Alena Veya Calista dikenal sebagai gadis paling berisik di sekolah. Tak ada yang bisa menghentikan suara dan energinya, meski banyak yang merasa terganggu. Namun, Alena tidak peduli dengan pandangan orang lain. Keinginannya hanya satu: menemukan cinta sejati, meski sering terjebak dalam hubungan yang salah. Terbuka dan mudah bergaul, tetapi ironisnya, ia tak memiliki teman satu pun. Kerap menjadi bahan olokan karena hubungannya dengan cowok yang sudah punya pacar, Alena tetap percaya bahwa cinta sejati menunggunya. Di balik sifatnya yang menyebalkan, ia sebenarnya lembut dan penuh perhatian, hanya saja kebingungannya akan perasaan sering membuatnya salah langkah.
...----------------...
Kael Rydan Santoso, ketua geng sekolah, memiliki reputasi sebagai badboy yang ditakuti. Sikapnya dingin dan tidak mudah percaya pada siapa pun selain teman-temannya. Kael selalu menjaga jarak dan terlihat tidak peduli, tetapi jauh di dalam hati, ia sebenarnya sangat protektif terhadap orang yang penting baginya. Tak seorang pun menyangka, di balik sikap kerasnya, ia diam-diam tertarik pada Alena. Gadis itu terlalu berisik dan terlalu terbuka, namun justru itulah yang membuat Kael tak bisa mengabaikannya.
...----------------...
Hubungan mereka penuh dinamika. Sering bertengkar dan berdebat, tetapi di balik itu ada perasaan yang tak terungkap. Alena terus mencari cinta, sedangkan Kael, yang terbiasa menutup hati, mendapati dirinya ingin melindunginya. Meski begitu berbeda, mereka saling melengkapi, Kael memberikan rasa aman yang tak bisa ditemukan Alena di tempat lain, sementara Alena membawa warna yang selama ini hilang dalam hidup Kael.
Bagaimana kisah mereka akan berakhir? Itu yang masih menjadi misteri.
...----------------...
Seorang gadis SMA dengan rambut yang diikat rapi dan membawa map rapor berwarna biru, baru saja melewati momen sedikit membanggakan setelah mengambil rapornya yang menunjukan hasil yang menurutnya lumayan memuaskan. Ia berjalan keluar dari gerbang sekolah dengan senyum cerah di wajahnya.
"Mama pasti bangga, karena kali ini ada nilai 100 di rapor gue, walaupun cuma satu," Alena tertawa kecil.
Langit cerah hari ini mendadak gelap saat tiba-tiba seorang gadis bernama Mely muncul dari sisi jalan. Dengan wajah yang geram. Ia melangkah cepat kearah Alena dan langsung menghadangnya.
"Heh, lo Alena, kan?" Teriaknya tajam.
Alena menghentikan langkahnya, mengernyit bingung, "iya gue Alena. Lo siapa?"
Mely menuding tajam ke arah Alena, "lo ceweknya Riko, kan?"
Alena masih bingung, menatap Mely dengan hati-hati. "Iya, gue pacarnya riko. Tapi kenapa?"
Mely mendekat dengan wajah penuh emosi. "Kenapa kata lo?! Riko pacar gue! kita udah pacaran 2 tahun, dan lo." Gadis itu menunjuk Alena tepat di depan matanya, "lo cuma cewek selingkuhannya!"
Alena melebarkan matanya, gadis itu berteriak dalam hati. "WHATTT!! LAGI?!"
"Sori, gue nggak tau. Dia bilang ke gue dia single waktu kita mulai dekat." Dengan santainya gadis itu menjawab, padahal dalam hati dia sudah memaki laki-laki itu.
Mely tertawa sinis, melipat tangannya di dada. "Dan lo percaya sama omongannya? cowok lo itu suka ngibul. Dia selalu balik ke gue kalau dia lagi bosen sama cewek-cewek kayak lo."
Alena berusaha tetap tenang meskipun hatinya mulai terasa panas. "Oh berarti lo dijadiin pacar selama dua tahun cuma buat jadi tempat pelampiasan dia doang? Syukur deh, lo ngelabrak gue. Gue juga belum suka-suka amat sama pacar lo."
"Engga anying, gue udah jatuh cinta sama cowok lo!" Ucapnya lagi dalam hati.
