Arya mengerjapkan matanya saat sinar mentari dari luar jendela mengenai wajahnya. Arya terkejut saat melihat ke samping. Seorang gadis disisinya masih sesenggukan menangis.
"Kamu? apa yang sudah kita lakukan semalam?" tanya Arya pada gadis itu.
Gadis itu menatap Arya tajam.
"Kamu jahat...! kamu sudah menghancurkan hidup aku. Apa kamu tahu, apa yang semalam sudah kamu lakukan padaku. Kamu sudah memperkosa aku," ucap gadis itu dengan nada tinggi.
"Apa! kenapa aku nggak ingat apapun semalam."
Arya membuka selimutnya. Dia terkejut saat melihat dirinya tidak mengenakan baju sama sekali. Sejak tadi hanya selimut tebal yang menutupi tubuh polos Arya dan gadis itu.
Arya mencoba mengingat sesuatu. Namun dia tidak mengingat apapun. Dia hanya ingat, semalam dia berada di pesta lajang seorang teman. Dan Arya tidak tahu kenapa tiba-tiba dia bisa berada di dalam hotel dengan seorang wanita.
"Maafkan aku untuk semalam. Aku nggak ingat apa yang sudah aku lakukan sama kamu. Sepertinya semalam ada kesalahan dengan sesuatu yang aku minum," ucap Arya.
Arya memukul kepalanya untuk mengingat segala sesuatu yang terjadi semalam. Namun dia sulit untuk mengingatnya. Arya hanya ingat, semalam dia diberi minum oleh seseorang dan dia lupa segalanya setelah itu.
Gadis itu mengusap air matanya. Dia tidak mungkin terus-menerus menangis dan berada di dalam kamar hotel.
Gadis itu kemudian turun dan memakai bajunya kembali. Begitu juga dengan Arya. Dia juga ikut turun mengambil bajunya yang berserakan di lantai. Arya kemudian memakai bajunya kembali.
Arya terkejut saat melihat ada noda darah di atas sprei.
"Apakah ini yang pertama untuk kamu?"
Gadis itu mengangguk.
"Siapa nama kamu?"
"Arumi."
Arya melangkah dan mendekati Arumi.
"Kamu tenang saja. Apa yang terjadi semalam, aku akan membayar ganti ruginya," ucap Arya.
Arya mengambil dompetnya. Dia kemudian mengeluarkan sejumlah uang untuk gadis itu.
"Kamu bisa pakai uang ini untuk ganti rugi yang semalam," ucap Arya sembari menyodorkan sejumlah uang pada Arumi.
Arumi terkejut saat mendengar ucapan Arya.
"Tidak semua hal bisa di bayar dengan uang Tuan. Aku tidak perlu uang ini. Aku hanya perlu tanggung jawabmu."
"Tanggung jawab apa yang kamu maksud?"
"Kamu harus menikahiku. Bagaimana kalau aku hamil. Siapa yang akan bertanggung jawab dengan kehamilanku."
"Apa! hamil? nggak mungkin kamu hamil. Kita hanya melakukannya sekali. Bagaimana mungkin kamu bisa hamil."
"Kalau aku hamil bagaimana. Semalam berapa kali kita melakukannya? apakah kamu ingat? Dan apa kita semalam memakai pengaman?"
Arya terkejut saat mendengar ucapan Arumi.
"Arumi, aku tidak bisa menikahi kamu. Karena aku sudah punya tunangan. Dan sebentar lagi aku akan menikah dengan tunanganku."
"Aku nggak perduli dengan tunangan kamu. Kalau aku sampai hamil, kamu harus bertanggung jawab dengan menikahiku."
Arya mengusap wajahnya kasar. Dia tidak menyangka gadis yang semalam bersamanya sungguh terlalu sulit untuk diajak kerja sama. Seandainya tunangan Arya tahu, Arya sudah tidur dengan wanita lain, bisa saja dia akan membatalkan pertunangannya dengan Arya.
"Baiklah, aku akan bertanggung jawab dengan yang semalam. Aku akan berikan kamu kartu namaku. Kalau kamu sampai hamil, kamu bisa menghubungiku dan aku akan bertanggung jawab dengan kehamilan kamu. Tapi jika kamu tidak hamil, tidak usah kamu mencariku. Anggap saja peristiwa semalam tidak pernah terjadi," ucap Arya.
