Katanya, karena gue keseringan mancing ikan di pinggir sungai sambil memakan roti isi selai nanas yang gue beli satu jam sebelum pancingan dilontarkan, gue jadi gak perhatian lagi sama dia. Kata teman-temannya gue juga tidak bisa bergaul saat mereka nongkrong di kedai kopi hingga larut malam. Bahkan kata nenek tetangganya alis gue seperti makam.
Selalu ada salah di antara ciri-ciri sebuah hubungan yang sudah mencapai akhir. 7 tahun bersama yang dimulai dengan pengumuman kelulusan SMA ternyata hanya berakhir dengan kalimat sederhana.
"Kita putus," ucapnya.
Di antara kami, air mata yang membasahi pipi ternyata lebih banyak darinya. Ternyata hati kecil gue benar, kalau gue memang tidak sesayang itu lagi sama dia.
"Kenapa diam aja!? Kita putus!" katanya sambil terisak.
"Kamu jangan nangis. Kamu jangan sesedih itu."
Satu minggu kemudian, histori pencarian di HP gue dipenuhi dengan keyword: cara merelakan mantan, cara tidak sakit hati lagi, cara cepat move on, amalan cepat jodoh, cara membuat mantan menyesal, tutorial sugesti patah hati, download gratis ebook move on, kriteria pasangan zodiak, ramalan jodoh, orang-orang sukses setelah putus cinta, kisah hidup raja romawi, kiat-kiat membuat mantan menelpon lagi, how to stop banjir, memberantas koruptor tanah air, apakah benar dengan menjadi kaya raya dapat membuat mantan ingin balikan?
Ternyata, malah gue yang sedih berlarut-larut. Paket internet gue hanya gue habiskan untuk menyesali. Sampai di suatu hari gue melihat sebuah iklan yang terpasang di sebuah dinding WC umum.
"Ingin kaya raya? Ingin dikejar-kejar wanita? Ingin mantan Anda menyesal dan mengejar-ngejar Anda lagi? Bergabunglah bersama kami!"
Sambil menunggu joran pancing yang belum juga bergerak, gue terus aja memandangi iklan itu. Gue tahu, hanya orang kurang pintar yang akan benar-benar menghubungi kontaknya.
Untungnya gue teringat dengan guru gue. Sebenarnya bukan guru juga, bisa dibilang sahabat gue. Bukan sahabat dekat juga sebenarnya. Dia adalah bapak-bapak yang kebetulan duduk bersebelahan dengan gue ketika memancing beberapa bulan yang lalu. Kami belum sempat kenalan, tapi gue ingat dia juga suka memancing.
Dia bilang gini: "Kalau kamu penasaran dengan satu hal, tapi kamu juga masih ragu dengan hal itu, maka coba tanyakan pada hatimu yang lugu. Jawablah penasaranmu kata demi kata."
Jawablah "kata demi kata." Gue tersenyum lebar ketika mengingat hal itu.
"Ingin kaya raya? INGIN! Ingin dikejar-kejar wanita? INGIN! Ingin mantan Anda menyesal dan mengejar-ngejar Anda lagi? INGIN! Bergabunglah bersama kami! GABUNG!"
Tut ... tut ... tut ....
Panggilan telepon gue akhirnya diangkat.
"Halo, saya ingin!" kata gue dengan semangat.
"Halo, selamat sore Bapak Ingin. Ada yang ingin kami bantu?"
"Saya Mardo, Pak. Saya ingin!"
"Baiklah Bapak Mardo, ada yang ingin dibantu?"
"Saya ingin gabung, Pak!"
"Oh, soal iklan, ya? Baik ... baik."
Tiga hari kemudian, duduklah gue di sebuah ruko dua lantai dengan kemeja putih celana hitam semata kaki. Dua hari yang lalu gue sempat membaca sebuah artikel soal patah hati. Dijelaskan di sana, bahwa salah satu cara sembuh dari sakit hati ialah dengan melakukan kegiatan baru dan menjadi kaya raya.
Dengan gue berada di sini sekarang, maka gue yakin gue sudah melangkah ke jalan yang tepat. Di samping gue sedang duduk seorang pria yang sepertinya juga masih berumur 23 tahun, sama seperti gue. Pria itu bangkit dari kursinya ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari dalam ruangan di seberang. Mungkin hanya butuh waktu 5 menit sebelum dia keluar dengan tampang kesal.
