NovelToon NovelToon

Jerat Cinta Sang Billionaire

MASALAH DAN BATAS

Sekar melangkah cepat dari pintu depan menuju kamar tidur, langkah kakinya bergema di ruang tamu yang luas. Gelung rambutnya sudah tidak rapi, mengakibatkan helaian rambutnya menjuntai lembut, mengikuti setiap gerakan tubuhnya.

"Sekar, Ibu tidak akan membiarkan ini terjadi," seru Ratna, ibunya, dari belakang. "Dia adalah suamimu. Bersikaplah seperti wanita dewasa."

Sekar hanya mendengus sambil memutar mata. Sesampainya di kamar, dia langsung menuju lemari, mengambil tumpukan pakaian, lalu memasukkannya ke dalam tas besar.

"Dia tidak seperti yang kita kira, Bu," ucapnya sambil menutup resleting tas. "Semua ini hanya tipu muslihatnya."

"Dia persis seperti yang kita bayangkan," jawab Ratna tegas sambil masuk ke kamar dan membuka kembali resleting tas tersebut. "Dia akan menjadi penyelamat keluarga ini."

Dengan frustasi, Sekar mengangkat kedua tangannya dan keluar dari kamar.

"Dia berbohong. Kalau soal ini saja dia bisa berbohong, lalu apa lagi yang dia sembunyikan?" ucapnya tajam saat ia melangkah naik ke lantai atas, menuju kantor suaminya.

"Sekar, coba tenanglah dan pikirkan baik-baik,"

Sekar membuka pintu ruang kerja suaminya dengan keras dan langsung menuju meja kerja. Dia yakin dokumen yang dia cari ada di sana. Saat dia berbalik untuk memeriksa tempat lain, Ratna sudah berdiri di depannya, memegang bahunya untuk menghentikan gerakannya.

"Kamu harus mempertimbangkan tindakanmu. Apa kata orang nanti? Bagaimana dengan restoran? Kamu harus tetap tenang."

"Kalau begitu, setelah aku bercerai, Ibu bisa menikahinya," balas Sekar sinis. Dia menepis tangan Ratna, melangkah melewatinya, dan mulai membuka laci-laci meja, mencari dokumen atau amplop yang tampak familiar.

"SEKAR ARUM!!" tegur Ratna dengan nada keras.

"Aku tidak akan terus berpura-pura semuanya baik-baik saja hanya untuk menyelamatkan wajah Ibu!" Sekar membalas dengan suara lantang, sembari membongkar tumpukan berkas dan melemparkannya ke lantai.

"Di mana dia menyembunyikannya? Aku tahu itu ada di sini!" Dengan amarahnya yang belum padam, dia berjalan menuju lemari arsip di sisi lain ruangan.

"Ini bukan hanya tentang kamu, Sekar," kata Ratna, memposisikan dirinya di depan lemari arsip, berusaha menghentikan langkah putrinya sambil mencoba merebut berkas dari tangannya.

"Ini menyangkut keluarga, restoran, dan semua pekerjaan yang akan hancur jika kamu terus seperti ini," Ratna berkata dengan putus asa, "Apa yang akan kamu lakukan jika menemukan kontrak itu?"

"Aku akan merobeknya!" jawab Sekar tanpa ragu, melipat tangannya di dada dengan kesal. "Harus dengan cara lain untuk mendapatkan uang. Aku tidak mau terus terjebak dalam pernikahan ini."

"Kamu baru menikah tiga bulan!!" balas Ratna, hampir tak percaya.

"Itu sudah lebih dari cukup!"

"Sekar, ibu mohon,"

"Kenapa berkas-berkasku berserakan di lantai?" suara Panji tiba-tiba terdengar dari pintu, membuat kedua wanita itu terkejut dan menoleh ke arahnya.

"Panji, bagaimana pertemuan dengan para investor?" tanya Ratna, berdiri di antara Sekar dan lemari arsip.

"Lancar, sampai pada bagian di mana putrimu pergi seperti orang gila," jawab Panji sambil menatap Sekar dengan pandangan tajam.

"Apa susahnya untuk berpura-pura ingin menjalani semua ini?"

"Tentu saja dia mau," jawab Ratna cepat, seolah mewakili Sekar.