Arumi mengambil kartu nama dari Arya. Dia terkejut saat membaca kartu nama itu.
Arya Mahendra Dinata. Ceo Dirgantara grup. Bagaimana mungkin aku tidur dengan seorang CEO. Siapa sebenarnya yang semalam sudah menjebakku. Bahkan aku tidak ingat dengan apa yang sudah aku lakukan dengan lelaki ini semalam, batin Arumi.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi aku akan kembali lagi untuk meminta pertanggungjawaban dari anda," ucap Arumi.
Arumi menatap uang yang ada di tangan Arya. Dia merebut uang itu dari Arya.
"Ini untuk ganti rugi? baiklah aku akan ambil uang ini. Tapi ingat, urusan kita belum selesai. Aku akan kembali lagi untuk meminta pertanggungjawaban anda," ucap Arumi.
Setelah itu Arumi pun pergi meninggalkan Arya.
Arya hanya bisa menghela nafas dalam.
"Kenapa aku harus terjebak dengan wanita seperti dia. Siapa sebenarnya wanita itu. Apakah dia sudah menjebakku. Aku harus selidiki semuanya," ucap Arya.
Arya tidak mau berlama-lama berada di hotel itu. Dia kemudian pergi meninggalkan hotel itu.
Sesampainya di depan hotel, Arya menelpon seseorang.
"Halo Tuan."
"Halo. Cepat jemput aku. Aku ada di depan hotel. Nanti aku kirim alamatnya."
"Baik Tuan."
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil datang menghampiri Arya. Seorang lelaki keluar dari mobil itu dan membukakan pintu mobil untuk Arya.
"Silahkan masuk Tuan!"
"Terimakasih."
Arya kemudian masuk ke dalam mobil itu. Setelah itu mereka meluncur pergi meninggalkan hotel.
"Jam berapa ini Pak Bastian?" tanya Arya.
"Jam lima pagi Tuan," jawab Pak Bastian yang tak lain adalah sopir pribadi di keluarga Arya.
"Jam lima pagi? cepat sedikit. Aku harus bersiap-siap ke kantor sekarang. Akan ada meeting penting pagi ini di kantor."
"Baik Tuan."
Sesampainya di depan rumah, Pak Bastian membukakan pintu mobil untuk Arya. Arya kemudian turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah.
"Arya, dari mana aja kamu Ar?" tanya Monika ibu Arya.
"Maaf Ma, semalam aku tidur di rumah teman," bohong Arya. Arya tidak mungkin mengatakan kalau semalam dia sudah terjebak di hotel bersama seorang wanita.
"Ya udah, sana cepat siap-siap ke kantor. Akan ada meeting kan pagi ini."
Arya mengangguk. Setelah itu dia melangkah untuk ke kamarnya.
Arya menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Dia kemudian mengurut-urut keningnya.
"Apa yang terjadi semalam. Apakah aku sudah dijebak? siapa yang berani menjebakku. Dan siapa sebenarnya gadis yang semalam bersamaku. Aku harus selidiki masalah ini."
Semenjak ayah Arya terkena stroke, Arya yang menggantikan posisi ayahnya dikantor menjadi CEO. Sudah satu tahun, Arya menjabat menjadi CEO. Dan selama itu, perusahaan terus berkembang pesat. Arya juga sudah banyak membuka cabang di berbagai daerah.
Arya bangkit dari duduknya. Setelah itu dia ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Selesai mandi, Arya ganti baju. Setelah rapi, Arya melangkah keluar dari kamarnya.
Ring ring ring...
Tiba-tiba ponsel Arya berdering. Arya mengambil ponselnya yang ada di saku celananya.
"Halo..."
"Halo sayang. Bisa nggak hari ini kamu antarkan aku ke tempat kerja aku?"
Arya menatap jam tangannya. Waktu saat ini sudah menunjukan jam enam pagi.
"Baiklah. Aku akan segera ke sana. Tapi aku mau sarapan dulu."
"Iya sayang. Aku tunggu ya."
Arya duduk di ruang makan. Setelah itu dia mengambil roti dan menyuapkan roti itu ke dalam mulutnya. Setelah makan roti, Arya meminum segelas susu.
"Ar, kamu nggak mau sarapan dulu?" tanya Bu Monika.
"Nggak Ma. Aku sudah makan roti. Olivia juga sudah nungguin aku. Dia minta dijemput dan dianterin ke tempat kerjanya,"
"Ya sudah, sana. Antar Oliv dulu."
