Kepulan asap itu kembali keluar dan berterbangan dari mulutnya, hisapan pada selinting benda panjang itu seakan membawa ketenangan baginya. Rintik hujan yang mulai membasahi seragamnya pun tidak terasa, saking menikmati benda itu.
Benar kata orang, jangan pernah mencoba jika tidak ingin jadi candu. Karena dirinya sudah merasakan hal itu sekarang.
Benda yang terhimpit diantara jadi telunjuk dan jari tengahnya itu kembali dijauhkan dari bibir merah mudanya setelah ia menghisap benda itu. Ia kembali menghembuskan asap yang terasa sesak di mulutnya itu ke udara. Ia terus mengulangi kegiatan itu.
Kata orang benda itu bisa membuat mereka merasa tenang dari kalutnya pikiran. Bisa ia akui, pendapat itu ada benarnya. Karena ia pun merasakan hal yang sama. Meski hanya sementara, tapi setidaknya otaknya bisa bekerja lebih tenang.
Rambut panjangnya yang terikat acak-acakan dengan lengan kemejanya yang terlipat, tangannya yang putih itu terlihat. Rok yang seharusnya menutupi lutut juga dilipat dengan jahitan di bawah sehingga berada dua senti diatas lutut.
"Kania-"
Ia menghembuskan asap itu kembali, suara yang berasal dari pintu terbuka itu lantas membuatnya menoleh ke arah sana. Ia mendapati seorang laki-laki dengan kemeja terbuka dan menampilkan kaos dalaman berwarna hitam sedang berdiri menatapnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ia terkekeh pelan, kemudian membiarkan tangannya yang memegang rokok itu bersandar sebentar pada ujung kursi taman.
"Kanapa, Rel?" tanya Kania tenang, garis itu baru saja menyembunyikan rokoknya dari hadapan laki-laki itu.
Karel mengalami nafasnya, ini bukan kali pertama dirinya menemukan Kania dengan selinting roko di tangannya. Dia tidak mempermasalahkan temannya itu merokok, bahkan dirinya tidak peduli, mengingat dirinya yang juga suka sekali dengan benda itu. Hanya saja, Kania itu seorang gadis yang masih duduk di bangku SMA, dan akan suatu saat nanti akan menjadi wanita hamil bahkan melahirkan. Apakah itu pantas? Apakah tubuh gadis itu akan baik-baik saja? Meskipun terdengar begitu jauh untuk melihat masa depan, Karel kira itu hal yang wajar untuk dipikirkan.
"Bagi!" Karel mengeluarkan tangannya, menunjukkan telapak tangannya kehadapan Kania dan memaksa gadis itu untuk mengeluarkan kotak yang ia yakini berada di saku rok gadis itu.
Kania menggelengkan kepalanya, kemudian menampilkan senyum lebar." Habis." Dia menaikkan tangan kanannya, menunjukkan benda yang sebentar lagi akan habis itu pada Karel." Ini yang terakhir," lanjutnya.
Jika saja orang lain yang berada di hadapan Kania saat ini, mungkin akan percaya dengan ucapan gadis itu barusan. Tetapi karena yang berada di hadapannya adalah seorang Karel, sudah jelas laki-laki itu tidak akan percaya. Bahkan kantong rok gadis itu saja membentuk cetakan kotak sempurna. Jika benda yang dimaksud sudah habis, seharusnya dibuang, bukan malah disimpan kan?
"Balik, Rel! Nanti lu ngomel-ngomel ke gue lagi," lirih Kania." Habis ini gue balik kok!"
Karel diam. Laki-laki itu mengamati dengan seksama wajah Kania. Kulit mulus, kedua mata yang berwarna coklat terang, serta bibir yang berwarna merah muda dan cantik tanpa polesan apapun. Ternyata bibir gadis itu terlihat baik juga, bahkan setelah gadis itu menghisap berkali-kali benda itu, bibirnya masih menunjukkan warna yang seharusnya. Atau mungkin bisa saja Kania merawat bibirnya dengan baik supaya kebiasaannya itu tidak mudah diketahui oleh orang lain.
