"Sepertinya beberapa hari lagi mereka akan buka", Akita menelisik bangunan di seberang jalan. Blok dengan huruf-huruf besar bertuliskan "Trattoria Crescente" sedang dipasang oleh dua orang lelaki. Mereka terus-menerus berdebat dalam bahasa Italia, entah tentang apa.
"Ya, kelihatannya memang begitu. Apa yang mereka jual ya? Trat..to..ria? Makanan apa itu?", Abe mengerutkan dahi sambil besedekap. Wajah bulat dengan brewok pendek membuatnya tampak seperti tokoh antagonis yang tengah mengamati musuhnya.
"Mungkin bukan itu yang mereka jual, tapi crescente. Crescente.. bulan sabit? Apa yang berbentuk bulan sabit?", kini Akita yang dahinya mengerut.
"Croissant? Apa itu yang mereka jual?", Abe tak yakin.
"Bukankah croissant dari Perancis? Mengapa rumah makan Italia malah menjual roti Perancis? Rasanya tak mungkin. Pasti ada makanan Italia yang bentuknya juga seperti bulan sabit", Akita sudah menyimpulkan, dan sepertinya Abe setuju.
"Aku keluar dulu, mau memeriksa pesanan telur dan ikan. Kalau Ryuu sudah turun, minta dia membereskan sake dan bumbu yang baru sampai", Abe hanya mengangguk menerima perintah bosnya.
Akita berjalan keluar dari kedai miliknya. Ia masih menatap bangunan di depan sampai lehernya tak mampu lagi menuruti keinginan matanya. Sebuah rumah makan Italia, apakah akan menjadi masalah untuk kedai ramen dan sushi nya?
Dia harus mengakui kalau penduduk kota New York lebih dulu akrab dengan makanan Italia ketimbang Jepang. Tapi selama dua tahun belakangan, kedai nya cukup ramai pembeli seiring makin populernya berbagai makanan yang berasal dari negeri sakura.
Tiga tahun lalu, ia merantau ke sini untuk mencoba peluang di bisnis kuliner. Atau untuk lari dari ayahnya? Entahlah, mungkin keduanya. Tapi yang jelas ia lebih merasa nyaman dengan lingkungan di sini.
Apakah dia tak menyukai tanah kelahirannya? Tak mungkin. Jepang adalah negeri terindah di dunia, dan kecintaannya tak perlu diragukan. Hanya saja hidup di lingkungan keluarga seperti yang dia miliki, membuatnya gerah, tak nyaman, seolah seperti duri yang menusuk di telapak kaki. Meskipun kecil, tiap berjalan sakitnya pasti akan terasa mengganggu. Bila dibiarkan, akan menjadi infeksi yang menggerogoti dan semakin membuat menderita.
Karena itulah Akita memutuskan untuk mencabut duri itu, agar langkahnya terasa ringan dan lapang. Tapi tentu saja bekasnya tak bisa hilang begitu saja. Karena terkadang pohon induknya masih menyebarkan duri-duri di sekitar Akita, karena itulah ia harus tetap menata langkahnya dengan hati-hati.
Memasak adalah sebuah dunia dimana ia merasa nyaman. Itulah yang membuat ia memutuskan untuk masuk sekolah kuliner khas Jepang. Makanan adalah salah satu hal indah yang bisa ia temui di rumah, selain ibunya, yang mengenalkan dia pada berbagai jenis sajian. Dialah yang menjadi pusat dunia Akita, bagai musim semi di gurun pasir.
Sayangnya musim semi itu telah berlalu dan tak akan pernah kembali lagi. Akita merasa dahaga, harus pindah demi mengobati rasa haus akibat kehilangan. Meski untuk itu, dia harus menerima murka sang ayah yang terlanjur menganggapnya pembangkang. Tak salah memang, karena setiap kepala di keluarga itu berpegang teguh pada sistem, dan dia satu-satunya yang melepaskan diri.