Hening sejenak. Sekar menatap Panji dengan penuh kebencian dari balik punggung ibunya.

"Bu, Jika boleh, bisakah aku berbicara dengan istriku sebentar? Sendirian?" pinta Panji dengan tenang.

Ratna menatap Sekar dengan wajah penuh kecewa sebelum beralih ke Panji dan mengangguk, berhenti sejenak di ambang pintu, lalu menghilang di balik lorong. Panji mengikutinya dibelakangnya lalu menutup pintu, meninggalkan dirinya dan Sekar sendirian di ruang kerjanya. Dalam keheningan, Panji memejamkan mata dan bersiap menghadapi pertengkaran yang dia tahu pasti akan terjadi.

"Kamu berbohong padaku," Sekar memecah keheningan.

"Aku tidak berbohong, aku hanya tidak mengatakan semuanya," balas Panji sambil berbalik menghadapnya dan melihat kekacauan di ruangan itu.

"Tapi, sekarang aku sadar, dan setuju itu keputusan yang buruk."

"SEMUA IDE INI BURUK!" Sekar membalas dengan suara meninggi, aksen medoknya terdengar lebih kuat dari sebelumnya.

"Menjadi istrimu? Baiklah. Menjadi mitra bisnismu? Oke. Tapi menjual daya tarikku ke ruangan penuh pria? Lupakan saja, aku punya caraku sendiri!" Dia maju selangkah "Kamu mempermalukanku." lanjutnya.

Panji meletakkan tangannya di pinggang dan menghela napas berat.

"Kamu bertingkah seperti orang keras kepala." Ucapnya.

"Suami macam apa yang memperlakukan istri sendiri seperti barang dagangan?" Sekar berkata dengan nada tidak percaya sambil menyilangkan tangan di dadanya.

"Suami yang sedang meminta tujuh ratus juta rupiah dari ruangan penuh pria," jawab Panji dengan nada frustasi.

"Serius, aku hanya memintamu membuka sedikit kancing kemeja dan menggerai rambutmu." Dengan tiga langkah cepat, dia sudah berada di depan Sekar.

"Kamu benar-benar brengsek," balas Sekar sambil berjalan melewatinya menuju pintu.

"Heh," Panji menarik lengannya dan memutarnya kembali hingga mereka berhadapan. "Banyak masalah yang akan selesai jika kamu sedikit lebih santai."

"Benar," gumam Sekar sinis. "Masalahnya adalah aku perempuan bukan pria."

Panji menaikkan alisnya, memandangi wajah Sekar dari dekat. "Aku sangat sadar dengan jenis kelaminmu. Pertanyaannya, apakah kamu sadar?"

Sekar mundur dengan cepat, punggungnya menghantam pintu kayu di belakangnya. Dengan tangan kanannya, dia mulai meraih gagang pintu.

"Aku tidak peduli apa kesepakatan yang kamu buat dengan ibuku, dan aku tidak punya niat untuk melanjutkan ini. Ingat kata-kataku, Tuan Panji Raksa Pradipta, aku bukan wanita jalanan, dan aku berniat melanjutkan bisnis ayahku dengan prinsip."

Panji mendorong pintu, membantingnya dengan keras, sekaligus mendorong Sekar hingga punggungnya membentur pintu.

"Oh ya, Menempelkan surat penggusuran di pintu depan, Itu yang kamu sebut prinsip? Kenapa kamu tidak mengakuinya saja, Kamu seperti kapal karam saat aku datang," katanya sambil mendekat, semakin memperkecil jarak yang nyaris tidak ada.

"Restoranmu hampir bangkrut, dan aku yang menyelamatkannya."

"Menjauh dariku," Sekar mendesis sambil mendorong dada Panji dan dia tidak bergerak. Ketika Sekar berhenti melawan, Panji menghela nafas frustasi.

"Kamu benar-benar kasar." Ucap Sekar

"Dan kamu keras kepala," balas Panji dengan dingin.

"Aku ini istrimu," Sekar membalas dengan tajam. "Apa ayahmu tidak pernah mengajarkan bagaimana memperlakukan seorang perempuan?"

