NovelToon NovelToon

Sistem Sepak Bola

Bab 1.

Disebuah desa kecil, yang jauh dari gemerlap kota besar, hidup seorang remaja bernama Ronald Leo. Dengan sepatu sepak bola yang mulai menipis dan lapangan yang banyak ditumbuhi rumput liar dari pada rumput hijau, Leo terus mengejar mimpinya. Diusianya yang baru 15 tahun, pemuda dari desa kediri itu sudah tahu apa yang ingin ia lakukan dalam hidup menjadi pesepak bola profesional.

"Ini lebih dari sekedar hobi" Pikir Leo sambil berlari mengejar bola di lapangan desa yang sederhana. Dua batang bambu berdiri tegak sebagai gawang, cukup menghidupkan pertandingan di sore itu.

Leo lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Herman, seorang petani, dan ibunya, Susi, menjual sayuran di pasar. Mereka hidup cukup, tetapi tak pernah berlebihan. Namun ada satu hal yang selalu melimpah dirumah mereka adalah cinta terhadap sepak bola, terutama kepada tim kebanggaan mereka, AC Milan. Bahkan, kecintaan Leo terhadap sepak bola bermula dari cerita cerita sang Ayah tentang masa keemasan Milan.

Itu adalah malam tahun 2003, ketika Leo kecil duduk bersama ayahnya, begadang demi menyaksikan pertandingan AC Milan. Disanalah untuk pertama kalinya, Leo melihat sosok Ricardo Kakà pemain yang dengan cepat menjadi idolanya. Sejak malam itu, Leo tahu, sepak bola adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa dilepaskan.

Sekarang, sambil bermain di lapangan desa, ia harus memikirkan impian besarnya. Tidak peduli lapangan penuh dengan bebatuan, tidak peduli dengan sepatu yang sudah mulai robek. Yang penting adalah semangatnya yang tak pernah padam.

Sore itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Seoarang pria asing, yang sudah beberapa kali terlihat berdiri di pinggir lapangan, memperhatikan setiap gerakan Leo dengan seksama. Ini sudah hari ketujuh pria itu datang. Hanya menonton, tanpa sepatah kata pun. Siapa dia? Apa yahg dia cari?

Setelah pertandingan usai, Leo berlari pulang. Rumahnya sederhana, dinding kayu, atap genteng tua, tetapi hangat cinta keluarganya. Di ruang tamu yang penuh perabotan sederhana, ia duduk bersama ayahnya, yang masih setia dengan korannya.

***

Di rumah, setelah permainan, Leo duduk bersama keluarganya di ruang tamu yang sederhana. Ibu Susi sedang menyiapkan makan malam di dapur, sementara Bapak Herman duduk di meja makan, sambil membaca koran.

"Leo, hari ini permainanmu sangat bagus," Puji Bapak Herman sambil melipat koran.

"Terima kasih, Pak." Jawab Leo sambil mengelap keringat di dahi.

"Sepertinya ada yang memperhatikan permainan kalian di hari ini juga" Lanjut Bapak Herman.

"Siapa Pak?" Tanya Leo penasaran.

"Seorang pria asing. Bapak tidak tahu dari mana asalnya, tetapi dia sangat tertarik dengan cara kalian bermain, yah dia sudah satu minggu memperhatikan kalian bermain saja" Jelas Pak Herman.

Bu Susi datang membawa hidangan makan malam ke meja. "Leo, apa kamu tahu tentang pria itu?"

"Tidak bu. Aku sering melihatnya di pinggir lapangan, tapi aku tidak tahu dia siapa, Dia hanya berdiri disana dan mengamati" Jawab Leo.

Setelah makan malam, Leo duduk bersama orang tua dan adiknya di ruang tamu, dan mereka mulai membicarakan tentang sepak bola.