Arya buru-buru pergi untuk menjemput Olivia di rumahnya.
Setelah sampai di depan rumah Olivia, Arya turun dari mobilnya. Setelah itu dia melangkah ke teras depan rumah Olivia. Arya akan mengetuk pintu. Dia terkejut saat Olivia sudah lebih dulu membuka pintu.
Olivia tersenyum saat melihat Arya.
"Sayang, kamu sudah datang. Ayo kita berangkat."
Arya mengangguk. Setelah itu dia merangkul bahu Olivia dan mengajak Olivia masuk ke dalam mobil.
Olivia adalah tunangan Arya. Dia seorang dokter muda yang bekerja di rumah sakit besar milik keluarga Arya. Sudah dua tahun mereka berpacaran dan sudah satu tahun mereka bertunangan. Arya sangat mencintai Olivia. Begitu juga dengan Olivia, dia juga sangat mencintai Arya. Mereka saling mengenal dan saling mencintai sejak Arya mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu. Olivia lah yang dengan telaten merawat dan mengobati Arya sampai dia sembuh dan bisa berjalan normal lagi.
"Sayang, tadi malam kamu dari mana aja sih? di telpon hape kamu nggak aktif. Di chat juga nggak di baca dan nggak dibalas. Ih, nyebelin banget tahu nggak sih," gerutu Olivia.
"Sayang, maafin aku ya. Semalam aku nginap di rumah teman. Aku memang sengaja nggak aktifkan ponsel aku. Karena aku capek banget. Aku pengin istirahat dengan tenang. Kamu tahu kan, kalau ponsel aku nyalakan, entah berapa kali aku harus membalas chat dan mengangkat telpon," bohong Arya. Dia mencoba meyakinkan tunangannya agar tunangannya percaya kalau semalam Arya benar-benar menginap di rumah teman.
"Iya deh. Aku percaya sama kamu."
Sesampainya di depan rumah sakit, Arya menghentikan mobilnya.
"Sayang. Aku turun dulu ya. Setelah ini kamu mau langsung ke kantor kan?"
"Iya. Ada meeting penting pagi ini."
"Ya sudah, aku pergi dulu ya."
Olivia akan turun dari mobil Arya. Namun Arya segera mencekal tangan Olivia.
"Tunggu sayang. Sepertinya ada yang ketinggalan deh," ucap Arya.
Olivia menatap sekeliling.
"Apa yang tertinggal?" tanya Olivia.
Arya tersenyum sembari menunjuk kening, pipi dan bibirnya.
Olivia tahu apa yang Arya inginkan. Olivia kemudian mencium kening, dan ke dua pipi Arya.
Setelah turun dari mobilnya, Olivia melambaikan tangan ke arah Arya.
"Hati-hati di jalan ya sayang."
"Iya sayang."
Setelah mengantar Olivia, Arya kemudian melanjutkan perjalanannya ke kantor.
****
Satu minggu sejak kejadian malam itu, Arya belum bisa mengetahui siapa orang yang sudah menjebaknya hingga dia sampai di ranjang kamar hotel bersama seorang wanita.
Tok tok tok ...
Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan Arya.
"Masuk...!" seru Arya.
Beberapa saat kemudian, seorang lelaki setengah abad masuk ke dalam ruangan Arya.
"Bagaimana Pak Imron penyelidikannya?" tanya Arya pada assistennya.
"Pak Arya, maaf Pak. Saya belum bisa mendapatkan rekaman CCTV dari hotel itu. Dan saya juga belum bisa menemukan siapa orang yang sudah memberikan bapak obat semalam. Tapi saya sudah mendapatkan informasi tentang wanita yang berada di hotel bersama bapak tadi malam."
Arya terkejut saat mendengar ucapan Pak Imron. Pak Imron memberikan berkas-berkas penyelidikannya pada Arya.
"Namanya Arumi. Dia adalah seorang mahasiswi semester akhir yang sebentar lagi akan melakukan skripsi. Dan dia kuliah di kampus yang sama dengan Non Fani."
"Apa! dia teman sekampus Fani? apakah Fani mengenalnya?"
"Saya kurang tahu kalau soal itu. Anda bisa tanyakan langsung pada Non Fani adik anda."
"Baiklah kalau begitu. Terimakasih informasinya. Tapi anda harus terus menyelidiki siapa orang yang mencoba untuk menjebakku. Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja."
