[Untuk pembaca baru, sebelum membaca novel ini lebih dulu baca novel yang berjudul "Aku hanya Figuran" ya, karena novel ini lanjutannya. Terima kasih.]
Aku langsung membopong Diana dan membawanya ke kamar pasien terdekat. Menyuruh beberapa perawat yang ada di sana untuk merawatnya. Kemudian Aku berbalik menghadap managernya.
"Bagaimana kronologinya? Sejak kapan dia di operasi?"
"Saya kurang tahu kronologinya Pak. Tiga jam yang lalu Diana menerima telepon, yang mengabarkan kalau Pak Aaron kecelakaan. Kami langsung kemari. Kondisi Diana sangat tidak stabil, jadi Saya memutuskan untuk menghubungi keluarga. Waktu pertama datang pun dokter sudah menyarankan untuk segera melakukan operasi karena kondisi Pak Aaron sangat serius..."
"Kamu jaga dia. Aku akan mencari tahu sendiri." kataku seraya mengedikkan bahuku ke arah Diana.
"Baik Pak."
Aku keluar dari ruang pasien dan pergi menemui dua orang polisi yang tampak hadir di sana. Aku menanyakan kronologi dari kejadian tersebut.
Ternyata Aaron mengalami kecelakaan tunggal. Dia menabrak pembatas jalan dan menyetir dalam kondisi mabuk. Hal itu terdeteksi dari kandungan alkohol di dalam darahnya.
Polisi sudah membuatkan berita acara perkara berdasarkan kesaksian para saksi. Mobil Aaron yang digunakan sebagai barang bukti juga sudah diderek dan disimpan oleh pihak kepolisian. Sedangkan untuk kondisi Aaron, mereka tidak mengetahuinya dengan pasti.
Pada saat ditemukan Aaron dalam keadaan tak sadarkan diri. Tubuhnya penuh dengan darah. Bisa dipastikan bahwa pria itu telah kehilangan banyak darah. Itulah mengapa dokter memutuskan untuk melakukan tindakan cepat, yaitu melalui operasi.
Tidak ada tim medis yang bisa kumintai keterangan, karena mereka sibuk untuk melakukan operasi. Aku hanya perlu menunggu operasi selesai untuk mengetahui kondisi Aaron selanjutnya. Aku tidak suka dengan perasaan tanpa kejelasan ini. Tapi Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.
***
Aku menunggu di depan ruang operasi dengan pikiran kalut. Berharap operasi itu akan berjalan lancar dan Aaron bisa terselamatkan.
Beberapa kali Aku harus mengecek kondisi Diana, karena sepertinya kondisi psikisnya sedang tidak stabil. Berkali-kali Diana bangun, berkali-kali pula dia jatuh pingsan. Tubuh, pikiran dan hatinya seolah-olah tidak mampu menahan segala beban ini. Bisa kulihat, betapa besar cinta Diana untuk Aaron.
Dua jam kemudian, keluargaku datang. Mama langsung menghambur ke arahku. Menangis dan menjerit-jerit. Sama dengan sikap yang ditunjukkan oleh Diana sebelumnya. Tak lama kemudian, beliau pun pingsan. Aku menggendongnya dan meletakkan di kamar pasien, di sebelah ranjang Diana.
Aku mengurus dua orang wanita pingsan yang emosinya sedang tidak stabil. Belum lagi pikiranku masih terpecah menunggu kabar dari kondisi Aaron. Ponselku puluhan kali berdering. Ada beberapa panggilan dari Winda, sementara puluhan panggilan lainnya dari beberapa pimpinan anak perusahaanku. Aku meletakkan jabatanku sebagai apapun. Hari ini Aku hanyalah seorang adik yang tengah khawatir menunggu kabar hidup matinya seorang kakak.
Aaron sedang di operasi, namun sikap yang ditunjukkan oleh dua wanita yang menyayangi Aaron ini sudah seperti ini. Tidak terbayangkan rasanya bila benar-benar terjadi sesuatu pada Aaron. Mungkin kedua wanita berbeda generasi ini akan benar-benar menggila.