Gue lalu teringat dengan nenek tetangga mantan gue yang selalu memasang tampang kesal ketika melihat gue. katanya gue jelek, makanya dia kesal. Nama gue dipanggil.
"Bapak Mardo?"
Gue mengangkat tangan.
"Silakan masuk, Pak."
Di depan gue telah duduk seorang kakek-kakek berkumis lebat dengan jas berwarna hitam yang kebesaran. Sebelum mempersilakan gue duduk, dia meminum kopi hitam yang ada di mejanya.
"Sudah kentut?" tanyanya yang belum menatap gue.
"Belum, Pak."
"Silakan duduk."
Gue memperhatikan sekeliling ruangan itu. Banyak lukisan-lukisan orang bermuka sangar yang rata-rata berkumis tebal. Karena keasyikan memandang sekitar, tanpa bisa gue kontrol, angin liar dari pantat gue keluar begitu aja.
"Maaf, Pak ... maaf."
"Tidak apa-apa, angin di sini memang suka masuk."
Dia menatap gue. Ada aura intimidasi yang gue rasakan.
"Mardo, ya? Darimana tahu lowongan kerja di sini?"
"Saya melihat iklannya, Pak. Di dinding WC."
"Kamu sungguh-sungguh mau kerja?"
"Mau, Pak."
Dia menyalami gue.
"Welcome to the club, Man."
Dengan wajah berseri-seri, gue meninggalkan ruangan itu. Di luar, seseorang yang tadi memanggil gue telah menunggu.
"Selamat bergabung dengan perusahaan kami, Pak Mardo. Semoga kita bisa bekerja sama sebagai tim, ya."
"Iya, Pak, terima kasih. Saya bisa mulai masuk kerja kapan, ya, Pak?"
"Jumat Kliwon, Pak, jam 11 malam datang ke sini lagi, ya. Pakaian kerja di sini bebas, yang penting warna hitam dari atasan sampai bawahannya."
"Oh, siap, Pak. Kalau boleh tahu, saya ngerjain apa aja, ya, Pak?"
"Nanti Pak Mardo lihat sendiri, deh. Bapak gak ada trauma sama kuburan, kan?"
"Gak ada, Pak."
"Baik, sampai ketemu nanti, ya, Pak."
Pada malam Jumat Kliwon, yang artinya malam di mana besok gue harus masuk kerja, gue baru aja menyelesaikan transaksi penjualan semua alat pancing kesayangan gue. Pembelinya adalah seoang kakek-kakek yang baru satu minggu pensiun dari pegawai negeri, terus katanya bingung mau ngapain lagi.
Karena baru punya uang, jadinya gue buru-buru membeli baju dan celana buat kerja besok. Katanya pakaiannya bebas yang penting serba hitam. Masih jam 8 malam, sampailah gue pada sebuah pasar. Terjadilah proses pilih-memilih, tawar-menawar antara gue dan pemilik toko.
"Yang lengan panjang ukuran S ada, kan, Bang?"
"Hitam polos, kan? Ada, sih yang ukuran S, tapi tangannya XL."
"Hah? Gimana, tuh?"
"Jadi dia badannya ukuran S, tapi tangannya sepanjang XL."
Manusia macam apa yang punya badan kecil tapi tangannya panjang selain maling? Gak ada, kan!? Kayaknya gue salah masuk toko, deh.
"Bercanda, kok ... gitu aja mau nangis."
Dia menyerahkan baju kaos lengan panjang kepada gue.
"Sekalian celana panjang hitam polos, ya, Bang. Ukuran 29."
Sambil menyerahkan celana itu, dia memperhatikan pinggang gue.
"Banyakin makan, ya."
Karena belum dikasih tahu gue akan kerja apaan, jadinya pikiran gue membuat asumsi-asumsi sendiri. Pekerjaan apa yang dilakukan malam hari di kuburan dengan pakaian serba hitam? Apalagi kalau bukan mata-mata. Iya, kan?
Iya juga. Mungkin gue membutuhkan keperluan untuk menjadi mata-mata yang baik dan benar. 10 menit gue browsing akhirnya gue tahu gue harus membeli apa aja. Karena tugas mata-mata lebih banyak menggunakan mata, maka gue membeli kacamata hitam dan sekotak obat tetes mata agar mata gue tidak kering.