Panji tiba-tiba menunduk, menyambar bibir Sekar dalam ciuman penuh gairah yang bercampur dengan kemarahan. Selama tiga bulan terakhir, ketegangan di antara mereka terus meningkat. Dia sangat frustasi hingga hampir tidak bisa menahannya lagi. Jika harus jujur, sikap keras kepala Sekar hanya membuatnya semakin tergoda.

Sekar mendorong Panji dengan keras, berusaha melawan sambil mendengus marah.

"Hentikan," katanya dengan suara teredam di sela ciuman. "BERANINYA KAMU!"

Panji mundur sedikit, bibirnya melengkung menjadi senyuman arogan.

"Baiklah," katanya sambil melambaikan tangan seolah tak peduli. "Pergi, beritahu ibumu bahwa kita sudah sepakat."

"Aku tidak menyetujui apapun," balas Sekar, mendorong dirinya dari pintu dan mengusap bibirnya dengan punggung tangan. "Aku akan pergi dari sini"

"Kamu tidak mungkin pergi," Panji berkata sambil melonggarkan dasinya. "Keluargamu menandatangani kontrak. Suka atau tidak, kita ada di dalam ini bersama-sama."

"Ada cara lain untuk mendapatkan uang demi menyelamatkan keluargaku dan restoran ayahku."

"Tidak, tidak ada," balas Panji dengan seringai sinis. "Pada hari pernikahan, aku menandatangani kontrak seperti yang kamu lakukan," lanjutnya sambil melepas dasinya. "Kontrak itu mencakup surat kepemilikan restoran. Jika kamu meninggalkanku, restoran itu menjadi milikku," tambahnya dengan senyum kemenangan khasnya.

Wajah Sekar berubah. Kemarahannya hilang, digantikan oleh kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Tidak ada kata yang bisa dia ucapkan, hanya menggigit bibirnya menahan emosi.

"Berhenti melakukan itu," kata Panji sambil melepaskan dasinya sepenuhnya. Dalam benaknya, dia membayangkan menggunakan dasi itu untuk mengikat Sekar di tempat tidur, menikmati saat dia akhirnya menyerah dan memohon lebih. Melihat Sekar menggigit bibirnya membuat Panji ingin menggigit bibir itu sendiri, menikmati reaksi terkejutnya.

Sekar melepaskan gigitannya dan mencoba menahan diri agar tidak menangis dalam kekalahan, atau malah menyerangnya sebagai balasan.

"Kenapa kamu melakukan ini?"

"Aku juga bisa bertanya hal yang sama padamu," jawab Panji, melempar dasinya ke kursi terdekat.

"Mulai sekarang, bersikaplah manis dan pergilah membongkar tas mu karena kamu tidak akan ke mana-mana," lanjutnya dengan nada lembut sambil melepas kancing mansetnya.

"Aku yakin ibumu akan membantumu."

Sekar melangkah maju, mendekati Panji, lalu mengangkat tangannya untuk menampar wajahnya. Suara tamparan itu keras, begitu pula rasa perih di tangannya. Dia mendengus untuk menahan rasa sakit di tangannya. Dia tahu tindakan itu tidak akan mengubah apa pun, hanya akan membuat Panji lebih marah, tapi rasanya memuaskan.

Panji menatapnya dengan tenang saat Sekar berdiri di depannya, mencoba mengatur nafasnya. Wajah Panji memerah karena bekas tamparan itu. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya saat dia menatap istrinya, wanita yang telah membuat hidupnya jungkir balik sejak mereka menikah.

"Kusarankan kamu keluar dari ruangan ini selagi aku masih baik hati."

"Kamu tidak punya sopan santun, tidak punya rasa malu, dan tidak tahu cara memperlakukan seorang perempuan," katanya tajam dengan hidung kembang kempis menahan marah.

"Fakta bahwa ini pernikahan yang diatur oleh ibuku saja sudah cukup membuktikan segalanya. Aku muak menyebutmu suami, dan ayahku pasti akan menangis di kuburnya jika melihat apa yang terjadi pada keluarganya."

Panji meraih pinggang Sekar, memutar tubuhnya, dan mendorongnya ke arah pintu.