"Kamu temani mamamu. Biar Papa yang berjaga di sini." Papa menepuk punggungku. Menyuruhku untuk mendampingi mama di kamar pasien. Aku menuruti saran papa.
Beberapa saat kemudian, wanita yang telah melahirkanku itu tersadar.
"Al..."
"Iya Ma?"
"Ba-bagaimana kakakmu?"
"Dia masih di operasi Ma..."
"Huuuuuu..." Lagi-lagi mama menangis. Aku memeluk tubuhnya, sembari menepuk-nepuk punggungnya. Tubuh mama bergetar hebat. Menunjukkan kesedihan yang luar biasa.
"Dia pasti akan baik-baik saja Ma. Jangan menangis lagi, sshhh..."
"Mama ng-nggak sanggup... Nggak sanggup... Ke-kenapa bisa seperti ini? Ke-kenapa anak Mama harus mengalami hal seperti ini? Ba-bagaimana bila terjadi sesuatu padanya? Ba-bagaimana Al?! Aarooonn!! Aarooonn!!" Bukannya berhenti, tangis mama malah lebih keras. Aku hanya bisa menghiburnya, berusaha untuk menjadi kekuatannya. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini.
"Ba-bagaimana bila operasinya gagal? Ba-bagaimana bila dia... Huuuu... Huuu... Ma-mama nggak sanggup!! Mama nggak sanggup Al!! Ka-kalau dia mati, Mama juga ikut mati... Aaroooon..."
"Dia pasti akan baik-baik saja. Mama tenanglah," Selama beberapa puluh menit ke depan, yang kulakukan hanya menghibur mama. Memeluk, mengusap air mata dan memberinya kata-kata penghiburan. Di depan mama Aku berusaha untuk kuat. Menjadi sosok yang bisa dijadikan sandaran, namun sebenarnya hatiku juga ingin menangis. Aku tidak bisa membayangkan bila benar-benar terjadi sesuatu pada Aaron. Memikirkan hal seperti itu selalu membuatku ketakutan.
Aku memeluk mama. Tangisan beliau mulai tidak terdengar. Sepertinya beliau sudah mulai tenang. Sejurus kemudian, ranjang di sebelah Mama bergerak. Aku mengalihakan pandang. Kulihat Diana sudah mulai tersadar.
Diana mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha membaca situasi. Dia melihatku dan mama dengan bingung. Lima detik kemudian, pikirannya mulai terkumpul. Dia menatap mama berlama-lama, kemudian tangisnya mulai pecah.
"Mamaaaa!!" Diana segera turun dari ranjang dan menghambur memeluk mama. Dua wanita itu saling berpelukan, meratapi nasib pria yang mereka sayangi. Ruang pasien itu dipenuhi dengan suara tangisan, isakan, raungan, dan kata-kata penghiburan. Aku harap Aaron melihat hal ini. Banyak orang yang menyayanginya. Aku harap dia tidak akan pernah meninggalkan Kami untuk selamanya.
***
Beberapa jam kemudian, keduanya sudah mulai tenang. Masih dengan posisi saling berpelukan, mereka turun dari ranjang. Mereka memaksa untuk ikut menunggu di depan ruang operasi. Saling berpelukan, berusaha menguatkan satu sama lain, meskipun Aku tahu keduanya sedang berada dalam kondisi yang tidak stabil.
Mama dan Diana memang sangat dekat. Orang awam yang melihat mungkin akan menganggap mereka adalah seorang ibu dan anak kandung. Kedekatan mereka sudah tidak seperti kedekatan seorang mertua dan menantu. Terkadang ketika melihat mereka seperti itu, Aku selalu membayangkan Mama dan Khansa. Membayangkan Mama akan memperlakukan Khansa sehangat itu. Menganggap Khansa seperti anaknya sendiri. Alangkah menyenangkannya.
