‘Kosan tante Ella’
Aku membaca plang yang terpasang di sebuah rumah berlantai 3 tepat di depanku.
Ah, inilah tempat tinggalku yang baru. Senyum puas tersungging di wajahku. Bangunan bercat hijau ini sepertinya sangat nyaman untuk kutinggali. Aku lalu mengalihkan tatapan ke arah barang-barang yang menumpuk tepat di sebelahku. Sebenarnya aku sudah menyewa jasa pindahan, tapi karena kabar mendadak kalau istri si mas ekspedisi melahirkan, akhirnya aku ditinggalkan sendirian, tepat di depan gedung kos-an.
Oh iya, namaku Raisa Zahra, seorang pejuang skripsi yang sedang bertempur menuju sarjana hingga titik darah penghabisan! Semester akhir juga menjadi salah satu alasanku untuk pindah kos-an. Selain karena kosan lamaku terletak agak jauh dari kampus, penghuni kosan lamaku juga hampir semuanya berbakat menjadi penyanyi.
Ketika pagi, maka lagu dangdut yang akan menggema nyaring. Begitu sore, koleksi lagu lawas-laj yang akan terdengar. Kalau malam? Maka lagu pop yang sengaja di jedag-jedug kan lah yang setia menemaniku hingga menutup mata. Kalau seandainya ada kuis tebak lagu berhadiah mungkin aku akan keluar sebagai pemenang.
Aku memindahkan barangku satu persatu menaiki tangga. Maklumlah, hanya tersisa 1 kamar kosong disini, dan itupun berada di lantai paling atas.
"Ini kos paling yahud di kompleks sini! Gak bakal nemu deh yang sestrategis ini. Dekat dengan jalan raya lagi!"
Begitulah ucapan tante Ella, pemilik kosan dengan penampilan super nyentrik. Dalam hati aku hanya bisa bergumam, ya iyalah dekat jalan raya, ya kali dekat empang!
Siapapun yang melihat tante Ella tak akan menyangka kalau usia tante Ella sudah menginjak 50 tahun. Gimana nggak? Rambut di cat warna-warni bak ayam teletubies, tinggi semampai dengan body yang masih semlehoi. Aku aja yang masih gadis saja merasa iri saat melihat body tante Ella!
Dengan susah payah aku mengatur nafas setelah menaikkan seluruh barang. Buset, benar-benar menguras energi! Bahkan sarapan yang baru aku makan tak ada artinya karena sekarang cacing diperutku sudah mulai melakukan aba-aba, mengambil posisi untuk memulai konser. Aku bisa membayangkan hidupku kedepannya. Kalau begini sih, aku nggak perlu olahraga lagi deh. Cukup naik turun tangga kos sudah bisa membuat lemakku terbakar.
Mataku mengamati seluruh penjuru lantai 3. Hanya ada 2 kamar di lantai 3 dengan masing-masing nama terpampang di pintu kamar. Kamarku terletak di paling ujung, pas di dekat tangga. Sebenarnya aku agak keberatan dengan posisi kamar ini. Selain karena sangat jauh ke atas, posisi di dekat tangga juga sangat merugikan untukku. Alasannya karena langkah kaki orang yang lalu lalang akan sangat terdengar dari kamarku. Tapi aku akhirnya pasrah, toh hanya ada 1 kamar yang berada di sampingku.
"Okays, mari beraksi!"
Gumamku riang sambil mulai membuka pintu kos dan memasukkan satu persatu barangku.
"Pindah kosan apa pindah rumah sih? Barangnya banyak amat!"