"Gausah sok tau! lagian lo yang kegatelan deket-deketin cowok gue duluan."
Alena melotot, "Enak aja! cowok lo yang kegatelan, udah tau punya pacar masih aja deketin cewek lain!"
"Kok lo nyolot! lo yang salah, harusny lo minta maaf sama gue sekarang."
"Ogah!" Jawabnya mentah-mentah.
"Sialan, sini lo!" Mely hendak meraih rambut Alena untuk di jambaknya, untungnya gadis itu memiliki keahlian khusus karena sering kali di labrak oleh orang, Alena menghindar kesamping.
Gadis itu menjulurkan lidah. "Nggak kena!"
"Anji—" Saat hendak mengejar Alena, tiba-tiba teriakan dari belakang menghentikan keduanya.
"HEY, KALIAN BERDUA!"
Alena menoleh, matanya membulat saat mendapati pak Mamat yang berjalan kearah mereka berdua.
"Mati gue! gue ga mau berurusan sama pak mamat!"
Dengan yakin dan percaya diri, Gadis itu berlari kencang melewati trotoar yang ramai menghindari masalah yang akan terjadi nantinya.
"Bye semua! selamat berlibur!" Teriak Alena.
Alena tersenyum puas mendengar teriakan Mely dibelakang.
Suara napasnya semakin berat, tapi ia terus berlari. Rambutnya yang diikat bergoyang mengikuti langkahnya. Sepatu kanvasnya menghentak aspal dengan ritme cepat. Pikirannya penuh dengan potongan-potongan momen bersama Riko selama satu minggu ini. Ya dia baru satu minggu menjalani hubungan bersama Riko.
Alena menatap kosong jalanan, menggenggam map rapornya sangat erat.
"Gue nggak pantes diperlakuin kayak gini!"
Di trotoar di dekat jalan besar. Alena masih berlari kencang. Gadis itu mencoba meluapkan emosinya dengan berlari kencang. Ia menunduk sambil menangis, tak memperhatikan jalan di depannya. Dari arah berlawanan, sebuah motor besar melaju cukup kencang.
Alena berlari dengan napas terengah-engah, bergumam di antara tangisnya. "Kenapa hidup gue kayak gini? apa salah gue sampe semuanya berantakan?"
Tiba-tiba, suara klakson keras membelah dunia.
Pengendara motor itu berteriak sambil membunyikan klaksonnya. "Minggir, woy!"
Alena terkejut, mendongak, dan langsung berhenti ditengah jalan. Motor besar berhenti mendadak hanya beberapa meter darinya. pengendara motor, seorang pria dengan jaket hitam, menurunkan kaca helmnya dan menatap Alena dengan tatapan kesal.
Alena yang masih terengah-engah, marah setelah terkejut.
"Lo gila ya?! mau bunuh gue?! kalo gabisa bawa motor, jangan naik motor!"
pria itu menatap tajam kearah Alena, yang sekarang terlihat menantangnya. "Lo yang salah, lari-lari di tengah jalan kaya orang lupa minum obat! kalo gue nggak ngerem, udah masuk rumah sakit lo sekarang."
Alena mendekat dengan penuh emosi, menunjuk motor pria itu. "Lo bilang apa barusan? lo nyalahin gue?! gue cuma lari, lo yang bawak motor kayak orang kesetanan!"
Pria itu berdiri dari motornya, menatap Alena tajam. "Gue udah cukup sabar buat nggak nabrak lo, kenapa lo jadi marah-marah. Emangnya lo siapa?!"
Alena yang semangat kesal tanpa berpikir langsung menendang motor pria itu. Motor besar itu bergoyang, membuatnya terkejut.
Pria itu membelalak, lalu menunjuk Alena. "Berani-beraninya lo tendang motor gue?!"
Alena menyilangkan tangannya, menatap pria itu tajam. "Terus kenapa kalo gue tendang, mau apa lo?"
Ketegangan memuncak sampai seorang satpam yang sedang berpatroli mendekat.
Satpam tersebut berjalan cepat kearah mereka. "Ada apa ini ribut-ribut? disini bukan tempat buat berantem!"
Pria itu dengan cepat menarik tangan Alena, membuat gadis itu terkejut. Ia langsung merangkul Alena dengan sok gaya mesra.