"Kania-"
"Rel!" Kania lebih dulu memotong ucapan Karel. Gadis itu menatap penuh selidik pada Karel kemudian melebarkan senyumannya. " Lo udah mulai punya perasaan sama gue ya?!" Serunya dengan semangat kemudian menarik turunkan alisnya, menggoda Karel yang sudah mendelik jijik di hadapannya itu.
"Kalau bukan karena Sania, gue juga nggak mau ke sini!" Balas Karel terang-terangan.
Mungkin bagi Karel, ucapan barusan adalah hal yang wajar di dunianya. Tapi bagi Kania, kata-kata itu bagaikan saya tanah halus di hatinya. Lagi-lagi Sania,,,batin gadis itu.
Kania menampilkan senyum getirnya, kemudian menetap sepatunya, mengalah tatapan dingin Karel yang masih menghunus tajam ke arahnya.
"Pergi, Rel.."pinta Kania lirih.
"Balik, Kan-"
"Gue pasti balik habis ini!" ucap Kania tajam. Ia kembali mendongak dan membiarkan laki-laki itu mengartikan sendiri senyumannya.
"Lain kali, kalau memang lu nggak peduli sama gue, gak usah samperin gue lagi. Jangan buat gue mengharapkan sesuatu yang gak bisa Lo kabulin," lanjutnya kemudian menghisap kembali rokoknya yang sempat terabaikan karena kehadiran Karel.
Karel berdesis." Seharusnya lu bersyukur karena masih ada yang peduli sama!" ujarnya tajam.
Bukan ya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Sehingga perlahan memudar, digantikan dengan ekspresi datarnya yang berhasil membuat Karel heran.
"Gue akan bersyukur kalau lo yang benar-benar peduli-" ia berhenti sejenak menatap tajam ke arah mata Karel."tanpa ada embel-embel sama orang lain di akhir kalimat." Kemudian Kania membuang rokonya, menginjaknya dengan sepatu. Lalu gadis itu lebih dulu meninggalkan Karel yang terpaku di posisinya.
Sesulit itu itu ya membuat karya jatuh cinta padanya? Apa wajahnya terlalu biasa saja sampai pesonanya tidak terlihat di mata laki-laki itu? Atau mungkin karena rokoknya? Ah, Kenapa harus Karel yang selalu memergokinya saat ia merokok? Apakah Karel tau? Menyukainya bukanlah sesuatu yang mudah bagi Kania. Itu hanya senjata baru untuk merebutkan hatinya yang bahkan sudah tak berbentuk. Padahal dia berharap Karel dapat menjadi obat untuk hatinya.
_____
"Kania!"
Suara nyaring dan tajam itu berhasil menusuk gendang telinganya. Niatnya untuk merapatkan kedua matanya sejenak terhalang karena teriakan itu. Jam pelajaran kedelapan baru saja selesai dan otaknya sudah pusing tujuh keliling. Rasa kantuknya sudah berhasil ia tahan sehingga pelajaran matematika tadi bisa terlaksana dengan tenang, itu saja sudah termasuk perjuangan.
"Tidur muli Lo!" Decak Laras jengkel. Tadi pagi Kania berjanji akan menemani gadis itu membeli botol minum di kantin. Tetapi lihat saja, namanya itu malah melancarkan niat untuk mengingkari janji padanya.
"Suara berisik banget sih!" Kania telinganya yang perlahan terasa panas. Suara menggelegar Laras barusan berhasil membuat telinganya pengang beberapa saat.
Laras tersenyum lebar, dengan wajah tidak berdosanya." Ayo ke kantin!" ajak gadis itu. Laras menarik paksa dengan Kania untuk bangkit dari posisinya, habis tempatnya menghalangi niat Kania untuk tidur di jam istirahat.
Bukan Kania namanya kalau dengan mudah menuruti permintaan Laras. Karena jelas gadis itu akan membuat Laras kesusahan, berdecak, berdesis, bahkan mengumpat untuk mengabulkan permintaan temannya itu.
"Cepet bangun ih!" Laras gemas sendiri." Ada Karel lo-"
Kania menggebrak meja. Laras lantas memundurkan langkahnya cepat, menjauh dari meja Kania yang atmosfernya berubah seketika. Suasana tegang yang sempat Kania berikan tergantikan dengan suasana senang, dan jangan lupa senyum lebar serta langkah mantap Kania.