"Baik Pak Arya."
"Ya sudah, kamu boleh pergi dari sini."
Pak Imron kemudian pergi meninggalkan ruangan Arya.
Setelah Pak Imron pergi, seorang karyawan wanita tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Arya.
"Ada apa? kenapa kamu masuk tidak mengetuk pintu dulu," ucap Arya dengan nada tinggi.
"Pak Arya. Ada seseorang yang memaksa masuk untuk menemui anda. Padahal dia tidak punya janji dengan anda sebelumnya."
"Siapa?"
"Dia seorang wanita Pak."
"Siapa namanya?"
"Kalau nggak salah namanya Arumi."
"Apa! Arumi!" pekik Arya.
"Satpam sudah mengusirnya, tapi wanita itu tetap saja memaksa masuk," jelas wanita itu.
"Suruh dia tunggu di lobi. Saya akan menemuinya."
"Baik Pak."
Arya tampak cemas saat mendengar kalau Arumi datang ke kantornya. Arya tidak akan membiarkan Arumi mengacau di kantornya. Lebih baik Arya mengajak Arumi keluar dari kantor untuk bicara.
Saat ini, Arumi sudah menunggu Arya di lobi kantor. Arumi terkejut saat melihat Arya menghampirinya.
Arumi melangkah mendekat ke arah Arya.
"Selamat siang Tuan, akhirnya saya bisa bertemu dengan anda," ucap Arumi.
"Kamu mau ngapain ke sini?" Arya menatap Arumi tajam.
"Saya cuma mau meminta pertanggungjawaban dari anda."
"Pertanggungjawaban?"
"Iya."
"Arumi, ini kantorku. Aku nggak akan membiarkan orang lain tahu tentang masalah kita. Lebih baik kita bicara di luar saja."
"Baiklah."
Arya mengajak Arumi ke sebuah cafe yang ada di dekat kantor. Arya tidak mau ada yang tahu tentang hubungannya dengan Arumi malam itu.
"Arumi, kenapa kamu datang ke kantorku. Kamu mau minta pertanggungjawaban apa? kamu nggak mungkin hamil kan? insiden kita baru satu minggu. Dan kemarin kamu juga sudah membawa uangku pergi."
"Aku mau uang lagi."
Arya terkejut saat mendengar ucapan Arumi.
"Apa? uang lagi. Bukankah kemarin aku sudah memberikan uang banyak sama kamu?"
"Banyak? itu cuma dua juta. Bagaimana mungkin kamu bilang banyak. Kamu itu pengusaha Tuan. Uang kamu pasti banyak. Dengan merusak keperawananku, apakah cukup uang dua juta untuk ganti rugi. Emang aku barang, yang bisa dibuat tawar menawar dan ganti rugi?"
Arya menghela nafas dalam.
" Sebenarnya mau kamu apa sih Arumi? jangan meneror aku terus seperti ini. Katakan mau kamu apa?"
"Aku hanya mau tanggung jawab kamu Tuan. Kamu berikan aku uang atau nikahi aku. Kamu sudah merusak kehidupanku. Kalau sudah seperti ini, apa bisa aku kembali seperti semula. Siapa lelaki yang mau sama aku wanita yang sudah nggak perawan."
"Baiklah aku akan berikan kamu uang. Asal kamu mau tutup mulut dengan kejadian malam itu. Berapa uang yang kamu minta?"
"Tidak banyak. Hanya dua puluh juta."
"Dua puluh juta? hanya dua puluh juta. Baik, aku akan menuliskan cek untuk kamu."
Arya mengeluarkan cek dari saku kemejanya. Setelah itu dia menulis nominal uang yang Arumi minta.
"Ini cek sebesar dua puluh juta. Kamu ambil, dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Karena aku nggak mau kamu merusak hubungan aku dengan tunangan aku."
Arumi mengangguk.
"Baik. Cukuplah uang segini," ucap Arumi.
"Sekarang aku minta kamu pergi dari sini, dan jangan muncul di depanku lagi."
Arumi bangkit dari duduknya. Setelah itu dia pun pergi meninggalkan cafe.
Arumi tersenyum saat mendapat cek itu.
"Maaf Tuan, aku tidak ada maksud memeras mu. Aku hanya membutuhkan uang ini untuk biaya operasi ibuku dan biaya kuliahku," ucap Arumi sembari melangkah pergi ke jalan raya untuk mencari taksi.