Pria itu tersenyum lebar ke arah satpam. "Maaf, pak. Ga ada apa-apa, kok. Kami berdua cuma... pasangan yang lagi bertengkar kecil, biasalah, drama pacaran."
Alena membelalak, berbisik kesal pada pria itu. "Lo ngomong apa?! Lepasin gue!"
Pria itu masih merangkul Alena, berbisik pelan tapi tegas. "Kalo lo ga mau ini makin ribet, diam aja dan pura-pura."
Satpam itu mengerutkan keningnya, menatap mereka bergantian. "Kalian ini masih sekolah tapi sudah pacar-pacaran dan berantem di tengah jalan kayak orang yang sudah menikah!"
"Siapa juga yang pac—" belum sempat melanjutkan omongannya, mulut Alena sudah di bekap oleh pria itu.
"Iya pak, maaf sudah menganggu jalanan dan orang-orang disekitar. Saya dan pacar saya akan langsung pergi dari sini."
"Yasudah, jangan diulangi lagi. Pakai helmnya."
Pria itu mengangguk cepat sambil tersenyum. "Terima kasih, pak."
Setelah satpam itu pergi, pria itu langsung melepaskan rangkulannya. Alena menatapnya dengan penuh amarah.
"Lo ga sopan banget sih! Siapa suruh lo ngaku-ngaku jadi pacar gue?! Dan apa hak lo megang gue?!"
Pria itu mengangkat bahunya santai. "Gue baru aja nyelamatin lo dari masalah besar, kalo gasuka, ya udah, pergi aja."
Alena menggerutu kesal, berjalan pergi dengan wajah merah karena marah.
"Dasar cowok sok keren! Jangan harap gue bakal terima ini!"
Pria itu menatap punggung Alena yang semakin menjauh, lalu berteriak sambil tertawa kecil.
"hey! Lo lupa bilang makasih!"
Alena berbalik cepat, mengangkat jari tengahnya kearah pria itu tanpa berkata apa-apa, lalu kembali berjalan menjauh dengan kesal.
Pria itu tertawa lebih keras, lalu menggelengkan kepalanya. "Cewek aneh. Tapi... seru juga."
Pria itu kembali ke motornya, sementara Alena terus berjalan dengan napas berat. Di benaknya, ia bertekad untuk melupakan kejadian itu, tapi entah kenapa bayangan cowok itu terus muncul di pikirannya.
...----------------...
Sekolah dipenuhi dengan suara ramai siswa yang baru datang. Beberapa anak baru terlihat bingung, sementara siswa lainnya bergerombol di depan mading besar untuk melihat pembagian kelas.
Alena memasuki sekolah dengan langkah cepat, wajahnya menunjukan antusiasme bercampur rasa penasaran.
Gadis itu melirik sekeliling, "Rame banget, anak baru kayak semut lagi cari sarang."
Alena mempercepat langkahnya menuju mading, melihat kerumunan siswa yang berdesakan membuatnya semakin penasaran.
"Oke, gue kepo. Gue harus lihat sekarang juga."
Tanpa ragu, Alena masuk ke tengah kerumunan, sedikit memaksa masuk.
"permisi dong, gue mau lihat! Awas minggir!" ucapnya dengan nada santai tapi tegas.
Beberapa siswa melirik kesal, tapi alena tidak perduli. Gadis itu akhirnya sampai di depan mading. Matanya mulai mencari namanya. Ia membaca cepat setiap garis, lalu akhirnya menemukan nama 'Alena Veya Calista' di salah satu daftar.
Setelah itu, ia diam sejenak dan berbicara dengan nada datar. "12 IPA 4.. Semoga nggak zonk."
Saat Alena sedang fokus dengan isi kepalanya dan mengobrol dengan dirinya sendiri didalam hati. Tiba-tiba ada suara bisikan pelan di telinganya.
"Gue inget lo."
Alena kaget, langsung menoleh cepat ke arah suara. Matanya bertemu dengan pria yang berdiri sangat dekat dibelakangnya. Mereka saling menatap beberapa detik tanpa bicara, sampai akhirnya Alena mengenalinya.
Ekspresi gadis itu jelas langsung berubah kesal, dengan nada tajam ia berkata. "Lo?! Lo cowok sok keren yang hampir nabrak gue waktu itu kan!"