"Sialan!" Laras mengumpat. Jika diminta menemani saja, sudah pasti Kania malas-malasan dan sering mengucapkan kata tidak mau. Tapi jika dirinya menyebut embel-embel Karel dalam kalimatnya, pasti gadis itu jadi memiliki semangat untuk menemaninya.
Kania Wijayanti, gadis remaja yang selama satu tahun terakhir ini memakai seorang Karel Pradipta. Laki-laki keren yang menjabat sebagai ketua angkatan, kapten basket dan digadang-gadang merupakan calon ketua OSIS yang pemilihannya sebentar lagi akan dilaksanakan. Bahkan sejak berita itu tersebar pun, laki-laki itu sudah memiliki banyak penggemar, apalagi jika nanti kata calon itu menghilang? Bisa-bisa Kania semakin tersingkirkan karena banyak gadis lain yang menyukai Karel dan tentunya lebih baik darinya.
Selama hampir setengah tahun dirinya menjabat sebagai siswi di SMA Bina Jaya, dirinya jelas mengetahui juga sadar, yang namanya Karel pasti tidak luput dari dayang-dayang dan salah satunya dengan berat hati kalian mengakui, Iya salah satu dari puluhan dayang-dayang itu, miris.
Padahal, selama ini kalian sudah menggunakan berbagai cara untuk mendekati laki-laki yang umurnya terpaut beberapa bulan saja dengan yang itu. Mulai dari mengikuti Karel setiap tanding basket, mengikuti karir ke kantin, mengikuti Karel main bersama teman-temannya, mengikuti karya pergi ke club' malam dengan bantuan Laras. Yang pasti, kemanapun laki-laki itu pergi, Kania pasti akan mengusahakan untuk hadir di sana.
Kenyataan jika dirinya sering dijadikan sopir dadakan juga bukan sebuah rahasia di sekolahnya. Bahkan, dirinya pernah dimintai tolong oleh laki-laki itu untuk menyiapkan surprise untuk Sania dan berita itu sudah menyebar luas ke seluruh sekolah. Kania sampai rela menjadi bahan ejekan, karena dia selalu menuruti apapun yang diminta Karel sekalipun itu untuk gadis lain. Mungkin mereka yang mengejek Kania tidaklah mengerti, setiap detik bersama Karel adalah anugerah terindah yang tidak boleh disia-siakan.
Itulah sulitnya mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Kalau saja hatinya tidak seluas daratan dan tidak sedalam samudra, mungkin setiap hari dia akan mengumpat pada laki-laki itu.
"Kania, Kania! Tahan!"Laras memukul kencang bahu Kania dengan keelingan mata yang terarah pada satu titik. " Abang Lo tuh.."
Kania terdiam, dia menghentikan langkahnya setelah Laras memaksanya untuk berhenti dan memintanya untuk menatap pada titik tersebut. Tepatnya pada titik di mana Raihan, kakaknya sedang melancarkan aksi baku hantam pada Karel.
"Sialan!"
Langkah lebar Kania berhenti seketika karena lagi-lagi harus menahannya." Lepas gak-"
"Gak!" Laras menyahut sambil berusaha sekuat tenaga menahan gadis itu." Lo gila ya?!"
"Lepasin Ras, Karel gue bisa mati nanti!" Kania mendelik sebal. Tidak masalah bukan kalau dia berkata seperti itu, jika dirinya sudah melabeli Karel sebagai miliknya? Tidak ada yang keberatan bukan?
Tetapi belum sempat Laras membalas, sekumpulan anggota khusus yang selalu dielu-elukan namanya muncul dari berbagai arah. Memisahkan dua belah pihak yang sama-sama sudah babak belur, dnegan Raden sebagai ketua angkatan diatasnya, yang berdiri di tengah-tengah kejadian. Suratan marah yang Raden keluarkan dari kedua matanya bisa Kania lihat dengan jelas. Sepertinya laki-laki yang merupakan kakak kelasnya itu sudah lelah sendiri dengan kebiasaan Raihan dan juga Karel. Dua orang yang selalu saja bertengkar jika mereka bertemu satu sama lain.
" Udah tenang kan?" Laras bersuara rendah.
Kania mengerucutkan bibirnya." Kasian Karel," lirihnya.