Suara seseorang membuat aktifitasku memindahkan barang terhenti sejenak. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Pandanganku bersitatap dengan perempuan super cantik yang sedang berdiri menyender di pegangan tangga. Matanya memandangiku dari atas ke bawah, lalu tersenyum sumringah. Sedangkan Aku? Jangan tanya, mulutku menganga lebar sekarang, rasanya aku bisa mendengar musik dan angin yang menerbangkan rambut panjang perempuan itu lengkap dengan uringan musik, persis seperti film-film India. Jujur, ini kali pertama aku melihat perempuan secantik dia, bahkan aku saja sebagai perempuan merasa betapa aku hanyalah secuil upil jika dihadapkan dengan perempuan ini.
"Lha, malah melamun, baru pindah?"
Tanyanya bingung sambil melambai-lambaikan tangan kanannya di depan wajahku.
Seperti terhipnotis, aku langsung menganggukkan kepala.
Perempuan itu tersenyum lagi, dia lalu meraih salah satu koperku dan membuka pintu kamar kosku lebar-lebar. Dengan santai dia melangkah ke dalam, tanpa mempedulikan ekspresi cengo-ku yang belum juga kembali normal.
"Aiya! kalo lo planga plongo gini, sampe ayam beranak juga gak bakal siap ini pindahannya!"
Gerutunya sambil memanyunkan bibir.
"Ah.. iya!"
Dengan gelagapan aku mulai memindahkan seluruh barangku ke dalam.
Selanjutnya kami tak banyak bicara. Dia sibuk dengan aktifitas membantu memasukkan barangku, sementara aku sibuk memikirkan betapa asyiknya kalau aku juga terlahir dengan wajah secantik dia.
"Nama lo siapa?"
Tanyanya setelah memastikan semua barang-barang berhasil terpindahkan ke dalam kamar.
Aku terhenyak kaget, dengan cepat beranjak menuju salah satu kotak dan mulai merogoh mencari sesuatu.
"Raisa, tapi panggil aja Icha."
Jawabku sambil menyodorkan sekotak susu UHT rasa strawberry.
"Makasih mbak." lanjutku lagi sembari tersenyum lebar.
Perempuan itu terdiam sebentar, sebelum akhirnya terkekeh pelan.
"Duh, imutnya! Nama gue Bianca, tapi panggil aja mbak Bian. Kalau lo perlu apa-apa ketuk aja pintu kamar gue. Pas di samping elo kok."
Setelah itu mbak Bian berjalan pergi, meninggalkanku yang masih terpesona dengan kecantikkan dan kebaikan hatinya. Itulah kali pertama aku bertemu mbak Bian, perempuan super cantik seantero kos-an. Dengan tinggi yang kuperkirakan mendekati 175 cm, hidung bangir dengan bola mata cokelat susu. Ya tuhan! Dunia ini sangat tidak adil saat menciptakan mbak Bian. Bagi dikit kek tingginya dengan diriku yang cuma semekot alias semeter kotor ini, huhu.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk menjadi akrab dengan mbak Bian yang memang sangat supel. Karena kami sesama anak tunggal, mbak Bian bilang dia menganggapku sebagai adiknya. Dan tentu saja, aku dengan senang hati menganggap mbak Bian sebagai kakakku.
Bukan cuma cantik, mbak Bian juga baik banget. Kadang aku cuma perlu memandang mbak Bian, maka dia langsung bisa membaca pikiranku. Pernah suatu kali aku mengalami kram perut saat sedang menstruasi. Tak sengaja aku dan mbak Bian berpapasan di tangga saat aku hendak berjalan menuju kamar kos. Tentu saja aku tersenyum seperti biasa, mencoba menyembunyikan rasa sakitku agar mbak Bian tidak khawatir. Tapi seakan bisa membaca pikiranku, tak lama setelah aku masuk ke kosan, mbak Bian mengetuk pintu kamarku. Dia menyodorkan beberapa botol minuman pereda nyeri haid dan seporsi bubur ayam. Intinya mbak Bian is the best lah! Kalau saja aku seorang pria, pastilah aku sudah klepek-klepek dengan mbak Bian.
