BRAK!
Suara pintu yang di dorong dengan kasar mengagetkan seorang wanita yang berada di dalam ruangan itu.
"Kau sudah sadar rupanya!" hardik pria tersebut.
Delisa menoleh ke sumber suara, nampak sosok pria berpostur tubuh tinggi tegap, hidung lancip beserta mata elang yang gelap dengan bibir tipis kemerahan. Dia adalah Albert Halston Xanders.
Kini pria itu tengah duduk di sofa bed sambil menyilangkan kedua kakinya dengan sebuah botol wine di tangan kanan nya.
"Hahahaha, kenapa kau menatapku seperti itu?" Albert beranjak lalu berjalan mendekat ke arah Delisa.
Delisa yang melihat Albert mendekatinya, dia mencoba untuk menggerakkan badan nya untuk melawan Albert. Namun, sayang kedua tangan dan kakinya saat ini sedang terikat membuatnya tak mampu untuk berbuat lebih.
"Tuan, tolong jangan siksa diriku!" ucap Delisa ketakutan mengingat tadi malam pria tersebut menamparnya. Bahkan mencambuknya tanpa ampun hingga meninggalkan bekas luka di punggung mulus Delisa.
"Heh' asal kau tahu, tidak akan ada yang bisa menolong mu di sini!" tegas pria itu sambil mencengkeram kuat pipi Delisa.
"S-sakit, kumohon lepaskan," ucap Delisa terbata sembari menahan rasa sakit di pipinya.
Butiran kristal pun mengalir deras membasahi wajah cantiknya merasakan sakit akibat ulah pria tersebut. Tangan besar nya terus mencengkeram kuat pipi Delisa membuat wanita itu meringis kesakitan. Sungguh Delisa tidak suka dengan takdirnya saat ini. Kenapa dia bisa menikah dengan pria yang sangat kejam seperti ini?
PLAK!
Tamparan keras mendarat di pipi mulus Delisa, darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
"Aku sangat muak melihatmu! Semakin melihatmu maka ingin sekali aku terus menyiksamu."
PLAK!
Satu tamparan kembali melayang di pipi Delisa, kemudian pria itu melangkahkan kakinya keluar dari arah kamar.
"Jaga dan awasi wanita itu dengan baik, jangan sampai dia kabur. Jika itu terjadi maka nyawamu lah yang akan jadi taruhan nya," kecam pria itu menyorot tajam pada sosok wanita parubaya yang ada di hadapan nya.
"Siap Tuan." Wanita paruh baya itu mengangguk mengiyakan setiap perkataan yang terlontar dari mulut pedas majikan nya.
Hati Delisa merasa teriris oleh belati tajam yang membuat dadanya sesak mengingat perlakuan kejam pria itu. Selain itu Delisa sangat bingung, dia tidak tahu alasan kenapa pria itu menculiknya. Dan berakhir dirinya menjadi istri dari pria kejam itu.
Tak henti-hentinya buliran bening keluar dari ujung ekor matanya. Delisa masih tidak terima dengan nasib yang tengah menimpanya saat ini. Dia di paksa menikah oleh pria yang sama sekali tidak dia kenal. Seketika bayangan dimana dirinya yang masih bersama kakaknya terlintas begitu saja di kepalanya.
FLASHBACK ON
Di ruang makan nampak dua orang yang tengah menikmati sarapan, tak lain adalah Devan dan Delisa. Mereka berdua kakak beradik dari keluarga besar Jenifer yang memiliki perusahaan Jenifer Corperation.
Setelah kepergian kedua orang tuanya, Devan mengambil alih untuk memimpin perusahaan yang selama ini di pimpin oleh Daddy nya. Serta dia memiliki tanggung jawab besar akan tugasnya sebagai kakak untuk menjaga sang adik.
"Kak Devan, apa aku boleh keluar sebentar?" tanya Delisa yang telah selesai makan dengan tatapan penuh harap.
Devan menatap sekilas ke arah Delisa, kemudian mengambil tisu membersihkan sisa makanan di bibir nya. "Tidak boleh!" jawab Devan singkat.