"Percayalah, menikah denganmu adalah keputusan bisnis terburuk yang pernah kubuat, dan fakta bahwa ini baru berjalan tiga bulan membuatku berharap aku lebih baik menembak diriku sendiri."

Panji mendorong Sekar keluar dari ruang kerjanya, Saat Sekar berbalik untuk melontarkan kemarahan, pintu itu dibanting tertutup tepat di hadapannya.

RENCANA

Keesokan paginya, Panji berangkat ke kantor, perusahaan milik ayahnya yang bernama Kencana Company. Dia duduk di meja kerjanya dan menyalakan laptop. Malam sebelumnya cukup kacau, dia menghabiskan waktu di ruang kerjanya dan membereskan kekacauan yang ditinggalkan Sekar. Dia menghilang entah ke restoran atau mungkin ke rumah ibunya untuk menenangkan diri. Siapa peduli?

"Pak Panji?"

Panji mendongak ke arah pintu kantornya, yang memang sengaja dibiarkan terbuka.

"Ya, Tika?" tanyanya pada sekretarisnya.

"Pak Heri ada di sini untuk bertemu Anda. Saya sudah memintanya menunggu di ruang rapat, dan ayah Anda juga sudah menunggu Anda sepanjang pagi," jawab Tika sambil tersenyum sopan.

Panji bersandar di kursinya sambil menghela napas. Ketika Tika hendak berbalik meninggalkan ruangan, Panji memanggilnya kembali.

"Tika?"

"Ya, Pak?"

"Masuklah dan tutup pintunya. Saya punya beberapa hal untuk di kerjakan, lebih baik jika tidak ada gangguan."

"Baik," jawab Tika hati-hati sambil menutup pintu.

Panji merogoh dompetnya dari saku belakang dan mengeluarkan kartu kredit.

"Ini kartu kredit saya," katanya, mengangkat kartunya agar Tika bisa melihat. "Pergilah ke toko perhiasan dan ambilkan pesanan saya."

Tika mengangguk sambil menerima kartu itu. "Baik, Pak."

"Beri tahu mereka bahwa kamu sekretaris saya dan kamu datang untuk mengambil pesanan saya," lanjut Panji sambil melipat tangannya di meja. Dia melirik foto istrinya yang terletak di atas meja, sebagai pengingat apa yang sedang dia perjuangkan.

"Pastikan juga reservasi untuk minggu ini tetap terkonfirmasi, dan cek apakah mereka memiliki jaringan internet yang memadai untuk saya bekerja selama di sana." Dia menambahkan, "Setelah itu, pergilah ke toko bunga di sudut jalan dan kirimkan buket mawar putih untuk istri saya, lengkap dengan kartu ucapanya.'"

"Baik, Pak," jawab Tika sambil mencatat semua perintah itu di buku catatannya.

"Tolong panggilkan ayah saya masuk," kata Panji sambil membungkuk sedikit ke meja.

"Oh, dan pastikan kamu kembali sebelum rapat pukul dua siang. Saya akan membutuhkan kamu untuk mencatat selama rapat." Dia membuka dokumen di mejanya dan memeriksanya sebentar.

"Baik," jawab Tika pelan.

"Dan Tika?" tambah Panji sambil mengalihkan pandangan dari file di depannya.

"Ya, Pak?"

Panji menatap Tika dengan senyum lembut. "Kamu boleh makan siang gratis dimanapun sebagai ucapan terima kasih atas bantuanmu."

"Terima kasih, Pak Panji," jawab Tika sambil mundur perlahan untuk meninggalkan kantornya.

"Tolong biarkan pintunya tetap terbuka," kata Panji sambil melihat kembali dokumen di mejanya.

"Baik, Pak," balas Tika sebelum menghilang dari pandangannya.

Panji kembali ke laptopnya, membuka e-mail, dan memeriksa kotak masuknya. Dia menghela napas, lalu meraih buku catatan dan pena.

"Selamat pagi," sapa sebuah suara. Panji mendongak dan melihat Wibowo, ayahnya berdiri di ambang pintu dengan senyuman.

"Saudaramu bilang bahwa rapat dengan para investor kemarin tidak berjalan lancar?"