Kemudian karena gue kerjanya malam hari, maka tentu gue butuh banyak kafein agar gue tidak mengantuk. Maka dengan gembira gue membeli 1 kg biji kopi robusta. Terakhir, karena lokasinya di kuburan, maka musuh gue tentu adalah nyamuk dan suara bising serangga malam. Jadilah gue membeli banyak obat nyamuk bakar dan speaker bluetooth untuk melawan kebisingan malam hari. Gue emang jenius.
Masih belum terlalu malam untuk sebuah pasar yang ramai. Gue duduk di sebuah warung bersama belanjaan gue yang ternyata tidak sedikit. Sambil menikmati soto, gue membuka Instagram dan melihat banyak teman-teman gue yang pamer harta. Kata mereka sebelum usia 25 tahun kita setidaknya sudah harus memiliki uang 100 juta rupiah. Umur gue baru 23 tahun, dan gue akan menjadi mata-mata. Mungkin di umur 25 tahun nanti gue sudah punya banyak mata.
Kegiatan scrolling gue terhenti ketika melihat foto mantan pacar gue. Dia memakai kaos merah muda dengan rambut pendek sebahu. Dia yang sepengetahuan gue gak pernah menyukai rambut pendek, akhirnya menyudahi prinsipnya sendiri.
Sama halnya dengan gue. Gue yang berjanji gak akan pernah menjual alat pancing gue akhirnya terjual juga beberapa jam yang lalu. Manusia emang bisa berubah dengan mudah. Caption fotonya bertuliskan: "Mencoba terbiasa dengan kebiasaan yang hilang:)"
Sambil menatap bapak-bapak yang juga makan soto di samping kanan gue, gue bilang:
"Mencoba terbiasa dengan kehilangan."
Bapak-bapak itu tersedak, dengan cepat menatap gue dan bangkit dari kursinya.
"Kemalingan!? Siapa yang kemalingan!?"
Ibu-ibu pemilik warung keluar.
"Maling!? Di mana malingnya!? Pak ...! Maling, Pak!"
Suami ibu-ibu itu keluar.
"Hah!? Maling!? Di mana!? Biar gua pukulin sampai mampus! Mana malingnya!?"
Mereka kemudian berlarian sambil teriak-teriak maling. Akhirnya satu pasar menjadi heboh. Gue yang bingung juga kaget pasrah aja sambil melanjutkan makan.
Sebuah pesan WhatsApp yang berisikan lokasi pertemuan baru aja masuk ke HP gue. Lokasi itu adalah area pemakaman yang kalau berdasarkan Maps berjarak 2 km. Pengirim pesan itu adalah seorang pria bernama Sulay. Pria ini adalah orang yang akan menemui gue di lokasi tersebut. Kalau berdasarkan profil picturenya, sepertinya dia adalah orang yang ingin menjadi hokage karena wajah Naruto terpasang di sana.
Menempuh perjalanan berjarak 2 km dari rumah, dengan janji akan bertemu jam 11 malam, maka gue dengan senang hati berangkat sore hari. Gue gak suka membuat orang lain menunggu. Mengendarai motor Honda Supra Fit keluaran tahun 2006, gue menembus sore untuk sebuah perjalanan yang dapat mengantarkan gue kepada kekayaan. Sampai pada akhirnya sebuah tanya masuk ke dalam helm gue: mau kaya raya sebenarnya buat apa, sih?
Jawabannya adalah seorang wanita yang sedang duduk sendirian di sebuah kedai kopi yang baru gue lewati 10 meter. Gue berhenti di pinggir jalan sambil memastikan apakah gue hanya salah lihat. Setelah yakin kalau dia hanya sendirian, gue putar balik. Suara motor gue yang sudah tua membuatnya menoleh. Dia kaget melihat gue yang saat ini hampir menjadi jutawan. Gue berjalan pelan menghampirinya.
"Kamu ... kenapa ke sini?" katanya.
"Cuma lewat."
Dulu, dia adalah gadis feminim yang paling gak suka dengan rambut pendek. Walaupun gue sering bilang jangan pernah membatasi diri untuk berekspresi. Dan dia juga sering bilang kalau itu masalah prinsip.
"Lagi ngapain?" tanya gue.
"Mau lihat sunset."
"Oh, gitu."
Takut membuat dia merasa gak nyaman dengan kehadiran gue yang berpakaian mata-mata, gue pun pergi dan melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi, gue memperhatikan rambut pendeknya yang hitam bergelombang.
