenak, dia memejamkan mata lalu menghembuskan napas kasar.
"Naya itu anak yatim dan kalau Kak Akmal menikahi dia, bukankah itu akan menjadi ladang amal buat Kakak?" Adzana menatap Akmal tajam.
"Kalau begitu bunda setuju banget. Bagaimana denganmu, Mal? Kamu setuju, kan?" tanya Bunda Marini.
"Setidaknya kita bisa terhindar dari rasa malu dan uang kita tidak terbuang sia-sia. Cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu, apalagi dia juga gadis yang baik," tutur Bunda Marini.
"Entahlah, aku tidak tahu, Bun. Aku masih belum bisa berpikir jernih, pikiranku masih kacau." Akmal lantas bergegas menjauh, berlalu menuju kamarnya di lantai atas!
Tak lama kemudian yang lain pun menyusul masuk ke kamar masing-masing karena malam telah larut, saatnya untuk beristirahat.
°
Tengah malam keluarga Pak Deni dikejutkan oleh suara ketukan pintu berulang kali, yang mau tak mau pria paruh baya itu membuka mata dan beranjak dari tempat tidur bergegas keluar untuk membukakan pintu. Namun rupanya Akmal telah lebih dulu membukakan pintu. Dan pemuda itu terkejut melihat siapa tamunya yang datang.
"Bapak, Ibu...! Ada apa ya, tengah malam datang ke rumah kami?" tanya Akmal.
"Mari silakan masuk, kita bicara di dalam. Silakan duduk, Pak, Bu...!" Pak Deni mempersilakan tamunya untuk duduk. Kebetulan Bunda Marini juga terbangun, lalu duduk bersama dengan para tamu.
"Maaf, Pak Deni dan keluarga, kami datang tengah malam begini mengganggu waktu istirahat Anda sekalian. Sebenarnya kedatangan kami kemari ingin menyambung kembali tali silaturahim di antara keluarga Pak Rusli dan Pak Deni."
"Maaf, Pak Lurah. Sebaiknya bicara pada pokoknya saja, tidak usah terbelit-belit," ucap Bunda Marini.
"Baiklah kalau begitu. Silakan Mbak Risna bicara sendiri pada Mas Akmal," pinta Pak Lurah.
"Mas Akmal, maafkan aku." Risna meremat jemari tangannya untuk mengurangi rasa gugup. "Aku berubah pikiran, Mas. Aku menarik ucapanku kembali, aku tidak jadi membatalkan pernikahan. Mas Akmal masih mau kan menikah denganku? Terus terang aku masih mencintai Mas Akmal. Aku--"
"Tidak...!!! Aku tidak mau menikah dengan wanita plinplan dan suka kabur. Dan benar katamu, aku tidak mau setelah menikah kita bercerai, sebab aku tidak mau menjadi duda di usia muda!" tegas Akmal.
"Kenapa, Mas?" tanya Risna dengan mata berkaca-kaca.
"Karena aku sudah menemukan penggantimu!"
Deggg
°
°
°
°
°
Kasihan gak ya sama Risna???🤔🤔🤔
°
°
°
Flashback on
Di kamarnya Risna masih terjaga, tak sekejap pun ia bisa memejamkan mata. Membolak-balik badannya ke kiri dan ke kanan, hingga akhirnya memutuskan untuk bangun dan duduk dekat jendela kamarnya.
Bayangan ia mengecewakan orang-orang yang mencintai dan menyayanginya menari-nari di pelupuk mata. Pikirannya berkecamuk antara menarik kembali ucapannya dan gengsinya. Jika ditelisik lebih dalam, nun jauh di dasar hatinya ia masih sangat mencintai Akmal. Mengambil napas panjang berkali-kali, dan menghembuskannya kasar. Kemudian ia bangkit lalu membawa langkahnya ke depan kamar orangtuanya.
Tok tok tok
"Bapak, Ibu! Ini Risna...! Tolong buka pintunya."
Pintu terbuka menampakkan muka bantal Pak Rusli. "Ada apa, Risna?"
"Pak, antar Risna ke rumah Mas Akmal. Risna menarik kata-kata kembali dan mau menikah dengan Mas Akmal, Pak."
"Kamu sudah berpikir matang-matang, Nak? Apa kamu tidak akan berubah pikiran lagi?"
"Risna sudah mantap, Pak. Risna masih mencintai Mas Akmal."
Akhirnya tengah malam itu juga Risna ditemani kedua orangtuanya pergi ke rumah Akmal. Akan tetapi karena tak ingin usahanya sia-sia, Pak Rusli meminta bantuan Pak Lurah dan Pak RW untuk mendampinginya mendatangi kediaman keluarga Akmal. Dan di sinilah mereka sekarang berada.
Flashback off
°
Deggg
Risna merasa hatinya bagai tertusuk sembilu. Perih dan sakit teramat sangat. Gadis itu berusaha untuk tetap tegar meski batinnya menangis pilu. 'Begini kah rasanya ditolak?'