Tapi semurka apapun ayahnya, tetap saja ia tak keberatan memberikan modal usaha untuk Akita. Tentu dengan disertai ceramah beruntun yang harus didengar Akita sekuat tenaga.
Tak apalah, semua telah terjadi. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah memeriksa setiap salmon dan telur di hadapannya dan memastikan semuanya sesuai standar.
"Kudengar ada kedai baru di dekat milikmu. Apa betul?", tanya Jimmy si penyedia barang.
"Tepat di depan kedaiku. Bahkan kalau kau berjalan lurus dari pintuku menuju ke seberang, kau akan langsung berhadapan dengan pintu masuk mereka", ucap Akita sambil mengeluarkankan uang dari dompetnya.
"Tolong kau antar secepatnya. Jangan sampai seperti kemarin, sudah kurang segar".
Jimmy mengacungkan jempolnya lalu memanggil seseorang untuk mengantarkan pesanan Akita.
Saat kembali ke kedainya, ia melihat kedua lelaki yang memasang blok huruf masih saja berdebat. Sepertinya pekerjaan mereka akan berlangsung lama karena tangan mereka malah digunakan untuk berdebat. Ya.. begitulah orang Italia, tak afdol kalau bicara tanpa gerak tangan.
"Apa Ryuu sudah turun?", Akita menuju ke dapur untuk membantu Abe menyiapkan bahan makanan.
"Sudah, sepertinya dia sedang mengerjakan yang kau suruh", Abe menyerahkan sendok pada Akita.
Akita mengangguk-angguk setelah mencicipi kuah ramen yang sudah disiapkan Abe.
"Sepertinya kau sudah bisa menggantikanku membuat kuah", Akita tersenyum.
Sementara Abe matanya berbinar, hasil kerjanya mendapat apresiasi dari bosnya.
"Aku masih penasaran dengan kedai di depan. Apa tidak masalah kalau aku sedikit menyelidiki mereka?", tanya Abe.
Akita terkekeh.
"Bagaimana kau mau menyelidikinya? Berjalan ke sana lalu berbincang dengan dua orang yang sedang berdebat itu?", Akita kemudian keluar dari dapur, penasaran dengan kedua orang yang tadi dia sebut. Setelah itu dia kembali lagi ke dapur.
Akita kembali terkekeh.
"Mereka masih melakukannya", ucapnya pada Abe.
"Apa? Sampai kapan? Kalau begitu caranya, bisa-bisa tahun depan kedai mereka baru bisa buka".
Mereka berdua kemudian sama-sama terbahak.
Abe tergopoh-gopoh menuju dapur untuk menemui Akita.
"Ninja! Ada ninja di sana!", seru Abe dengan mata melotot.
Akita malah bingung.
"Ninja apa? Dimana? Kau tidak mabuk kan?", Akita memeriksa wajah Abe dengan seksama.
"Aku tidak mabuk! Ada ninja di kedai seberang. Kau lihat saja sendiri!", Abe jadi kesal karena tuduhan Akita.
Akita yang menganggap ucapan Abe di luar akal segera menuju pintu depan.
Di seberang, tepatnya di depan pintu masuk kedai itu tengah berdiri sesosok bayangan hitam yang hanya terlihat matanya. Tangannya memegang pulpen dan buku catatan, sepertinya tengah memberi instruksi pada pekerja yang masih melakukan finishing pada bagian depan kedai itu.
"Itu bukan ninja. Itu pakaian orang Arab, apa kau tidak pernah melihatnya?", Akita mendelik pada Abe. Dia ternyata benar, pikiran Abe tak masuk akal.
"Ah.. iya, kau benar. Hanya saja aku belum pernah melihatnya secara langsung. Oh, lihat itu. Mereka bahkan menempelkan tulisan Arab di jendela kaca mereka", Abe menemukan kejanggalan lainnya.
Akita melihat arah yang ditunjuk Abe.
"Jadi sebenarnya, itu kedai Italia atau kedai Arab? Aku benar-benar tidak mengerti", Abe meringis karena bingung dengan kenyataan yang dilihatnya.