"Rambutnya cocok di kamu. Aku pergi dulu, ya."
Tanpa menunggu dia bersuara gue langsung pergi aja. Jam 11 malam masih lama dan gue sudah sampai di lokasi tersebut. Masih belum terlalu gelap sehingga gue bisa melihat hampir keseluruhan kuburan ini. Lokasinya jauh dari pemukiman penduduk, makanya terasa sangat sepi di sini. Gue mendekati sebuah bangunan. Gue gak tahu itu apa namanya, yang jelas itu seperti tempat orang untuk duduk atau berteduh. Banyak kembang warna-warni berhamburan di lantainya. Karena gue suka kebersihan, maka sambil menunggu rekan kerja, gue bersihkan aja tempat itu.
Lantainya sudah bersih, semua kembang tadi gue masukkan ke dalam karung berwarna kuning yang bergelantungan di atap. Entah siapa yang menaruhnya di sana. Masih jauh dari jam 11, artinya gue masih punya waktu untuk membersihkan yang lainnya. Gue membuang air yang ada di dalam botol-botol karena pasti akan mengundang nyamuk untuk bertelur, dan itu bahaya buat masyarakat. Gue juga merapikan kertas-kertas bertulisan unik yang tidak bisa gue baca lalu gue pindahkan ke pojok.
Beres! Rapi dan bersih! Karena barang bawaan gue lumayan banyak, dan sepertinya ini bisa jadi tempat mengintai yang baik, gue pun menaruh semua barang bawaan gue di sini. Gue merasa mendengar suara bising di telinga gue. Seperti serangga malam, tapi juga seperti suara orang berbisik-bisik. Dengan sigap gue menyalakan obat nyamuk bakar dan tentu aja sebuah musik dengan speaker bluetooth.
Di antara kepulan asap putih obat nyamuk itu, gue seperti melihat seseorang sedang berdiri menatap gue. Gue tidak yakin itu orang, tapi gue yakin itu perempuan. Dia cuma berdiri dan tidak bergerak, itu artinya ... gue salah lihat alias mengantuk. Untungnya gue ini jenius, dengan senyum lebar gue mengeluarkan sekotak obat tetes mata, dan langsung memakainya. Asap obat nyamuk gue menjadi liar, membuat gue terbatuk-batuk, lalu gue mendengar suara cewek teriak.
Hahaha ... jangan meremehkan speaker bluetooth gue! Ukurannya memang kecil tapi suaranya masih bisa lebih kencang dan sudah stereo! Gue membesarkan volume musik yang kebetulan adalah lagu Pintu Sorga-nya Gigi. Bayangan cewek itu entah kenapa terasa semakin dekat dan mulai tercium aroma yang gak enak. Aha! Inilah saatnya menyeduh kopi. Untungnya mantan gue itu adalah pencinta kopi jadinya sedikit banyak gue ngerti cara bikin kopi karena dia.
Tentu aja, selain membawa biji kopi gue juga harus membawa grinder manual dan french press. Gue yakin, aroma kopi ini akan mengalahkan bau gak enak itu. Untungnya gue ini bukan penyuka gula, sehingga kopi pahit bukan sesuatu yang buruk bagi gue. Ternyata kopi bikinan gue enak juga. Saking menikmatinya, sampai-sampai gue sudah cuek aja sama bayangan cewek yang gue rasa semakin dekat ini.
Kalau harus digambarin lewat kata-kata, bayangan cewek di depan gue ini seperti cewek yang masih muda, tapi gak pernah mandi. Jadinya rambutnya sangat-amat tidak seperti duta shampo. Baunya juga seperti pupup kambing. Namun, aroma dari kopi robusta yang diseduh dengan suhu 90 derajat celsius mengalahkan semua itu. Entah karena kemasukan kafein, jadinya gue seperti melihat bayangan cewek itu melotot kepada gue.
Tatapannya itu gak enak banget! Eits ...! jangan lupakan kejeniusan gue lainnya! Gue mengeluarkan kacamata hitam lalu memasangnya dengan penuh gaya dan rasa percaya diri. Anjir! Jadi gelap semuanya! Dengan dikelilingi asap obat nyamuk, musik keras yang sekarang memainkan lagu Kangen Band, ditambah secangkir kopi dan kacamata hitam, gue benar-benar keren. HP gue yang menggunakan ringtone lagu Indonesia Raya berbunyi. Gue melihat sebuah panggilan WhatsApp dari Naruto. Ini pasti rekan kerja gue, si Sulay.
