NovelToon NovelToon

Pesan Masa Lalu

Jurnal Tua

Debu beterbangan ketika Kinanti membuka pintu loteng yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh. Sinar matahari sore menerobos masuk melalui celah-celah genteng, menciptakan berkas-berkas cahaya keemasan yang memotong keremangan ruangan. Gadis berusia tujuh belas tahun itu mengeratkan genggaman pada senter di tangannya, meskipun cahaya yang masuk sudah cukup untuk menerangi sebagian besar ruangan tetapi ada sedikit rasa takut dalam hatinya.

"Eyang bilang kopernya ada di sekitar sini," gumamnya sambil menyapukan pandangan ke sekeliling loteng.

Ruangan itu dipenuhi berbagai barang tua, mulai dari lemari kayu yang sudah dimakan rayap, beberapa kursi rotan yang anyamannya sudah lepas, dan tumpukan kardus yang menguning dimakan usia. Aroma kayu tua dan kertas lama memenuhi udara, menciptakan atmosfer nostalgia yang entah mengapa terasa familiar.

Kinanti melangkah dengan hati-hati di atas lantai kayu yang berderit, menghindari beberapa papan yang tampak rapuh. Matanya tertuju pada sebuah koper kulit tua yang tersembunyi di balik tumpukan kardus. Koper itu, meski berdebu, masih tampak elegan dengan aksen kuningan di sudut-sudutnya.

"Itu dia!" serunya pelan, lebih kepada diri sendiri.

Dengan hati-hati, ia menarik koper itu keluar dari persembunyiannya. Debu tebal yang menyelimuti koper itu membuat Kinanti terbatuk-batuk. Tangannya yang lentik menyapu permukaan koper, memperlihatkan warna cokelat tua yang masih tampak mengilap di balik lapisan debu.

Kunci kecil yang diberikan Eyang Karso terasa dingin dalam genggamannya. Kinanti segera memasukkan kunci itu ke lubangnya, dan dengan bunyi 'klik' pelan, koper itu terbuka.

Aroma kertas tua yang khas segera menyeruak keluar. Di dalam koper, tertata rapi berbagai dokumen dan buku-buku tua. Namun yang menarik perhatiannya adalah sebuah buku jurnal bersampul kulit yang tampak paling terawat di antara tumpukan itu.

"17 Agustus 1945"

Kinanti membaca tulisan yang tertera di halaman pertama jurnal. Tulisan tangan yang rapi namun sedikit memudar itu seolah berbisik padanya, mengundangnya untuk menyelami kisah yang tersimpan di dalamnya.

Dengan rasa penasaran, Kinanti duduk bersila di lantai loteng dan membuka jurnal yang kini ada di pangkuannya. Halaman demi halaman mulai ia buka, membiarkan dirinya tenggelam dalam catatan sejarah yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

"Hari ini, semuanya berubah. Proklamasi telah dibacakan. Indonesia telah merdeka. Namun perjuangan kami masih jauh dari selesai. Soekarno-Hatta mungkin telah mengucapkan kata-kata yang menggetarkan jiwa kami, tapi di jalanan Surabaya, dentuman meriam masih terdengar. Kami masih harus berjuang..."

Jantung Kinanti berdebar kencang membaca setiap kata. Ini bukan sekadar catatan sejarah yang biasa ia baca di buku pelajaran. Ini adalah kisah nyata, ditulis oleh seseorang yang benar-benar ada di sana, menyaksikan dan merasakan langsung detik-detik bersejarah itu.

Tiba-tiba, saat Kinanti sedang membuka halaman berikutnya, selembar foto terjatuh. Kinanti memungutnya dengan hati-hati. Foto hitam putih yang sudah menguning itu menampilkan seorang gadis muda, mungkin seusianya, sedang mengenakan kebaya sederhana. Ia berdiri di depan sebuah gedung yang Kinanti kenali sebagai gedung tua di pusat kota.

Napasnya tercekat.

Gadis dalam foto itu... wajahnya... seperti melihat ke cermin. Rambut hitam panjang yang sama, mata yang sama, bahkan lengkung senyumnya...

Kinanti seolah melihat dirinya sendiri dalam foto yang diambil hampir 80 tahun yang lalu.