"Kenapa kak? Kenapa kakak selalu melarang ku keluar, aku bosan di rumah terus. Aku juga ingin menikmati pemandangan di luar layaknya orang-orang yang bebas keluar kemana pun mereka mau."
"Baiklah, kalau begitu kakak yang akan mengantarmu. Ayo kita berangkat sekarang." Devan beranjak dari tempatnya kemudian berjalan keluar menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah.
🌷🌷🌷
Di sepanjang perjalanan tak hentinya kedua mata Delisa menatap ke luar jendela. Dia merasa senang bisa melihat kembali dunia luar yang sekian lama sang kakak telah mengurungnya di dalam mansion. Entah hal apa yang membuat Devan begitu protektif pada Delisa.
Tak lama kemudian saat di persimpangan jalan, ada sebuah mobil yang tengah menghadangnya.
'Shit! Pasti ini ulah si brengsek itu.' Devan
Seketika Devan menatap ke arah Delisa yang terlihat ketakutan. Melihat beberapa pria bertubuh tinggi berpakaian hitam keluar dari mobil mewah tersebut.
"Delisa, tenanglah. Kakak berjanji akan melindungi mu."
Devan yang sudah siap menginjak gas ingin melajukan mobilnya kembali. Akan tetapi beberapa pria bertubuh besar itu sudah mendekat ke arah mobilnya. Mereka berhasil menarik kasar tubuh Devan keluar dari dalam mobil.
"BUGH!"
Salah satu dari pria itu mendaratkan bogeman mentah di wajah Devan.
"Kak Devan!" teriak Delisa melihat sang kakak yang tengah terkapar di atas aspal dengan wajah yang penuh lebam. Darah segar pun keluar dari sudut bibir Devan membuat Delisa terisak.
Seketika pandangan Devan beralih pada sumber suara, emosi Devan pun memuncak terlebih melihat pria itu sudah berhasil membawa paksa Delisa. Devan yang ingin menyelamatkan sang adik tetapi dia kalah cepat dengan pria tersebut. Tiba-tiba pandangan Devan mulai kabur, tubuh nya kembali jatuh ke aspal.
FLASHBACK OF
"Maafkan Delisa, kak. Hiks ... hiks ... hiks ...," gumam Delisa sambil terisak mengingat dirinya yang masih bersama dengan Devan di dalam mobil.
Beberapa saat kemudian datanglah seorang wanita parubaya yang berhasil membuyarkan lamunan Delisa.
"Nona, permisi saya ingin memberikan Nona baju untuk anda kenakan," ucap wanita itu yang tak lain adalah pelayan mansion.
"Bi, tolong buka tali ikatanku," lirih Delisa yang masih meneteskan air mata.
'Kasihan sekali kamu, Nona.'
Wanita parubaya itu segera membuka ikatan di tangan dan kaki Delisa.
"Terima kasih Bi sudah membantuku melepaskannya," ucap Delisa tersenyum.
"Lebih baik Nona segera bersihkan diri dulu, setelah itu turunlah ke bawah. Nona harus sarapan jika tidak ingin sakit."
"Baik Bi." Delisa mengangguk dan beranjak dari tempatnya masuk ke dalam kamar mandi dengan bantuan wanita parubaya itu.
Setelah Delisa membersihkan dirinya, kini Delisa telah berganti baju dan berniat keluar dari kamarnya bersama Bibi. Ternyata sedari tadi Bibi sedang menunggunya.
"Oh iya Bi, kalau boleh tahu nama Bibi siapa?" tanya Delisa menatap wajah wanita yang ada di hadapannya.
"Mimi Non," jawab wanita parubaya itu.
🌷🌷🌷
Kini mereka berdua sudah berada di dapur. Pada saat berjalan menuruni anak tangga, tampak Delisa mengedarkan pandangannya. Kedua matanya bergerak kesana kemari melihat pemandangan mewah mansion milik pria itu.
"Kemana pria kejam itu Bi?" tanya Delisa yang sedari tadi tidak melihat batang hidung pria yang telah menyiksanya.
"Maksud Non?" Bi Mimi mengerutkan keningnya yang masih belum paham dengan siapa yang di maksud Delisa.