"Halo, sudah sampai mana?" katanya.
"Sudah di lokasi, Pak."
"Hah!? Kenapa sudah di sana!? 'kan sudah gue bilang jangan masuk sendirian ... bahaya!"
"Oh, gitu, ya, Pak ... maaf ... maaf."
"Sekarang lo di mana?"
"Lagi duduk, nih di ... apa, ya ini namanya? Pendopo, ya?"
Telpon terputus. Akhirnya, bayangan cewek di depan gue ini bergerak. Dia seperti membentangkan kedua tangannya sambil mengeluarkan suara pekikan yang membuat speaker bluetooth gue kalah gengsi. Walaupun gue memakai kacamata hitam, bayangan cewek itu terlihat berwarna putih terang. Speaker bluetooth gue tiba-tiba mati. Cangkir kopi gue juga pecah dengan aneh. Gue merasa kepanasan seiring mendekatnya cewek itu.
Disaat-saat panik itulah, seseorang dengan pakaian serba hitam memukul mundur cewek itu dengan tangan kanannya. Bayangan cewek itu berteriak, lalu lenyap dari pandangan mata. Gue melepas kacamata, dan melihat sosok cowok yang baru aja menyelamatkan gue. Sebelum dia menatap gue, dia memperhatikan lantai pendopo yang sudah gue bersihkan sebelumnya.
"Lo Mardo, kan?"
"I-iya."
"Kenapa lantainya bersih gini? Kata si Bos semuanya udah disiapin?"
"Oh, tadi saya yang bersihin, Pak."
Cowok itu kaget dan maju selangkah.
"LO BERSIHIN!? KENAPA!?"
"Supaya bersih, Pak."
"Bukan itu! Maksud gue kenapa lo gak mati!?"
"Hah?"
Cowok itu memperhatikan sekeliling dengan waspada.
"Oke lupain aja. Lo orang baru, kan? Kenalin, gue Sulay. Mulai hari ini kita satu tim."
Kami berjabat tangan. Di antara kepulan asap obat nyamuk. Sulay memeriksa pendopo tempat kami sekarang. Sesekali dia menatap gue sambil menggeleng-gelengkan kepala. Gue juga mengecek keadaan cangkir kopi gue yang pecah.
"Kenapa pecahnya kayak gini, ya? Kayak habis dicengkram kuku."
Sulay mengangkat cangkir itu.
"Kayaknya dia gak suka kopi ini."
Gue membereskan sisa-sisa pecahan cangkir sementara Sulay memeriksa sekeliling. Dia memeriksa taburan bunga yang sebelumnya sudah gue masukkan ke dalam karung berwarna kuning.
"Sebelum lo bersihin kembang-kembang ini, lo mencium aromanya nggak?"
"Enggak, Pak. Kebetulan saya lagi pilek jadinya hidung agak buntu. Baru bisa nyium lagi pas tadi bikin kopi."
"Aneh. Kenapa dia gak semenakutkan yang dibilang si Bos, ya? Apa jangan-jangan ...."
Sulay mengambil speaker bluetooth gue yang tiba-tiba nyala lagi setelah tadi mati tiba-tiba. Dia menaruhnya di pojok lantai dan menatap gue.
"Lo sempat melihat mukanya nggak?"
"Hah? Muka siapa, Pak?"
Sulay mengambil pecahan kaca di lantai.
"Gini, ya ... Do. Pertama, gak usah ngomong formal sama gue. Kedua, gue mau lo jawab jujur demi pekerjaan kita sekarang. Lo melihat muka cewek tadi nggak?"
Gue mencoba mengingat kejadian sebelum gue menyapu.
"Waktu gue bersih-bersih tadi, gue nemu foto cewek di lantai."
Gue mengeluarkan foto itu dari saku celana. Sulay segera mengambilnya. Sulay menarik napas panjang berulang kali. Dia tampak gelisah. Setelah dia mengembalikan foto itu ke tangan gue, dia berpaling dan menelepon seseorang.
"Maaf, Bos. Kita dalam masalah."