Laras bergidik ngeri, kemudian menghasilkan lengan Kania yang sempat dia tahan. " Najis banget dih!" Gadis itu mengumpat." Yang harusnya lo kasihanin itu Abang Lo! Jadi kena masalah lagi pasti-"
Kania menggeleng pasti, menghentikan ucapan Laras kemudian memicingkan matanya." Karel gak pernah ngajak ribut orang!" Ucapnya pasti." Raihan yang pasti banyak omong!" gerutu Kania kemudian.
"Itu Abang Lo sendiri loh, Kania!" desis Laras yang tidak terima Raihan diejek oleh Kania.
Kania termenung sesaat. Kedua matanya kembali memperhatikan Raden yang sudah berteriak dengan wajah emosinya si depan sana.
"Nyesel kan Lo sekarang, jelek-jelekin Abang Lo sendiri -"
Sebelum Laras menyelesaikan kalimatnya, Kania sudah lebih dahulu pergi. Ia menoleh pada Laras dan menatap temannya itu dengan wajah sedih." Pasti sekarang Karel kesakitan," tebaknya. Tetapi tak lama dari itu, biar kebahagiaan kembali hadirdi wajah Kania." Lo lanjut sendiri aja ya?! Gue mau ke UKS!" ucapnya dengan tatapan senangnya. Ternyata otaknya masih bisa bekerja dengan baik di siang hari seperti ini.
"Sialan!" Laras kembali mengumpat ketika Kania sudah lebih dahulu berlari kegirangan dan menjauh darinya.
____
Satu hal yang sebenarnya tidak diketahui banyak orang adalah kenyataan bahwa Kania tidak menyukai yang namanya UKS. Tidak ada alasan aneh untuk mendasari ketidaksukaannya itu. Dirinya hanya malas memiliki hubungan dengan yang namanya penjaga UKS. Secara tidak langsung dirinya menganggap itu sebagai trauma, saat dirinya masih berada di kelas satu SMP, ia pernah habis-habisan oleh penjaga UKS. Otaknya selalu menolak pernyataan bahwa semua penjaga UKS tidak pernah sungguh-sungguh menjalani tugas dan malah membuat takut mereka yang sakit. Sama seperti apa yang Kania rasakan saat itu. Jadi, mulai sejak saat itu, Kania tidak suka dengan yang namanya UKS, karena baginya tempat itu identik dengan penjaganya yang tidak pernah ramah. Tetapi kali ini, berhubung Karel terluka, maka Kania akan mengalah.
"Pokoknya kalau Karel datang, ibu susun saya aja ya!?" Kania mohon dengan semangat. Sebab itu niatnya untuk bisa menyentuh wajah Karel yang babak belur. Kesempatan tidak datang dua kali kan?
Tidak ada balasan, tetapi sebuah senyuman sudah menandakan persetujuan bukan?
Suara pintu terbuka juga keramaian yang perlahan terlihat jelas itu membuat Kania melibatkan senyumannya. Sasaran sudah mendekat. Langkahnya ia lebarkan menuju pintu UKS yang sudah menunjukkan kedatangan Karel juga temannya yang tak lain dan tak bukan adalah Fabian, yang merupakan adik dari Raden si ketua angkatan kelas dua belas.
"Eumh! Yaelah!" Fabian berseru heboh dengan tetapan menggodanya pada Kania."siap banget kayaknya neng?!" Kekehnya yang kemudian membawa Karel pada salah satu brankar di sana.
Kania terkekeh kemudian mengangguk. Ia mengeluarkan beberapa peralatan dari kotak P3K dan menyiapkan diri untuk membersihkan luka yang berhasil membuat wajah orang kesayangannya rusak.
Melihat pelipis Karel yang meninggalkan jejak luka lumayan besar membuat Kania berdesis." Raihan sialan!" gerutunya.
Fabian terbahak untuk beberapa saat." Dia itu Abang Lo, bodoh!" Sahutnya mengingatkan Kania.
Kania cemberut, ia mulai mengambil salah satu kapas yang susah diberikan obat merah diatasnya dan kemudian mengulurkan tangannya untuk menjelajahi wajah tampan Karel.