"Leo, Bapak bangga sekali dengan bakatmu" Kata Pak Herman. "Bapak selalu mengatakan pada teman-teman di sawah, 'Leo itu anak yang berbakat. Suatu hari nanti dia pasti akan jadi pemain besar.' "

Leo tersenyum, merasa senang mendengar pujian dari ayahnya. "Bapak, bagaimana menurutmu sepak bola Indonesia saat ini?"

Pak Herman menghela nafas. "Ada kemajuan, tetapi kita masih jauh dari level negara-negara besar. Tim nasional kita membutuhkan lebih banyak dukungan dan pelatihan yang baik. Bapak harap ada lebih banyak pemain muda yang bisa muncul."

Leo mengangguk. "Aku tahu, Pak. Negara kita membutuhkan liga yang profesional, semoga suatu saat aku juga bisa ikut mengharumkan negara kita di kancah sepakbola"

"Bagaimana dengan Kaká, Pak?"

Bapak Herman tersenyum lebar. "Kaká adalah pemain hebat. Bapak sering bercerita tentang sejarah sepakbola Indonesia dan kebanggaan terhadap AC Milan. Bapak yakin kamu bisa mencapai mimpi itu jika berlatih keras."

Leo hanya tersenyum lebar sambil menimpali "Aku selalu bahagia saat bapak menceritakan kejayaan Milan."

Tiba-tiba, pintu rumah di ketuk. Leo membuka pintu dan melihat pria asing yang ia lihat tadi di lapangan berdiri di depan rumahnya bersama seseorang.

"Selamat malam," Kata pria itu dengan bahasa Inggris yang lancar. "Saya Steven dari Jerman. Apakah ini rumah Leo?"

Seseorang pria Indonesia yang berada di samping Steven, dia bernama Rudi, dia berusaha menerjemahkan perkataan Steven kepada orang tua Leo.

Leo dan orang tuanya tampak terkejut. "Iya, ini rumah kami silahkan masuk," Kata Leo sambil memberi jalan.

Leo adalah bintang di sekolah, dia juga menguasai bahasa Inggris dengan fasih.

Steven duduk dikursi tamu dengan ramah bersama Rudi sang penerjemah. "Terimakasih, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat terkesan dengan permainan Leo tadi sore. Saya sedang berlibur disini dan telah melihat Leo berkali-kali."

Bapak Herman dan Bu Susi saling pandang dengan rasa ingin tahu. "Apa yang bisa kami bantu?" Tanya Bapak Herman.

Steven menjelaskan, "Saya bekerja di sebuah akademi sepakbola di Jerman dan mencari bakat-bakat muda untuk direkrut. Leo memiliki potensi yang luar biasa. Saya ingin mengjak Leo ke Jerman untuk berlatih di Akademi kami. Namun, karena Leo masih sekolah, saya paham bahwa dia perlu berbicara dengan orang tuanya terlebih dahulu."

Leo terkejut dengan tawaran tersebut. "Tapi, saya masih belum lulus dari SMP. Bagaimana bisa saya pergi ke Jerman sekarang?"

Steven tersenyum. "Saya tahu ini adalah keputusan besar. Tetapi, kesempatan seperti ini jarang datang. Jika kamu dan orang tuamu setuju, kami bisa membuat rencana lebih lanjut unruk pelatihan dan pendidikan di Jerman."

Bu Susi memandang Leo dengan penuh perhatian. "Leo, ini adalah kesempatan yang luar biasa. Apa yang kamu pikirkan tentang tawaran ini".

******

Bab 2

Bu Susi memandang Leo dengan penuh perhatian. "Leo, ini adalah kesempatan yang luar biasa. Apa yang kamu pikirkan tentang tawaran ini".

*****

Leo berpikir sejenak. " Ini adalah impian yang selalu kuinginkan. Tapi aku juga harus memastikan bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Aku ingin berbicara dengan Bapak dan Ibu lebih dalam tentang ini."

Bapak Herman mengangguk. "Kami akan mendukung keputusanmu, Leo. Tetapi penting untuk memastikan bahwa ini adalah langkah yang tepat untuk masa depanmu."

