“Fox, antarkan Quin pulang!” perintah Elon.
“A-aku?” tanya Fox untuk meyakinkan dirinya sekali lagi.
“Ya, aku ada janji dengan wanita lain, jadi antarkan dia,” kata Elon setengah berbisik.
Fox menatap Elon kemudian berdecak karena sudah kesekian kalinya Elon meminta dirinya mengantarkan Quin, sementara sahabatnya itu akan menemui wanita lain yang tak lain adalah kekasihnya yang lain.
Fox melihat ke arah Quin yang kini tengah berdiri dengan tatapan yang tak terbaca. Fox menghela nafasnya dalam kemudian mendekati Quin.
“Aku akan mengantarmu pulang,” kata Fox akhirnya.
Quin terkekeh mendengar itu karena sudah menjadi hal yang biasa belakangan ini, jika ia lebih sering pulang diantarkan oleh Fox, dibanding kekasihnya sendiri.
“Apa kali ini ia bertemu dengan kekasihnya yang lain lagi?” tanya Quin sembari melangkah bersama Fox, dengan sebuah tas ransel di punggungnya. Mereka pergi menuju ke area parkir di mana motor Fox berada.
Fox menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah Quin, “Kamu tahu?”
“Tentu saja aku tahu. Apa kamu mengira aku ini wanita bodoh?” ujar Quin tersenyum tipis.
“Jika kamu sudah tahu, mengapa tak putus dengannya?” tanya Fox.
“Aku hanya memanfaatkannya saja. Bukankah dengan dia menjadi kekasihku, maka tak akan ada pria yang mendekatiku? Itulah yang kuinginkan,” ujar Quin.
Fox menggelengkan kepalanya, “Aku benar-benar tak mengerti denganmu, Quin.”
“Kamu tak perlu mengerti apapun tentangku, Fox. Oya, bisakah kamu mengantarkanku ke tempat kerjaku saja? Rea sudah menungguku di sana.”
“Baiklah. Ayo, naik!”
Quin naik ke atas motor Fox, lalu mereka pun pergi bersama menuju ke sebuah perpustakaan di tengah kota, di mana Quin mengambil pekerjaan paruh waktu di sana.
Tak sampai dua puluh menit, motor Fox telah sampai di depan perpustakaan. Rea yang sudah menunggu kedatangan Quin pun melambaikan tangannya.
“Quin, kamu bersamanya lagi? Apakah Elon sibuk?” tanya Rea.
“Biasa,” jawab Quin sekenanya.
“Aku jadi bingung sebenarnya kekasihmu itu Elon atau Fox,” kata Rea sambil tertawa.
“Jangan dengarkan dia, Fox. Dia memang agak sedikit gila,” sahut Quin, “Terima kasih sudah mengantarku.”
“Hmm, aku kembali dulu. Bye!” Fox pun pergi dari sana.
Quin menatap tajam ke arah Rea yang justru semakin tertawa dengan keras. Rea memang selalu bicara apa adanya, tapi Quin senang bersahabat dengannya.
“Kita mau ke mana hari ini?” tanya Quin yang memang ingin berjalan-jalan saja dengan Rea karena sebenarnya hari ini merupakan jadwal liburnya.
“Kita ke pusat perbelanjaan di pusat kota, bagaimana? Setidaknya kita harus sedikit bersenang-senang setelah mendapatkan gaji,” ujar Rea bersemangat.
Quin pun menganggukkan kepalanya tanda setuju. Mereka berdua pun pergi menuju ke pusat perbelanjaan tersebut dengan menggunakan motor milik Rea.
***
Saat ini Quin sedang bersama dengan sahabatnya, Rea. Mereka sudah berada di sebuah pusat perbelanjaan guna menikmati hasil kerja mereka selama sebulan kemarin. Bukan untuk menghabiskan, tapi menikmati sedikit setelah mereka berhemat dan bekerja keras.
Quin tak merasa terbebani dengan Elon, kekasihnya yang berselingkuh di belakangnya. Meskipun Quin mengetahuinya, tapi ia tak terlalu peduli akan hal itu.
“Siapa?” tanya Rea saat mendengar ponsel Quin berbunyi.