Ditatapnya Akmal dengan nanar, namun pemuda itu tidak peduli. Tampak oleh Risna, Akmal sibuk mengutak-atik ponsel lalu menghubungi seseorang.
°
Di kamar berukuran tiga kali empat meter, seorang gadis masih terlelap dalam mimpinya. Ia tertidur sangat pulas dengan dengkuran halus yang teratur. Namun tidurnya terusik manakala pendengarannya menangkap bunyi ponsel berdering.
"Hahhh, jam berapa ini? Kenapa ibu tengah malam begini telepon?" Dengan mata masih terpejam gadis itu meraba meja meraih ponselnya lalu mengangkatnya.
"Hallo, assalamualaikum. Ada apa jam segini telepon, Bu? Apakah ibu sakit?"
"Maukah kamu menikah denganku?"
"Haahhh... kamu siapa! Maaf, Anda salah sambung!" Gadis itu berniat memutuskan panggilan
"Tunggu...! Aku sungguh-sungguh mengajakmu untuk menikah, kamu mau, ya?"
"Heeeh... Siapapun kamu jangan bercanda, ya! Kita tidak saling mengenal, kenapa mengajakku menikah? Lagipula mau nikah pakai apa? Aku tidak punya uang, aku lagi mengumpulkan uang untuk membeli sepeda motor buat adikku. Nikah sama yang lain saja sana!" Gadis itu lantas menutup teleponnya.
°
Sementara itu Bunda Marini tampak gemas dengan anak lelakinya, maka direbutnya ponsel milik Akmal lalu kembali menelepon gadis itu.
"Ada apa lagi, sih! Sudah diomong nikahnya sama yang lain saja!"
"Maaf, jika mengganggu waktu tidurmu, Nak."
"Eeeh...?"
"Begini... saya, ibu dari pemuda tadi, tolong menikahlah dengan anak kami. Masalah sepeda motor jangan khawatir! Kami pasti akan membelikannya untuk adikmu. Asal kamu bersedia menikah dengan anak kami."
"Maaf... Tapi, Bu. Saya belum kenal putra Ibu."
"Tolong, selamatkan kami dari rasa malu, Nak! Saya mohon, mau ya!"
"Emmm..." Gadis itu berpikir sejenak sampai akhirnya memutuskan menerima. "Baiklah, Bu...saya bersedia."
"Terimakasih, Nak! Sekarang juga kamu berangkat, ya! Akan ada sopir yang mengantar dan menjemputmu ke bandara nanti."
"I-iya, Bu."
Sambungan telepon terputus. Bunda Marini tersenyum sumringah, akhirnya bisa bernapas lega dan keluarganya bisa terbebas dari rasa malu.
Berbeda dengan keluarga Pak Rusli yang harus gigit jari. Dengan tertunduk malu mereka pamit pulang. Sedangkan kepada Pak Lurah dan Pak RW, Akmal meminta keduanya datang ke acara akad nikah sebagai saksi pernikahannya.
°
Usai sambungan telepon terputus, gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Anaya Putri, duduk diam termenung di sisi tempat tidur seraya menggenggam ponselnya dengan erat.
"Kenapa aku tadi langsung bilang iya, sih? Bagaimana jika orang itu penipu, terus berbuat jahat padaku? Tapi masa iya penipu, ibu itu memohon-mohon sampai segitunya. Aahh, sudahlah. Lillahi ta'ala saja. Lagipula aku kan berniat menolong ibu itu, walaupun dikasih imbalan. Yah, anggap saja simbiosis mutualisme," gumam Anaya pada akhirnya.
Teman rasa ibu tiri Adzana itu, segera mengemas pakaiannya ke dalam koper, kemudian menggunakan waktu yang tersisa untuk membersihkan diri. Setelah semua siap ia membangunkan Ersa sahabatnya.
"Sa... Ersa, bangun... Sa! Aku mau pergi ada urusan."
"Eeemm... tengah malam begini? Memangnya apa urusanmu?"
"Ada seseorang yang mengajakku menikah."
"Haaahhh... Menikah? Sama siapa?"
"Aku tidak tahu. Ibunya memohon padaku agar aku mau menikah dengan anaknya."
"Bagaimana jika itu penipuan?"
"Tapi aku yakin itu bukan penipuan, Sa. Masa kalau penipuan mereka menyediakan akomodasi ke sana."
Tin tin tin
"Nay, aku ikut, ya? Aku takut sesuatu terjadi sama kamu."
"Tapi, Sa. Tiketnya cuma satu, bagaimana dong?"
"Ya tidak apa-apa, aku akan membeli sendiri tiket pesawatnya."
"Ya sudah, cepat sana kamu bersih-bersih!"
Anaya keluar dari rumah dan menghampiri Pak Sopir. "Pak tunggu sebentar ya, teman saya mau ikut."
"Baik, Nona."
Tak menunggu lama Ersa datang menyeret koper. Kemudian mereka pun berangkat.
°
Pagi itu di kediaman Pak Deni, mendung yang sempat menggelayuti kini seolah sirna tanpa bekas. Senyum ceria menghiasi wajah-wajah para penghuni rumah mewah itu. Seakan mereka telah terlepas dari beban berat yang menghimpit.