Mbak Bian juga bisa dikatakan sebagai wanita sukses. Di usianya yang baru menginjak 29 tahun, dia sudah punya 3 cabang cafe dan sebuah swalayan yang dikelolanya sendiri. Bahkan aku selalu ngiler setiap main ke kosannya mbak Bian, memandangi semua barang-barang branded yang mbak Bian punya. Dan tentu saja, mbak Bian dengan senang hati memberikanku beberapa barang yang dia punya. Bahkan jika itu adalah barang kesukaannya sekalipun. Rasa kagumku kepada mbak Bian semakin besar ketika mbak Bian mengizinkanku untuk bekeja di cafenya, dengan sistem pembayaran perjam tanpa ada patokan jam masuk dan jam pulang. Duh, pokoknya mbak Bian adalah malaikat pelindung sekaligus kakak perempuan terbaik yang kupunya, walaupun nggak sedarah sih.
Tapi, ada 1 hal yang menjadi pertanyaan dalam hatiku. Yaitu kenapa perempuan sesukses mbak Bian bisa memilih untuk ngekos di tempat se-sederhana ini. Selain itu mbak Bian juga masih single. Bagaimana mungkin wanita secantik, sesukses dan sebaik mbak Bian masih single? Apakah ini bentuk keadilan dunia dengan membiarkan mbak Bian single dibalik semua kesempurnaannya?.
Sebenarnya aku sering sih melihat seorang pria keluar masuk kamar mbak Bian. Aku bahkan sempat mengira bahwa pria itu adalah suami mbak Bian. Tapi ternyata aku salah. Dugaanku langsung dihempas oleh mbak Bian. Dia bilang, pria itu memang mengejar mbak Bian dari dulu. Tapi mbak Bian menolaknya. Saat kutanya alasannya, mbak Bian hanya tersenyum sedih dan mengatakan bahwa ada 1 hal yang masih mengganjal di hatinya yang membuat dia tidak bisa membuka hati untuk seorang pria. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan kelanjutan perkataan mbak Bian. Tapi aku memutuskan untuk hanya mengangguk dan tidak membahas perihal asmara mbak Bian.
Terlepas semisterius apapun mbak Bian, aku tetaplah menyukainya.
Intinya, mbak Bian is the best!
Aku mencoba merenggangkan badan, sesekali menguap lebar sambil memandang pintu yang tak kunjung terbuka. Sudah pukul tiga sore, tapi jika kuhitung, baru delapan pelanggan yang menyambangi cafe ini. Kalau dipikir-pikir, sudah hampir dua bulan aku pindah kosan dan bekerja di cafe milik mbak Bian, si embak tetangga kos yang kebaikannya membuatku terkagum-kagum. Berkat kebaikan hati mbak Bian aku mulai terbiasa dengan lingkungan kosan. Hanya saja, entah kenapa ada perasaan mengganjal setiap aku melihat kosanku. Bagaimana ya, memang tante Ella bilang rata-rata yang menyewa kamar di kosan itu adalah pekerja yang super sibuk, oleh sebab itu sulit bertemu atau berpapasan adalah sesuatu yang wajar. Tapi entah kenapa menurutku ada yang aneh.
Rasa penasaran muncul di diriku saat melihat para penghuni lantai dua di kosanku. Di antara seluruh penghuni kos tante Ella, hanya penghuni kos lantai dua lah yang tak pernah berbaur dengan penghuni kos lain. Selain itu masih banyak keanehan yang membuat jiwa detektifku meronta-ronta, meminta untuk dilepaskan!
Mulai dari pria-pria bertubuh tinggi besar yang tak sengaja kulihat memasuki salah satu kamar di lantai dua saat aku baru pulang sehabis ngelembur di perpustakaan. Suasana siang yang riuh di lantai dua dan mendadak sepi di saat malam. Seakan menegaskan bahwa aktifitas para penghuni kos di lantai dua baru dimulai saat malam tiba. Belum lagi tatapan-tatapan dingin dari penghuni lantai dua. Dan yang paling membuatku bertanya-tanya adalah suara rintihan seperti menahan sakit yang pernah ku dengar saat tak sengaja melewati lantai dua ketika ingin membuang sampah.
