Suara rintikan hujan terdengar begitu jelas, seorang perempuan berusia 22 tahun terlihat menatap beberapa lembaran kertas di kedua tangannya, penampilannya terlihat sangat acak-acakan, ia terlihat sangat lelah, kantong matanya terlihat karena tidak cukup tidur selama beberapa hari.
Kenapa?
Hotel yang dikelola olehnya mendapati keluhan dari para pengunjung atau para penyewa kamar hotel karena kerusakan yang terjadi, mulai dari pecahnya kaca jendela akibat burung yang tidak sengaja menabraknya, ranjang yang bergoyang seperti ingin patah, lampu yang mati dan tidak hidup lagi, serta plafon yang terlepas akibat terkena air, dan entah air itu datang dari mana.
Serenity sedang memperbaikinya sekarang, yaitu dengan mencari para pekerja kuli bangunan, berapa biaya yang harus dikeluarkan, dan juga membeli pengganti benda-benda rusak itu. Jadi untuk sementara waktu, hotelnya ditutup selama masih ada perbaikan.
TOK!
TOK!
TOK!
“Ada apa?” Serenity sedikit berteriak saat seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.
“Nyonya, saya sudah menyiapkan air mandi untuk anda. Sekarang anda mandilah, saya juga sudah menyiapkan pakaian untuk dikenakan.” Mona—Pelayan pribadi Serenity yang berusia 23 tahun itu membalas pertanyaannya dari luar ruangan.
“Terima kasih, Mona. Tapi aku akan mandi nanti.” jawabnya sembari mengambil pena untuk menulis.
“Baiklah, Nona. Tapi sebaiknya anda segera mandi, karena Tuan Valter sudah tiba dikota Serona. Kalau begitu saya permisi, Nyonya.”
Ujung pena yang hendak menyentuh kertas terlihat berhenti seketika saat mendengar penuturan Mona, kepalanya terangkat dengan tatapan lurus ke depan.
“Hari ini Valter telah kembali?” monolognya bertanya-tanya sendiri tentang suaminya yang akan pulang dari luar kota.
Karena pekerjaan yang selalu memaksa Valter untuk pergi keluar kota, mereka jarang bertemu, bahkan hubungan mereka juga tidak dikatakan dekat, apalagi Valter hanya pulang ke kediaman mereka sekali setiap bulan.
“Ah, kenapa harus sekarang?” gumamnya segera berdiri dari kursi dan berjalan keluar dari ruangannya itu.
- -
Setiap kali Valter pulang dari luar kota, mereka selalu makan bersama. Ini adalah usulan dari sang Nenek agar ia dan Valter memiliki hubungan yang dekat, dan Serenity maupun Valter bisa menerima keberadaan mereka satu sama lain. Namun, justru hubungan mereka tidak ada perkembangan sekalipun.
Wanita dengan midi dress berwarna putih itu terlihat menyibak rambut hitam panjangnya, sepatu hak berwarna putih itu terlihat ia kenakan sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Serenity menuruni anak tangga satu-persatu dengan pelan. Tangan kanannya bergerak menyelipkan rambut-rambutnya ke daun telinga.
Tap!
Tap!
Tap!
Serenity menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki. Pria berperawakan tinggi dengan jas berwarna hitam terlihat menatapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi sama sekali. Namun, mata berwarna hitam itu terlihat menyorotinya dengan tatapan tajam, sedangkan kedua tangan pria itu bertengger di dalam saku celana.
Valter Edelwin, itulah dia suami Serenity.
Tatapan mereka bertemu beberapa saat sebelum akhirnya Serenity menoleh menghindari tatapan tersebut. Kembali ia melangkahkan kaki meninggalkan Valter yang masih berdiri menatapnya sebelum ikut melangkahkan kaki juga.
Sesampainya diruang makan.
Wanita berusia 22 tahun itu menarik salah satu kursi kayu untuk di duduki, tangannya bergerak mengambil garpu dan pisau untuk memotong daging pada piringnya.