Di belakang foto itu, ada tulisan tangan yang sama dengan yang ada di jurnal

"Kartika, Surabaya, 10 November 1945"

"Kartika?" bisik Kinanti. Nama itu terasa familiar, meski ia yakin tak pernah mendengar dimana sebelumnya.

Suara langkah kaki di tangga loteng tiba-tiba mengejutkannya.

"Kinanti? Kamu masih di atas?" Suara serak Eyang Karso terdengar dari bawah.

"Ya, Eyang! Aku... aku menemukan sesuatu!"

"Turunlah, Nduk. Sudah sore."

Kinanti menatap foto itu sekali lagi sebelum menyelipkannya kembali ke dalam jurnal. Sesuatu membisikkan padanya bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang akan mengubah hidupnya. Dengan hati-hati, ia membawa jurnal itu bersamanya, meninggalkan loteng yang kini tampak berbeda di matanya, bukan lagi sekadar ruangan berdebu, melainkan sebuah portal ke masa lalu yang masih menyimpan begitu banyak rahasia.

 Saat ia menuruni tangga loteng, sinar matahari sore yang menerobos jendela menciptakan bayangan panjang di dinding. Untuk sesaat, Kinanti merasa seolah bayangan itu bukan miliknya sendiri, tapi milik Kartika, gadis dalam foto yang seolah mengikutinya dari masa lalu yang jauh.

 Di ruang tengah, Eyang Karso sudah menunggunya dengan secangkir teh jahe hangat dan wajah yang penuh arti. Kinanti segera mendekati eyangnya dengan jurnal tua di tangan, siap mendengarkan kisah yang mungkin akan menjelaskan mengapa ia begitu mirip dengan gadis bernama Kartika dalam foto tua itu.

"Duduklah, Nduk," kata Eyang Karso sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Kinanti duduk di samping eyangnya, jurnal tua itu masih erat dalam genggamannya. Matahari sore mulai tenggelam di horizon, menciptakan latar sempurna untuk sebuah kisah yang akan membawanya menjelajahi lorong waktu, menguak rahasia keluarga yang telah tersimpan selama hampir delapan dekade.

Cerita Eyang

Senja mulai merambat di jendela ruang tengah rumah tua itu. Kinanti kini sudah duduk bersila di atas permadani usang, tepat di hadapan kursi goyang kesayangan Eyang Karso. Jurnal tua yang baru ia temukan terasa begitu berat di pangkuannya, seolah menyimpan beban sejarah yang tak terhitung.

Di hadapannya, secangkir teh jahe mengepul hangat, sementara sang kakek sedang memandang jauh ke arah pohon mangga tua di sudut halaman. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan eyangnya hari ini – seolah sedang menerawang jauh ke masa lalu.

"Eyang," Kinanti memecah keheningan, tangannya menggenggam erat foto usang yang ia temukan di loteng kemarin.

"Siapa sebenarnya Kartika ini?" Tanya Kinanti lembut, matanya menatap penuh harap pada sang kakek yang baru saja menyesap teh jahenya.

Eyang Karso terdiam sejenak. Tangannya yang keriput menggenggam erat pegangan kursi goyang. Matanya yang sudah berkabut oleh usia menerawang jauh, seakan menembus dinding waktu ke masa lalu yang telah lama terkubur.

"Kartika..." suaranya bergetar, "adalah nama yang sudah lama tidak Eyang dengar, Nduk."

Eyang Karso menghela napas panjang. Uap tipis kembali mengepul dari cangkir tehnya. Kerutan di wajahnya semakin dalam saat ia mulai berbicara, "Nduk, kamu yang baru tujuh belas tahun pasti sulit membayangkan bagaimana rasanya hidup di masa perang kemerdekaan."

Kinanti menegakkan duduknya, merasakan ada sesuatu yang penting akan diceritakan eyangnya.

"Kartika itu..." Eyang Karso terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca.

 "Dia kakak kandung nenekmu, Nduk. Saudara tertua dari dua bersaudara." Eyang mengambil jeda, seolah mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang berserakan.

 "Cantik, pintar, ceria dan yang terpenting – dia punya keberanian yang jarang dimiliki gadis-gadis pada zamannya."

"Kakak dari nenek?" Kinanti terperangah.

"Tapi kenapa selama ini tidak pernah ada yang cerita tentang dia?"

Eyang Karso mengambil foto dari tangan Kinanti. Jarinya yang keriput mengusap lembut wajah gadis dalam foto itu. "Nduk, kadang ada kenangan yang terlalu menyakitkan untuk diceritakan. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu."