“Aunty Anya,” jawab Quin setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
“Ooo Mommy Elon,” kata Rea kemudian menutup mulutnya agar suaranya tak terdengar.
“Halo, Aunty,” sapa Quin saat menjawab panggilan tersebut.
“Quin.”
“Ya, Aunty.”
“Putuskan hubunganmu dengan Elon. Aunty akan menjodohkannya dengan wanita lain. Wanita yang jauh lebih segala-galanya dari dirimu,” kata Anya.
Quin masih diam sambil mencerna apa yang baru saja ia dengar. Ia bahkan menjauhkan ponsel dari telinganya untuk memastikan bahwa yang menghubunginya adalah benar Aunty Anya, Mommy dari Elon. Pasalnya Anya selalu bersikap baik padanya saat mereka bertemu, bahkan seakan menerima dirinya menjadi kekasih dari Elon.
“Maksud Aunty?” tanya Quin lagi.
“Jangan pura-pura bodoh! Kamu tahu statusmu tak sebanding dengan Elon. Aunty hanya bersikap baik padamu agar Elon tidak marah pada Aunty. Jadi Aunty harap kamu memutuskan hubunganmu dengan Elon atau … atau Aunty terpaksa membuatmu dikeluarkan dari universitas dan tak akan pernah bisa bekerja di mana pun.”
Quin terkekeh mengejek tanpa suara. Ia tak menyangka bahwa Mommy dari Elon adalah seseorang yang bermuka dua, munafik!
“Tak perlu mengancamku, Aunty. Aku akan melepaskannya. Tenang saja, lagipula tak ada bagus-bagusnya juga mempertahankan Elon. Ia tak pantas untukku, ia hanya seorang pecundangg,” ujar Quin.
“Kurang ajarr! Berani sekali kamu berkata begitu tentang putraku! Lain kali, berkacalah terlebih dahulu sebelum kamu menjalin hubungan dengan seorang pria. Wanita miskin sepertimu tak cocok dengan orang kaya seperti kami.”
“Selamat malam, Nyonya Bush.”
Quin pun memutus sambungan ponsel tersebut lalu menghela nafasnya dalam. Ia malas memperpanjang perbincangan mereka dan ia tak mau ambil pusing dengan apa yang dikatakan oleh Anya. Hanya saja Quin tak suka bagaimana cara wanita tersebut merendahkan orang lain.
“Ada apa, Quin?” tanya Rea sesaat setelahnya.
“Tak apa, ayo kita cari makan!” Quin tak ingin merusak mood Rea karena emosi sahabatnya itu agak sulit dikendalikan. Rea bisa marah bahkan sampai memukul orang jika ada yang berani mengganggu Quin.
Quin pun menarik tangan Rea dan mengajaknya pergi ke sebuah restoran cepat saji yang menjadi langganan mereka.
Rea sebenarnya sedikit curiga dan di dalam hatinya penuh tanda tanya. Awal panggilan, Quin menyematkan panggilan Aunty tapi di akhir sahabatnya itu menggunakan panggilan Nyonya Bush. Namun, Rea tak ingin mengulik lebih jauh jika memang Quin tak mau bercerita. Rea berusaha menghormati keputusan yang diambil oleh Quin.
***
Suara deru nafas saling bersahutan di dalam sebuah kamar. Sepasang pria dan wanita tengah berbagi peluh demi mencari kenikmatan duniawi.
“Ahhhh!!!” Puncak pun tercapai hingga sepasang pria dan wanita itu saling mengerrang, kemudian berbaring bersebelahan.
“Bagaimana pelayananku?” tanya Carol sedikit menyampingkan tubuhnya melihat ke arah Elon.
“Luar biasa,” jawab Elon yang masih mencoba mengatur nafasnya.
“Kalau begitu, singkirkan Quin dan jadikan aku kekasihmu,” kata Carol.
“Tak bisa.”
“Tak bisa? Mengapa?!” tanya Carol dengan nada tak suka.
“Aku mencintai Quin dan keluargaku pun menyukainya.”
“Jadi aku?” Carol merasa tak berarti apa-apa di mata Elon saat ini, bahkan dengan apa yang telah ia lakukan untuk Elon.