Gue memperhatikan foto cewek itu lebih detil. Seorang cewek berbaju merah, berambut panjang dengan poni menutupi dahi dan wajah tersenyum manis. Kalau dilihat-lihat lagi, kelopak mata cewek ini berbeda dari kebanyakan cewek lainnya. Seakan terlalu banyak tertawa, atau terlalu banyak menangis. Sulay kembali menghadap gue.
"Kita harus panggil dia lagi ke sini."
"Dia? Dia siapa, Pak?"
Sulay menunjuk foto di tangan gue.
Gue melihat jam, sudah tepat jam 11 malam. Sulay duduk bersila dengan mata terpejam. Mulutnya seperti sedang mengucapkan sesuatu tapi tidak bersuara. Speaker bluetooth gue tiba-tiba mati lagi. Asap obat nyamuk kembali menebal. Terdengar kembali suara-suara bisikkan yang sebelumnya gue kira suara serangga malam. Di antara suara itu, gue mendengar suara:
"Te! Te sate ...!"
Sulay langsung membuka matanya. Kami serempak memandang ke sumber suara.
"TE! TE SATE ...! UWOH!"
"Siapa, tuh!?" Sulay mulai terganggu. Gue mulai lapar.
"Tukang sate, Pak."
"Suruh diam! Gue harus konsentrasi, nih!"
"Caranya?"
"Terserah! Pikirin sendiri! Cepetan!"
Gue berjalan mendatangi sumber suara.
Dari suaranya yang entah kenapa terasa semakin menjauh ke dalam pemakaman, gue mulai curiga bahwa tukang sate ini juga adalah mata-mata yang sedang mengawasi kami. Dan itu artinya kami sedang di mata-matai. Setelah menyadari itu, gue langsung berbelok ke belakang batu nisan yang sangat besar. Batu nisannya terbuat dari batu yang tampak sangat kokoh. Di sana tertulis:
Terbaring dengan tenang:
Orang Nomor Satu di Kuburan: Tesates
Gue sangat kagum. Ternyata juga ada peringkat di kuburan ini. Otak gue tiba-tiba kembali mengeluarkan perdebatan: kuburan atau pemakaman? Dan dengan cerdas gue mencoba menganalisisnya. Kalau tempat ini disebut kuburan, maka orang-orang di sini adalah orang-orang yang terkubur atau dalam bahasa lain yaitu tertimbun. Juga bisa berarti tempat ini adalah tempat orang mengubur kenangan.
Lalu kalau disebut pemakaman, artinya orang-orang ini adalah orang-orang yang dimakamkan atau dalam bahasa sehari-hari yaitu orang yang meninggal lalu ditempatkan di tempat khusus. Gue memikirkannya sampai-sampai gue baru menyadari kalau batu nisan di belakang gue ini bersinar oleh cahaya bulan. Karena semakin terang, terlihat beberapa tulisan lainnya:
Tak terkalahkan sepanjang hidupnya, bersama pedang yang dibawa sampai ajalnya.
"Te! Te sate ...!"
Bukan gerobak sate yang gue lihat sekarang. Gue yakin itu adalah seorang pria tinggi yang sedang menenteng pedang berdiri membelakangi gue yang bersandar di sebuah batu nisan. Saat cahaya bulan meredup tertutupi awan, dia berbalik badan dan menatap gue. Gue bisa melihat wajahnya. Wajah seorang pria berkumis lebat, yang gue rasa pernah lihat sebelumnya entah di mana.
Pergerakan awan di atas sana membuat cahaya bergerak dramatis. Pria itu tersinari cahaya bulan mulai dari kakinya, naik ke atas hingga wajahnya terlihat jelas. Tidak terlihat ramah untuk seorang tukang sate. Dia berjalan ke arah gue, dan cahaya bulan bergerak menyinari pedangnya.
Dia berdiri tepat di depan gue. Karena tubuhnya yang tinggi, atau karena gue yang terlalu pendek, gue merasa terpojok. Dia membalikkan pedangnya, membuat cahaya bulan memantul ke mata gue yang membuat silau pandangan. Sebagai seorang mata-mata yang hampir profesional, gue segera memakai kacamata hitam gue. Anjir! Masih silau!
"Te ... Te sate ...."
"E-enggak lapar, Pak."
"Mau berapa tusuk?"
Dia menggoreskan pedangnya ke batu nisan di belakang gue. Menimbulkan suara berdecit yang tidak enak.
"Orang nomor satu di kuburan!? Omong kosong!" katanya.