"Perasaan kamu aja kali!"
Hanya begitulah tanggapan mbak Bian ketika aku menanyakan pendapatnya tentang kemisteriusan penghuni lantai dua kosan ini.
"Mungkin mereka kerja di club atau tempat yang bukanya tengah malam kali!"
Mbak Bian terus menyangkal setiap fakta yang kubeberkan.
"Lalu, suara rintihan itu mbak?"
Tanyaku sengit yang langsung membuat rona merah menjalari pipi mbak Bian.
"Hush, anak kecil nggak boleh tahu!”
Ucapnya malu-malu yang sukses membuat wajahku ikut memerah begjtu menyadarimaksudnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengacuhkan saja segala kecurigaan itu.
Aku menepuk-nepuk pipiku, menghentikan segala lamunan dan kembali fokus mengamati layar laptop. Inilah poin lainnya yang membuatku bahagia bisa menjadi karyawan mbak Bian, dia mengizinkanku mengerjakan skripsi ketika tak ada pelanggan yang harus dilayani. Duh pokoknya mbak Bian is the best lah! Tanganku mulai bergerak lincah, teringat lagi jadwal revisi yang sukses membuat kepalaku pusing tujuh keliling, ya walaupun tidurku masih nyenyak dan makan masih enak sih. Aku rasa itu menjadi kelebihan tersendiri untukku, se-stres apapun diriku, tak pernah berimbas pada pola tidur atau makanku.
"Zheyeng!"
Sebuah bisikan beserta hembusan nafas pelan ditelingaku langsung membuat aku terperanjat kaget.
Refleks tanganku langsung terangkat, memukul sesuatu yang ada di samping telingku.
"Buset, bar-bar banget!"
Suara eluhan langsung terdengar begitu tanganku mendarat mulus di pipi milik tersangka yang sudah berani-beraninya menghembuskan nafas di titik sensitifku. Aku hanya mengangkat bahu sambil memandang wajah kesal mas Raka, salah satu karyawan di kafe mbak Bian yang bertugas sebagai barista. Tangan mas Raka masih mengelus pipinya, gumaman kesal masih terdengar dari mulutnya.
"Kalau gue iseng nyium lo, bisa masuk rumah sakit gue karena babak belur kali ya."
Aku berpura-pura tak mendengar gumaman mas Raka dan memilih melanjutkan aktivitasku.
"Cha, ooo Cha!"
Dia lalu menarik bangku dan duduk di dekatku.
"Hmm?"
"Kencan skuy?"
"Hah?"
"Ho oh, kencan, jalan-jalan keliling kota, makan jagung bakar terus.."
"Cari mati?"
Aku menyela ucapan mas Raka. Memandangnya tajam dengan ekspresi kesal sambil mengepalkan tanganku. Entah sudah berapa kali aku mendengar ajakan kencan darinya seharian ini.
Mas Raka nyengir, memamerkan gigi yang putihnya yang rapih, melebihi brand ambassador merk sebuah pasta gigi.
"Cari cinta dong Zheyeng."
Lanjutnya lagi, sambil menaik turunkan alis tebalnya.
Aku hanya bisa menghela nafas melihat tingkah mas Raka. Sejak hari pertama aku bekerja di cafe, lelaki playboy cap mangkok bakso ini tak henti-hentinya mendekatiku. Memang harus kuakui, mas Raka punya penampilan yang mempesona, bahkan pelanggan cafe kami yang di dominasi oleh wanita selalu memandang mas Raka. Bak gayung bersambut, mas Raka justru senang dengan perhatian para pelanggan. Dia bahkan selalu memasang ekspresi sok keren setiap kali meracik kopi. Ah, mas Raka, kalaulah dia tak berbicara, pasti aku juga bakalan terpana karena wajah mas Raka punya kesan dingin dan cuek yang alami.