“Kamu adalah partner ranjangku … jika aku menginginkannya. Bukankah kamu hanya menginginkan uangku?” kata Elon dengan senyum sinis yang tersungging di bibirnya.
Carol tak dapat membalas ucapan Elon karena itu memang benar adanya. Namun akan lebih baik jika ia menjadi kekasih Elon yang sesungguhnya, yang berarti ia bisa meningkatkan status sosialnya dan bisa jadi akan menjadi istri dari seorang Elon Bush, putra seorang pengusaha.
“Lalu mengapa kamu tidak menjadikan Quin sebagai partnermu?” tanya Carol penuh rasa ingin tahu.
“Itulah yang tak kusuka darinya. Ia terlalu sok suci dan menganggap bahwa hal seperti ini tak pantas dilakukan sebelum menikah,” kata Elon dengan sedikit geram.
Rasa kesal yang tiba-tiba saja muncul di dadda Elon, membuat ia menatap Carol kembali. Ia langsung memagut bibir Carol untuk kembali mengarungi kenikmatan dunia bersama-sama. Mereka melakukannya hingga rasa lelah mendera dan mereka pun tidur bersama hingga pagi kembali datang.
Keesokan paginya, ponsel Elon berbunyi. Ia berdecak kesal karena matanya masih mengantuk. Ia yakin bahwa itu adalah pesan yang dikirimkan oleh Mom Anya. Ia pun mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pesan singkat tersebut.
Kita putus.
🌹🌹🌹
Halo kakak semua 🥰
Selamat Tahun Baru 2025. Pansy doakan semoga di tahun ini selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan.
Pansy datang kembali di awal tahun ini dengan cerita baru, meskipun sejujurnya Pansy belum merampungkan novel ini. Namun, karena begitu rindunya untuk menulis dan membaca komen2 di setiap bab, membuat Pansy upload bab pertama ini.
Untuk bab selanjutnya, Pansy akan up setiap 2-3 hari sekali. Harap dimaklumi ya 😅
Love ❤️
Pagi ini, Quin berencana akan pergi ke universitas dan mengatur jadwal kuliahnya untuk semester selanjutnya. Tinggal satu tahun lagi, maka ia akan menyelesaikan gelar sarjananya lalu berencana untuk melanjutkan gelar masternya.
Matahari pagi bersinar dengan cerah seakan memanggilnya untuk segera bangun dan menikmati paparan vitamin untuk menguatkan tulang-tulangnya.
Quin bangkit berdiri dan membuka pintu balkon apartemennya, kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Hahhhh!” Quin seakan meneriakkan bebannya agar terlepas, “Kita akan menyelesaikan semuanya hari ini, Elon Bush.”
Quin mengambil ponselnya lalu mengetikkan sesuatu di sana. Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dari dalam kamar mandi, Quin bisa mendengar dering ponselnya beberapa kali, tanpa henti. Ia tahu siapa yang menghubunginya. Namun, ia tak terlalu ambil pusing. Quin meneruskan acara mandi paginya tanpa terganggu sama sekali.
***
“Quin!!” terdengar suara yang begitu menggelegar memanggil nama Quin saat ia berjalan menyusuri taman universitas.
Quin menghela nafasnya panjang saat mendengar suara seorang pria yang tak lain adalah pria yang baginya sudah menjadi mantan kekasih karena Quin sudah memutuskan hubungan mereka.
Elon melangkah dengan tegap, bahkan mengangkat kepalanya dengan sombong. Ia ingin menunjukkan ketampanan serta status sosialnya pada Quin. Ia ingin Quin menyesal telah memutuskan hubungan dengannya dan segera menarik kembali kata-katanya tadi.
Sementara itu, Quin seakan enggan untuk menoleh, hingga Elon dengan cepat kini telah berdiri tepat di hadapannya.
“Ada apa lagi? Kita sudah putus,” kata Quin menegaskan.
“Aku tidak mau! Kamu tidak bisa mengambil keputusan secara sepihak,” ujar Elon masih dengan tatapan tak terima.
“Aku tak melakukan kesalahan, bahkan orang tuaku juga menerimamu dengan sangat baik. Apa masih kurang?” lanjut Elon bertanya.