"Itu logo halal, artinya produk yang mereka jual bebas dari bahan yang dilarang untuk dikonsumsi orang muslim atau yahudi", terang Akita pada Abe yang memang terbilang lugu tentang hal seperti itu, tapi tidak dengan kemampuan memasaknya.
Matanya masih mengamati ninja tadi. Dilihat dari sikap dan gelagatnya, hampir bisa dipastikan kalau dialah pemilik, atau paling tidak pengelola kedai itu. Ya, dia lah orang yang patut Akita waspadai.
"Wanita itu sepertinya pengelola kedainya. Apa kau pernah melihat dia sebelumnya?", tanya Akita.
Abe menatap heran pada Akita.
"Kalau aku pernah melihatnya, apa mungkin reaksiku seperti tadi?"
"Aku pernah melihatnya", Ryuu tiba-tiba sudah berada di belakang mereka, bahkan Akita dan Abe sampai terkejut dibuatnya.
Pemuda yang satu itu memang sudah seperti makhluk gaib, datang dan perginya kadang sulit terdeteksi.
"Biasanya ia datang agak larut malam saat kalian sudah pulang, bersama seorang wanita lainnya".
Akita dan Abe mengangguk-angguk, kemudian kembali mengawasi target mereka.
Tiba-tiba wanita itu menatap ke arah kedai mereka. Bahkan tepat di tempat dimana ketiganya berdiri dengan posisi mengintip. Mereka langsung panik dan berusaha membubarkan diri. Namun sayangnya, tubuh besar Abe malah membuat Akita menabraknya dan alhasil pelarian mereka sempat terekam oleh mata yang berada di seberang jalan.
"Mampus kita! Apa dia sempat melihat kita?", wajah Abe masih terlihat panik.
Mereka bertiga sekarang berada di dapur dengan nafas tersengal.
"Entahlah, semoga saja tidak. Kalau iya, itu akan sungguh memalukan", Akita menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menyesali perbuatan konyol mereka.
"Ia melihatnya. Wanita itu melihat kita", Ryuu menatap kosong.
Abe dan Akita menatap ngeri pada Ryuu.
"Kau, serius?! Bagaimana kau bisa yakin?", Akita merasa perlu mencari tahu, kekhawatirannya harus mendapatkan kejelasan.
"Aku bisa merasakannya", sahut Ryuu dengan tatapan seolah tengah menerawang sesuatu.
Akita dan Abe melengos. Makhluk yang satu ini memang langka, tapi sepertinya tak perlu dilestarikan.
"Sudahlah, anggap saja ia tidak melihat kita", mereka bertiga lalu membubarkan diri untuk kembali ke pekerjaannya masing-masing.
*******
"Apa kau tahu kapan kedai di seberang mulai buka?", tanya seorang pelanggan yang duduk di kursi bar di hadapan dapur saji.
"Oh, itu.. Maaf, saya belum tahu. Tapi sepertinya tidak lama lagi", sahut Akita sambil meracik ramen untuk pelanggan itu.
"Sepertinya mereka menjual menu Italia kan? Anak-anakku sudah tidak sabar ingin ke sana. Kau tahu, anak-anak memang sangat suka dengan pizza dan pasta. Mereka bahkan tak keberatan kalau harus makan itu setiap hari", ucap pelanggan itu lagi yang membuat Akita meringis dalam hati.
Bagaimana tidak, belum buka saja sudah ada calon pelanggan yang sudah bersemangat ingin mengunjungi kedai itu. Anak-anakku? Berarti ada lebih dari satu kan? Dan tentu saja mereka akan diantar oleh orang tuanya. Sedangkan pelanggan di hadapannya ini selalu sendiri bila mampir ke kedainya, tak pernah bersama anak dan isterinya. Sepertinya mereka tak menyukai masakan Jepang.
Bagaimana ini? Kedainya tengah terancam oleh saingan yang sepertinya cukup berat. Akita harus mulai memikirkan solusinya.