Pria itu tersenyum santai, "Iya, itu gue. Kayaknya lo masih dendam sama gue?"
"Ngapain lo disini?!" Alena mendelik dengan nada membentak.
Dengan santai, pria itu menunjuk ke mading tepat di baris namanya.
"Kael Rydan Santoso. Nama gue disini, dikelas 12 IPA 4."
Alena ikut menoleh melihat nama pria itu di daftar. Wajahnya semakin kesal. Yang bener aja, ini lebih zonk dari apa yang dia pikirkan tadi.
"Ini bencana!" Ucap Alena tajam.
Kael tertawa kecil, Dengan nada mengejek pria itu berkata. "Bencana buat lo, mungkin. Buat gue, ini seru!"
Alena mengerutkan dahinya, kemudian menatap tajam pria itu.
"Seru pala lo! Gue nggak akan sekelas dengan damai sama orang kayak lo."
Pria itu tersenyum santai, "Kita liat aja nanti, Nona dendam."
Alena menggerutu kesal, Ingin sekali rasanya mencakar wajah pria itu.
Gadis itu masih berdiri di depan mading, menatap nama kael dengan wajah kesal. Kael, dengan senyum santainya hendak beranjak pergi ketika tiba-tiba keributan kecil terdengar dari belakang.
Ghost Riders muncul, berjalan dengan percaya diri. Bisa di bilang mereka adalah 'pentolan' sekolah, cowok-cowok nakal yang namanya selalu ada di daftar nama murid ternakal di sekolah ini. Tapi tunggu, walaupun nakal mereka semua termasuk dalam jajaran murid-murid terpintar disini. Nakal boleh, tapi soal otak harus encer. Makanya guru kadang tidak bisa terlalu marah dengan mereka, karena setiap tahunnya salah satu dari mereka selalu menjadi perwakilan lomba olimpiade. Keren, kan? Ayo kita kenalan. Mereka terdiri dari 6 orang: ada kael sebagai ketua mereka, kemudian anggotanya: Luka, Ronan, Bayu, Ezra, dan Leo. Mereka di takutin, makanya siswa yang ada disitu membuka jalan untuk mereka.
"Woi! Anak bapak santoso!" Teriak Luka dari jauh.
Kael berbalik melihat gengnya, mengangkat alisnya.
"Nama kita?" Tanya Leo.
"Aman, kita semua satu kelas."
"Cowok-cowok ganteng kayak kita ga mungkin di pisahkan." Celetuk Ronan.
"Ipa berapa?"
"4"
"Wih, IPA 4. Cocok sama kael yang IPAnya, 'Ilmu penjahat aktif'." Ucap bayu sok serius.
Semua anggota tertawa, membuat beberapa siswa di sekitar mereka juga tersenyum.
Kael menggeleng sambil tersenyum. "bercanda lo semua pada basi, ini gue serius mau ngomong."
Kael melirik Alena yang masih berdiri di sana dengan wajah tembok, sama sekali tidak terhibur dengan kehadiran geng itu.
Pria itu melihat Alena, lalu menunjuk ke arahnya dengan santai. "Kenalin, dia temen gue, di 12 IPA 4."
Gengnya langsung meledak tertawa, membuat suasana jadi semakin heboh.
Luka memegang perutnya, sambil tertawa keras. "Temen lo? dari kapan? baru aja kenal udah ngaku-ngaku temen."
"Temen? jangan-jangan ini cewek yang lo ceritain waktu itu, El." Ucap Bayu dengan wajah jahil.
Kael tetap tenang sambil menggeleng, sementara Alena menghela nafas panjang dengan wajah yang semakin kesal.
"Temen lo? gue ga kenal sama lo." Ucap Alena dengan nada datar, menatap tajam pria itu.
Luka tertawa sambil menepuk bahu kael. "Yah, di tolak mentah-mentah, pahit banget hidup lo."
Kael tetap santai, menatap Alena sambil tersenyum tipis. "Lo belum kenal gue aja. Tunggu beberapa minggu, lo bakal berubah pikiran."
Alena menarik napas panjang, memutar bola matanya. Lalu berjalan pergi meninggalkan kata-kata tajam untuk mereka.
"Gue ga punya waktu buat drama kayak gini."