Tak melakukan kesalahan, hmm? - batin Quin. Ia masih menampakkan wajah datarnya karena sebenarnya ia tak terlalu peduli dengan akhir hubungan ini. Dulu, Elon lah yang terus memaksanya untuk menjalin hubungan dan bersedia kapan saja jika Quin ingin menghentikan hubungan ini.
“Mommy bahkan berniat mengundangmu makan malam lagi weekend ini,” ujar Elon.
Aku bisa gila menghadapi keluarga munafik ini. - batin Quin yang menyesali keputusannya menerima Elon menjadi kekasihnya.
Fox, Harvey, dan Kevin, yang merupakan sahabat Elon pun mendekati keduanya karena area tersebut mulai ramai karena para mahasiswa dan mahasiswi seakan terpanggil saat melihat perdebatan keduanya. Mereka ingin menyaksikan apa yang terjadi, terutama pada salah satu pria tampan di universitas mereka.
“Aku tak akan mengubah keputusanku,” kata Quin masih dengan tatapan yang datar pada Elon.
“Quin!!”
Quin masih mengacuhkan Elon. Bukankah lebih baik seperti itu sehingga Elon akan lelah dan menerima keputusan Quin yang sebenarnya adalah keinginan Mommy Elon dan perbuatan Elon sendiri.
Elon kini sudah kembali berada tepat di hadapan Quin. Ia menarik nafasnya panjang dan sekali lagi memanggil Quin agar Quin melihat ke arahnya.
“Ahhh aku tahu mengapa kamu memutuskan hubungan denganku. Apa itu karena pria tua yang diam-diam sudah menjadi kekasihmu? Kamu mendapatkan banyak uang darinya dengan menjadi sugar baby hah?!” cecar Elon tanpa filter. Hal ity tentu saja didengar oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang lewat dan membuat mereka menghentikan langkah kakinya.
Quin menatap Elon dan tersenyum sinis, “Menurutmu begitu?”
“Kalau bukan itu, tak mungkin kamu berpaling. Kamu wanita materialistis dan kini sudah menjadi jallang! Orang tuamu pasti sama denganmu!” teriak Elon.
Bughhh
Sebuah pukulan telak mendarat tepat di pipi Elon dan itu berasal dari Quin. Quin tak masalah jika Elon mencela dirinya atau bahkan ingin merendahkannya, tapi jangan sampai pria itu mengatakan hal buruk tentang keluarganya, terutama kedua orang tuanya.
Elon yang sudah tak terima dengan keputusan Quin memutuskan hubungan mereka, kini semakin tak terima dengan perilaku Quin yang memukulnya. Ia langsung kembali mendekati Quin seperti ingin memukul gadis itu. Tanpa disangka ia mendorong bahu Quin hingga hampir saja Quin terjatuh jika Fox tidak menariknya.
Sahabat-sahabat Elon, langsung mendekat dan memisahkan mereka. Harvey dan Kevin menarik Elon, sementara Fox berdiri di hadapan Quin untuk melindunginya.
“Lepaskan aku, lepaskan! Siallann kalian!” umpat Elon yang tak terima, “biarkan aku menyelesaikan masalahku dengan wanita jallang ini!”
“Berhenti, El! Kamu ingin menyakiti Quin? Dia seorang wanita,” ujar Fox yang tak menyangka Elon bisa berbuat kasar seperti itu.
“Wanita? Wanita apa? Ia hanya wanita murrahannn, seorang jallang, pantas untuk dikasari,” kata Elon yang emosinya semakin tak terbendung.
Bughhh
Kini bukan Quin yang memukul Elon, melainkan Fox, “Jaga bicaramu! Quin tak seperti itu.”
Elon menyeka sudut bibirnya, “Jadi sekarang kamu membelanya? Kamu membelanya, siallannn?!!”
“El, El, hentikan!” Harvey dan Kevin kembali menahan tubuh Elon yang kini ingin membalas pukulan Fox. Keduanya pun memberi tanda pada Fox untuk segera pergi dari sana.
“Aku akan mengantarmu pulang,” kata Fox dan langsung meraih tas Quin dan mengajak wanita itu pergi dari sana.