"Setengah saudara," koreksi Panji sambil kembali menatap layar laptop, bibirnya tersenyum kaku. Ibu Panji meninggal saat melahirkannya, meninggalkan ayahnya, untuk merawatnya—atau lebih tepatnya, menyerahkan pengasuhan kepada staf rumah tangga karena Wibowo lebih sering sibuk menjalankan perusahaannya atau bersenang-senang.

Ketika Panji berusia lima tahun, Wibowo pulang membawa satu keluarga lengkap dan memindahkan mereka ke rumahnya di Jogja. Meskipun Panji adalah anak kandung satu-satunya dari Wibowo Pradipta, dia selalu berada di urutan kedua setelah istri barunya, Maya, dan anak-anak tirinya, Bayu dan Sinta.

"Apa yang terjadi di rapat?" tanya Wibowo sambil duduk di salah satu kursi di depan meja Panji. "Apakah kamu perlu bantuan?"

Tentu saja, itulah yang selalu ayahnya inginkan—mengambil alih. Panji menyembunyikan senyum tipisnya sambil mengetuk buku catatannya dengan pena.

"Tidak, semuanya baik-baik saja. Hanya saja Sekar belum terbiasa dengan cara kita menjalankan bisnis," jawab Panji sambil melirik ayahnya. "Aku sudah menjelaskan padanya tadi malam. Aku pastikan, lain kali dia akan lebih siap."

"Panji," kata ayahnya sambil menghela napas dan merapikan kerah bajunya.

"Apa kamu yakin ingin terjun ke bisnis restoran ini? Ayah paham niatmu tulus, tapi kamu bisa membelikannya restoran lain. Lagi pula, dia tidak benar-benar membutuhkan penghasilan."

Panji bersandar di kursinya. "Di situlah masalahnya. Dia tidak mau restoran lain, dia hanya mau yang ini," jawabnya sambil mengetukkan pena di meja.

"Proses perbaikannya berjalan lancar. Kita sudah sering melakukan ini dengan perusahaan lain, jadi aku tidak melihat alasan kenapa kita tidak bisa melakukannya dengan restoran ini." Panji mengernyit sedikit sambil melirik jam dinding. Dia tidak ingin membuat Pak Heri menunggu terlalu lama, tetapi dia tahu tidak bijak untuk terburu-buru saat berbicara dengan ayahnya.

"Masalahnya, industri makanan selalu berubah," kata ayahnya dengan dahi berkerut. "Kita biasa memperbaiki perusahaan besar, bukan bisnis kecil. Aku sudah memberimu izin untuk mengelola usaha pribadi di luar, tapi di sini kita fokus pada tujuan besar, bukan proyek kecil di lingkungan sekitar."

Inilah perbedaan pandangan mereka. Ayahnya selalu membidik yang besar, seperti bulan, dan membiarkan bintang-bintang kecil memudar. Sementara itu, Panji melihat nilai dalam perbaikan tidak hanya perusahaan besar tetapi juga properti perumahan bersama bisnis di sekitarnya. Dia mengetukkan pena di buku catatannya dan kembali melirik jam.

"Itulah kenapa aku sedang mempelajarinya," kata Panji sambil menunjuk tumpukan buku yang ada di sudut mejanya.

"Baiklah," jawab ayahnya dengan nada skeptis.

"Lihat saja, kalau kamu berhasil, aku akan mempertimbangkan proposalmu untuk memperluas perusahaan. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Jika kamu tanya pendapat ayah, ayah rasa kamu hanya membuang-buang waktu."

"Aku mengerti," jawab Panji sambil bersandar di kursinya. "Apakah ada hal lain?"

"Ada. Maya mengadakan sarapan besok pagi. Tiket penerbanganmu sudah siap, dan dia ingin membahas detail tentang pesta ulang tahun pernikahan kami."

Panji mengangguk tanda mengerti dan menghela napas.

"Aku akan memeriksa jadwal istriku untuk memastikan dia bisa ikut."

"Bagaimana kabar menantu favoritku? Bahagia, kan? Lebih bagus lagi jika dia sedang hamil haha.." tanya ayahnya jenaka.

Panji menaikkan alis, memikirkan anak-anak. Kebisingan, keributan, waktu, dan uang yang harus dikeluarkan membuatnya hampir merinding.