Ghost Riders kembali tertawa melihat sikap Alena yang penuh emosi.
"Jangan marah-marah, mbak! Nanti tambah cantik, loh" Teriak bayu pelan ke arah Alena.
Semua tertawa lagi, sementara Alena tetap berjalan tanpa menoleh, wajahnya penuh amarah. Kael hanya tersenyum kecil melihat punggung Alena menjauh.
"Seru juga, kan? Kayaknya gue bakal betah di 12 IPA 4." Ucap Kael pelan ke gengnya, sambil melirik ke arah Alena.
Ghost Riders melanjutkan tawa mereka, sementara Kael melangkah santai, meninggalkan kerumunan.
...----------------...
Kelas mulai di penuhi siswa yang mencari tempat duduk. Beberapa tampak sibuk berkenalan, sementara yang lain berbincang dengan teman lama. Alena masuk dengan ekspresi datar, membawa tas ransel berwarna hitam miliknya.
Alena memindai kelas sebentar sebelum berjalan ke bangku nomor tiga dari belakang, dekat jendela. Ia meletakkan tasnya di kursi sebelah, mengklaim kursi itu agar tidak ada yang duduk di sana. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak ingin diganggu.
“Di sini cukup aman. Nggak terlalu depan, tapi juga nggak kebelakang banget.” Ucapnya dalam hati sambil duduk.
Tak lama kemudian, suara gaduh terdengar dari luar. Ghost Riders masuk dengan penuh energi. Kael memimpin, diikuti Luka, Ronan, Bayu, Ezra, dan Leo. Semua siswa menoleh karena mereka dikenal sebagai geng yang mencolok.
Kael melihat ke arah alena sekilas, lalu tersenyum kecil. "Nona dendam."
Luka menepuk bahu kael. “Ayo, belakang aja, sesuai tradisi. Bangku paling belakang milik kita!”
Ghost Riders menuju bangku paling belakang dan langsung menduduki tempat itu. Mereka langsung menguasai suasana dengan gaya mereka yang santai dan penuh candaan.
“Dia bener-bener bikin gue penasaran. Duduk sendirian, nggak ngizinin orang duduk di samping dia.” Ucap Kael dengan nada penasaran sambil melirik ke arah Alena.
Bayu tertawa kecil, "Cewek modelan kayak gitu biasanya tipe yang galak tapi rapuh. Lo hati-hati deh, el. Jangan sampe lo dimakan hidup-hidup.”
Ezra menyenggol Kael. “Bisa jadi dia lagi jaga jarak karena lo bikin dia kesel tadi pagi.”
Leo yang sedang menyandar dikursi, ikut bersuara. “Tapi kenapa lo jadi peduli banget, el? tertarik lo sama dia?”
Kael tertawa pelan, lalu menggeleng. “Bukan tertarik. Gue cuma penasaran aja. Cewek kayak gitu, biasanya punya cerita.”
"Lo mau cari tau ceritanya atau mau bikin cerita sama dia?” Celah Ronan sambil menoleh ke arah Alena.
Semua anggota Ghost Riders tertawa kecil, membuat suasana di belakang kelas jadi sedikit gaduh. Sementara itu, Alena tetap duduk dengan wajah temboknya, sama sekali tidak peduli dengan keramaian mereka.
“Geng bocah rusuh. Semoga aja mereka nggak banyak drama.” Ucap Alena dalam hati, sambil melirik mereka sekilas.
"Gue taruhan dia bakal ngajak lo ribut duluan sebelum lo sempet kenalan.” Luka berbisik ke Kael.
Kael tersenyum kecil, menatap Alena dari jauh. “Kita liat aja. Gue nggak pernah mundur dari tantangan.”
Geng Ghost Riders terus bercanda, sesekali melirik ke arah Alena yang tetap memasang ekspresi dingin. Hari pertama di kelas baru ini terasa penuh ketegangan kecil yang tidak terucapkan.
...----------------...
semoga suka dengan part 1 nga
Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Siswa-siswi berlalu lalang, sebagian menuju kantin, sebagian lainnya memilih beristirahat di taman. Alena dengan senyumnya yang cerah, berjalan santai di taman sambil menempelkan ponselnya di telinga. Percakapannya dengan Ricard, pacar barunya, membuat langkahnya melambat.