"Mmm ... maksudku pria yang sudah menjadi suamiku itu," terang Delisa.
"Tuan Muda sudah berangkat ke kantor. Jadi lebih baik Nona makan sebelum Tuan Muda datang," jawab Bi Mimi sembari menyodorkan piring yang berisi makanan dan segelas air minum.
Delisa hanya bergeming tanpa menyentuh makanan yang sudah di siapkan oleh Bi Mimi.
"Bi Mimi, alamat mansion ini berada di jalan apa?" tanya Delisa penasaran.
"Maaf Non, Bibi tidak bisa menjawab. Lebih baik Nona sekarang makan dan setelah itu kembalilah ke kamar."
🌷🌷🌷
"Apa saja yang gadis itu lakukan sekarang?" tanya pria itu di seberang telpon kepada penjaga yang berada di mansion nya.
"Tadi Nona sudah makan, Tuan. Dan sekarang dia sedang berada di kamarnya."
"Jaga dan awasi terus dia. Dan katakan pada Bi Mimi jangan terlalu dekat dengan wanita itu."
"Siap Tuan."
Sambungan telpon pun terputus.
"Lihat saja akan ku buat hidupmu bagaikan di neraka," gumamnya dengan seringai kejam sambil menenggak wine yang ada di tangan nya.
.
.
.
🌷Bersambung🌷
Di sebuah kamar yang tampak luas, tampak seorang wanita yang sedang duduk di tepi ranjang dengan tatapan lurus ke depan. Seketika kilas balik perlakuan pria kejam itu yang tengah menyiksanya bak seperti kaset rusak yang terus berputar di kepalanya.
Merasa lelah dan sakit yang ada di sekujur tubuhnya membuat Delisa berbaring di atas ranjang. Tak menunggu lama akhirnya Delisa terlelap ke dalam mimpi indahnya.
"Siapa yang menyuruhmu tidur hah?" bentak Albert.
Suara keras itu sontak membangunkan Delisa dari tidurnya. Dia terperanjat kaget mendapati Albert yang sudah berada di dalam kamarnya.
'Ya Tuhan, apalagi ini yang akan dia lakukan padaku?' Delisa
Tak berhenti disitu, langkah lebarnya kembali berjalan mendekati Delisa. Tiba-tiba pria itu menarik kuat tangan Delisa dan menyeret bahkan menghempaskan Delisa hingga tubuh Delisa membentur dinding.
"Awww ...," ringis Delisa menahan sakit saat terbentur dinding.
"Tolong Tuan, lepaskan aku!" seru Delisa tanpa dia sadari buliran bening jatuh membasahi pipinya kala Albert menyeret tubuhnya.
"Hahahaha ... lepas kau bilang? Jangan harap! Justru aku akan semakin menyiksamu," tegas Albert dengan sorot tajam menatap Delisa.
"Lepaskan!" ucap Delisa memberontak saat batas kesabaran nya sudah mulai menyurut.
Delisa sudah tidak tahan lagi dengan segala perbuatan kejam Albert padanya. Delisa pun tak peduli dengan amarah pria itu yang akan meledak seperti lava. Tekadnya sudah bulat untuk melawan Albert, sosok pria dingin dan juga terkenal bengis.
Akan tetapi kekuatan Delisa kalah dengan tangan besar milik Albert. Bahkan pria itu tak mengindahkan sedikit pun ucapan Delisa.
Albert tetap saja menyeretnya hingga menghempaskan tubuh mungil Delisa masuk kedalam kamar mandi. Albert menyalakan shower lalu mengguyur Delisa dengan shower yang telah dia setel dengan mode dingin.
"Arrkkhhh sakit! Tuan, tolong lepaskan aku, aku mohon," pinta Delisa sambil menangis merasakan sakit bekas cambukan dan kedinginan menjalar di sekujur tubuhnya saat Albert mengguyur tubuh Delisa dengan air shower itu.
Albert yang mendengar keluhan Delisa hanya bisa tersenyum devil. Melihat wanita yang dia siksa menderita membuatnya sangat bahagia.