"Kami belum membahas soal anak," jawabnya singkat. Lagipula, mereka bahkan belum tidur di ranjang yang sama.

"Perempuan seperti dia pasti ingin punya anak. Dia mengingatkanku pada ibumu," kata ayahnya dengan senyuman kecil. "Ibumu pasti akan menyukainya."

"Aku yakin," kata Panji dengan ekspresi muram, menatap ke mejanya. Sejak ayahnya bertemu Sekar, ayahnya kembali menempatkan orang lain di atas dirinya. Biasanya hal itu akan membuat Panji kesal, tetapi untuk alasan tertentu kali ini tidak begitu mengganggunya. Dia tumbuh tanpa figur ayah, tinggal di rumah di mana dia merasa lebih seperti tamu daripada penghuni. Saat akhirnya pindah keluar, itu menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupnya. Namun, tinggal bersama Sekar sering kali membangkitkan perasaan serupa.

Panji mengabaikan rasa tidak nyaman itu, menggenggam pena dengan kedua tangannya, sambil menatap logo Kencana Company yang terukir di pena itu. Dia menundukkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan ayahnya, sambil mencari cara untuk mengakhiri pembicaraan.

Ayahnya terus bersikeras agar dia bekerja di perusahaanya, sesuatu yang ditentangnya selama bertahun-tahun. Panji tidak ingin dikenal sebagai "anak bos" yang hanya menerima bantuan. Sebaliknya, dia berhasil mengelola beberapa bisnisnya sendiri dengan sukses, bahkan saat bekerja untuk ayahnya. Namun, kenyataannya, Panji sedang menunggu waktu yang tepat. Dia ingin memiliki perusahaan ayahnya, tetapi tidak untuk melanjutkannya. Dia ingin membongkarnya, menjualnya bagian per bagian kepada penawar tertinggi, hanya untuk mendapatkan kepuasan karena akhirnya mendapatkan perhatian penuh dari ayahnya.

Pernikahannya juga bagian dari rencana itu. Panji perlu membuktikan bahwa dia bisa untuk meyakinkan ayahnya. Dia perlu mengalihkan perhatian ayahnya dari niat utamanya dan memastikan semua orang tidak melihat apa yang dia rencanakan. Dan cara terbaik untuk menyembunyikan sesuatu adalah dengan memberikan perhatian pada hal lain yang tampak lebih jelas.

Saat dia membuat kesepakatan dengan Bu Ratna, Panji merasa dirinya jenius. Awalnya, dia memang memiliki niat baik terhadap Sekar ketika pertama kali melihatnya. Tapi, dalam hal moralitas, dia lebih tertarik pada keuntungan dari restorannya. Bank sudah mengancam akan menyita restoran dan rumah mereka, yang akan membuat mereka kehilangan segalanya. Itu menempatkan ibu mertua dan keluarganya dalam posisi tidak bisa menolak tawarannya.

Panji membeli utang bank untuk restoran itu dengan imbalan akta kepemilikannya. Dia juga membeli rumah mereka dengan syarat Ratna menyerahkan putri sulungnya sebagai istrinya. Panji membutuhkan istri dan rencana bisnis, kebetulan Ratna memiliki keduanya.

Ketika tidak ada lagi yang dibicarakan, ayahnya bergumam memberikan pujian singkat lalu pamit pergi. Setelah ayahnya keluar dari ruangan, Panji berdiri dari kursinya, membetulkan kancing jasnya, dan melangkah keluar dari kantor untuk menemui Pak Heri, yang masih menunggunya.

REALITA

Sekar sedang membuat adonan sambil memikirkan berbagai hal dalam diam. Dia tidak sengaja mendengar sesuatu saat pertemuan dengan para investor kemarin, yang membuatnya gelisah. Salah satu pria itu bertanya kepada Panji tentang kemungkinan menawarkan restoran untuk dijual setelah proses merger selesai. Sekar mendengar sendiri dengan jelas bagaimana Panji mengatakan bahwa harga jual properti itu akan diumumkan setelah pembukaan awal restaurant jika semuanya berjalan sesuai rencana.