Setelah taksi berhenti di depan Arumi, Arumi langsung masuk ke dalam taksi dan meluncur pergi meninggalkan tempat itu. Dia akan kembali ke rumah sakit untuk membayar biaya pengobatan ibunya.
"Pak ke rumah sakit ya."
"Baik Mbak."
Taksi itu meluncur sampai ke rumah sakit. Setelah membayar ongkos taksi, Arumi kemudian turun. Setelah itu dia melangkah masuk ke dalam rumah sakit untuk mencari dokter.
"Dokter Via," ucap Arumi.
Dokter Olivia tersenyum saat melihat Arumi.
"Ada apa Arumi?"
"Aku sudah mendapatkan uangnya Dok. Apakah ibuku sudah bisa operasi sekarang?"
"Kamu yakin sudah mempersiapkan biayanya."
"Yakin Dok. Aku sudah punya uang lima belas juta untuk bayar operasi ibu aku. Tolong lakukan yang terbaik untuk ibu aku."
"Baiklah. Saya akan mempersiapkan operasi ibu kamu hari ini."
Arumi tersenyum saat mendengar ucapan Dokter. Akhirnya ibu Arumi bisa operasi juga. Sudah dua bulan, ibu Arumi menderita penyakit usus buntu. Dan akhirnya Arumi bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi ibunya. Selebihnya, uangnya akan dia gunakan untuk membayar kekurangan biaya kuliahnya.
Arumi sejak tadi masih mondar-mandir di depan ruang operasi. Arumi tampak khawatir dengan operasi ibunya. Setelah dua jam Arumi menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi.
"Dokter Via. Bagaimana Dok kondisi ibu saya?" tanya Arumi.
Olivia tersenyum.
"Selamat ya, operasinya berhasil dan berjalan lancar. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
"Terimakasih banyak ya Dokter. Akhirnya ibu saya bisa operasi juga."
"Arumi, kamu tunggu di sini sampai kami membawa ibu kamu ke ruang rawat."
"Baik Dok."
Olivia adalah dokter yang selama ini merawat ibu Arumi. Dia juga dokter yang sudah menyelamatkan nyawa ibu Arumi. Karena Olivia, ibu Arumi berhasil melakukan operasi dengan baik.
Arumi sejak tadi masih menemani ibunya di ruang rawat.
"Arumi, dari mana kamu mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu?"tanya Maya ibu Arumi.
"Ibu nggak usah fikirkan itu. Ibu fikir kan saja untuk kesembuhan ibu. Karena bagi aku, ibu adalah yang terpenting sekarang."
"Arumi, bagaimana dengan kuliah kamu?"
"Ibu tenang saja. Aku juga masih punya uang untuk membayar kuliahku."
Dari mana Arumi mendapatkan uang sebanyak itu. Arumi hanya bekerja paruh waktu di sebuah cafe. Bagaimana mungkin dia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat. Apa jangan-jangan , Arumi sudah menggadaikan rumah atau hutang ke bank, atau hutang ke rentenir, batin Bu Maya.
"Arumi, katakan sama ibu, dari mana kamu mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu. Apa kamu sudah pinjam ke bank? atau kamu gadaikan rumah kita?"
Arumi tersenyum dan dengan santai menanggapi pertanyaan ibunya.
"Bu, kebetulan di kampus aku punya teman orang kaya. Dan dia sudah baik banget sama aku. Dia mau pinjamin aku uang tanpa bunga. Dan aku bisa membayarnya nyicil. Dan aku akan mengganti uangnya nanti setelah aku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaanku yang sekarang."
"Oh..." Bu Maya manggut-manggut. Tampaknya dia langsung percaya begitu saja dengan ucapan Arumi.
Arumi tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada ibunya. Jika ibunya tahu, kalau Arumi pernah tidur dengan pria kaya dan mendapatkan uang dari pria itu, ibu Arumi pasti akan sangat marah dan kecewa.
Maafkan aku Bu, aku harus bohongi ibu. Ibu nggak boleh tahu, apa yang sudah terjadi padaku. Nggak boleh ada yang tahu, soal hubungan aku malam itu, batin Arumi.
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya ibu Arumi diperbolehkan pulang oleh dokter. Arumi saat ini masih tampak mengemasi barang-barang ibunya yang akan dia bawa pulang.