"Banyak kok, aku udah dapet temen 5." Bohong Alena.
Suara serak di telfon itu terdengar di pendengaran Alena. "Bagus sayang, kamu harus punya banyak temen lagi."
Dengan berat hati Alena berkata, "Iya."
Alena berjalan sambil sedikit menendang-nendang kerikil di jalan. "Ricard, aku tuh kesel tau. Coba aja kalo kita satu sekolah, pasti kita udah pacaran di taman sekarang."
"Iya Alena, aku juga maunya begitu."
"Kalo kamu disini, pasti lebih seru. Aku ga perlu nunggu weekend buat ketemu kamu."
"Tapi kamu tau ga. Walaupun kita nggak satu sekolah, aku selalu mikirin kamu? Bahkan pas jam istirahat kayak gini, aku kadang berharap kamu tiba-tiba muncul di depan kantin sekolah aku." Suara Ricard terdengar sangat lembut, membuat gadis itu salting sendiri.
"Ngarep banget, ya? Aku nggak mungkin tiba-tiba muncul di sana. Jauh, tahu."
Ricard tertawa kecil, "Iya, makanya aku suka mikir aja. Lagian aku seneng kok tiap kali kamu cerita soal hari-hari kamu di sekolah."
"Iya, tapi tetap aja aku maunya kamu di sini. Aku tuh suka iri liat temen-temen yang pacarnya satu sekolah. Kalau aku sedih atau lagi bete, mereka bisa langsung ketemu. Aku cuma bisa telepon kayak gini."
"Sayang, justru ini bukti kalo kita hebat. Kita bisa tetap deket walaupun jaraknya jauh. Nggak semua orang bisa kayak kita, loh."
Alena mentap langit, senyumnya mulai muncul perlahan. "Iya sih. Tapi aku masih pengen kamu di sini. Biar kamu tahu susahnya ngantri di kantin sekolah ini pas jam istirahat."
"Hahaha, ya udah, aku janji deh kalau nanti libur, aku datengin sekolah kamu. Mau?"
"Janji, ya? Jangan cuma ngomong doang."
"Janji. Kamu tunggu aja." Ucap Ricard yang terdengar yakin.
"Oke deh. Aku tutup dulu, ya. Jangan lupa jaga janji kamu!"
"Pasti. Bye, aku sayang kamu."
"Iya, aku juga."
Alena mematikan telepon. Gadis itu melanjutkan jalannya dengan santai menuju ke kantin. Senyum cerah menghiasi wajahnya, tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seorang gadis mendekat dengan ekspresi tidak bersahabat.
Gadis bernama Bianca itu berdiri dihadapan Alena dengan tangan di pinggang dan tatapan tajam. "Lo Alena, kan?"
Alena terkejut, "iya, gue Alena. Ada apa ya?"
"Oh jadi lo selingkuhannya Ricard." Ejek Bianca dengan nada sinis.
"WHATT!" Jerit Alena dalam hati.
Gadis itu mencoba tetap terlihat tenang. "Ricard? Selingkuhan? maksud lo apa ya? gue nggak ngerti."
Bianca menyilangkan tangannya, nada semakin tajam. "Lo nggak ngerti? Gue pacarnya Ricard. Dan gue tau kalo dia selingkuh."
Alena terdiam sejenak, matanya membulat karena kaget. Bahkan suaranya sedikit gemetar.
"Pacar? Lo pacarnya Ricard? Tapi... Dia nggak pernah bilang apa-apa soal lo."
Bianca tertawa sinis, mendekat lebih dekat ke Alena. "Ya iyalah dia ga bilang, mana ada orang selingkuh bilang-bilang."
"Alena, Alena.. Lo bodoh banget sih, cowok brengsek itu cuma mau mainin lo. Dan lo bodohnya malah percaya kayak nggak punya otak."
Wajah Alena memerah, setengah karena marah, setengah karena malu. "Gue nggak tau kalo dia udah punya pacar. Kalo gue tau, gue nggak bakal deket sama dia."
Bianca mendengus, "lo pikir gue percaya? Lo cuma alesan aja kan biar keliatan suci. Sekarang gue bilang sama lo, putusin Ricard!"