Memandang wajah cakep mas Raka, membuatku teringat hari pertama masuk kerja. Pria dengan tubuh jangkung dan tatapan dingin, ekspresi datar serta terkesan cuek.
"Aku tebak pasti kamu suka bunga. Soalnya semua orang cantik pasti suka bunga!”
"Wah, ini kali pertama aku jumpa cewek secakep kamu. Minta nomor WA dong!”
Itulah kata-kata yang pertama keluar dari mulut mas Raka saat dia berbicara denganku. Aku hanya bisa terplongo mendengar ucapan mas Raka. Seketika aku mendengar suara retak dari di kepalaku. Semua khanyalanku tentang cowok cool dan kalem yang sesuai dengan tampangnya hancur berkeping-keping!
Setelah melontarkan kalimat gombal -gembel itu, mbak Bian langsung menyeret mas Raka ke dapur. Entah apa yang terjadi, tapi sayup-sayup aku mendengar benda jatuh ke lantai. Begitu keluar, mas Raka berhenti untuk mengucapkan kalimat gombal kepadaku.
Tapi gombalan mas Raka hanya berhenti untuk sementara. Besoknya dia kembali melanjutkan gombalannya yang sukses membuatku kesal. Bahkan dia memaksaku untuk membalas gombalannya dengan gombalan juga. Aku menarik nafas sejenak, karena tak tahan mendengar rengekan mas Raka, akhirnya aku berkata,
"Aku tebak, pasti ayah mas Raka kerja di PLN"
"Aseekk, kok tahu?"
Balas mas Raka girang dengan wajah penuh harap
"Oh iyanya? Aku mau protes nih, listrik di kosanku sering mati padahal tokennya masih banyak!”
Sambungku dengan ekspresi serius. Dan selanjutnya, mas Raka langsung mencak-mencak, memaksaku untuk memberi gombalan yang sebenarnya. Untung mbak Bian muncul dan menyeret mas Raka ke dapur. Aku jadi penasaran apa yang dilakukan mbak Bian sampai mas Raka nurut dan tak berkutik seperti itu.
Oh iya, belakangan aku baru tahu bahwa mas Raka adalah sahabat mbak Bian sejak kecil. Mereka bahkan lahir pada jam dan hari yang sama di rumah sakit yang sama.
"Jodoh dong!"
Iseng aku meledek mas Raka saat mengetahui kenyataan tentang dia dan mbak Bian. Tapi ekspresi mas Raka selanjutnya membuatku sedikit kaget. Dia justru terlihat merinding, tangannya bahkan terus-terusan mengusap bahunya.
"Amit-amit, amit-amit!”
Ucapnya sambil memukul kepala dan lutut secara bergantian berkali-kali.
Aku hanya berpikir mas Raka berekspresi begitu karena dia sudah terlalu lama mengenal mbak Bian dan tahu betul seluk-beluk sifat mbak Bian. Sehingga gagasan menjadi kekasih atau suami mbak Bian agak membuatnya geli. Lagian mbak Bian dan mas Raka adalah defenisi sebenarnya dari kucing dan anjing, baku hantam adalah aktivitas favorit mereka setiap hari. Bahkan masalah sepelepun bisa membuat mereka saling mengeluarkan pukulan yang mereka namai dengan nama yang aneh.
Kalau pukulan mbak Bian namanya 'pukulan bang Toyib mencari nafkah' sedangkan pukulan mas Raka bernama 'pukulan cowok cakep se-galaksi bima sakti'. Setiap memulai memukul, pastilah mereka mengucapkan kalimat itu terlebih dahulu. Kalian bingung? Sama, aku juga! Entah apa korelasinya hingga mereka berdua menjuluki pukulan mereka dengan julukan yang aneh seperti itu.
"Jawab dong Cha!”