Bermacam-macam makanan sudah disiapkan oleh para pelayan kediaman mansion untuk Serenity dan Valter, dan sekarang mereka terlihat memakan makanan itu tanpa adanya percakapan. Seperti itulah mereka berdua, setiap kali mereka menghabiskan makanan, mereka langsung pergi keruangan masing-masing tanpa berpamitan satu sama lain.
Tik!
Tok!
Tik!
Tok!
Suara dari jarum jam terdengar begitu jelas, dentingan antara sendok makan, pisau, garpu, dan piring juga ikut menimbulkan suaranya.
Serenity diam menikmati makanannya.
Valter juga diam menikmati makanannya.
“Apa kau masih berhubungan dengan lelaki itu?”
Serenity menghentikan gerakan tangannya yang memegang alat makan itu. Kepalanya terangkat memandangi wajah tampan Valter dengan dahi mengernyit bingung.
“Berhubungan dengan siapa?”
“Gerald.”
Kali ini Serenity mengernyit tidak suka, tatapan terlihat tajam menatap Valter.
Valter menaruh garpu dan pisau yang digunakan untuk memotong daging itu pada piring kecil disampingnya. “Itu adalah nama kekasihmu, bukan?” pria berusia 27 tahun itu menyandarkan diri pada kursi kayu yang ia duduki, alisnya terangkat dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun.
“Berani sekali kau menyebut nama kekasihku dengan mulutmu.” Serenity menunjuk wajah Valter dengan penuh emosi.
“Tentang kekasihmu itu, ada yang ingin aku katakan.”
Rasanya ruang makan yang mereka tempati terasa sangat panas. Albert—Asisten pribadi Valter dan juga Mona—Pelayan pribadi Serenity tampak berkeringat melihat pasutri itu.
Serenity dan Valter tidak dekat, mereka hanya berbicara tentang hal-hal yang penting saja, itupun tentang pekerjaan. Namun, jika salah seorang dari mereka menyulut api, maka adu mulut akan terjadi.
Serenity adalah wanita yang memiliki tingkat emosi yang tinggi jika sesuatu yang berkaitan dengannya dibahas. Sedangkan Valter hanya meresponnya dengan santai jika seseorang membicarakan sesuatu yang berkaitan dengannya.
“Cih! Kau pasti akan mengatakan omong ko—”
“Aku melihat kekasihmu bersama dengan seorang wanita di Motel.” Valter memotong kalimat istrinya.
Serenity terkekeh setelah mendengar perkataan Valter. “Kau pikir aku akan percaya dengan omong kosongmu itu?”
Sudah Valter duga, pasti jawaban Serenity akan seperti ini. “Aku tidak berpikir bahwa kau akan mempercayainya atau tidak.” tukas pria berusia 27 tahun itu.
“Kau ....” Serenity kembali mengernyitkan dahi karena emosi.
Tangannya bergerak mengambil gelas berisikan air di atas meja samping piringnya. Setelah itu, Serenity berdiri dari kursi, dan hal itu tak luput dari pandangan Valter.
Byur ....
Valter memejamkan mata saat sekumpulan air mengenai wajah tampan tersebut. Serenity baru saja menyiram wajahnya menggunakan air dalam gelas tadi.
“Jangan pernah menyebut nama Gerald dari mulutmu. Aku sangat benci jika orang yang menyebut namanya adalah kau sendiri,” tukas Serenity berbalik.
“Ayo pergi, Mona. Nafsu makanku sudah hilang.” titahnya berjalan meninggalkan mereka.
“Sa—saya permisi, Tuan.” Mona menundukkan kepala sejenak sebelum pergi dari sana dengan perasaan takut.
Albert lekas menyerahkan serbet bersih pada pria itu. “Tuan, apa anda baik-baik saja?”
Valter hanya mengangguk dengan wajah datar tanpa ekspresi sekalipun. Tangan dengan urat-urat menonjol itu mengambil serbet dari tangan sang asisten.