Pandangannya kemudian mengarah ke pintu masuk. Akita terperangah dan langsung melihat pada Abe yang sama terkejutnya dengan dirinya.
Wanita berkostum ninja dari kedai seberang tengah berjalan menuju spot pemesanan. Wanita yang bertugas di situ menyimak dengan serius ucapannya kemudian mengangguk. Namun wajah ragunya yang kini menatap pada Akita menampakkan kalau ia sedang bingung.
"Chef, wanita itu mau memesan sushi, tanpa saus. Bagaimana?", tanya petugas itu.
Akita kemudian melihat pada wanita yang dimaksud. Dan di saat yang sama, wanita itu juga menatapnya namun langsung berpaling ke arah lain.
"Lalu, apa masalahnya? Kenapa kau terlihat bingung begitu?", sahut Akita.
"Dia mau memesan 50 porsi, dan minta disiapkan dua jam lagi", sahut orang itu meringis.
Akita tentu saja kaget. 50 porsi? Dan harus siap dalam dua jam?
Akita menghela nafas, lalu bicara pada Abe dan juga Ryuu yang jelas juga kaget. Setelah itu..
"Baiklah, katakan padanya akan kami siapkan".
Akita kemudian memanggil beberapa orang karyawannya. 50 porsi bukan hal mudah. Mereka perlu menyiapkan bahan, mengolah dan mengemasnya. Dan semuanya harus selesai dalam dua jam.
Setelah diberitahu tentang kesanggupan mereka untuk menyiapkan pesanannya, wanita itu mengangguk lalu melakukan pembayaran sebelum akhirnya berlalu keluar kedai.
Selama menyiapkan pesanan itu, pikiran Akita terus berputar. Mengapa dia memesan sebanyak itu padanya? Apa karena merasa tidak enak karena akan menjadi saingan? Atau... Ah.. bagaimana kalau dia sedang menguji kemampuan Akita dan teman-temannya dalam mengelola kedai, terutama dalam kepiawaian menyiapkan pesanan dalam jumlah banyak. Tentu saja! Dengan begitu kemampuan dirinya akan mudah terbaca oleh musuhnya. Benar-benar licik!
Tidak, itu tidak benar. Terlalu berlebihan. Yang benar adalah cerdik. Dan Akita sudah merasa kalah satu langkah bahkan sebelum bertanding.
Dua jam hampir berlalu, dan wanita itu kembali mendatangi kedai Akita.
"Sebentar lagi siap, berikan dia beberapa cemilan selama menunggu", perintah Akita pada karyawannya.
Sepiring mochi sudah disodorkan ke hadapan wanita itu. Akita memperhatikan perilaku rivalnya diam-diam. Terlihat wanita itu melihat sajian di hadapannya sebentar. Mengambil satu, kemudian dengan hati-hati menyibak penutup wajahnya untuk menggigit makanannya.
Eh, apa itu di matanya? Sinar takjub kah? Bahkan mata itu kini berkedip-kedip sambil memandang sisa mochi di tangannya. Beberapa detik kemudian, ia kembali menyuap seluruh sisa mochi itu. Apakah dia menyukainya?
Hah.. wajahnya.. Akita jadi tak bisa melihat ekspresi wanita itu. Tapi ia hampir yakin kalau wanita itu memang menyukai cemilannya.
Kini wanita itu berdiri untuk menghampiri satu-satunya karyawan wanita yang sedari awal jadi perantara antara dirinya dan Akita.
Dia berbicara sebentar yang ditanggapi karyawan tersebut dengan anggukan mantap.
"Chef, dia mau memborong seluruh sisa mochi yang ada".
Aha! Dia jelas menyukainya. Siapa yang bisa menolak kelembutan nan manis seperti mochi. Apalagi yang berasal dari kedainya.
"Tentu saja, tolong kau bantu kemas dengan rapi", ujar Akita yang kini merasa langkahnya kembali sejajar dengan saingannya.