"Jangan sentuh gue!" Karel lebih dulu berseru. Tatapan dingin juga suara tajamnya berhasil membuat sisa tawa Fabian menghilang.
"Tapi, luka lo-"
"Gue bisa minta bersihin muka gue sama yang lain!"
Susah payah Vania menelan salivanya. Senyumnya tetap berusaha ia tampilkan, tetapi tangannya perlahan kembali ke tempat semula, yaitu terdiam di atas kotak P3K itu. "Tapi nanti infeksi-"
"Karel!"
Suara yang sangat Kania kenal, ia menghembuskan nafasnya pelan. Tangannya berubah menjadi gemetar, Fabian yang berada di sampingnya pun jadi merasa tidak enak dengan keadaan ini.
"Kenapa?" Sania, gadis yang baru saja muncul memasuki ruang UKS itu membuat Kania mundur perlahan.
Kania tersenyum getir. Tanpa halangan, Sania bisa dengan mudah mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah Karel, berbicara sedekah itu dan diam di posisi itu untuk waktu yang lama. Tidak ada sedikit pun omelan atau larangan dari mulut laki-laki itu. Memangnya kenapa dengan tangannya? Kenapa laki-laki itu melarangnya untuk menyentuh wajahnya?
"Haduh-" Fabian mendengus kesal." Gedek juga gue punya temen begini!" gerutunya yang kemudian membawa Kania menjauh dari sana. Langkahnya berniat untuk membawa gadis itu keluar dari UKS. Mungkin dia tidak mengerti tentang percintaan, tapi ia akan tetap menyadari bagaimana rasa sakit hati Kania saat ini. Belum lagi kenyataan bahwa Kania menyukai Karel secara terang-terangan dan hal itu juga diketahui seluruh murid bina jaya. Bukankah Karel keterlaluan?
Langkah mereka terhenti, ketika pintu UKS lebih dulu terbuka dari luar dan menunjukkan seorang Raihan yang datang bersama Raden. Senyum Raden yang awalnya mengembang perlahan meredup bersamaan dengan kedua matanya yang mendapati Kania berdiri dengan ekspresi tak terbacanya itu.
"Kania, itu kamu nggak mau ngobatin kakak kamu?" Suara penjaga UKS yang kembali mendominasi ruangan berhasil membuat keheningan. Kania saling beradu tatap dengan Raihan, sementara Raden dan Fabian meneguk Saliva mereka.
"Dia bukan anak kecil yang masih harus diobatin kok, Bu!" Kania membalas ucapan penjaga UKS itu dengan tenang tanpa mengalihkan kedua matanya dari Raihan. Ia kembali melangkahkan kakinya, melewati Raden yang sudah lebih dulu menyingkir dan memberikan jalan lebar untuknya.
Untuk masalah yang sudah menyangkut dua kakak beradik itu, siapa juga tidak akan ada yang berani maju. Entah siapa yang benar atau salah di dalam hubungan itu, tetapi anak Bina jaya tidak pernah ada satupun yang berani memasuki kehidupan mereka. Hubungan kakak beradik yang terlalu rapat dan selalu menjadi misteri bagi anak-anak di sekolah itu.
Samar-samar, Karel yang tertutupi dengan tirai berwarna putih itu masih dapat melihat bayangan kepergian Kania di sana. Terkadang ada rasa penasaran yang muncul di benaknya, tetapi kadang juga rasa penasaran itu hilang bersama dengan setiap detik yang menghampirinya.
"Kamu lagi ngapain sih?!"saya menempelkan sebuah plester pada pelipis Karel dengan menatap laki-laki itu gemas. Tahu hobi Karel apa? Yaitu membuat Sania jantungan, ya itu hobinya.
Karel terkekeh. "Kamu tenang aja, aku gak sakit kok."
"Aku gak nanya kamu sakit atau gak!" Sania mendengus. " Aku tanya kamu lagi ngapain.
Bukannya menjawab, karya hanya memberikan senyum tipisnya. Laki-laki itu memajukan wajahnya, mendekat pada Sania yang terkesiap akan perlakuannya itu.
"Makasih ya!" Raja berucap seraya mencubit gemas hidung Sania, kemudian berlalu meninggalkan gadis itu.