Steven berdiri untuk berpamitan. "Terimakasih telah Meluangkan waktu untuk mendengarkan, ini adalah nomor saya, saya akan menunggu kabar dari kalian. Semoga segala sesuatunya berjalan lancar."

Setelah Steven pergi, Leo dan orang tuanya duduk bersama untuk membahas tawaran tersebut. Leo merasa campur aduk antara antusiasme dan kekhawatiran.

Dia khawatir bagaimana dengan kehidupannya nanti disana, uang apa yang akan dia gunakan untuk berangkat ke sana, sementara kehidupan ayah dan ibunya saja pas pasan, belum lagi harus memikirkan biaya sekolah adiknya, banyak hal yang harus Leo pertimbangkan.

Bu Susi akhirnya berbicara, "Leo, ini adalah kesempatan besar untuk masa depanmu. Kami akan mendukungmu sepenuhnya, tetapi pastikan kamu memikirkan segala sesuatunya dengan matang"

"Terimakasih, Bu. Aku akan berbicara dengan teman-temanku dan mempertimbangkan segala hal sebelum membuat keputusan akhir," Jawab Leo dengan penuh tekad.

Pak Herman tidak banyak berkata-kata, tapi dalam hatinya dia berjanji akan mendukung sepenuhnya keputusan anaknya.

Setelah menerima tawaran dari Steven, Leo merasa hatinya penuh dengan campur aduk antara semangat dan kekhawatiran. Ia mulai mencari saran dari teman-teman sekolah dan guru-gurunya mengenai keputusan besar ini. Sebagian dari mereka memberikan dukungan penuh, tetapi ada juga beberapa yang meragukan kemampuannya dan merasa bahwa Leo terlalu percaya diri.

Di sekolah, Leo duduk bersama teman-temannya di kantin. Teman-teman dekatnya, Andi dan Sari, tampak penih perhatian ketika Leo mulai berbicara tentang keputusan untuk pergi ke Jerman.

"Jadi, kamu benar-benar akan pergi ke Jerman?" Tanya andi dengan rasa ingin tahu.

"Ya, Andi. Steven sudah mengkonfirmasi semuanya. Aku sudah memutuskan untuk menerima tawaran itu" Jawab Leo sambil menunjukkan senyum penuh harapan.

"Wow, itu luar biasa. Leo! kamu pasti akan jadi pemain hebat disana," Puji Sari. "Kamu pantas mendapatkan kesempatan ini"

Namun, disudut lain kantin, beberapa siswa lain tampak meragukan keputusan Leo. "Leo ini terlalu percaya diri" Bisik salah sati dari mereka. "Bagaimana jika dia gagal di sana? ini hanya impian yang terlalu besar untuknya"

Leo mendengar bisikan tersebut, tetapi ia berusaha untuk tidak memperdulikannya. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah langkah besar dalam hidupnya, dan dukungan dari orang-orang yang peduli padanya jauh lebih berharga.

***

Di rumah, Leo duduk bersama keluarganya di ruang tamu, membahas persiapan akhir sebelum keberangkatannya. Bu Susi tampak cemas, tetapi Bapak Herman lebih tegar dalam menghadapi situasi ini.

"Leo, apakah kamu sudah siap dengan semua persiapan?" Tanya bu Susi.

"Iya, Bu. Steven sudah memberikan semua informasi yang diperlukan. Tapi, ada beberapa hal yang perlu di selesaikan sebelum berangkat." Jawab Leo.

"Nanti Pak Rudi, penerjemah Steven, akan membantu dengan urusan dokumen dan bahasa di sana. Kamu hanya perlu fokus pada latihan dan belajar" Tambah Pak Herman.

"Pak Rudi? Oh iya, aku ingat. Dia yang akan membantu kami dengan semua dokumen, bukan?" Tanya Leo.

"Benar sekali, dan Pak Steven juga meminta uang untuk bekal hidupmu di sana. Uang itu akan kamu simpan sendiri, dan sisa uangnya akan kami simpan untuk adikmu" Jelas Pak Herman.