Suara mas Raka terdengar lagi, membuatku tersentak dari lamunan.
Mataku memandang wajah mas Raka yang masih sumringah. Aku lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum berucap
"Kencan sama saya pakek tarif mas."
Jawabku asal.
Mas Raka tiba-tiba memasang ekspresi kaget, sebelah tangannya terangkat untuk menutup mulutnya.
"Ya tuhan Icha! Mas nggak nyangka kamu kayak gini!”
Aku hanya mengerlingkan bola mata malas, mulai deh kelebay-an mas Raka muncul di permukaan.
"Kamu itu cakep, nggak baik nyemplung di dunia seperti itu!"
Dia terdiam sejenak, lalu perlahan merangkul bahuku
"Mending sama mas Raka. Jadi istri yang sholehah. Kan lumayan, dapet suami cakep kayak mas Raka. Dimana lagi kamu nyari yang kayak mas coba? Lee Min Ho aja lewat!”
"Di tanah abang banyak!"
Suara mbak Bian langsung menghentikan gombalan receh milik mas Raka. Seperti yang kutebak, selanjutnya lagi-lagi kerah baju mas Raka ditarik menuju dapur. Perlahan seutas senyum terbentuk di bibirku. Ya beginilah rutinitasku di cafe mbak Bian. Tiada hari tanpa keributan receh yang meramaikan hidupku.
10.45
Aku memandangi jam dinding yang terletak tepat di dekat Laminar Air Flow, salah satu alat laboratorium yang seolah menjadi pacar untukku. Gimana nggak? Setiap hari aku harus nongkrong di alat yang digunakan untuk kegiatan penelitianku, bahkan di saat weekend sekalipun. Hampir saja air mata beserta ingusku meleleh mengingat penderitaan tiada akhir yang ku alami semenjak aku masuk kuliah dan mengambil jurusan Biologi. Awalnya sebelum memilih jurusan ini, aku tak pernah menyangka bahwa kuliah di jurusan Biologi akan seperti ini.
Jiwa masa SMA-ku yang sering dicekoki dengan sinetron perkuliahan yang sangat santai, membuatku berakhir terlalu halu. Aku pikir, saat kuliah aku bisa seperti para mahasiswa di sinetron-sinetron. Wajah cakep dengan make up tipis, baju modis dan jam belajar yang fleksibel, sekaligus bumbu-bumbu cinta lokasi yang sudah menari-nari di kepalaku.
Tapi ekspektasiku langsung hancur berkeping-keping, bahkan saat pertama kali semester pertama di mulai. Semester satu memang diisi praktikum laboratorium dasar seperti Biologi dasar, Kimia dasar dan Fisika dasar. Tapi disinilah awal khayalanku dikandaskan sekandas-kandasnya.
"Bufo dua per partner, Rana dua per partner, Haemodipsa dua per partner, Hirudo dua per partner, Mabouya dua per partner...."
Aku menganggukkan kepala dengan antusias begitu mendengar daftar hewan praktikum yang harus kami bawa. Asisten laboratorium yang bertugas mendampingi kami saat praktikum dengan nyaring mengumumkan bahan praktek dengan nama latin. Maklum saja, saat itu aku masih geblek soal Biologi, satu-satunya alasan aku memilih jurusan Biologi adalah karena dalam asumsiku, jurusan ini tak perlu berurusan dengan matematika. Walaupun pada kenyataannya semua hanyalah ilusi!
Wajahku langsung berubah masam saat aku mengetahui arti dari nama latin yang diumumkan oleh asisten lab. Kalian tahu apa? Mereka meminta kami untuk membawa kodok, katak, pacat, lintah, kadal dan beberapa hewan lain bahkan cacing! Bayangkan bagaimana hampir gilanya aku saat mengetahui arti semua spesimen yang harus di bawa.
"Kalau bisa cari sendiri ya dek, kampus kita luas. Pasti kalian bisa nemu semua bahan yang diminta di sini."