Kinanti mendekatkan diri ke kursi Eyang, jurnal di pangkuannya kini terasa semakin berat.

"Memang, apa yang terjadi padanya, Eyang?" Tanya Kinanti yang kembali menatap kakeknya dengan banyak pertanyaan.

Kursi goyang berderit pelan saat Eyang Karso mengatur posisi duduknya. Di luar, burung-burung mulai berkicau pulang ke sarang, menciptakan melodi senja yang menenangkan. Eyang Karso terdiam sejenak, kemudian kembali menghela napas panjang.

"Tahun 1945," Eyang melanjutkan, suaranya kini lebih mantap.

"Saat itu, Kartika baru berusia 19 tahun, tidak jauh beda dengan kamu sekarang. Dia mahasiswa kedokteran, satu-satunya perempuan di angkatannya.”

"Ketika semua orang sibuk bersorak merayakan kemerdekaan, Kartika tahu bahwa perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai. Ternyata tebakannya benar, Jepang datang dan akhirnya semua perkuliahan harus berhenti." Jelas Eyang Karso sembari menyesap teh jahenya yang mulai mendingin.

“Dia bergabung dengan kelompok dokumentasi rahasia, mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti perjuangan bangsa kita."

Kinanti bisa melihat bayangan masa lalu terpantul di mata eyangnya yang berkaca-kaca.

"Kartika bukan hanya mencatat. Dia adalah mata dan telinga gerakan bawah tanah. Menyamar dan berkeliling dari satu daerah ke daerah lain, mengumpulkan informasi, menghubungkan para pejuang, dan yang terpenting – mendokumentasikan setiap momen penting dalam perjuangan kita."

Eyang Karso mengambil jurnal dari pangkuan Kinanti, membukanya dengan hati-hati.

"Tulisan tangannya selalu rapi, bahkan dalam situasi paling genting. Lihat ini," dia menunjuk salah satu halaman, "catatan ini dibuat di tengah gempuran musuh di Kota Tua."

Kinanti memperhatikan tulisan yang menguning dimakan usia. Tulisan tangan yang rapi dan mengalir, kontras dengan isi yang menggambarkan situasi mencekam.

"Kartika tidak pernah bisa diam melihat ketidakadilan. Selain menjadi kelompok dokumentasi rahasia, ia juga bergabung dengan gerakan bawah tanah. Menjadi kurir, membawa pesan-pesan rahasia. Kadang menyamar jadi perawat untuk mengobati pejuang yang terluka. Dia sangat pandai menyamar – bisa jadi siapa saja."

Angin sore bertiup lembut, menggoyang daun-daun mangga. Eyang Karso terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya.

"Tapi kemudian," suara Eyang Karso memelan, "di suatu malam di penghujung tahun 1946, Kartika mendapat tugas penting. Ada dokumen rahasia yang harus diselamatkan – dokumen yang bisa membahayakan banyak pejuang kalua sampai jatuh ke tangan musuh. Dia berangkat malam itu juga, sendirian."

Kinanti bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu apa yang terjadi, Eyang?"

"Dia tidak pernah kembali," suara Eyang Karso tercekat.

“Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi. Ada yang bilang dia tertangkap musuh, ada yang mengatakan dia melarikan diri ke luar negeri dengan dokumen-dokumen penting, bahkan ada yang percaya dia masih hidup dan bersembunyi sampai sekarang."

"Kami mencarinya selama berminggu-minggu. Tapi yang ditemukan hanya tasnya, tersangkut di pinggir sungai Ciliwung. Dan dokumen yang dibawanya... hilang."

Air mata mulai menggenang di sudut mata Eyang Karso. Kinanti belum pernah melihat eyangnya menangis sebelumnya.

"Nenekmu, adiknya Kartika, tidak pernah bisa menerima kepergiannya. Dia selalu percaya Kartika masih hidup di suatu tempat. Sampai akhir hayatnya, dia terus mencari. Dan sekarang..." Eyang menatap dalam-dalam wajah Kinanti, "kamu begitu mirip dengan Kartika. Bukan hanya wajahmu, tapi juga semangatmu, cara kamu memandang dunia."

“Saat Eyang pertama kali melihatmu membawa jurnal ini, rasanya seperti melihat Kartika muda kembali hadir di ruangan ini."