***

Keesokan harinya, Leo bersama orang tuanya pergi ke sekolah untuk berpamitan. Leo merasa cemas, tetapi juga bersemangat untuk memulai babak baru dalam hidupnya.

Disekolah, suasana agak berbeda dari biasanya. Para guru dan teman-teman memberi dukungan penuh pada Leo. Kepala Sekolah, Pak Hasan, mengundang Leo dan orang tuanya ke ruangannya.

"Selamat pagi, Bapak Herman dan Ibu Susi," Sapa Pak Hasan. "Leo, kami mendengar tentang kesempatan besar ini, kami sangat bangga dengan keputusanmu. Tapi kami juga menyayangkan keputusan mendadak ini, karena kamu memutuskan untuk meninggalkan sekolah ini sebelum lulus".

"Terimakasih Pak Hasan. Ini adalah langkah besar bagi Leo, dan kami sangat menghargai keputusan dari sekolah" Kata Bapak Herman.

Pak Herman menambahkan "Untuk masalah sekolah, Steven sudah sudah berjanji untuk membantu Leo agar bisa melanjutkan pendidikannya di sana".

"Baiklah Pak Herman, Leo, jangan lupakan pendidikanmu di mana pun kamu berada. Teruslah belajar dan berkembang. Pendidikan adalah bagian penting dari perjalananmu" Pesan Pak Hasan sambil memberikan beberapa buku referensi untuk Leo.

Leo mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. "Saya akan terus belajar, Pak, terimakasih atas dukungannya".

***

Setelah berpamitan di sekolah, Leo dan orang tuanya menuju ke rumah. Pak Herman dengan tekad yang kuat, memutuskan untuk menjual satu-satunya sawah yang mereka miliki demi mendukung impian anaknya. Pak Herman mempunyai 4 petak sawah dan beberapa kebun, dia berniat menjual semuanya demi mimpi sang buah hati.

Keputusan ini adalah keputusan yang berat, tetapi Pak Herman merasa ini adalah langkah yang tepat untuk masa depan Leo.

"Nak, kami sudah mengatur semuanya, uang dari penjualan ini akan kami gunakan sebagai bekal hidupmu di Jerman dan sisanya untuk biaya sekolah adikmu." Kata pak Herman sambil menyelipkan uang ke dalam amplop. Uang berjumlah 450 juta itu di bagi dalam dua amplop, satu amplop dimasukkan ke dalam koper Leo, dan satu amplop untuk jaga jaga di masukkan ke dalam ransel Leo.

Dokumen yang dibutuhkan dimasukkan ke dalam ranselnya.

"Terimakasih Pak, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sangat menghargai semua pengorbanan kalian," Kata Leo dengan suara bergetar, menahan haru.

"Anakku, ini semua demi masa depanmu. Semoga kamu bisa memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin" Jawab Pak Herman dengan penuh kasih sayang.

Bu Susi memeluk Leo. "Jangan lupakan kami disini. kami akan selalu mendukungmu dari jauh. Berusahalah sebaik mungkin dan ingat rumah".

Sementara adiknya hanya memeluk Leo dengan sesenggukan.

Leo mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan berusaha keras dan tidak akan mengecewakan kalian".

*****

Bab 3

Leo mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan berusaha keras dan tidak akan mengecewakan kalian".

*****

Hari keberangkatan semakin dekat, dan Leo semakin sibuk dengan segala persiapan akhir. Steven dan Rudi datang ke rumah Leo untuk memastikan semua dokumen dan persiapan telah lengkap.

"Selamat pagi, Leo, Pak Herman, Bu Susi" Sapa Steven. "Kami sudah siap dengan semua dokumen. Leo, pastikan kamu memeriksa barangmu sebelum berangkat".

"Terimakasih, Steven. Kami sudah menyiapkan semua yang diperlukan. Dan terimakasih juga Pak Rudi, atas bantuan anda dengan dokumen dan terjemahan" Kata Bu Susi.