Aku menelan ludah saat membayangkan harus menangkap hewan-hewan tersebut dengan tanganku. Apalagi kodok! Ya ampun, bunuh aja adek bang!
Tapi justru berkuliah di Biologi membuat phobiaku pada hewan mulai membaik, bahkan sekarang aku sudah biasa saja saat melihat ular. Malah kalau ada ular melintas, yang ada dipikiranku justru seperti ini,
"Syukur lo munculnya sekarang kan lar, kalau nggak, udah berakhir di meja praktikum deh lo!”
Kuliah di Biologi juga mengajarkanku untuk teliti gaes. Gimana nggak? Pernah di salah satu judul praktikum, kami harus membawa sepuluh jenis kodok yang berbeda. Eh buset dah, bagiku semua kodok sama aja. Yang penting berlendir, gendut, kaki empat bisa lompat dan nggak pandai berenang seperti katak. Dan lagi-lagi kami diminta untuk mencari sendiri, agar bisa mengenal para kodok secara lebih dekat. Eakkk, berasa gebetan deh!
Dan perihal tiada matematika, ternyata aku salah besar gaes!. Sangat salah besar! Biologi punya matematikanya sendiri, yaitu pada bidang genetika. Matematika yang dikombinasikan dengan keahlian meramal. Misalnya begini, seorang pria buta warna akan menikah dengan seorang wanita carier (pembawa) buta warna, berapakah jumlah keturunannya yang normal? Kadang aku berpikir, nih orang mau nikah kenapa malah aku yang ribet? Lagian masih mau nikah loh ini. Bisa aja kan mantannya dateng atau pelakor muncul, gagal deh mereka nikah.
Tapi begitulah, tetap saja aku bersyukur masuk ke jurusan ini. Berkat jurusan ini jiwa magerku sedikit berkurang, jiwa penakutku pun juga. Karena keluar masuk hutan sudah menjadi agenda rutin yang kami lakukan. Ketemu makhluk ghaib? Ops, sudah biasa. Jangankan di dalam hutan, di laboratorium tempat aku melakukan penelitian-pun bisa dijadikan mas botak dan acara masih dunia lain sebagai sarana uji nyali.
Mulai dari mbak kunti yang suka ngetok-ngetok jendela laboratorium, mas ocong yang demen nongkrong di tangga dekat mushollah dan makhluk astral lainnya. Bahkan aku pernah punya pengalaman pribadi bersama mereka. Aku masih ingat kejadian itu. Seperti biasa, karena penelitian yang menyita waktu dan harus diamati secara berkala, aku harus menginap di kampus. Aku sengaja mengajak ketiga temanku, Cancan, Tia dan Siska untuk menginap, dengan imbalan aku akan ikut menginap di lab bersama mereka saat nanti mereka membutuhkan.
Malam itu seperti biasa, kami berniat ngobrol ngalor ngidul sebentar sebelum tidur sambil bermain kartu uno. Kebetulan kami adalah tipe manusia bar-bar yang nggak bisa mengontrol suara saat bermain. Saat kami sedang seru-serunya dan giliran temanku mengeluarkan kartu, tiba-tiba ada seseorang yang mengatakan "uno!"
Awalnya kami pikir Cancan-lah yang bersuara, karena saat itu adalah giliran dia yang mengeluarkan kartu. Tapi ternyata kami salah, Cancan bahkan belum melihat kartunya. Dia justru termenung, membuat kami memandangnya dengan ekspresi ngeri.
"Lo barusan ngomong Can?"
Tanya Tia hati-hati.
Cancan langsung menggeleng dan menelan ludah. Hening sejenak, tak ada yang berani bersuara. Kami hanya bisa saling berpandangan.
"Hahaha, yaudahlah. Lanjut Can!"
Ucap Siska, yang berusaha mencairkan suasana.