Kinanti meraih tangan eyangnya yang bergetar, menggenggamnya erat. Di kepalanya berkelebat berbagai pertanyaan. Kenapa cerita ini baru ia dengar sekarang? Apa yang sebenarnya ada dalam dokumen itu? Dan mengapa ia bisa begitu mirip dengan Kartika?

"Eyang," Kinanti berbisik pelan, "Tolong ceritakan lebih banyak tentang Kartika. Aku ingin tahu segalanya."

Eyang Karso tersenyum, senyum yang menyimpan ribuan cerita. "Kartika selalu percaya bahwa kebenaran tidak bisa selamanya disembunyikan. Ada banyak yang harus kamu ketahui, Nduk. Tapi tidak semua bisa diceritakan hari ini. Yang perlu kamu tahu sekarang adalah... Kartika meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Dan mungkin... mungkin sudah waktunya kamu yang akan membuka tabir rahasia ini."

Di luar, langit telah sepenuhnya gelap. Tapi di rumah tua itu, api semangat baru telah menyala – api yang sama yang pernah berkobar di mata seorang gadis bernama Kartika, hampir 80 tahun yang lalu.

"Besok," kata Eyang Karso, "Eyang akan ceritakan lebih banyak. Ada yang harus kau ketahui tentang peta-peta kuno dan kode-kode rahasia yang Kartika tinggalkan. Tapi malam ini, simpan dulu jurnal itu di tempat yang aman. Karena mulai sekarang, kau juga akan menjadi bagian dari sejarah ini."

Kinanti mengangguk, memeluk jurnal itu erat ke dadanya.

Saat matahari tenggelam di ufuk barat, Kinanti merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Cerita eyangnya bukan sekadar kisah masa lalu – ini adalah awal dari sebuah pencarian. Dan entah bagaimana, ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini.

Di kejauhan, burung-burung pulang ke sarang, dan lampu-lampu mulai menyala satu per satu. Kinanti masih duduk di beranda, mencerna setiap kata eyangnya, sambil bertanya-tanya tentang misteri apa yang menunggunya di depan. Satu hal yang ia yakin, Kartika telah meninggalkan jejak– seorang pahlawan yang kisahnya terlupakan, menunggu untuk ditemukan kembali. Dan sekarang, entah bagaimana, takdir telah memilihnya untuk mengikuti jejak itu.

Pertemuan

Perpustakaan kota di sore hari selalu menjadi tempat favorit Kinanti. Aroma kertas tua bercampur dengan dinginnya AC dan wangi kayu dari rak-rak tinggi yang berjajar rapi menciptakan suasana yang membuatnya betah berlama-lama. Hari ini, dengan jurnal Kartika tersimpan aman dalam tas selempangnya, dia datang dengan misi khusus, yaitu mencari informasi tentang gerakan dokumentasi rahasia pada masa revolusi.

"Maaf, rak sejarah perjuangan kemerdekaan ada di sebelah mana ya?" tanya Kinanti pada petugas perpustakaan yang tengah menata buku.

"Lantai dua, bagian pojok kanan," jawab petugas itu sambil tersenyum. "Tapi sebagian besar sudah dipinjam oleh pengunjung yang di sana itu," tambahnya sembari menunjuk ke arah seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan.

Kinanti menoleh dan melihat tumpukan buku sejarah memenuhi meja di hadapan seorang pemuda berseragam SMA yang sama dengannya. Namun wajah pemuda itu tidak terlihat jelas karena tertutupi buku-buku yang sedang ia baca.

Dengan sedikit kecewa, Kinanti memutuskan untuk tetap mencari di rak Sejarah walau tinggal bersisa beberapa buku saja.

"Arsip tahun 1945 sampai 1950," gumamnya sambil menelusuri label-label di punggung buku yang tersisa. Jari-jemarinya yang lentik menyusuri deretan buku dan dokumen yang berdebu, mencari petunjuk apa pun tentang Kartika.

Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkannya.

"Mencari sesuatu?"

Kinanti menoleh dan mendapati seorang pemuda tinggi berdiri agak jauh di belakangnya. Dia mengenali pemuda itu – Reza Aditya Pratama, ketua OSIS yang terkenal di sekolahnya.

"Oh, hai," Kinanti mencoba menyembunyikan keterkejutannya.