“Siallann kamu, Fox!! Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu. Kamu akan babak belur di tanganku! Lihat saja nanti!” ancam Elon yang terus berteriak saat melihat kepergian Quin bersama Fox.
“Lepaskan aku!” Elon menghentakkan kedua tangannya yang dipegangi oleh Harvey dan Kevin hingga terlepas.
Setelah itu, ia segera berbalik dan meninggalkan tempat itu dengan kesal. Para mahasiswa dan mahasiswi yang berada di sana pun segera diusir oleh Harvey dan Kevin.
***
Brugggg
Elon melemparkan tas-nya begitu saja ke atas sofa ruang tamu. Perasaan kesal masih memenuhi hatinya. Ia menengadahkan wajahnya ke atas kemudian memejamkan matanya.
“Siallannn!!!” umpatnya geram sambil mengepalkan tangannya.
Anya yang keluar dari kamar tidur dan saat itu baru saja ingin pergi menemui teman-teman sosialitanya, menautkan kedua alisnya ketika melihat keberadaan Elon.
“Kamu sudah pulang?” tanya Anya.
“Mom … Mommy akan pergi?” Elon justru bertanya balik tanpa menjawab.
“Mommy akan menemui teman-teman Mommy. Oya, bagaimana? Kamu sudah mengundang Quin untuk makan malam bersama kita kan?”
Elon menghela nafasnya dalam dan kasar. Hal itu membuat Anya seketika tersenyum dan yakin bahwa Quin telah memutuskan hubungan dengan putranya, sesuai dengan keinginannya.
“Quin minta putus, Mom.”
“Whattt?!! Bagaimana bisa? Apa kamu melakukan kesalahan padanya?” tanya Anya dengan berpura-pura merubah raut wajahnya.
“Tentu saja tidak! Aku mencintainya, Mom. Dia saja yang seperti wanita jallang! Ini pasti semua gara-gara pria tua yang menjadi sugar daddy-nya itu,” ungkap Elon.
“Sugar Daddy? Apa ia …?” Anya tak berani meneruskan kata-katanya karena ia ingin Elon sendiri yang menegaskan.
“Ya, Mom. Quin ternyata hanya wanita murrahan yang bisa dibeli dengan uang. Bahkan mungkin aku bisa membelinya dengan melemparkan uang ke wajahnya. Selama ini aku menghargainya, menjaganya, menyayanginya, tapi … ia malah memutuskan hubungan denganku,” kata Elon dengan kesal.
Anya melangkah mendekat ke arah Elon kemudian duduk tepat di samping putranya itu.
“Sayang, tenanglah. Wanita tak hanya Quin saja. Bagaimana kalau kamu menemani Mommy bertemu teman-teman Mommy hmm? Mereka biasa membawa putri-putri mereka yang cantik. Dan yang pasti mereka tidak murrahann seperti Quin. Bagaimana?”
Elon menghela nafasnya dan mulai menimbang perkataan Mom Anya. Ia juga sudah bermain selama satu malam dengan Carol dan akan segera ia buang. Ia harus mencari wanita lain agar mendapatkan sensasi yang berbeda.
“Baiklah, Mom. Aku ikut. Aku ganti baju dulu,” kata Elon.
“Kalau begitu, Mommy tunggu di sini,” kata Anya, “Kamu tampan sayang, pasti banyak wanita yang akan jatuh hati padamu, dan kamu hanya tinggal memilihnya saja.”
🌹🌹🌹
“Terima kasih, Fox,” kata Quin setelah mereka akhirnya sampai di depan sebuah bangunan yang merupakan perpustakaan di mana Quin bekerja.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Fox sembari memperhatikan Quin.
“Aku tak apa-apa. Bagaimana denganmu? Ia pasti akan sangat marah padamu,” ujar Quin.
“Tak apa. Paling nanti dia hanya akan memukulku, tak masalah,” kata Fox, “Kamu harus memikirkan dirimu sendiri.”
“Tenang saja, aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Quin, aku senang kamu berani mengambil keputusan ini. Ia tak pantas untukmu,” ujar Fox.
Quin tersenyum, “Terima kasih. Aku merasa sudah cukup memberinya waktu dan kesempatan. Baiklah, sampai jumpa!”