Kami lalu tertawa canggung dan mulai melanjutkan permainan lagi. Tak butuh waktu lama kami mulai melupakan kejadian aneh barusan dan kembali bersemangat bermain. Saking serunya, kami sampai tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba, tanpa ada yang memberikan komando, kami berempat sontak menghentikan tawa kami dan langsung membaringkan tubuh, menutup paksa mata hingga akhirnya tertidur. Padahal kartu-kartu Uno itu masih berada di genggaman tangan kami masing-masing. Tahu kenapa tawa kami yang lagi seru-serunya tiba-tiba berhenti? Itu karena di balik tawa kami, ada tawa lain yang terdengar, dengan intonasi berbeda. Sebuah kikikan lengking yang terdengar pelan tapi merasuk ke dalam gendang telinga. Bahkan tanpa perlu bertanya-tanya, kami sudah bisa menebak si empunya suara. Huft, sepertinya tawa itu adalah kode dari mbak kunti agar kami segera tidur dan menutup mata.
***
Suara dering ponsel membuatku terlonjak kaget. Hampir saja jarum ose untuk mengambil mikroba di tanganku terjatuh. Duh, sepertinya aku lupa mematikan nada dering. Aku melirik ke arah ponselku yang tergeletak di atas meja. Karena tanganku sedang sibuk memegang mikroba unyu-unyu kesayanganku ini, aku sama sekali tak bisa mengangkat panggilan dari siapapun itu. Untung ada Cancan yang bergerak menuju ke meja tempat HPku tergeletak.
"Mbak Bian nih Cha.”
Ucap Cancan sambil mengarahkan layar ke wajahku.
Aku hanya mengangguk, mengisyaratkan Cancan untuk mengangkat telpon karena kondisiku yang masih fokus dengan jajaran mikroba kesayanganku. Sayup-sayup terdengar suara bercakap-cakap antara Cancan dan mbak Bian, sebelum akhirnya berhenti.
"Kata mbak Bian dia udah mesan makanan dari ojol, ayam gepuk kesukaan lo. Terus mbak Bian juga bilang dia bakal jemput lo kalau lo udah selesai"
Aku hanya mengangguk dan terus fokus dengan pekerjaanku. Dalam hati sangat bersyukur bisa mengenal orang yang begitu perhatian seperti mbak Bian. Bahkan tanpa perlu kuminta, dia langsung tahu bahwa aku sedang seret akibat akhir bulan dan belum sempat memesan makanan. Duh tuhan, kalaulah mbak Bian cowok, pasti bakal ku kejar sampai dapat.
Cancan tiba-tiba duduk di sebelahku sambil memakai sarung tangan dan masker. Dia menyemprot kedua tangannya dengan alkohol dan mulai membantuku. Aku hanya memutar bola mata jengah melihat Cancan. Jika sudah begini tandanya dia meminta 'jatah' dari makan siang yang mbak Bian pesankan. Sebenarnya tanpa dimintapun aku pasti akan langsung membaginya pada Cancan karena mbak Bian selalu memesankan makanan dengan porsi berlebih, bahkan cukup untuk 3 orang. Pokoknya semenjak aku mengenal mbak Bian, aku tak perlu susah payah lagi berpuasa jika akhir bulan mendekat.
Tepat pukul 13.00 pekerjaanku akhirnya selesai, bersamaan dengan datangnya bapak ojol yang langsung di sambut dengan karpet merah oleh Cancan. Kami mulai makan sambil ngobrol tentang perkembangan penelitian masing-masing, tak lupa juga mengutuk kedua teman kami lainnya yang sudah lebih dulu menyelesaikan penelitin mereka.
"Dasar, kawan nggak berakhlak. Bisa-bisanya selesai deluan!"
Ocehku sebal.
Cancan menanggapi ocehanku dengan gerutuan yang sama, sebelum akhirnya dia terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu.
"Lo ngerasa.. Mbak Bian aneh nggak?"
Tanyanya Cancan tiba-tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!