Ah, Khansa...
Perasaan bersalah, bingung, sedih, kecewa dan marah berkecamuk di dalam pikiranku. Aku merasa bersalah karena sudah menodai Khansa seperti itu. Seharusnya pertemuan pertama Kami akan menjadi pertemuan yang indah. Aku akan mengungkapkan perasaanku, dan berharap Khansa menerimaku.
Namun di sisi lain Aku juga merasa bangga. Setidaknya Aku sekarang memiliki alasan untuk menjadikan Khansa milikku.
Khansa, tunggulah Aku. Setelah semua masalah ini selesai, Aku akan menangkapmu.
(episode pancingan, biar cepat lolos review)
***
Happy Reading 😊
NB : Hellow emak-emak pecinta babang kerdus. Akhirnya Kita ketemu di novel baru ya. Terima kasih buat emak-emak yang sudah rela mengikutiku ke sini ya. Mohon dukungannya semuanya 😙🤗 LopYuhAll 😙🤗
Operasi dilakukan selama beberapa belas jam. Semua keluarga dipenuhi dengan kekalutan. Raut wajah sedih sekaligus lelah tampak memenuhi semua wajah-wajah yang ada di sana.
Aku membujuk mama untuk beristirahat, namun beliau tetap bersikeras untuk menunggu operasi itu sampai selesai. Aku juga melakukan hal itu pada Diana, namun lagi-lagi Aku mendapat penolakan. Wanita itu juga melakukan hal yang sama.
Setelah tiga belas jam dalam penantian, akhirnya lampu tanda operasi dimatikan. Pertanda operasi telah selesai. Beberapa saat kemudian belasan dokter keluar dari ruangan itu. Aku langsung mendekat pada dokter yang tampak seperti kepala tim.
"Ada wali dari pasien?" tanyanya.
"Saya Dok. Saya adiknya." Aku berkata dengan tegas. Diana, mama maupun papa datang mendekat.
"Ak-aku Mamanya Dok. Ba-bagaimana kondisi anakku? Ap-apa dia baik-baik saja? Ap-apa operasinya berhasil?"
"Aku tunangannya! Ba-bagaimana kondisi Kak Aaron? Bagaimana dia Dok?" Diana maupun mama langsung mengerubungi dokter tersebut. Memegang lengan dokter, mendesaknya untuk menjawab pertanyaan.
Dokter itu menatap wajah Kami satu persatu. Dia bisa menilai kekhawatiran yang timbul di wajah Kami. Kemudian pandangan mata dokter itu berlama-lama menatapku.
"Dengan Bapak siapa?" tanyanya.
"Saya Alex Dok."
"Baik Pak Alex, bisa Saya bicara dengan Anda?"
"Bisa Dok."
"Silakan ikut ke ruangan Saya." Dokter itu berjalan mendahuluiku, mengacuhkan rengekan mama ataupun Diana yang tampak sangat ingin tahu kondisi Aaron. Aku berjalan mengikuti dokter itu, sebelum akhirnya tanganku ditarik oleh mama.
"Mama ikut Al, Mama mau tahu kondisinya. Ajak Mama juga Al..." Aku menatap wajah mama dengan prihatin. Wajah seorang ibu yang sangat mengkhawatirkan putranya. Wajah yang seolah-olah mengatakan bahwa dia rela bila nyawanya yang harus ditukar dengan nyawa anaknya.
"Mama di sini saja. Temani Diana. Dokter hanya ingin bicara denganku. Aku yakin kondisi Aaron akan baik-baik saja. Mama jangan khawatir ya," Aku mengusap airmata yang keluar dari wajah mama. Ingin memeluk dan menguatkan wanita itu.
Awalnya mama bersikeras untuk mengikutiku, namun setelah papa membujuknya akhirnya beliau mengalah dan membiarkanku untuk bertemu dengan dokter itu.
Aku memasuki ruang dokter yang Ku tahu bernama Arya. Merupakan dokter spesialis bedah.