Quin memutar tubuhnya kemudian mengangkat tangannya sebagai tanda terima kasih sekaligus pamit. Ia melangkah meninggalkan Fox yang masih berada di atas motor sambil memegang helm yang tadi digunakan oleh Quin.
***
“Quin! Apa buku-buku yang baru datang sudah kamu data dan masukkan ke dalam komputer?” tanya Rea.
Rea sendiri saat ini sedang mengambil beberapa buku di atas meja yang ditinggalkan pengunjung setelah mereka selesai membaca. Ia meletakkannya di atas sebuah rak kecil yang bisa didorong berkeliling perpustakaan.
“Sudah,” jawab Quin singkat.
Rea menghentikan pekerjaannya kemudian menoleh ke arah Quin. Ia merasa ada yang sedikit berbeda dengan Quin.
“Ada apa? Apa kamu sedang terkena masalah?”
“Tidak,” lagi-lagi Quin menjawabnya dengan singkat.
Rea mengambil sebuah kursi kemudian segera duduk di samping Quin, “Katakan padaku, ada apa denganmu? Aku bersahabat denganmu tak hanya satu dua hari, Quin. Aku tahu kalau ada yang tidak beres denganmu.”
Quin menoleh ke arah Rea, “Aku sudah memutuskan hubunganku dengan Elon.”
“Sudah? Benarkah?!” tanya Rea dengan antusias. Ia bahkan berdiri dengan tatapan penuh kebahagiaan yang terpancar dari matanya. Sudah sejak lama sebenarnya Rea ingin mendengar hal ini keluar dari bibir Quin.
Quin menautkan kedua alisnya sambil menatap Rea, “Mengapa kamu terlihat bahagia?”
“Tentu saja! Sudah lama sekali aku menunggu momen ini. Pria seperti Elon itu tak cocok denganmu, Quin. Ntah mengapa aku ingin sekali menghajarnya,” kata Rea dengan penuh penekanan.
Quin tersenyum tipis melihat respon Rea, kemudian berkata, “Aku hanya sedang berpikir.”
“Ada apa? Apa kamu menyesal telah putus dengannya?” tanya Rea.
Quin menggelengkan kepalanya lalu menghela nafasnya pelan.
“Aku membuat Fox dan Elon berdebat bahkan Fox sampai memukulnya,” kata Quin.
“Wah bagus itu! Aku mendukung tindakan Fox. Kalau perlu aku akan menambahkan beberapa pukulan lagi di wajahnya,” kata Rea bersemangat.
“Setelah ini, hubungan mereka pasti tak akan seperti dulu dan itu semua gara-gara aku,” kata Quin.
“Fox adalah murid beasiswa, sama sepertiku. Aku tak ingin ia bermasalah, apalagi dengan seseorang seperti Elon. Ia bisa membuat Fox dalam masalah nantinya,” lanjut Quin.
Rea menganggukkan kepalanya tanda mengerti, “Kamu benar, lalu bagaimana?”
“Aku tak tahu. Aku ingin melihat situasi besok terlebih dulu. Jika memang hubungan mereka baik-baik saja, maka aku tak perlu kuatir,” kata Quin.
“Kalau begitu, tak perlu kamu pikirkan. Lebih baik sekarang kita bekerja dan melihat bagaimana besok,” kata Rea.
“Hmm, kamu benar.”
Berbeda dengan Quin yang tengah bekerja di sebuah perpustakaan, Elon justru kini sudah berada di ruang VVIP sebuah restoran mewah.
“Hai!!” sapa Anya pada semua teman-teman sosialitanya.
Mata para wanita paruh baya itu melihat ke arah Elon yang datang bersama dengan Anya.
“Putramu?” tanya Orline.
“Hmm, tentu saja. Bagaimana? Tampan kan?” kata Anya dengan senyum bangga.
Tak jauh dari sana, tampak Elouise yang sedang berbicara dengan salah satu wanita sosialita di sana. Hari ini adalah hari pertama ia berada di sana. Ia bukan anggota perkumpulan itu, hanya diajak oleh salah satu wanita yang tadi mengajaknya bicara.