Sejauh ini, hubungannya dengan Sania bisa dibilang tidak jelas, tetapi bukan sebatas pertemanan juga. Yang pasti, Karel sedang memiliki tugas untuk menjaga Sania, itu intinya.
Keadaan meja makan tidak akan pernah berubah. Itu yang Kania yakini sejak dirinya menginjak kelas satu SMA. Tempat di mana seharusnya ia merasa sebuah kepercayaan bisa dia pegang dengan kuat. Tempat di saat dirinya bisa merasakan kebebasan dunia seperti yang Raihan rasakan selama ini.
"Kak Kania, aku mau tambah nasinya."
Suara pelan yang keluar dari bocah berumur depalan tahun itu membuat lamunan Kania buyar. Ia mengangguk dengan senyuman, kemudian menyendokkan satu centong nasi ke dalam piring adiknya itu.
"Raihan belum pulang, pah?"
Farhan, pria yang susah berkepala empat itu menggeleng. Ia mengambil piring ya, kemudian duduk di meja makan, tempat di mana biasanya kepala keluarga duduk tenang dan dilayani oleh istri serta anak mereka.
"Masih main kayaknya dia ya?" Mamanya itu kembali menebak.
Rachel menghela napasnya, kemudian menyiapkan nasi kedalam mulutnya dan mengunyahnya pelan.
"Pa, ma..." Ia bersuara pelan. Kania mendongakkan kepalanya menatap pada dus orang yang sudah memberi tatapan bertanya padanya." Besok Kania boleh main?"
"Ke club' lagi?!" Elia, mamanya sudah lebih dulu meninggikan suaranya sebelum Kania menyebutkan ke mana ia akan pergi besok.
"Eng-"
"Kamu itu sudah SMA, Kania! Fokus dengan sekolah! Nilai kamu masih cewek begitu banyak maunya!" Elia kembali bersuara tajam.
"Cari kerja, Kania! Belajar mencari uang sendiri, supaya kamu tahu susahnya hidup kalau kamu hanya tahu main saja!"
Kania mendesah, kemudian mengangguk pasrah. Padahal beberapa detik yang lalu Elia baru saja memaklumi ketidak-hadiran Raihan di meja makan, karena laki-laki itu masih sibuk main di luar sana. Atau mungkin Kania pergi saja tanpa izin?
Beginilah kehidupan Kania, hidup sebagai anak tengah yang memiliki kakak juga adik laki-laki. Menjadi satu-satunya anak perempuan yang selalu diibaratkan oleh banyaknya harapan orang tua padanya. Tetapi di saat semakin banyak harapan, di saat itu juga dirinya merasa tertekan. Kemampuannya dengan apa yang diharapkan tidak pernah seimbang dan selalu berimbas pada hatinya yang menanggung beban berat kala mulut pedas mamahnya menyahut atau bahkan lemparan barang-barang yang membuatnya kesal sendiri.
Dan inilah Kania, gadis yang hanya bisa melampiaskan kekesalannya pada sebatang rokok atau bahkan minuman beralkohol. Kehidupannya tidak semewah gadis-gadis di luar sana, tetapi tidak juga sesulit itu sampai membutuhkan sebuah perhatian lebih. Dia bisa hidup dengan beberapa kemewahan juga kesusahan, anggap saja dia hidup dengan cukup saat ini.
Ia adalah gadis yang harus belajar untuk melebarkan hati sejak delapan tahun yang lalu, tepatnya saat adik laki-lakinya hadir di dunia ini. Jujur, ia akan selalu menyesal karena Tuhan memberikan anugerah itu kepada kehidupannya. Tetapi mengingat itu adalah sebuah anugerah, maka ia akan berusaha membuka lebar hati untuk Rian adiknya.
Di dalam keluarganya, bukan Raihan atau Rian yang dingin, melainkan Kania. Gadis yang selalu merasa lelah dengan kehidupannya, sampai-sampai dia tidak bisa disentuh oleh siapapun. Bahkan Raihan pun tidak berani mengajak bicara Kania jika itu bukan sesuatu yang penting.
Suara ketukan pintu dibarengi dengan sebuah salam dan pintu pun terbuka membuat Kania mengalami nafasnya. Ketidakadilan akan dimulai dalam beberapa detik dari sekarang, pikirnya.