"Bu, aku sudah masukan semua barang-barang ibu ke tas," ucap Arumi.
"Iya Arumi. Terus, kita mau pulang naik apa?" tanya Bu Maya.
"Aku sudah pesan taksi kok Bu. Nanti kita naik taksi aja ya."
Bu Maya mengangguk.
"Baiklah. Ayo kita pulang Arumi. Sudah siap kan semua barang-barangnya?"
"Sudah Bu."
Arumi kemudian mendorong kursi roda ibunya sampai ke depan rumah sakit.
"Arumi..." ucap seorang lelaki sembari menghampiri Arumi.
Arumi terkejut saat melihat Jefri. Jefri adalah teman sekampus Arumi. Selama ini Jefri menyukai Arumi, namun Arumi selalu menolaknya karena Arumi tidak mau berurusan dengan Fani anak pemilik kampusnya. Karena Fani juga menyukai Jefri.
"Jefri. Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Arumi dengan tatapan sinis.
Jefri tersenyum.
"Arumi, maaf ya. Aku baru sempat datang ke sini untuk jenguk ibu kamu. Tapi sepertinya kalian sudah mau pulang ya," ucap Jefri.
"Iya. Ibu aku sudah satu minggu di rawat di sini. Dan sekarang kami mau pulang."
"Oh, kebetulan kalau gitu. Aku bawa mobil. Bagaimana kalau aku antar kalian pulang."
"Nggak perlu. Aku bisa naik taksi kok "
"Arumi, aku mohon. Jangan tolak niat baikku. Aku cuma kasihan sama ibu kamu Arumi. Dia masih sangat lemah. Kalau naik taksi, kalian harus nunggu lama kan untuk menunggu taksi."
Arumi sejenak diam dan berfikir.
Benar juga sih kata Jefri. Apa lebih baik aku terima tawarannya saja ya. Lagian ini rumah sakit. Fani juga nggak akan lihat aku sama Jefri, batin Arumi.
"Baiklah. Aku mau ikut kamu," akhirnya Arumi menyetujui saran Jefri untuk menumpang mobil Jefri.
Jefri tersenyum. Setelah itu dia mengambil tas Arumi.
"Biar aku yang bawa Arumi," ucap Jefri.
"Iya. Makasih ya Jef."
Jefri dan Arumi kemudian melangkah ke arah dimana mobil Jefri terparkir.
Jefri membantu Bu Maya untuk masuk ke dalam mobil. Setelah itu Arumi dan Jefri pun ikut masuk ke dalam mobil. Mereka kemudian meluncur pergi meninggalkan rumah sakit.
Sesampainya di depan rumah Arumi, Jefri turun dari mobilnya. Setelah itu Jefri membuka pintu mobil untuk Arumi.
"Makasih ya Jef sudah mau ngantar aku dan ibu pulang."
"Iya sama-sama Arumi. Sekarang aku akan bantu kamu membawa ibu kamu masuk."
"Iya."
****
Pagi ini, Arumi sudah siap untuk pergi ke kampus. Sudah satu minggu Arumi tidak berangkat ke kampus karena harus menunggui ibunya di rumah sakit.
Sebelum pergi kuliah, Arumi sarapan bersama ibunya. Selama Bu Maya sakit, Arumi yang mengerjakan pekerjaan rumah termasuk memasak.
"Arumi, kamu sudah siap mau ke kampus?" tanya Bu Maya di sela-sela kunyahanya.
"Iya Bu. Aku mau ke kampus. Aku pengin cepat-cepat lulus agar aku bisa kerja di kantor."
Bu Maya tersenyum. Bu Maya sangat bangga pada Arumi. Sejak SD sampai kuliah, dia selalu mendapatkan peringkat satu. Dan Arumi bisa kuliah di kampus orang-orang elit itu juga karena bantuan beasiswa.
Setelah menghabiskan makanannya, Arumi bangkit dari duduknya. Setelah itu dia pamit pada ibunya.
"Bu, aku pergi dulu ya."
"Iya Arumi. Hati-hati ya di jalan "
"Iya Bu."
Setelah berpamitan pada ibunya, Arumi kemudian pergi meninggalkan rumahnya. Seperti biasa setiap ke kampus, Arumi selalu mengendari motornya.
Sesampainya di kampus, Arumi memarkirkan motornya.