Pak Rudi tersenyum. "Tidak masalah, kami disini untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Leo jika ada yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk menghubungi kami".

Leo tersenyum lega mendengar semua dukungan dari semua orang di sekelilingnya.

Dengan persiapan yang matang dan dukungan penuh dari keluarga serta teman-teman, ia merasa siap untuk menghadapi tantangan baru di Jerman.

Sebenarnya Pak Herman merasakan perasaan yang mengganjal, karena beberapa hari lalu Steven menelfon Pak Herman meminta uang untuk membeli tiket ke Jerman, dengan alasan dia belum mendapatkan gaji dari pihak klub.

Tapi Pak Herman tetap berpikir positif, mengingat ini adalah keputusan anaknya.

***

Saat hari keberangkatan tiba, Leo berdiri di bandara bersama orang tua dan adiknya. Ia merasa campur aduk antara semangat dan kesedihan.

"Selamat tinggal, Nak. Jaga diri baik baik dan selalu ingat nasihat dari Bapak dan Ibu" Kata bapak Herman sambil memeluk Leo.

"Selamat tinggal, Bu, Pak. Aku akan selalu mengingat semua pesan dan dukungan kalian. Terimakasih telah selalu ada untukku" Jawab Leo dengan penuh rasa syukur.

Leo mengusap lembut rambut adiknya "Jangan nakal, dengarkan Bapak Dan Ibu ya dek"

Bu Susi mengusap air mata di pipinya. "Berhati-hatilah dan jangan lupa untuk selalu berdoa. Kami akan selalu mendukungmu dari sini".

Leo melambaikan tangan saat ia melangkah menuju gerbang keberangkatan. Dengan tekad yang bulat dan dukungan yang kuat dari orang-orang terkasih, ia siap memulai perjalanan menuju Jerman, tempat dimana mimpi mimpinya akan mulai menjadi kenyataan.

***

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan selama 20 jam, Leo akhirnya tiba di bandara Dortmund. Waktu menunjukkan sudah sore hari saat pesawatnya mendarat, Leo merasa kagum dengan kemegahan bandara serta kota Dortmund yang tampak menakjubkan dari atas pesawat. Langit sore memberikan sentuhan misterius pada kota yang baru saja ia kenal.

Saat mereka keluar dari bandara, Steven terlihat antusias. "Selamat datang di Dortmund, Leo! Kota ini menjadi rumah barumu untuk beberapa waktu kedepan. Bagaimana dengan kesan pertamamu?"

Leo menatap sekeliling dengan mata berbinar. "Ini sangat berbeda dari kediri. Saya belum pernah melihat kota sebesar ini sebelumya. Semuanya terlihat sangat modern dan bersih".

Mereka berdua naik taksi menuju markas Borussia Dortmund II. Selama perjalanan, Steven terus menerangkan berbagai hal tentang kota dan klub sepakbola yang akan menjadi tujuan Leo.

"Disini, kamu akan dilatih dengan para pelatih terbaik. Mereka tahu bagaimana mengasah bakat seperti kamu" Kata Steven dengan penuh semangat.

Leo merasa terinspirasi oleh kata kata Steven. Namun, perasaannya mulai berubah saat Steven menghentikan taksi mereka di sebuah taman yang terlihat agak sepi.

"Kenapa kita berhenti disini, Steven?" Tanya Leo bingung.

"Ini adalah tempat yang nyaman untuk beristirahat sebentar sebelum kita menuju markas klub. Aku ingin kamu berganti pakaian formal karena kita akan bertemu bos klub" Jawab Steven. "Bagaimana kalau kamu ganti pakaian di toilet taman ini? Aku akan menjaga kopermu".

Leo yang percaya sepenuhnya kepada Steven, mengangguk. "Baiklah. Terimakasih, Steven".

Setelah mengambil pakaian yang dibutuhkan dari dalam koper, Leo menyerahkan kopernya kepada Steven.