Alena mulai kehilangan kesabarannya. Ia mencoba menjelaskan, tapi Bianca tidak berhenti menyudutkannya.
"Gue bilang gue nggak pernah tau soal lo! Dan lo nggak punya hak buat nyalahin gue atas kelakuan pacar lo sendiri!"
Bianca mendorong Alena dengan kasar. "Jangan sok berani lo, ya! Gue pacarnya. Jadi gue berhak nyuruh lo mutusin dia!"
Dorongan itu membuat Alena hampir terjatuh. Tapi ia berhasil berdiri lagi, napasnya memburu. Wajahnya penuh emosi.
"Gue nggak salah apa-apa! Kalau lo punya masalah, selesain sama Ricard, bukan sama gue!"
Bianca melangkah lagi kedepan, tapi sebelum dia bisa bicara, Alena tiba-tiba menarik napas dalam-dalam. Lalu..
"AaaaAAAHHHHHHHH!!!" Alena mengeluarkan suara melengking yang sangat keras.
Jeritan melengking Alena menggema di seluruh taman. Bianca langsung menutup telinganya, wajahnya meringis kesakitan. Orang-orang disekitar mereka yang sebelumnya hanya menonton dari jauh, sekarang benar-benar memperhatikan dengan ekspresi terkejut.
Dari kejauhan, geng Ghost Riders yang sudah menyaksikan dari awal, langsung heboh.
Bayu melepaskan tangan dari telinganya, matanya membulat. "Gila! Itu suara apa sirine ambulans? kuping gue kayak mau pecah!"
Ronan tertawa keras, setelah pulih dari keterkejutannya. "Tuh cewek lebih gila dari yang gue kira!"
Ezra menyikut Kael, "Lo masih mau coba berurusan sama dia? sekali lagi dia teriak, tamat kuping lo."
"Gue nggak peduli suaranya. Tapi dia beda." Ucap Kael datar tanpa mengalihkan pandangannya dari Alena.
Luka tertawa kecil, "beda? beda gimana? Tuh cewek lagi dimaki-maki, el. Lo mau masuk ke medan perang?"
"Tapi dia nggak takut lawan siapa pun, bahkan si bianca. Gue akuin dia berani." Leo menyeringai.
Ezra berdiri santai sambil menatap ke arah Alena. "Kalo Kael beneran tertarik, kita bakalan nonton drama episode berikutnya."
"Lo lagi cari tantangan baru? jangan sampe lo malah jadi korban berikutnya." Ronan tertawa kecil.
Bayu Tertawa keras sambil menunjuk Kael. "Gue udah bisa bayangin, Kael jatuh cinta gara-gara kupingnya hampir pecah."
Kael tetap tenang, tidak terganggu dengan ledekan mereka.
"Lo semua terlalu banyak omong."
Sementara disana. Bianca mundur beberapa langkah, wajahnya merah karena malu dan marah. Sementara itu, Alena berdiri dengan wajah penuh emosi, tapi dia terlihat lebih percaya diri. Tatapan semua orang kini tertuju padanya.
Bianca menatap Alena dengan marah. "Lo... lo gila, ya?"
Alena melipat tangan di dadanya, "Gue nggak peduli lo bilang apa. Tapi lo nggak punya hak buat nginjek harga diri gue. Jadi kalau lo nggak mau denger teriakan gue lagi, pergi dari sini."
Bianca mengatupkan rahangnya, menatap Alena sekali lagi, lalu berbalik pergi dengan kesal. Kerumunan mulai berbisik-bisik.
Alena berdiri di tempatnya, napasnya sedikit terengah. Meski semua perhatian tertuju padanya, dia tetap tegak, menatap punggung Bianca yang menjauh.
"Gila lo, Alena!" jeritnya dalam hati.
Jeritan Alena tidak hanya menghentikan Bianca, tapi juga menarik perhatian seluruh taman—termasuk seseorang yang kini tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya. Gadis itu baru saja menunjukkan sisi unik yang membuat Kael semakin penasaran.
...----------------...
Langit sore mulai memerah saat Kael mengendarai motornya perlahan di belakang Alena yang berjalan santai sendirian. Tidak ada raut sedih di wajah Alena setelah kejadian dramatis di taman tadi. Justru dia terlihat tenang, menikmati angin sore.