"Arumi,"
Arumi menoleh ke belakang. Ternyata Jefri sudah berdiri di belakang Arumi.
"Jefri. Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Arumi.
"Arumi. Kamu kenapa sih, selalu bersikap dingin sama aku. Aku kan cuma pengin dekat saja sama kamu."
"Jef, tolong jauhin aku. Aku nggak mau buat masalah lagi dengan Fani. Kamu tahu kan kalau Fani itu selama ini suka sama kamu. Kalau kamu dekat sama aku, Fani dan gengnya pasti akan membuly aku."
"Aku nggak peduli sama Fani. Aku nggak suka sama perempuan sombong itu. Selama ini gadis yang aku suka cuma kamu Arumi. Nggak ada yang lain."
"Tapi Jef, maaf. Aku nggak bisa menerima kamu. Aku hanya ingin fokus pada kuliahku. Aku ingin cepat lulus agar aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk aku. Aku mau membantu ibu aku."
Jefri tersenyum.
"Arumi, aku nggak perduli kamu mau menerima aku atau mau menolak aku. Yang penting sekarang aku cuma suka sama kamu. Dan aku akan menunggu sampai kamu siap menerimaku menjadi pacar kamu."
Arumi bingung bagaimana caranya dia untuk menghadapi Jefri. Sudah beberapa kali Arumi menolak Jefri. Namun Jefri tidak pernah menyerah. Sepertinya Jefri sudah tergila-gila pada Arumi. Sejak awal Arumi berada di kampus itu, Jefri sudah mengejar-ngejar Arumi. Namun Arumi selalu menjauhinya karena dia tidak mau terlibat masalah dengan Fani.
Fani menatap Arumi dari kejauhan.
"Kurang ajar. Beraninya Arumi dekatin Jefri lagi. Apa dia nggak takut sama kita," ucap Salsa salah satu teman Fani
"Fan, apa kita harus kasih pelajaran ke Arumi," ucap Nana teman Fani yang lain.
"Arumi itu sudah benar-benar mau melawanku, ayo kita samperin dia. Kita kasih dia pelajaran. Agar dia tidak berani macam-macam sama kita. Beraninya dia mau rebut Jefri dariku," geram Fani.
Setelah Jefri pergi, Fani dan ke dua temannya menghampiri Arumi.
"Heh, Arumi. Sudah aku peringatkan berapa kali sama kamu. Jangan pernah dekatin Jefri. Tapi kamu masih nekat dekatin dia," ucap Fani sembari mendorong tubuh Arumi yang membuat tubuh Arumi terhuyung ke belakang.
Arumi terkejut saat melihat Fani dan ke dua temannya datang. Arumi tahu, pasti tadi Fani melihat Jefri sedang ngobrol dengannya. Makanya Fani langsung marah pada Arumi.
"Fani, aku nggak pernah dekatin Jefri. Jefri sendiri yang deketin aku. Lagian, aku dan Jefri juga nggak punya hubungan apa-apa. Kenapa kamu harus marah," ucap Arumi membela diri.
"Heh, Arumi. Aku peringatkan ya sama kamu. Jangan membuat masalah sama Fani. Kamu tahu kan Fani siapa? dia anak pemilik kampus ini. Kalau kamu berani macam-macam sama Fani, Fani bisa membuat kamu keluar dari kampus ini," ancam Nana.
"Mulai sekarang kamu jauhin Jefri. Karena Jefri itu cowok Fani. Kalau kamu masih ingin lama kuliah di sini, lebih baik kamu nggak usah buat masalah dengan Fani," ucap Salsa.
Arumi bingung harus menjelaskan apa pada Fani. Apapun yang Arumi katakan, Fani tidak akan mempercayainya. Arumi tidak mau terlalu lama meladeni mereka. Dia lebih memilih pergi meninggalkan Fani dan gengnya.
"Ih. Dasar. berani ya kamu melawan kita," ucap Salsa yang sudah cukup emosi karena Arumi pergi begitu saja meninggalkan mereka.
"Sudahlah, kita masuk kelas saja. Nggak usah ladenin dia. Aku yakin, Jefri dan dia nggak punya hubungan apa-apa. Lagian, mana ada cowok yang mau deketin anak orang miskin seperti Arumi. Lagian dia bisa sekolah di kampus ini juga karena beasiswa. Kalau nggak ada beasiswa, mana bisa dia kuliah disini," ucap Fania.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!