"Baru pulang, bang?" Elia bersuara rendah. Wanita itu meninggalkan meja makan untuk menghadiri putra sebelumnya itu dan membantu laki-laki yang satu tahun lebih tua dari Kania itu untuk apa segala atribut sekolahnya.
Raihan mengangguk.
"Abang lapar gak?"
"Abang udah makan."
Elia mengangguk." Jangan berantem lagi, bang. Emang nggak sakit itu wajahnya?" Wanita itu terlihat khawatir. Jangan heran mengapa dirinya santai dengan luka-luka di wajah Raihan, karena siang tadi Raihan sudah mengirimnya pesan juga foto wajah Bapak blurnya itu.
"Ya sudah kamu mandi sana, terus istirahat."
Begitulah indahnya kehidupan menjadi anak sulung di keluarga kecil ini. Serasa seperti raja yang memiliki kekuasaan.
Elia kembali duduk di tempatnya. Wanita itu kembali menggenggam sendok dan garpunya beberapa saat sebelum kembali menjatuhkannya dan membuat kebisingan di meja makan.
"Kania!" Elia menyentak.
"Kamu bisa nggak sih Jadi adik yang benar?! Abang kamu babak belur kayak gitu bukannya kamu obatin malah kamu pergi ninggalin dia!"
Kania memejamkan kedua matanya, ternyata Raihan juga menceritakan bagian itu.
"Abang bukan anak kecil-"
"Berani melawan kamu ya?!"suara Elia kembali naik satu oktaf.
"Gimana kamu mau jadi contoh yang baik buat Ryan kalau kelakuan kamu aja kayak gini?!"
Farhan mendesah pelan." Rian, makanya dilanjut nanti nggak papa?" Tanya ya kemudian mengajak putra kecilnya itu untuk naik ke lantai dua rumahnya.
Kania terhenyak. Seandainya mulutnya mampu mengeluarkan sepatah kata saja, mungkin Dia sudah menjadi Kania yang baru. Tetapi berhubungan lidahnya kembali keluh saat mendengar suara tajam dan menusuk itu, tandanya dia masih jadi Kania yang sama.
"Kamu tuh bisanya apa sih, Kania?!"
Kedua matanya mulai terasa panas juga basah. Kania paling benci kalah dirinya tidak bisa membalas semua ucapan itu. Ia benci ketika rasa sesak itu lebih kuat dibandingkan rasa ingin nya untuk memberontak dan membalas.
"Ulangan minggu depan kasih lihat mama semuanya! Kalau ada satu nilai yang merah! HP kamu mamah sita!"Elia berucap tajam kemudian hilang di balik tembok anak tangga.
Pembicaraan malam ini selesai, selesai dengan memberikan rasa sesak yang baru yang membuat Kania kacau dengan pikirannya lagi dan lagi.
____
"Karel kampret!" Fabian kembali memakai kemudian melempar sepatu putihnya supaya terarah pada Karel yang baru saja berlari menjauh darinya.
Sejujurnya, Fabian lelah menjadi teman juga sepupu dari Karel, laki-laki dengan sifat dingin yang seringkali memuji iman. Sejujurnya tidak masalah jika hanya dingin. Tetapi kalau dinginnya Karel disatukan dengan kejahilan dan tidak mau di salahkan, rasanya Fabian ingin menyudahi hubungannya dengan Karel sebagai sepupu.
Seperti barusan contohnya, gimana tanpa berperasaan Karel melempar kunci mobilnya ke tengah kolam renang yang berada di rumah laki-laki itu. Jika saja dirinya tidak berpakaian rapi, mungkin dirinya akan mengalah dan memilih berenang malam-malam. Tapi mengingat setelah ini ia akan pergi ke sebuah klub bersama Karel dan juga Raden, jadi dia mengurungkan niatnya.
"Bangsat!" Makinya lagi, kemudian memilih beranjak dari halaman belakang yang sangat teramat luas itu.
Hari ini memang sudah dijadwalkan untuk mengadakan makan malam keluarga yang berkesinambungan bagi keluarga mereka dan itu adalah alasan mengapa Fabian berada di kediaman Karel.
"Kamu dari mana, Fabian?"