“Sepertinya Nyonya sangat mencintai kekasihnya, bahkan Nyonya tidak mempercayai perkataan anda sekalipun,” celetuk Albert memandangi Serenity yang sedang menaiki anak tangga.
“Caranya mencintai seseorang terlalu bodoh.” sahut Valter. Pria itu nampak mengeringkan wajahnya yang basah dari air.
“Apa perlu saya menunjukkan foto itu, Tuan?”
“Tidak. Biarkan wanita bodoh itu melihat kelakuan kekasihnya sendiri.”
Bersambung.
Pagi harinya, sekitar jam sepuluh pagi.
Ruang rapat Hotel Flower's.
“Nyonya Serenity, para kuli bangunan akan memulai pekerjaan mereka besok,”
“Bagus, aku ingin teras hotel diperbesar. Lalu ganti keramik-keramiknya, jangan lupakan semua bagian plafon kamar hotel, untuk bagian jendela, gunakan kaca yang kuat dan anti pecah. Setelah itu, periksa semua ranjang yang bergoyang, lalu gantikan dengan ranjang yang baru, mengerti?”
Dua orang pria dan wanita setengah baya terlihat menganggukkan kepala.
“Pengerjaan hotel mungkin akan memakan waktu cukup lama, untuk sementara para pekerja hotel akan diliburkan.” lanjut Serenity.
“Baik, Nyonya.”
Serenity mengalihkan kepala dan pandangannya ke arah Emily—Kepala kebun wanita berusia 35 tahun—selalu menjaga dan merawat tanaman bunga di taman hotel.
“Emily.”
“Ya, Nyonya?”
“Besok—”
Drtt!
Drtt!
Serenity mengernyit sebab kesal karena nada dering ponselnya yang berbunyi. Ia lantas mengambil benda pipih itu dengan kasar dari atas meja.
Decakan terdengar sedikit jelas, ponsel berlogo apel digigit sebelah itu ia matikan secara total, guna menghindari panggilan dari si penelpon.
Serenity tidak suka saat pekerjaannya diganggu.
“Emily, besok datanglah ke mansion, aku ingin kau menanam bunga-bunga lotus yang baru aku beli kemarin dari toko bunga.”
“Baik, Nyonya.” Emily menundukkan kepala dengan gerakan pelan.
“Baiklah. Kalau begitu rapatnya sampai disini.”
- -
Serenity baru saja keluar dari hotel mewahnya. Wanita itu berjalan dengan langkah sedikit lebar menuju mobil bermerek P*rsche berwarna hitam miliknya.
“Serenity!”
Mendengar namanya dipanggil oleh seseorang, Serenity langsung ke asal suara dan mendapati Gerald Ederick—Kekasihnya yang berusia 22 tahun.
“Gerald?” gumam Serenity, menyebut nama pria itu. “Apa yang kau lakukan disini?”
Gerald tersenyum. “Aku sangat merindukanmu sayang.” ucap Gerald berjalan mendekati wanita itu, tangan kanan Gerald bergerak memeluk pinggang rampingnya, wajah tampan itu mendekat. Gerald ingin mencium bibir sang kekasih, namun Serenity segera mendorongnya cukup kuat, hingga pria itu memundurkan beberapa langkah kebelakang.
Serenity tidak suka jika bagian wajahnya disentuh, ia sangat tidak suka. Karena wajah cantik Serenity sangat berharga baginya.
Walaupun orang yang ingin menyentuh bagian wajahnya adalah kekasihnya sendiri.
“Aku paling benci jika seseorang menyentuh bagian-bagian dari wajahku.”
Gerald mengernyitkan dahi tidak suka dengan perkataan wanita berusia 22 tahun itu. “Kalaupun itu adalah kekasihmu sendiri?”
“Ya.” sahutnya sembari berbalik membuka pintu mobil. “Aku akan pulang ke mansion untuk melanjutkan pekerjaanku,”
“Secepat itu?” tanya Gerald. Pasalnya mereka tidak bertemu selama satu minggu.
Bukannya menjawab, Serenity menutup pintu mobil, mulai menyalakan mobilnya, dan pergi dari parkiran hotel bawah tanah itu.