Tok... Tok... Tok... Aku mengetuk pintu.
"Silakan masuk Pak Alex. Silakan duduk." Dokter Arya mempersilakanku untuk duduk. Dia seorang pria yang berusia sekitar awal 40-an. Wajahnya tampak datar dan tenang, namun Aku bisa menangkap raut kekhawatiran di wajahnya, meskipun dia berusaha untuk menyembunyikannya.
"Bagaimana keadaan kakak Saya Dok?" tanyaku tanpa basa-basi. Aku memiliki intuisi, keadaan Aaron sedang tidak baik. Menanggapi pertanyaanku, senyum kecut tersungging kecil di bibirnya.
"Apa Anda tahu, mengapa Saya ingin berbicara dengan Anda?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala. Dokter Arya melanjutkan, "Karena Ku nilai Anda adalah yang paling tenang di antara yang lain." Aku terdiam, mendengarkan.
Dokter Arya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Kami telah melakukannya dengan semaksimal mungkin. Kami melibatkan sembilan belas dokter dan tenaga medis lain untuk operasi ini. Namun kondisi pasien ketika dibawa kemari memang sudah sangat parah..."
"Apa maksudnya Dok? Apa itu artinya terjadi sesuatu dengan kakak Saya?! Apa operasinya gagal?!" Suaraku mulai meninggi. Dokter Arya melipat tangannya di dada. Tampak raut wajah kelelahan di wajahnya.
"Aku tidak pernah mengatakan bahwa operasi ini gagal, namun Aku juga tidak memberi indikasi bahwa operasi ini berhasil." Dokter Arya terdiam sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Begini Pak Alex, pada saat dibawa kemari pasien mengalami pendarahan di kepala, patah tulang dada dan patah kaki kanan. Kami melakukan MRI scan dan memutuskan untuk membagi tim menjadi tiga. Tidak ada masalah mengenai operasi patah kaki kanan maupun tulang dada. Tidak ada retakan tulang yang membahayakan organ penting. Dua operasi itu bisa dikatakan berhasil. Namun masalah terjadi ketika tim Kami melakukan operasi kraniotomi (prosedur pembedahan otak)."
"Hantaman keras menyebabkan tulang tengkorak rusak, sehingga Kami melakukan pembedahan ini. Kami mengira cedera ini hanya karena hematoma (terjadi penggumpalan darah), atau kontusio (memar pada otak). Namun pada kenyataannya pasien mengalami difus (cedera otak berat, dimana kerusakan terjadi pada hampir semua bagian otak). Kami sudah berusaha mengatasi masalah ini melalui prosedur operasi. Bisa dikatakan, operasi memang berjalan dengan lancar. Tidak ada kejadian tak terduga yang menghambat Kami. Namun, Kami tidak bisa menyatakan bahwa operasi itu berhasil. Mengingat cedera otak yang diderita oleh pasien sangat parah, maka kemungkinannya ada tiga."
Aku terdiam, mencoba untuk tenang mendengarkan semua penjelasan dokter Arya. Kemudian dokter itu melanjutkan.
"Yang pertama, pasien akan kembali sadar dengan menderita kecacatan, yang kedua dia akan mengalami fase vegetatif (bisa diartikan sebagai koma) dan yang ketiga adalah kematian. Saya harap Anda memahaminya dan memberi pengertian ini terhadap keluarga besar..."
Tenggorokanku terasa kering. Aku berusaha menelan ludah, namun sangat susah. Lidahku tiba-tiba menjadi kelu. Banyak pertanyaan yang ingin kusampaikan, namun bibirku tidak bisa digerakkan.
Dokter Arya masih terus berbicara. Menjelaskan kondisi Aaron secara panjang lebar, namun Aku hanya bisa menangkap sebagian kecil dari percakapannya. Otakku berhenti berpikir ketika mengetahui kemungkinan itu.