"Diam! Kau sekarang adalah istriku, dan aku berhak melakukan apapun terhadap dirimu. Termasuk melenyapkan mu pun sanggup," bentak Albert kembali menyiram Delisa tanpa ampun karena Delisa terus saja mencoba melawan sambil menangis
"Tuan tolong, hiks ... hiks ... hiks ...."
"Hentikan tangisanmu!" teriak Albert sembari menjambak kuat rambut Delisa hingga membuat gadis itu mendongak menatap Albert.
"Saa ... Sakit," ucap Delisa dengan tubuh yang bergetar. Albert tertawa setelah melepaskan tarikannya pada rambut Delisa.
"Sakit yang kau rasakan tak sebanding dengan rasa sakit ku!" teriak Albert kembali dengan sorot mata iblis menatap Delisa.
Albert mematikan shower ketika melihat sekujur tubuh Delisa yang kini mulai menggigil menahan dingin nya air.
Saat Albert mau berjalan pergi, Delisa melontarkan pertanyaan. Sontak membuat Albert geram dengan tingkah laku Delisa yang berusaha melawannya.
"Apa salahku,Tuan? Sampai kau berbuat jahat dan kejam padaku!" tanya Delisa memberanikan diri.
Albert menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap kembali Delisa. Sorot mata yang memerah menyiratkan sebuah amarah yang ada di raut wajahnya.
PLAK!
Albert menampar Delisa hingga sudut bibir wanita itu mengeluarkan darah. Pria di hadapan Delisa ini sungguh begitu kejam seperti monster.
"Salahmu karena kau telah lahir di dunia ini!" ucap Albert tegas membuat Delisa menoleh ke arahnya.
Seketika keduanya saling beradu pandang.
'Mata itu? Aku merasa familiar dengan manik mata itu.' Delisa
Beberapa saat kemudian Albert terlebih dulu memutus kontak mata. Dengan langkah lebar Albert keluar meninggalkan kamar Delisa.
Setelah kepergian Albert, Bi Mimi pun langsung masuk ke kamar dan mencari keberadaan Delisa. Bibi membuka pintu kamar mandi dan melihat kini Delisa sedang di bawah guyuran shower.
"Non Delisa, apa yang Nona lakukan?" tanya Bi Mimi terkejut.
"Biarkan seperti ini Bi. Delisa sudah tidak tahan, lebih baik aku mati saja," jawab Delisa lemah.
Apakah Delisa sudah lelah sampai-sampai dia memilih mati daripada bertahan hidup di dunia? Iya, dia sudah sangat lelah akan takdirnya saat ini yang tiba-tiba dia di culik dan berakhir menjadi istri dari Tuan Muda yang kejam bak seperti monster.
"Jangan bicara seperti itu, Non." Bi Mimi bergegas mematikan shower. Di tuntun nya tubuh Delisa keluar dari kamar mandi.
"Astaga! Pasti Non Delisa kedinginan," ucap Bi Mimi yang melihat Delisa menggigil.
Dengan sigap Bi Mimi mengambil handuk dan membantu Delisa agar segera mengganti pakaian nya yang sudah basah kuyup.
"Non Delisa ...," pekik Bi Mimi sambil menutup mulutnya dengan tangan nya. Dia begitu terkejut dengan luka yang ada di punggung Delisa. Bi Mimi tahu kalau luka itu pasti ulah dari Tuan Muda nya.
Delisa merasakan sakit di punggungnya yang terdapat luka bekas cambukan. Melihat itu Bi Mimi segera mengambil kotak obat untuk mengobatinya.
"Terimakasih Bi," kata Delisa menatap wajah Bi Mimi yang terlihat tulus membantu dirinya.
Delisa sangat bersyukur di mansion ini masih ada orang yang peduli terhadap dirinya. Keberadaan Bi Mimi membuat Delisa tidak sendirian berada di tempat yang seperti neraka baginya.
"Sama-sama Non. Jika Non Delisa butuh sesuatu, jangan sungkan panggil saja Bibi di bawah."
"Iya Bi," ucap Delisa mengangguk mengiyakan perkataan Bi Mimi.
"Oh iya, nanti makan malam nya Bibi antar ke kamar atau Non Delisa mau makan di bawah?" tanya Bi Mimi memastikan.