"Aku sedang mencari informasi tentang periode 1945-1950." Jawabnya sedikit kikuk.

Reza mendekat, matanya berbinar tertarik.

"Kebetulan sekali. Aku juga sedang meneliti periode yang sama untuk tugas sejarah keluarga." Dia menunjuk sebuah buku tebal yang ada di meja sudut ruangan.

Kinanti tidak menyangka, ternyata pemuda yang tadi ia lihat sedang menguasai semua buku Sejarah di sudut ruangan itu adalah Reza.

"Ayo, kau mungkin bisa menemukan apa yang kau cari di sana.” Lanjut Reza mengajak Kinanti untuk menuju ke sudut ruangan dimana ia membaca semua buku sejarah tadi.

Dengan ragu-ragu, Kinanti berjalan mengikuti Reza.

"Um, terima kasih... Ngomong-ngomong, aku Kinanti."

"Aku tahu," Reza tersenyum. “Kamu yang di kelas 12 IPA 2 kan? Kita pernah sekelas di lintas minat sejarah, ingat?"

Kinanti mengangguk, sedikit terkejut Reza mengetahui namanya padahal mereka tidak pernah berinteraksi meskipun dalam satu kelas yang sama.

"Duduklah," Reza menunjuk kursi di seberangnya.

"Kebetulan aku juga sedang meneliti periode yang sama. Mungkin kita bisa saling sharing informasi?"

Kinanti duduk dengan hati-hati, mengamati buku-buku yang berserakan di meja. Matanya menangkap judul-judul yang familiar belakangan ini setelah menemukan jurnal Kartika.

"Gerakan Bawah Tanah 1945", "Dokumentasi Revolusi", "Para Mata-mata Kemerdekaan"

"Jadi," Reza membuka pembicaraan sambil membuka bukunya,

"Kamu tertarik dengan sejarah perjuangan juga?" tanya Reza sambil menggeser beberapa buku ke arah Kinanti.

"Sebenarnya..." Kinanti ragu sejenak, tangannya menggenggam erat jurnal Kartika di dalam tas.

Haruskah dia mempercayai Reza? Tapi ada sesuatu dalam cara pemuda itu berbicara tentang sejarah yang membuatnya merasa aman.

Setelah banyaknya pertimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk jujur.

"Aku sedang mencari informasi tentang seseorang. Namanya Kartika."

Buku di tangan Reza mendadak terjatuh mendengar jawaban Kinanti.

"Kartika? Kartika yang anggota tim dokumentasi rahasia itu?" Tanya Reza dengan antusias.

Kini giliran Kinanti yang terkejut mendengarnya.

"Kamu tahu tentang dia?"

Reza mengangguk pelan, matanya menyiratkan ketertarikan mendalam.

"Dulu kakekku sering bercerita tentangnya. Mereka... mereka bekerja sama dalam organisasi rahasia yang mendokumentasikan perjuangan kemerdekaan."

"Tunggu," Kinanti mencondongkan tubuhnya ke depan, "kakekmu kenal dengan Kartika?"

"Lebih dari kenal," Reza menurunkan suaranya sembari mengambil selembar foto dari dompetnya.

"Lihat ini."

Foto hitam putih yang sudah menguning itu menunjukkan sekelompok orang muda berpakaian sederhana, berdiri di depan sebuah gedung tua. Di tengah foto, Kinanti melihat wajah yang sangat mirip dengannya – Kartika – dan di sampingnya...

"Ini kakekku," Reza menunjuk seorang pemuda tinggi yang berdiri di samping Kartika.

"Mereka adalah rekan seperjuangan. Kartika adalah koordinator tim dokumentasi untuk wilayah Jawa Tengah. Kakekku, Pratama Widjaya, adalah salah satu agen terbaik mereka."

Kinanti merasakan jantungnya berdebar kencang.

"Reza... Kartika itu adalah kakak dari nenekku."

Keheningan menyelimuti mereka. Suara-suara di perpustakaan seolah menjauh, menyisakan mereka berdua dalam gelembung waktu yang terasa berhenti.

"Jadi..." Reza akhirnya berbicara.

"Ini yang dinamakan takdir? Kita, cucu dari dua orang yang berjuang bersama, bertemu di sini?"