"Ap-apa ti-tidak ada kemungkinan dia akan sembuh total?" dengan terbata-bata Aku mengajukan pertanyaan.
"Kemungkinan itu sangat kecil Pak Alex. Hanya kurang dari 5%. Kalau pun pasien tersadar, ada kemungkinan dia akan mengalami cacat permanen." Dokter Arya menghela napas sejenak, dia tersenyum hambar, "Bijaklah dalam menyampaikan kabar ini. Saya rasa ibu dan wanita muda itu tidak akan kuat mendengarnya. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa Saya sampaikan. Ada pertanyaan lain?"
Aku ingin bertanya banyak hal. Kalau perlu Aku ingin menyalahkan dokter itu karena kinerja tim medisnya yang kurang maksimal. Mengapa mereka tidak bisa menyembuhkan Aaron secara 100%?!! Mengapa hanya 5%?! Mengapa?! Aku ingin menyalahkan seluruh dunia!! Untuk pertama kalinya Aku menyesal telah menolak keinginan orangtuaku untuk menjadi dokter.
Aku keluar dari ruangan itu. Melangkah seperti zombie yang tak bernyawa. Tanpa kusadari langkah menuntunku ke toilet. Aku memasuki ruang itu dan mulai menangis di sana.
"Aaarrghhh!! Aaarrrghhh!! Bodoh!! Br*ngsek!! Kenapa nggak sekalian mati saja!! Dasar kakak br*ngsek!! Sukanya ngerepotin orang saja!!"
BUUUK... BUUUKK... BUUKKK...
Aku memukul-mukulkan tanganku di tembok. Aku tidak peduli bila tanganku berdarah. Aku hanya ingin meluapkan emosi ini. Membayangkan Aaron harus cacat, berada di fase vegetatif atau bahkan meninggal membuat perasaanku sedih luar biasa. Aku tidak bisa menanggung kesedihan ini.
"Dasar br*ngsek!! Tidak berguna!! Aaarrrghhh!! Sembuhlah br*ngsek!! Br*ngsek!!" Mulutku mencaci makinya, namun tubuhku berkata lain. Airmata mengalir deras di pipiku. Sementara tubuhku gemetar menahan kesedihan.
Hampir satu jam Aku berada di kamar mandi dalam posisi setengah gila. Terkadang Aku memaki dan memarahinya, namun di saat yang lain Aku memohon untuk kesembuhannya. Fase itu berubah-ubah selama beberapa kali. Hingga akhirnya hatiku siap menerima semua kemungkinan itu.
Aku keluar dari bilik toilet. Membasuh wajahku yang berantakan dengan air dingin. Membasahi kepalaku, dan mencoba untuk tersenyum di depan cermin.
Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah. Ada dua wanita rapuh yang membutuhkan kekuatanku. Aku harus menjadi kokoh, agar bisa menjadi sandaran bagi mereka.
Aku keluar dari ruangan itu sembari mencoba memasang senyum di wajahku. Bersiap-siap untuk memberi kabar palsu.
***
Happy Reading kezheyengan semuah 😚😙🤗
Aku menghampiri keluargaku. Begitu melihatku, Diana dan mama langsung berlari ke arahku. Berbagai pertanyaan mereka ajukan. Aku menatap wajah-wajah penuh harap itu. Sungguh tidak tega untuk menyampaikan hal yang sebenarnya. Pada akhirnya Aku memilih menyembunyikan kebenarannya.
"Operasinya berhasil. Dia akan baik-baik saja." hanya kata-kata itu yang terucap dari bibirku. Tangisan kembali pecah memenuhi ruangan. Diana dan mama berpelukan, mengungkapkan kelegaan. Aku tidak sanggup melihat kebahagiaan mereka. Perasaan bersalah menyelimuti hatiku. Aku berharap, keajaiban akan terjadi. Aaron bisa kembali pada Kami, tanpa kurang suatu apapun suatu saat nanti.