Bukan nya menjawab justru Delisa melontarkan pertanyaan yang berhasil membuat Bi Mimi menatap iba pada Delisa.
"Bi, kenapa dia begitu kejam padaku. Sebenarnya apa salah ku, Bi?" tanya Delisa yang masih menatap kosong ke arah depan.
"Non Delisa yang sabar ya. Sebenarnya Tuan Muda itu orangnya baik, tapi dia berubah setelah kedua orang tuanya meninggal," terang Bi Mimi akan fakta sebenarnya perihal perubahan sifat Albert.
"Me- Meninggal?" ucap Delisa terbata mengulang kembali perkataan Bi Mimi.
"Iya Non. Kedua orangtua Tuan Albert telah meninggal beberapa bulan yang lalu," kata Bi Mimi yang seketika itu raut wajahnya berubah mengingat kematian majikan nya.
"Tapi kenapa dia menyiksaku, Bi? Bahkan aku saja tidak mengenalnya sama sekali. Dan kenapa dia memaksaku untuk menikah dengannya?" tanya Delisa penasaran. Berharap Bi Mimi bisa menjawab segala pertanyaan nya yang selalu terngiang di benaknya.
"Maaf Non, untuk yang itu Bibi tidak tahu. Kalau begitu saya permisi dulu Non," pamit Bi Mimi membungkukkan tubuhnya sopan, berjalan keluar meninggalkan kamar Delisa.
'Apa sebenarnya salahku? Mengapa aku seolah menjadi tahanan disini?' Delisa
Tes ....
Butiran kristal terus berjatuhan membasahi wajahnya.
"Hiks ... hiks ... hiks ...."
"Kakak, tolong aku ...."
🌷🌷🌷
"Apa kau sudah membantunya mengganti pakaian?" tanya Albert saat melihat Bi Mimi keluar dari kamar Delisa.
"Sudah Tuan," jawab Bi Mimi sambil menatap lekat lantai.
"Bagus. Itu artinya aku bisa kembali untuk menyiksanya," ucap Albert sambil tersenyum devil.
"Tuan, kasihan Nona Delisa. Apa sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit," usul Bi Mimi memberanikan diri.
Mendengar hal itu sontak Albert menoleh dengan sorot tajam menatap Bi Mimi. Rahangnya mengeras terdengar gigi yang bergemeletuk di dalam nya. Kedua tangannya pun mengepal seolah menahan sebuah amarah.
"Jangan berucap apapun tentang wanita itu di hadapanku! Kau tahu Bi, orang tuanya lah yang menyebabkan aku jadi yatim piatu, dan dia harus membayar mahal atas semuanya," sarkas Albert kemudian pergi meninggalkan Bi Mimi yang masih mematung.
.
.
.
🌷Bersambung🌷
Tok ... tok ... tok ....
"Non Delisa ... Non ...." Tidak ada sahutan dari dalam kamar membuat Bi Mimi segera masuk membuka pintu yang tidak terkunci.
Ceklek ....
Bi Mimi melangkah masuk ke kamar Delisa dengan membawa sebuah nampan yang berisi makanan dan segelas air.
"Ya Allah ... Nona Delisa? Kenapa tidur di lantai?"
Bi Mimi langsung berjalan menghampiri Delisa yang sedang menggigil di lantai. Namun sebelum itu Bi Mimi meletakkan nampan terlebih dulu di atas nakas dekat ranjang. Kemudian dia membangunkan tubuh Delisa yang tergeletak di lantai, dan suhu tubuhnya yang demam tinggi. Terlihat tubuh Delisa lemah, Bi Mimi menatap iba pada wanita itu.
"Ayo Non ... Bibi bantu naik ke atas ranjang," ucap Bi Mimi iba seraya menyelimuti tubuh kecil Delisa yang terbaring lemah di atas ranjang.
Melihat hal itu dengan cepat Bi Mimi berlari ke kamar Tuan Albert.
"Tuan Albert ...," panggil Bi Mimi sambil mengetuk pintu kamar Albert.