Leo masuk ke dalam toilet taman sambil membawa ransel kecilnya, meninggalkan kopernya di tangan Steven. Dia tidak tahu bahwa Steven sebenarnya bukanlah agen pencari bakat seperti yang ia kira, melainkan seorang pelancong biasa yang tengah mengalami kesulitan finansial dan melihat kesempatan untuk mendapatkan uang dengan cara yang licik.

Setelah Leo berganti pakaian, ia keluar dari toilet dan mencari Steven di sekitar taman.

“Steven? Di mana kamu?”

Namun, taman tersebut kosong dan sepi. Leo mulai merasa cemas. Dia mencoba mencari di setiap sudut taman, tetapi tidak menemukan sosok Steven. Waktu semakin sore, dan matahari perlahan-lahan tenggelam di balik cakrawala.

Perut Leo mulai keroncongan dan ia merasa sangat kehausan. Dia merogoh saku celananya, tetapi tidak menemukan uang sama sekali. Dengan panik, ia membuka ranselnya dan beruntungnya menemukan satu amplop berisi uang sebesar 50 juta rupiah—dana darurat yang disiapkan oleh Bapak Herman untuk keadaan mendesak.

Di dalam ranselnya hanya berisi dokumen-dokumen dan beberapa potong pakaian santai.

Leo berusaha menenangkan diri dan mencari solusi. Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuju ke seberang taman, mencari penduduk sekitar untuk mencari informasi. Berdasarkan petunjuk dari penduduk sekitar, ia menemukan tempat penukaran uang.

“Permisi, di mana saya bisa menukarkan uang?” tanya Leo kepada seorang pria di tempat penukaran uang.

“Di sini,” jawab pria itu sambil menunjukkan meja tempat penukaran uang.

Setelah menukarkan uangnya, Leo kembali ke kedai makanan ringan terdekat. Ia membeli roti dan minuman dingin, berusaha menghemat uangnya sebanyak mungkin. Ia sadar bahwa ia harus bijak dalam menggunakan uang yang tersisa.

“Ini saja, terima kasih,” kata Leo sambil membayar makanan dan minumannya.

Malam tiba, dan lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi suasana gelap. Leo kembali ke taman dengan perasaan campur aduk—marah, sedih, dan ketakutan. Baru pertama kali dalam hidupnya ia melangkah jauh dari rumah, dan kini ia terjebak dalam situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ia mencoba mencari tempat untuk berlindung di malam hari yang semakin gelap. Setelah mempertimbangkan beberapa opsi, ia memutuskan untuk kembali ke toilet taman dan beristirahat di sana. Kebetulan saat itu taman sedang sepi, jadi ia merasa sedikit tenang.

Di dalam toilet, Leo duduk di lantai dengan bersandar pada dinding, mencoba menenangkan pikirannya. “Bagaimana bisa ini terjadi? Aku sangat berharap ini bukan mimpi buruk,” gumamnya kepada diri sendiri. “Aku harus berpikir jernih dan mencari jalan keluar.”

Dia mengeluarkan roti dari tasnya dan makan dengan cepat, mencoba mengisi perutnya yang kosong. “Setidaknya aku masih punya uang. Aku harus mencari cara untuk menghubungi Steven atau mencari tempat tinggal sementara.”

Leo mengingat kembali semua yang telah dia pelajari dan persiapkan sebelum berangkat. Dia tahu bahwa dia harus tetap optimis dan tidak menyerah begitu saja. “Aku tidak bisa membiarkan semua usaha ini sia-sia. Aku harus bertahan dan terus berjuang.”

Sambil memikirkan langkah selanjutnya, Leo merasa lelah dan mengantuk. Ia berbaring di lantai toilet, berusaha memejamkan mata dan berdoa agar hari esok membawa solusi untuk masalahnya.

"Mungkin ada orang disekitar sini yang bisa membantu. Aku harus bertanya kepada penduduk sekitar besok pagi," Pikirnya sebelum terlelap dalam tidur yang tidak nyenyak.

******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!