********
Di sisi jalan depan kedai seberang telah berjejer beberapa mobil. Sedari tadi yang terlihat keluar dari mobil-mobil itu, memakai pakaian yang hampir sama. Baju tertutup yang dilengkapi penutup kepala. Sebagian bahkan memakai penutup wajah seperti wanita pengelola kedai. Ada juga beberapa yang membawa anak kecil ke sana. Apa ada yang ulang tahun?
Rupanya itulah orang-orang yang akan memakan sushi yang tadi dipesan. Mengapa mereka memesan sushi? Mengapa tidak menyiapkan sendiri makanan mereka, menu Italia misalnya?
Akita sendiri tak habis pikir, tapi kemudian ia memutuskan untuk tak lagi memusingkan hal itu. Pekerjaannya masih banyak dan harus segera diselesaikan.
********
Akita bersandar santai di sofa sembari mengelus seekor kucing berwarna kuning keemasan. Dia mendapatkannya waktu kedainya baru dibuka, saat kucing itu masih kecil. Tora, begitu nama yang dia berikan, selalu singgah di kedainya setiap pagi. Awalnya hanya sebentar, dan itu tidak terlalu mengganggu. Tapi lama kelamaan, ia semakin betah dan tak mau pergi.
Akita meminta Ryuu untuk memeliharanya di lantai dua, tempat dimana Ryuu tinggal. Tapi Ryuu menolak mentah-mentah. Dia mengatakan kalau dia tak suka kucing karena binatang itu bisa menghalangi cakranya. Mengada-ada, dan Akita akhirnya tahu alasan sebenarnya setelah Abe memberitahunya. Ryuu takut kucing! Itu saja.
Terpaksa ia bawa pulang ke apartemennya, dan setiap hari dititipkan pada tetangga seberang yang sangat tidak keberatan. Mereka sudah memiliki tiga kucing, jadi tambah satu lagi juga tak masalah.
Terdengar panggilan dari ponselnya. Ayahnya, Kazuki sedang menghubungi lewat panggilan video.
"Halo ayah, bagaimana kabarmu?", Akita berbasa-basi.
"Ayah merasa hebat, karena punya anak yang bisa diandalkan sepertimu", sindir Kazuki.
Akita melengos..
"Tuan Nakata masih sering menanyakanmu. Aku jadi malu dibuatnya. Apa yang harus kuceritakan tentangmu? Seorang penjual ramen?", sindiran yang sama setiap kali mereka bicara.
"Sampaikan saja salamku padanya. Aku baik-baik saja di sini", sahut Akira, malas menanggapi sindiran ayahnya.
"Ayumi juga menanyakan mu".
Akita menunduk. Apalagi sekarang? Akita mencium sesuatu yang tak mengenakkan dari kalimat itu.
"Kau tahu kalau Tuan Nakata sudah menyerah dengannya. Hanya kau yang bisa ia terima", lanjut Kazuki.
"Gadis itu terlalu dimanja oleh kakeknya, dan terbiasa mendapatkan apa yang dia mau. Ayah tahu sendiri, kalau aku menyetujuinya sama artinya aku kembali ke belakang. Aku tak bisa ayah, hidupku di sini dan aku bahagia dengan ini".
Kazuki mengusap kasar wajahnya.
"Baiklah, akan kucoba menawarkan Heiji. Lagipula dia jauh lebih tampan darimu", Kazuki langsung memutus panggilan.
Akita melotot demi mendengar kalimat terakhir ayahnya. Apa?! Bagaimana bisa dia berkata seperti itu pada anaknya sendiri. Walaupun itu memang benar, tapi tetap saja salah. Akita merasa harga dirinya turun beberapa tingkat, dan itu oleh ayahnya sendiri.
Dilemparnya ponsel itu ke dudukan sofa. Kembali dia menyandarkan tubuhnya untuk melanjutkan kegiatannya tadi. Mengelus Taro sambil menonton anime favoritnya. Ck, apa tadi ceritanya? Dia sudah melewatkan banyak adegan gara-gara panggilan ayahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!