***
Dua hari sudah berlalu, namun Aaron tak kunjung sadar. Seharusnya pengaruh anestesi akan segera hilang setelah beberapa jam, namun kenyataannya tidak seperti itu. Sepertinya benar dugaan dokter Arya, Aaron mengalami fase vegatatif.
Mama dan Diana mulai bertanya-tanya. Raut wajah cemas kembali menghampiri mereka. Aku masih tetap membohongi mereka. Mengatakan kata-kata penghiburan bahwa Aaron baik-baik saja.
Aku menemui dokter Arya dan menanyakan keadaannya. Tanpa sepengetahuan keluargaku, Kami mulai melakukan pemeriksaan secara menyeluruh untuk memastikan kondisi Aaron.
Beberapa dokter spesialis didatangkan untuk menguji tingkat kesadaran Aaron. Dokter saraf mulai memeriksa kondisinya secara teliti. Melakukan beberapa test pada beberapa bagian tubuhnya. Dan hasilnya nihil. Tubuhnya sama sekali tidak bereaksi.
Dokter itu menatap dokter Arya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajah dokter Arya tampak mendung. Aku sudah bisa menduga apa yang akan diucapkan dokter Arya berikutnya.
Aku bersandar pada dinding, menopang tubuhku agar tidak limbung. Kenyataan ini membuatku terpukul. Dokter Arya mendekat dan menepuk-nepuk bahuku sebagai penghiburan. Namun tidak ada tindakan apapun yang cukup untuk membuatku terhibur.
Aku menatap tubuh Aaron yang tampak dipenuhi oleh peralatan medis. Laki-laki tampan, gagah dan playboy itu sudah tidak ada lagi. Selang ventilator dan makanan terhubung di hidung, selang infus terhubung di lengan, sementara kateter terhubung di bagian tubuhnya yang lain. Monitor yang terletak di samping tempat tidur memantau detak jantung, kandungan oksigen dan juga tekanan darah secara akurat. Sementara kepalanya di perban secara keseluruhan, menutupi tempurung kepalanya yang telah di operasi. Wajahnya tampak sangat pucat, seolah-olah tidak ada kehidupan di dalam dirinya.
Mataku kembali berair. Tidak menyangka kakakku akan bernasib seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluargaku bila mengetahui keadaannya yang sebenarnya.
Aku keluar dari ruang ICU dan memutuskan memberitahu papa. Hanya papa satu-satunya yang memiliki emosi stabil dibanding yang lain. Aku tidak bisa terus-terusan berbohong kepadanya.
Aku mencari waktu yang tepat dan memberitahu semuanya. Papa terlihat sangat syok, namun bisa mengontrol emosinya. Tubuhnya sempat limbung, namun beliau menguasainya. Kami duduk berdua, saling menguatkan dan mencari solusi yang terbaik. Pada akhirnya Kami menghadap dokter Arya, bertanya dan meminta saran untuk menindaklanjuti kondisi Aaron.
"Sebenarnya untuk pasien dalam kondisi vegetatif, tidak ada tindakan medis pasti yang akan membuat pasien tersebut terbangun dari tidur panjangnya. Namun, ada beberapa dokter yang melakukan percobaan dan tingkat keberhasilannya di bawah 1%. Menurut Saya ini lebih baik, dibanding tidak sama sekali." dokter Arya menjelaskan.
"Maksudnya bagaimana Dok? Apa kakakku akan dijadikan kelinci percobaan?!"
"Tenang Pak Alex, bukan itu maksud Saya. Menurut jurnal kedokteran yang Saya baca, ada beberapa dokter di RS University of California yang menerapkan metode ini pada pasien koma. Memang tidak semua berhasil, tapi ada satu pasien yang bisa terbangun. Metode ini bisa Anda coba, daripada membiarkan kakak Anda tertidur tanpa kepastian kapan akan terbangun."