Sesampainya di mansion yang berada tepat di tengah hutan. Serenity memarkirkan mobil mewah berwarna hitam itu pada parkiran, setelahnya, ia membuka pintu mobil dengan pelan. Lalu, keluar dari mobil tersebut.
“Nyonya, selamat datang.” Mona menundukkan kepala dengan senyuman manis saat Serenity memasuki mansion.
Serenity hanya membalasnya dengan senyuman tipis seraya berjalan menuju anak tangga untuk pergi ke ruangan kerja pribadinya.
“Apa anda ingin saya membuatkan sesuatu?” tanya Mona berjalan mengikuti wanita cantik berkulit putih itu.
“Tidak. Cukup bawakan air putih untukku.” jawabnya sembari menaiki anak tangga.
“Baik, akan saya bawakan. Nyonya, ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada anda.”
Serenity menghentikan langkah kakinya, tangan kiri wanita itu bertengger pada pagar pembatas ujung anak tangga yang terbuat dari besi. Sedetik kemudian, ia berbalik menatap wajah sang pelayan. “Katakan apa itu.”
“Tuan Valter mengatakan pada saya bahwa Beliau ingin membawa anda ke kota Emerald dua hari lagi.”
Serenity mengernyit bingung. “Untuk apa?”
“Pebisnis yang melakukan kerja sama dengan Tuan Valter ingin mengadakan makan malam bersama, jadi beliau ingin Tuan Valter membawa anda ke acara makan malam itu.”
Serenity menganggukkan kepala mengerti. “Baiklah.” wanita berusia 22 tahun dengan wajah cantik itu berbalik dan melanjutkan langkah menaiki anak tangga.
Sedangkan Mona terlihat diam memandangi punggung sang Nyonya. Kenapa? Ini baru pertama kalinya Serenity menerima tawaran dari Valter. Jika tidak, ia selalu menolak ajakan pria itu.
Ah, tidak. Mona lupa, jika ini menyangkut pekerjaan, Serenity pasti mau menerimanya.
“Aku harus memberitahu Tuan sekarang.” gumam wanita berusia 23 tahun itu sebelum berjalan pergi menuju ruang kerja Valter.
TOK!
TOK!
TOK!
“Masuk!” perintah Valter dari dalam sana.
Ceklek!
“Tuan Valter.”
Pria berusia 27 tahun itu mengangkat kepala, mengalihkan pandangan dari kertas-kertas ditangannya. Ia tatap Mona yang berjalan pelan menghampirinya. “Ada apa, Mona?”
“Sebelum itu saya maaf karena mengganggu pekerjaan anda, Tuan.” seru Mona sembari menundukkan kepala sejenak.
“Tidak apa-apa. Langsung saja ke intinya.” sahut Valter melepas kacamatanya perlahan.
“Nyonya Serenity menerima ajakan anda, Tuan. Beliau ingin pergi bersama dengan anda ke kota Emerald.”
Jawaban Mona membuat Valter menganggukkan kepala. “Begitu, ya. Kalau begitu kau bisa pergi.” titahnya sembari melanjutkan pekerjaannya itu.
Mona lantas menundukkan kepala kembali sebelum memutar langkah untuk pergi dari ruangan itu.
Sikap dingin Valter sudah biasa bagi Mona, begitu juga dengan Albert dan para pelayan-pelayan lainnya.
- -
“Jika ada yang Nyonya butuhkan, maka telepon saja saya.”
Serenity mengangguk pelan. “Terima kasih, Mona. Sekarang kau bisa pergi.” balas wanita itu. Ia terlihat menaruh ponselnya di atas meja.
“Baik, saya permisi.” Mona lekas berbalik dan melangkahkan kakinya menuju pintu.
Dan Serenity terlihat mengeluarkan kertas-kertasnya dari dalam laci meja kerja.
Drtt!
Drtt!
Hembusan nafas terdengar begitu kasar setelah benda pipihnya kembali berbunyi, padahal ia baru saja menyalakan ponsel berlogo apel itu.