Suara berat yang muncul dari belakang setelah kakinya menapak pada lantai marmer mewah itu membuatnya memutar badannya. Pria dengan balutan kaos hitam yang baru saja bertanya itu berjalan mendekat ke arahnya.
"Om, Karel!" Keluhnya bersuara seperti anak kecil." Kunci mobil aku dilempar-"
"Ke kolam renang lagi?"tebak pria yang berusia empat puluh tiga tahun itu.
Fabian mengangguk pasti." Beneran deh ya ,Om! Kalau besok aku bakar mobil sia jangan marah ya!" gerutunya.
Praja-pria itu terbahak mendengar penuturan anak dari sepupunya itu." Nanti Om marahin ya, Fabian. Kamu pakai mobil Om dulu aja kalau mau pergi-"
"Serius om?" Kedua mata Fabian berbinar seketika.
Praja mengangguk." Mau yang mana?"
"Yang kuning aja om, boleh?"
Praja kembali terkekeh dan mengangguk." Boleh, hati-hati ya!"
"Asik! Makasih banyak om!" Fabian berseru heboh." Sering-sering deh si Karel aku suruh lempar kunci mobil ke kolam renang!"ujar Fabian bercanda, dan sukses malah ngundang gak ketawa Praja.
"Enak ya!" Karel yang kembali hadir dari arah lain itu bersuara sinis."anaknya sendiri kalau mau minjem aja banyak banget alasannya." Ujar Karel sarkastik.
Seperti yang selalu dikira oleh orang lain, beginilah asyiknya kehidupan keluarga mereka. Tertata, tanah dan penuh dengan keceriaan. Pertengkaran memang selalu terjadi, tetapi itu hanya sebatas beradu. Tapi jika yang selalu terjadi pada Karel, itu adalah dengan pribadi yang sama-sama dirasakan dua remaja yang terkait.
"Muka kamu tuh benerin! Seneng banget sih berantem, heran!" Praja balik mengomel."Kalau kamu ketahuan Mama, kelar udah!"
Karel memandikan bahunya tidak peduli."Mamah juga udah tahu kok," akunya dengan enteng." Kalau papa ketahuan sama mama berbuat tidak adil, papa juga kelar tuh!" Balas Karel balik mengancam papahnya dengan angkuh.
"Udah Fabian, mobilnya buat kamu aja!" Praja berseru di detik selanjutnya. Biarkan saja jika Karel meraung nantinya, siapa juga yang menyuruh laki-laki itu bertindak angkuh pada dirinya yang berstatus sebagai ayah kandung dari laki-laki itu.
"Beneran om?!" Fabian heboh sendiri.
Tidak sesuai ekspektasi Praja, di mana dirinya mengira Karel akan marah atau bahkan memohon padanya. Yang terjadi justru selanjutnya Karel malah beranjak dari tempatnya, tidak peduli dengan apa yang terjadi barusan. Sepertinya tidak ada satupun anggota keluarga mereka yang pernah memiliki sifat sedingin Karel seperti ini. Lantas dari mana Karel mendapatkannya?
"Gak jadi deh." Praja menyahut dengan cepat. "Minta aja mobil baru sama papa kamu." lanjutnya dengan senyuman lebar. Tidak peduli jika pada kenyataannya Fabian mencebik sebal.
"Om pemberi harapan palsu!" Fabian menggerutu.
Praja terkekeh." Kamu pinjam aja, kembalikan ke sini semau kamu.." pria itu menghentikan ucapannya sejenak." Asal jangan tahun depan!" Udah pada memperingati Fabian.
"Siap om!"
Bukan kak asik menjadi bagian dari keluarga mereka? Kekayaan yang tidak terhingga, keluarga yang bisa memberikan rasa nyaman dan seperti rumah pada umumnya. Tentu saja hal itu selalu menjadi dambaan orang lain.
"Raden di mana, Yan?" Kini Praja bertanya.
"Di depan sama papa."
Praja mengangguk, kemudian melangkahkan kakinya dengan pasti menuju halaman depan rumahnya. Dulu setiap makan malam yang direncanakan keluarga mereka adalah ajaran mewah yang mengundang banyak tamu. Tetapi sekarang, acara seperti itu sudah jarang terjadi dan lebih sering mengadakan acara makan malam khusus keluarga inti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!