Dia menggores tulisan itu, dan serpihan batunya jatuh di atas kepala gue.
"70 tahun bertarung di dunia, 83 peperangan, tidak pernah tertebas fatal oleh pedang mana pun. Kalian sebut orang nomor satu di kuburan!?"
Gue nggak tahu kenapa dia jadi ngomel-ngomel sendiri. Gue melihat cahaya bulan menerangi sebuah jalan ke kiri dan sepertinya ada tempat sembunyi. Melihat ada peluang, gue segera kabur ke tempat itu. Dan anehnya, dia gak peduli. Dia masih aja bicara sendiri di depan batu nisan yang sejak tadi dia gores dengan pedangnya.
Gue tiarap di antara dua kuburan yang agak tinggi. Di belakang gue, gue bisa mendengar suara musik yang gue yakin berasal dari speaker bluetooth gue di tempat Sulay. Gue melepas kacamata yang sepertinya tidak terlalu berguna. Gue melihat pria itu telah berhenti bicara sendiri. Lalu, dengan satu ayunan pedang, dia membelah dua batu nisan itu seperti tukang rujak membelah pepaya!
Dia menengok ke segala arah. Gue takut dia akan ke sini dan juga membelah gue jadi dua. Untungnya, karena gelap, dia malah berjalan ke arah berlawanan. Gue lega banget. Rasanya kayak habis kentut setelah seminggu tidak keluar. Karena membayangkan kentut, tanpa terencana gue kentut beneran! Nyaring dan bau!
Pria itu langsung berbalik ke arah gue dengan cepat. Walaupun ada sedikit keyakinan dia akan pingsan karena gas beracun yang gue hasilkan, nyatanya ketakutan gue lebih besar dari itu. Gue semakin panik saat dia berdiri di sebelah gue. Sambil memejamkan mata karena sudah hampir pasrah, gue mendengar suara langkah kaki dari arah yang berbeda.
Gue berharap seseorang datang, entah menyelamatkan gue atau karena dia sedang sial sehingga harus berhadapan dengan pria tinggi yang membawa pedang, gue gak peduli. Yang penting gue bisa selamat aja dulu. Pria berpedang itu melangkah ke arah yang gue maksud tadi. Baru aja dua langkah, HP gue tiba-tiba memutar musik!
Lebih tepatnya, koneksi bluetoothnya mati dari speaker di tempat Sulay. Jadinya suaranya pindah ke HP gue langsung. Lagu yang diputar adalah lagu dari girlband Korea, aespa, yang berjudul 'Forever'. Tentu aja, pria berpedang itu langsung menusuk-nusukkan pedangnya ke arah gue!
Gue juga gak ngerti kenapa serangannya banyak yang meleset. Mungkin karena gelap, atau karena bau kentut gue sebelumnya. Gue segera menggulingkan diri ke depan, dan tiba-tiba kaki gue kena tebas! Sumpah perih banget! Baru kali ini gue kena sayatan pedang sepanjang 1 meter. Gue teriak kesakitan sambil berusaha kabur.
Gue menengok ke belakang, dan pria itu berjalan mengejar gue sambil tersenyum tidak bersahabat. Pedangnya dia goreskan ke tanah, dan sering terkena batu nisan lainnya. Membuat suara yang mengganggu. Gue melihat kaki kanan gue yang berdarah, dan terus aja mencoba berlari ke arah yang gue juga gak tahu ke mana.
Gue tersandung botol-botol di samping kuburan. Aneh juga, kenapa banyak botol di kuburan yang satu ini. Gue terjatuh, dan pria berpedang itu sudah sangat dekat. Gue melemparinya dengan botol-botol itu. Semuanya bisa dia tangkis dengan pedangnya. Keren banget. Kanapa gue malah kagum!?
"Sekarang coba bilang lagi. Orang nomor satu di kuburan!? Saya ini orang nomor satu di dunia!"
Dia berdiri di atas gue. Mengangkat pedangnya, dan siap menusuk gue! Tinggal sedikit lagi dan pedang itu berhasil menusuk dada gue. Sebelum itu kejadian, Sulay tiba-tiba datang dan menangkis pedangnya. Sulay menoleh sedikit ke arah gue. Cahaya bulan menyinari pakaiannya.
"Biar gue yang lawan dia," katanya, dengan lagu Korea yang masih bermain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!