"Ada apa Bi?" tanya Albert saat membuka pintu kamar, dan nampak Bi Mimi yang sudah berdiri di hadapan nya saat ini dengan raut wajah khawatir.
"Tuan Albert ...." Bi Mimi menunduk menatap lekat lantai.
"Katakan, ada apa sebenarnya Bi?" tanya Albert mengulang kembali perkataannya dengan tegas.
"Maaf Tuan, Nona Delisa demam tinggi. Apa sebaiknya kita membawa dia ke rumah sakit saja Tuan," usul Bi Mimi memberanikan diri.
"Tidak! Biarkan saja dia seperti itu, bila perlu sekalian saja biar dia mati," ucap Albert lalu menutup kembali pintu kamarnya.
'Jahat sekali kau Tuan. Semoga Nona Delisa bisa kabur dari istanamu ini.'
Bi Mimi turun ke bawah mengambil obat. Lalu dia segera menaiki anak tangga berukir menuju kamar dimana Delisa tengah terbaring lemah.
Ketika di dalam kamar, dia tidak mendapati Delisa. Padahal Bi Mimi masih ingat betul bahwa Delisa tadi tertidur lelap di atas ranjang.
"Non Delisa ...," panggil Bi Mimi sembari masuk ke dalam kamar mandi. Namun, nihil sosok yang dia cari tidak ada di dalam sana.
Tiba-tiba terdengar suara yang familiar di indra pendengarnya. Suara itu seperti angin segar yang menyejukkan hati Bi Mimi.
"Bi Mimi, kenapa dia begitu kejam padaku? Sebenarnya apa kesalahanku hingga dia menyiksaku seperti ini," tanya Delisa yang ternyata saat ini wanita itu tengah duduk di kursi gantung tepatnya di balkon kamar.
Bi Mimi menoleh ke asal sumber suara itu. Berjalan mendekat ke arah Delisa yang masih terdiam di tempatnya. "Sabar Non, Bibi yakin Non Delisa bisa melewati ini semua."
"Tapi sampai kapan aku terus sabar seperti ini? Aku sudah tidak kuat lagi Bi, lebih baik aku mati saja," keluh Delisa yang sudah lelah dengan hidupnya, setiap hari dia mendapatkan siksaan dari Albert.
Beberapa menit yang lalu, Delisa turun ke bawah karena ingin meminta obat pada Bi mimi. Namun, langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara yang familiar di indra pendengarnya. Tanpa Bi Mimi dan Albert sadari, Delisa telah mendengar semua apa yang telah di ucapkan oleh Albert.
"Sabar ya, Non." Bi Mimi mengusap bahu Delisa dengan lembut.
"Sampai kapan aku harus bersabar menghadapinya Bi? Atau mungkin aku harus mati agar dia tidak menyakitiku lagi. Jika itu yang dia inginkan, aku rela mati di tangannya Bi," ucap Delisa sembari menyeka air matanya.
"Non Delisa, jangan berucap seperti itu," sela Bi Mimi yang saat ini duduk di samping Delisa.
"Aku sudah lelah Bi dengan takdirku sekarang. Jika boleh memilih lebih baik Delisa ikut dengan Mommy dan Daddy saja ke surga. Daripada disini harus di pukuli setiap harinya tanpa tahu salah Delisa apa." Delisa memeluk Bi Mimi sambil berlinang air mata.
"Non yang sabar ya. Bibi yakin Tuan pasti berubah, tidak kasar seperti ini." Bi Mimi menenangkan Delisa sambil mengusap punggungnya dengan lembut.
🌷🌷🌷
Malam pun telah tiba, saat ini dia ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Wajahnya mendongak menatap langit-langit kamar, sekilas bayangan sang kakak muncul memenuhi isi kepalanya.
'Kak Devan, tolong aku kak. Maafkan aku ....' Delisa
Perlahan buliran bening meluruh dari ujung ekor matanya. Dia tidak mampu untuk menahan sesak di dalam dadanya. Delisa begitu menyesal karena dirinya yang keras kepala tidak mau menuruti apa kata sang kakak. Membuatnya berakhir tragis seperti ini, walaupun saat ini organ tubuhnya masih lengkap.