Kael menyipitkan mata, memandang gadis itu dengan rasa penasaran yang terus tumbuh sejak pagi. Dia akhirnya memutuskan untuk menghampiri.
"Mau ikut nggak? Gue janji nggan bakal ngebut."
Alena melirik sekilas tanpa memperlambat langkah. "Nggak."
Kael tersenyum usil, mempercepat laju motornya sedikit untuk sejajar dengannya. "Yakin? jalan ke rumah lo pasti jauh kan, bisa pegel tuh kaki."
Berhenti sejenak, menatap Kael dengan ekspresi datar. "Gue bilang nggak, berarti nggak."
Kael mengangkat bahu, memasang wajah polos. "Gue cuma mau bantu, kalo berubah pikiran bilang ya."
Alena memutar bola matanya, lalu melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi Kael, dengan motor yang masih dimatikan, terus mengikuti di belakangnya.
Suara roda motor Kael yang bergerak pelan di atas aspal mulai membuat Alena kesal. Dia akhirnya berhenti dan berbalik, menatap Kael dengan tajam.
"Lo kenapa sih? Gue udah bilang nggak mau, kenapa lo masih ngikutin gue?" Ketus Alena.
Kael menyengir, matanya penuh canda. "Gue nggak ngikutin lo. Kebetulan searah."
Alena mendekat ke Kael, menunjuk motornya. "Lo pikir gue bodoh? Motor lo aja mati. Lo sengaja, kan?"
Kael tertawa kecil, memasang ekspresi tidak bersalah. "Gue lagi hemat bensin. Lo nggak mau naik, jadi gue sekalian jalan santai."
Alena melipat tangan di dada, napasnya mulai berat karena kesal. "Lo beneran nyebelin, ya. Gue nggak ngerti apa tujuan lo."
"Tujuan gue cuma satu. Gue nggak mau lo capek jalan jauh. Itu doang." Ucap Kael dengan nada tenang.
Alena berdiri tegak dengan tangan di pinggang, nadanya tegas. "Gue nggak mau naik motor lo. Lo bisa pergi sekarang?"
Kael bukannya pergi, malah tersenyum lebih lebar. Dia turun dari motor, mendorong motornya perlahan mengikuti Alena yang kembali berjalan.
Alena berhenti lagi, menatap Kael penuh emosi. "Lo tuh bener-bener keras kepala, ya?"
Kael mengangguk dengan senyum penuh canda. "Gue? Bukan keras kepala. Gue cuma konsisten."
Alena mendesah kesal, mulai kehilangan kesabaran. "Gue nggak ngerti sama lo. Udah jelas gue nggak mau ngomong sama lo, tapi lo malah terus ngikutin gue."
Kael berdiri santai, menyandarkan tubuhnya pada motornya. "Karena gue tahu, di balik semua ketus lo, sebenernya lo ga keberatan gue ada di sini."
Alena tertawa sinis. "Oh ya? Lo pikir lo kenal gue?"
Kael mengangkat bahu. "Gue emang belum kenal lo. Tapi gue mau kenal lo. Itu salah?"
Alena menatapnya tajam. "Salah kalo caranya kayak gini. Lo malah bikin gue tambah kesel."
Kael tertawa kecil, lalu memasang wajah serius tapi masih dengan nada bercanda. "Oke, oke. Maaf, gue salah. Jadi, mau gue pergi?"
Alena menghela napas panjang. "Iya. Gue mau jalan sendiri tanpa lo ganggu."
"Oke. Gue pergi."
Kael menyalakan motornya, tapi tidak langsung pergi. Dia menatap Alena sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Kalau berubah pikiran, gue masih ada di belakang lo."
Tanpa menunggu jawaban, Kael pergi perlahan, meninggalkan Alena yang masih berdiri di tempat dengan wajah bingung antara marah dan takjub.
Saat motor Kael mulai menjauh, Alena mendesah pelan, lalu melanjutkan langkahnya. Tapi, di dalam hatinya, ada sedikit rasa penasaran yang mulai muncul tentang cowok aneh yang barusan mengganggunya.
Sementara itu, Kael, yang melaju pelan di kejauhan, tersenyum sendiri. Dia tahu Alena bukan gadis biasa, dan itu membuatnya semakin tertarik.
...----------------...
bagaimana dengan part kali ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!