“Mona,”
Yang dipanggil langsung menoleh ke belakang. “Ya?”
“Buang ini.” Serenity menggeser ponselnya dari meja hingga jatuh ke lantai. “Aku paling benci jika ada seseorang yang mengganggu pekerjaanku.” tukas wanita cantik itu sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Bersambung.
Keesokan harinya.
Rumah kaca yang berada di belakang mansion milik Valter dan Serenity memiliki berbagai jenis tanaman bunga, mulai dari bunga Gypsophila, Nemophila, Hydrangea, Rose, Bougainvillea, Wisteria, dan lain sebagainya. Karena Serenity suka akan tanaman berwarna-warni itu.
“Nyonya Serenity, bunga lotus ini akan dipindahkan kemana?” tanya Emily. Tangan wanita itu memegangi dua tangkai bunga lotus berwarna merah muda, dan beberapa bunga lotus itu masih berada di dalam potnya.
“Pindahkan saja ke tempat sebelah sana, aku baru saja membuat ruang untuk bunga-bunga itu.” jawab Serenity.
“Baik, Nyonya.” Emily lekas berjalan ke arah tempat yang ditunjukkan oleh Serenity tadi. Ia lantas berjongkok untuk menanam dua bunga lotus itu.
Tap!
Tap!
Tap!
“Serenity.”
Pemilik dari nama itu tiba-tiba melototkan mata mendengar suara tersebut. Perlahan-lahan tubuh dan kepalanya memutar ke asal suara, dan pemilik dari suara itu adalah Mama Natusha.
“Mama ...?”
Wanita berusia 48 tahun itu berjalan mendekati Serenity dengan bibir yang menyunggingkan senyum. “Rumah kaca milikmu bagus, juga. Ada berbagai macam tanaman bunga disini.”
Serenity diam tanpa menjawab.
“Ternyata pernikahan kalian tidak ada perkembangannya sama sekali.”
“Y—ya ...?”
“Kemarin Mama pergi ke hotel Flower's untuk menemuimu, tapi saat diparkiran, Mama malah melihatmu bersama dengan pria lain.”
“Itu—”
“Ternyata menantuku masih berhubungan dengan pria itu,”
Serenity mengernyit tidak suka mendengar kalimat Mama Natusha. Secara terang-terangan wanita cantik berusia 22 tahun menunjukkan rasa ketidak sukaannya.
“Apa kau ....” perkataan Mama Natusha terjeda, ia terlihat berjalan mendekati Serenity. “Masih membenci Valter?”
Serenity hanya diam.
“Kau tidak suka mendengar perkataan Mama?”
Tanpa basa-basi, Serenity langsung mengangguk dengan santai. Wajah tidak menunjukkan ekspresi apapun sama sekali.
“Ya, memang sulit bagimu untuk menerima Valter, dulu Mama juga sama sepertimu.” ujarnya tersenyum tipis.
"Tapi hatimu akan terbuka secara perlahan, Serenity.”
Malam hari.
“Nyonya Serenity, saya sudah selesai mengemas pakaian untuk anda bawa nantinya.”
Serenity mengangguk pelan. “Terima kasih, Mona. Kau bisa keluar sekarang.”
Mona tersenyum tipis seraya menundukkan kepala. “Saya permisi, jika ada yang anda butuhkan, panggil saja saya.”
Serenity mengangguk sebagai tanggapan sebelum Mona berjalan keluar dari kamar wanita itu.
Setelah kepergian Mona, Serenity segera berbaring pada ranjang berkasur empuk tersebut. Matanya terlihat memejam, pikirannya berkelana memikirkan kejadian di rumah kaca tadi.
Kekehan Serenity muncul secara tiba-tiba hingga suaranya menggema di ruangan besar dengan benda-benda mewah di dalamnya.
“Hatiku akan terbuka untuk Valter?” monolognya bertanya pada diri sendiri, atensinya menatap langit-langit kamar.
“Yang benar saja!”