Namun, tak menjamin untuk kedepannya hidupnya seperti apa. Bisa saja Albert menyakiti Delisa lebih dari apa yang Albert lakukan sekarang.
Mengingat dirinya telah menjadi istri dari Tuan Muda yang kejam. Membuat pria itu bebas melakukan hal apa saja pada Delisa.
Kedua bola mata Delisa membulat melihat sosok pria yang dia benci tiba-tiba berada di hadapannya. Pria itu berjalan menghampirinya dengan sorot mata iblis menyorot ke arahnya.
Dan hal itu berhasil membuat jantung Delisa berdegup kencang. Akan tetapi dia menyembunyikan rasa takutnya di balik sikapnya yang tenang itu. Delisa tidak ingin terlihat lemah di hadapan Albert.
"Bagus juga akting mu. Kau bisa membohongi semua orang di mansion ini, tapi tidak denganku!" Albert menjambak kuat rambut Delisa.
Delisa mendongak menatap wajah tampan Albert. Dia hanya diam memandangi wajah tersebut tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir tipisnya. Sontak keduanya saling beradu pandang.
'Wajah itu, kenapa tidak asing bagiku. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana?' Albert
"Kenapa diam? Ayo pukul aku jika itu memang membuat kau puas," tantang Delisa dengan tersenyum mengejek melihat Albert yang hanya bergeming saja. Dan seketika berhasil membuyarkan lamunan Albert.
"Kau berani menantang ku hah?" geram Albert, terdengar gigi bergemeletuk di dalam sana dengan rahang yang mengeras. Serta sorot tajam yang ingin menerkam mangsanya.
"Kalau iya kenapa, kau bukan Tuhan yang harus aku takuti," jawab Delisa dengan tatapan yang tak kalah tajam dari Albert.
"Dan satu hal lagi, kau ingin melihatku mati bukan?" sambung Delisa, dia ingin mendengar sendiri dari mulut pedas pria kejam itu di hadapannya.
"Ya, aku memang ingin melihatmu mati secara tersiksa. Tapi kau harus mati di tanganku," kata Albert tersenyum sinis menatap Delisa.
Tanpa Albert sadari, kedua netra Delisa menangkap sebilah pisau yang tak jauh darinya. Kemudian ....
CES ....
Delisa mengambil sebilah pisau di atas meja, kemudian pisau buah tajam runcing itu dia goreskan di pergelangan tangan. Dan darah berceceran di lantai.
"Dasar wanita bodoh, Apa yang kau lakukan?" tanya Albert, dengan cekatan Albert mengambil alih sebilah pisau dari jemari tangan Delisa.
Melihat cairan kental yang terus mengalir, Albert berinisiatif membuka bajunya lalu mengikatnya di pergelangan tangan Delisa supaya cairan tersebut berhenti.
"Bukannya ini yang kau mau hah?" jawab Delisa kembali menyorot tajam ke arah Albert.
Albert sama sekali tak mengindahkan perkataan Delisa. Lalu dia menggendong tubuh Delisa, memindahkannya ke atas ranjang. Dan meminta Bi Mimi untuk segera menghubungi Dokter Hans yang tak lain adalah sahabat sekaligus Dokter pribadi keluarga Xanders.
Tak berselang lama Bi Mimi masuk ke dalam kamar Delisa.
"Tuan Muda, Dokter Hans sudah datang."
"Suruh dia masuk!" seru Albert dengan tegas.
"Baik Tuan Muda."
Di depan pintu kamar Delisa, "Silahkan masuk Dokter." Bi Mimi mempersilahkan Dokter Hans masuk yang akan memeriksa kondisi Delisa.
Bi Mimi membawa masuk Dokter Hans ke dalam kamar Delisa, kemudian pamit keluar untuk melanjutkan kembali pekerjaannya. Dengan cekatan Dokter Hans memeriksa suhu badan Delisa.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Albert setelah melihat Dokter Hans memeriksa Delisa.
"Baik, untung saja lukanya tidak terlalu dalam," jawab Dokter Hans menatap wajah Albert.
"Akkkh syukurlah."
"Apa kau mencintainya?"
.
.
.
🌷Bersambung🌷
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!