Aku mencerna kata-kata dokter Arya. Menurutku hal ini patut dicoba. Benar kata dokter Arya, meskipun tingkat keberhasilannya dibawah 1%, setidaknya pernah ada pasien yang berhasil terbangun. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Apapun akan kulakukan asalkan Aaron bisa segera kembali tersadar.
Aku menatap papa, meminta kepastian. Papa menganggukkan kepala, seolah-olah mengerti akan pertanyaan yang tak terucap.
"Berikan Kami rujukan ke RS itu. Kami akan segera memindahkannya." kataku. Dokter Arya menganggukkan kepalanya, tampak setuju dengan keputusanku.
***
Aku menyampaikan kondisi Aaron yang sebenarnya pada Mama dan Diana. Mama menangis, sementara Diana langsung pingsan. Butuh waktu untuk membuat keduanya menerima kenyataan yang ada di depan mata.
Beberapa hari kemudian, prosedur pemindahan Aaron ke salah satu rumah sakit di California selesai dilakukan. Aku tahu hal ini akan memakan waktu yang lama. Aku mulai melepas tanggung jawabku satu persatu. Aku menghubungi direktur bank tempatku bekerja sementara, menyatakan permintaan maafku karena belum bisa melakukan peranku sebagai Group Head untuk sementara waktu. Direktur memberiku ijin dengan waktu yang tak terhingga.
Aku juga menelepon para pemimpin anak perusahaanku. Menyuruh mereka untuk menghandle setiap permasalahan perusahaan. Hanya dalam kondisi benar-benar urgent mereka boleh menghubungiku.
Saat ini Aku hanya ingin fokus pada proses penyembuhan Aaron. Aku mengesampingkan hal yang lain. Saat ini Aku hanyalah seorang adik dari Yuan Aaron Seanan, yang begitu ingin melihat kakaknya kembali pulih seperti sedia kala.
Aku juga mengesampingkan perasaanku sebagai seorang pria yang mencintai seorang wanita.
Khansa, bersabarlah. Aku pasti akan datang untukmu.
***
Proses pemindahan Aaron berjalan dengan lancar. Rumah sakit di California menyambut Kami dengan baik. Tim medis bergerak cepat, dan langsung memeriksa kondisi Aaron dengan teliti.
Diagnosis dari RS National Hospital sama dengan RS University of California. Mereka langsung membentuk tim medis untuk membuat Aaron terbangun dari koma.
Prosedur itu dinamakan teknik pioneering ultrasound. Fungsinya untuk merangsang jaringan otak. Teknik ini dilakukan dengan cara menanam elektroda di bagian otak yang bernama thalamus, karena bagian itu berfungsi untuk mengolah kesadaran dan gerakan.
Meskipun secara prosedural Aku tidak memahaminya, namun secara garis besar Aku memahami maksud dan tujuan dari teknik itu. Kami menyerahkan penanganan Aaron kepada ahlinya.
Tim medis yang terdiri dari beberapa dokter mulai melakukan prosedur itu. Mereka memasukkan alat itu di sisi kepala Aaron selama sepuluh menit. Kemudian berhenti sejenak untuk melihat reaksinya. Namun, tidak ada reaksi. Sistem gerak maupun sistem saraf Aaron tidak bereaksi.
Dokter kembali mencoba metode itu selama beberapa kali, namun tetap tidak ada hasil. Tubuh Aaron tetap tidak bereaksi. Setiap dokter spesialis kembali mengecek kondisi tubuh Aaron, namun tidak ada perkembangan yang berarti.
Dokter keluar dari ruangan, menatapku sembari menggelengkan kepala. Aku memejamkan mata. Perasaan putus asa menghampiriku. Sementara dua orang wanita itu kembali menjerit, menangis dan tak sadarkan diri.
Harus dengan apa Aku membuat Aaron tersadar?!!
***
Happy Reading 🙏
Maaf kalau kata-katanya amburadul dan nggak enak dibaca. Ngetik di kantor buru2, ngejar 1k kata biar bisa disetor 🙏😅
Semoga besok bisa setor lebih ya 😙🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!