Mereka bertukar pandang, menyadari bahwa pertemuan ini bukan kebetulan belaka. Di luar jendela perpustakaan, matahari mulai tenggelam, menciptakan bayangan panjang di antara rak-rak buku.

"Kemarin, Aku menemukan sesuatu," akhirnya dia berkata sembari mengeluarkan jurnal Kartika.

"Tentang kakak dari nenekku, Kartika."

Mata Reza melebar saat Kinanti membuka jurnal itu.

"Aku menemukan ini kemarin di rumah Eyang Karso. Ada banyak catatan tentang misi-misi rahasia, tapi juga banyak bagian yang masih misterius."

Reza mengamati jurnal itu dengan mata berbinar.

"Ini... ini harta karun sejarah, Kinanti. Kakekku punya beberapa foto dan dokumen juga di rumah. Mungkin kalau kita gabungkan informasinya..."

"Kita bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada Kartika," Kinanti melanjutkan kalimat Reza.

Mereka menghabiskan dua jam berikutnya dengan membandingkan catatan, mencocokkan tanggal, dan menemukan bahwa Kartika dan Pratama adalah bagian dari organisasi rahasia yang sama – sebuah kelompok yang bertugas mendokumentasikan perjuangan kemerdekaan dan menyimpan bukti-bukti penting.

"Lihat ini," Reza menunjuk sebuah catatan di jurnal Kartika. "Tanggal 15 Agustus 1946, Kartika menulis tentang misi berbahaya dengan 'P.W.' – pasti itu kakekku, Pratama Widjaya."

"Dan di catatan kakekmu," Kinanti menambahkan, "ada detail tentang sistem kode yang mereka gunakan. Kode yang sama yang muncul di beberapa halaman jurnal Kartika!"

Langit di luar sudah mulai gelap ketika mereka akhirnya menyadari waktu. Penjaga perpustakaan sudah mulai mematikan beberapa lampu, memberi tanda bahwa perpustakaan akan segera tutup.

"Ini bukan kebetulan," kata Reza sambil membereskan bukunya.

"Kita harus menyelidiki ini lebih jauh. Kakek selalu bilang ada rahasia besar yang belum terungkap."

 Kinanti mengangguk setuju.

"Besok Sabtu," kata Reza sambil mengeluarkan ponselnya, "aku akan membawa beberapa peninggalan kakekku."

Kinanti mengangguk bersemangat. "Aku akan ajak Eyang Karso juga.”

Reza mengangguk puas, "Mungkin sudah waktunya kita menyelesaikan misi yang Kartika tinggalkan," tambahnya dengan senyum penuh arti

Saat mereka membereskan buku-buku, Kinanti tidak bisa menahan senyum. Dalam satu hari, pencarian tentang Kartika telah membawanya pada sekutu tak terduga. Dan entah mengapa, melihat semangat yang terpancar dari mata Reza, dia yakin ini baru permulaan dari petualangan yang jauh lebih besar.

Mereka berjalan keluar perpustakaan bersama. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye di langit kota. Kinanti merasakan sesuatu yang berbeda – seolah takdir telah membawanya bertemu Reza untuk sebuah alasan yang lebih besar.

"Sampai jumpa besok," kata Reza saat mereka berpisah di depan perpustakaan. "Oh, dan Kinanti..."

“Ya?”

“Hati-hati dengan jurnal itu. Menurut cerita kakek, ada banyak pihak yang menginginkan dokumen-dokumen seperti itu."

Kinanti mengangguk paham dan segera memegang dengan erat tas berisi jurnal Kartika itu.

“Dan satu hal lagi…” ucap Reza.

“Terima kasih sudah mempercayaiku dan menceritakan semua ini, terima kasih sudah membuat sejarah terasa hidup kembali."

Kinanti tersenyum, dan masih menggenggam erat jurnal Kartika dalam pelukannya.

"Sampai jumpa besok," kata Reza sebelum mereka berpisah di gerbang perpustakaan.

Dalam perjalanan pulang, Kinanti tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan hari ini. Bukan hanya tentang hubungan mengejutkan antara Kartika dan kakek Reza, tapi juga tentang misteri yang sepertinya semakin dalam. Dan entah mengapa, dia merasa bersyukur tidak harus menghadapi semua ini sendirian.

Di langit, bintang-bintang mulai bermunculan, seakan-akan ikut menyaksikan lahirnya sebuah kisah baru yang akan mengubah hidup mereka selamanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!