Kembali kekehan itu keluar. Beberapa detik kemudian, kekehannya terhenti seketika.
“Tapi ... apa itu mungkin?”
- -
Pagi harinya. Tepatnya di kamar mandi milik Serenity.
Wanita cantik berusia 22 tahun itu terlihat berendam di dalam bathtub, rambut panjang dengan sedikit warna coklat itu terlihat basah.
“Mona.“
“Ya, Nyonya?” Mona yang sedang menggosok punggung Serenity terdengar menjawab panggilan tersebut.
“Berapa lama aku dan dia harus menginap disana?”
Pertanyaan Serenity membuat Mona mengernyit tidak mengerti, ia tidak mengerti maksud dari kata 'dia' sama sekali. “Maaf, Nyonya. Tapi, ‘dia’ siapa yang anda maksud?” Mona balik bertanya seraya menghentikan aktivitas menggosok punggung Serenity.
“Astaga, apa kau tidak mengerti siapa yang aku maksud?”
Awalnya Mona mengernyit, tapi beberapa saat kemudian ia mengerti apa maksud dari perkataan sang Nyonya. Yang dimaksud 'dia' itu adalah Valter.
“Padahal anda tinggal menyebut namanya sa—”
“Mona, aku tidak suka menyebut nama pria itu!” sentak Serenity membuat Mona mengatupkan bibir rapat dan tidak membuka suara lagi.
"Ma—maaf, Nyonya. Saya lupa.” cicit wanita berusia 23 tahun itu sembari menggosok punggung Serenity kembali.
Serenity memutar bola matanya mendengar. “Jawab pertanyaanku sekarang.”
“Perjalan ke kota Emerald membutuhkan waktu selama dua sampai tiga hari untuk tiba disana.”
“APA?!”
- -
“Oh, damn! Kenapa aku harus satu mobil dengan pria itu?!”
Kerutan pada dahi Serenity terlihat begitu jelas karena kesal, ia terus saja mondar-mandir tidak jelas. Rambut panjang yang sudah ditata rapi oleh Mona terlihat berantakan akibat di acak-acak oleh wanita itu.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu yang tercipta dari seseorang membuat Serenity tersentak. “Ada apa?”
“Barang-barang anda sudah saya pindahkan ke mobil, Nyonya. Sekarang anda bisa turun karena Tuan sudah menunggu anda di bawah.”
Itu bukan Mona, melainkan Albert yang bersuara dan mengetuk pintu kamar wanita itu.
Ceklek!
“Albert, apa aku boleh membawa mobilku sendiri?”
“Tidak boleh, Nyonya. Walaupun anda pergi bersama sopir pribadi, anda tetap akan berada dalam—”
Tatapan wanita itu terlihat sangat dingin. Wajahnya tidak ada ekspresi apapun. Tentu saja Albert yang melihatnya langsung berkeringat dingin.
“I—ini demi kebaikan anda, Nyo—”
“Ya, ya! Ayo kita pergi sekarang.” sela wanita itu membuat kalimat Albert terpotong.
Kaki jenjangnya segera ia langkahkan meninggalkan Albert.
Sesampainya diluar pekarangan mansion.
Atensi mata Serenity tidak teralihkam saat menatap mobil mewah di depannya decakan sebal terdengar, ia lekas membuka pintu mobil secara kasar dan masuk ke dalam sana.
Setelah duduk pada kursi mobil itu, Serenity sedikit menolehkan kepala saat ujung matanya tidak sengaja melihat Valter yang sedang duduk dengan tangan terlipat di depan dada. Mata pria itu fokus pada luar jendela tanpa memedulikan Serenity sama sekali.
“Albert, jalankan mobilnya.”
“Baik, Tuan.”
Serenity segera mengalihkan pandanganya ke arah lain, yaitu ke arah jendela luar mobil.
Mobil berwarna hitam bermerek Merced*s itu segera berjalan meninggalkan kediaman milik Valter dan Serenity. Mobil itu berpacu dengan kecepatan normal.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!