Sebenarnya tujuan Elouise berada di kota itu, adalah untuk mengunjungi putri sulungnya. Elouise sedikit kesal dengan karena putrinya itu malah lebih suka hidup seperti itu, jauh darinya. Namun, Nathan dan Bone malah mendukungnya, membuat Elouise tak memiliki sekutu.
Acara pertemuan itu pun dimulai. Mereka mulai berbincang-bincang. Namun, Elouise hanya memperhatikan tanpa ikut dalam pembicaraan tersebut. Sebenarnya ia tak suka dengan pertemuan seperti ini yang pembahasannya tak jauh-jauh dari pamer harta dan perjodohan-perjodohan yang tak jelas.
“Kamu Elouise?” tanya Anya yang mendekati Elouise ketika ia baru saja menyelesaikan makan bersama mereka.
Sejak tadi Anya terus memperhatikan Elouise yang tak pernah ia lihat, bahkan tak ada yang memperkenalkan wanita itu padanya.
“Ya,” jawab Elouise singkat sambil tersenyum.
“Mengapa tak ada yang mengenalkanmu padaku? Aku Anya dan aku adalah yang paling kaya di sini, jadi kamu harus mengenalku. Aku juga memiliki kekuasaan di kota ini, kalau-kalau kamu membutuhkan sesuatu,” ujar Anya membanggakan diri.
“Terima kasih.”
“Oya sebentar,” Anya menoleh mencari Elon, putranya, “Elon, kemarilah.”
Elon yang sedang duduk sembari memainkan ponselnya pun berdiri lalu mendekati Anya.
“Ada apa, Mom?” tanya Elon.
“Kenalkan, ini adalah Elon, putraku. Tampan kan?” puji Anya dengan bangga, “Aku ingin menjodohkannya. Apa kamu memiliki putri?”
Elouise tersenyum, “Ya, aku memiliki dua orang putri, tapi aku tak pernah akan menjodohkan mereka. Biarlah mereka menentukan pasangan hidup mereka sendiri.”
Anya menatap Elouise, bahkan sedikit mengangkat dagunya, “Apa kamu tidak takut mereka salah pilih? Banyak orang-orang di luar sana yang hanya mengincar harta dan menikmati seenaknya.”
Elouise kembali tersenyum, “Aku percaya pada putra-putriku.”
Anya menatap kesal pada Elouise. Ia yakin sekali bahwa jangan-jangan Elouise adalah salah satu dari wanita yang menjerat pria kaya dan kini hidup bergelimang harta, meskipun tak sekaya dirinya.
Elouise yang tak betah berlama-lama di tempat itu pun akhirnya pamit. Ia akan langsung saja mendatangi putrinya, meskipun nanti putrinya akan kesal padanya.
Anya yang melihat kepergian Elouise pun menatap dengan sinis. Ia kembali yakin jika Elouise merasa tak nyaman karena berada di antara mereka yang punya barang-barang mewah.
“Frida, siapa teman yang kamu bawa tadi?” tanya Anya sedikit penasaran.
“Oo Elouise. Ia tidak tinggal di sini, tapi di Belgia. Kamu tak mengenalinya?” tanya Frida sedikit menautkan kedua alisnya.
“Memang siapa dia yang harus kukenali? Ku rasa dia bukan siapa-siapa. Kamu juga bisa melihat gayanya, ia bukan dari kalangan berada seperti kita,” ujar Anya.
Frida tertawa kecil, menertawakan setiap kata dari ucapan Anya.
“Jadi kamu benar-benar tidak tahu? Dia adalah Clementine Elouise King, istri Nathan Ace Neutron dan merupakan keturunan Keluarga King, bangsawan Belgia.”
Anya kaget dan membuat mulutnya sedikit menganga. Hal itu kembali membuat Frida menertawakannya.
“Keluarga Neutron?”
“Hmm, kamu tahu kan siapa mereka?”
Anya memegang daddanya dimana jantungnya berdebar dengan cepat. Ia menjadi gelisah dan sedikit cemas, karena takut jika ia telah membuat Elouise tersinggung dan langsung pergi.
Mati aku, bagaimana ini?
🌹🌹🌹
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!