"Selamat pagi, Adzana sayang! Terimakasih ya, Nak! Sini Baby Zo biar sama bunda!"
"Terimakasih untuk apa ya, Bun?" tanya Adzana seraya menyerahkan bayi perempuannya pada Bunda Marini.
"Itu temanmu Anaya, dia bersedia menikah dengan Akmal."
"Haahhh..." Adzana menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua telapak tangannya. "Benarkah, Bun? Memang kapan Bunda menelepon itu anak?"
"Semalam. Kamu tahu, semalam mantan calon istri Akmal datang menarik kembali ucapannya dan meminta Akmal menikah dengannya lagi. Tapi untungnya Akmal menolak, terus dia menelpon temanmu."
"Syukurlah, kalau begitu."
"Ya sudah, ayo kita siap-siap berangkat ke hotel. Nanti temanmu dari bandara juga langsung menuju ke sana. Semalam sopir yang mengantar ke bandara bilang, kalau Anaya datang bersama temannya."
"Iya kah? Haahhh...mereka itu memang layaknya Upin Ipin, Bun. Bedanya kepala mereka tidak botak." Kedua ibu dan anak itu tertawa bersama.
°
Hotel yang menjadi akad nikah itu ramai oleh kerabat dekat maupun jauh, dari Pak Deni dan Bunda Marini. Bahkan Ibu Anaya dan kedua adiknya lelakinya, pun sudah tiba di sana dan tengah beristirahat di salah satu kamar.
Adzana beserta rombongan keluarga Akmal sampai di hotel, lalu menghampiri keluarga Anaya untuk berkenalan. Sedangkan Akmal sendiri sudah datang sejak pagi bersama Arbi. Akmal ingin memastikan moment pernikahannya berjalan lancar tanpa ada kendala, meskipun dirinya menikah dengan gadis yang tidak atau belum ia cintai.
Beberapa saat kemudian Anaya datang, dan langsung disambut oleh pegawai hotel menuju kamarnya. Di sana sudah menunggu MUA yang akan menyulap wajahnya menjadi ratu sehari.
Sementara itu, beberapa saat kemudian di ballroom hotel, Akmal telah siap dengan balutan baju pengantin pria. Wajahnya terlihat berseri dan semakin menambah aura ketampanannya. Disampingnya duduk Pak Deni juga Arbi, serta Pak Lurah dan Pak RW asal tempat tinggal Pak Rusli. Mereka datang bersama istri masing-masing. Pak Penghulu telah hadir bersama stafnya, juga adik lelaki Anaya yang bertindak sebagai wali nikah.
Pukul sembilan tepat akad nikah dimulai. Pak Penghulu segera melakukan tugasnya.
"Assalamualaikum, Mas Akmal. Anda sudah siap?"
"Waalaikumsalam, Pak. Alhamdulillah sudah siap!"
"Baiklah, Bismillahirrahmanirrahim. Ayo, Nak. Silakan, lakukan tugasmu dengan baik."
"Baik, Pak."
Akmal dan adik Anaya langsung berjabat tangan.
"Saudara Akmal Pratama Wicaksono bin Deni Wicaksono, saya nikahkan dan kawinkan Engkau dengan kakak saya yang bernama Anaya Putri binti alm Joko Santoso dengan mas kawin satu unit mobil alpard dan sertipikat tanah seluas sepuluh hektar dibayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Anaya Putri binti Joko Santoso dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi? Sah...?
"Sah...!"
"Sah...!"
"Sah.......!"
Suasana di dalam balroom hotel sontak mendadak berubah riuh, manakala mendengar mas kawin yang berikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Mereka yang kebetulan mengabadikan moment itupun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ada di antara mereka yang mengunggahnya di story aplikasi hijau, merah, dan Toktok. Mereka ramai membicarakan betapa beruntungnya gadis yang menikah dengan Akmal, sudah tampan, tajir melintir lagi. Mas kawinnya tidak kaleng-kaleng.
°
Di dalam kamar pengantin Adzana masuk bersama Ibu Anaya dan Bunda Marini.
"Surprise....!"
"Adzana... Ibu! Kalian ada di sini?"
Anaya tidak bisa menyembunyikan perasaan haru yang menyelimuti hatinya, ia langsung menghambur memeluk sang ibu.
"Eeeit, pelukan sama Ibu nanti saja. Sekarang temui dulu suami kamu."
"Ah iya lupa... Hehehe."
Ibu Miyatun dan Bunda Marini mengapit mempelai wanita di kiri dan kanan, serta Adzana dan Ersa mengikuti dari belakang, menuju tempat ijab kabul dilaksanakan. Namun begitu sampai di sana, Anaya langsung terpaku di tempatnya. Mata dan bibirnya membulat sempurna.
"Kak Akmal...? Jadi...???" Anaya langsung membekap mulutnya tak percaya.
°
°
°
°
°
Siapa yang pengin seperti Anaya,,,?😂😂😂
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!