Dia sulit mempercayainya. Panji telah berbohong pada keluarganya. Selama ini, dia yakin bahwa Panji benar-benar membantu mereka mengelola restoran. Sekar merasa bodoh karena mempercayai ibunya, yang pernah berkata bahwa Panji memiliki sisi baik. Pernikahan dengan pria asing itu ternyata hanya demi bisnis, bukan atas dasar cinta. Pria itu membutuhkan istri demi citra, sementara keluarga mereka membutuhkan bantuan finansial yang hanya bisa diberikan oleh orang luar. Semua ini terasa seperti jebakan, dan Sekar merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak menyadari kenyataanya lebih awal.

Ketika timer berbunyi di belakangnya, Sekar meninggalkan posisinya. Dia membuka tutup panci dan mulai memeriksa tingkat kematangan daging dirawon yang dia buat.

"Bu Sekar?"

Sekar tidak benar-benar mendengar namanya dipanggil. Dia berjalan lebih jauh ke dapur, memeriksa hidangan lain untuk tamu siang itu. Baru ketika dia berbalik, dia melihat seorang pria asing di dapurnya. Dengan cepat, dia meraih sendok dan mengangkatnya ke arah pria itu.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya tajam. Pria itu mengenakan seragam koki.

Pria itu mengangkat tangannya tanda menyerah. "Maaf, saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda. Saya sudah mencoba memanggil Anda beberapa kali, saya pikir mungkin Anda memakai earphone atau semacamnya."

Masih memegang sendok, Sekar mendesah sambil menyibakkan poninya untuk kesekian kalinya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada sepolos mungkin.

"Saya dikirim oleh Pak Panji," jawab pria itu dengan raut cemas sambil melirik ke arah sendok di tangannya. "Katanya Anda membutuhkan tukang masak, dan saya diminta untuk berbicara langsung dengan Anda."

Sekar mengernyit. Suaminya memang pernah menyebutkan bahwa mereka membutuhkan tukang masak baru, dan dia setuju sepenuhnya. Tapi dia tidak menyangka suaminya akan menemukan seseorang secepat ini.

"Saya jelas tidak mampu membayar kamu," katanya, sambil meletakkan sendok di meja, saat merasa pria itu bukan ancaman.

"Suami Anda sudah mengurus gaji saya," kata pria itu.

Sekar merasa sedikit lebih sedih daripada lega. "Yah," ujarnya dengan nada lesu, "Saya tidak siap melatih seseorang hari ini. Bahkan, saya sama sekali tidak mengira akan ada bantuan."

"Saya mengerti," balas pria itu dengan ekspresi prihatin.

"Baiklah," Sekar mendesah sambil memandang dapur sekelilingnya. "Apa kamu pernah bekerja di dapur seperti ini sebelumnya?" tanyanya, sambil meraih salah satu pisau dari tempat penyimpanan di meja. Dia mengambil bawang merah dari keranjang dan mulai mencincangnya halus.

"Ya."

Sekar mengangguk perlahan sambil kembali mengamati dapur, mencoba memutuskan tugas apa yang bisa diberikan pada pria itu. Dia menghela nafas dan berbalik, melangkah lima langkah sebelum kembali menatap pria tersebut.

"Apa kamu tahu cara membuat kulit lumpia?" tanyanya.

"Ya, saya bisa membuatnya," jawab pria itu.

Sekar mengangguk lagi, meletakkan kedua tangannya di pinggul, lalu meniup ke atas hingga poninya terangkat dari wajahnya.

"Baik, buatlah kulit lumpia, tapi jangan terlalu nyaman. Aku belum tahu apa yang bisa kamu lakukan, tapi kita akan mengetahuinya bersama."

"Kak, ada pesanan masuk," seru Laras, adiknya, sambil menyandarkan tubuh di jendela dapur untuk melihat apa yang sedang terjadi.

"Siapa dia?" tanyanya sambil melirik pria asing itu.

"Aku juga tidak tahu," jawab Sekar, sambil memandang pria itu. "Siapa namamu?"

"Dika," jawabnya sambil menggulung lengan baju dan bersiap mencuci tangan.

"Ini tukang masak baru kita, namanya Dika," kata Sekar, lalu menatap Laras dengan senyum kaku.

"Hebat, kita tidak bisa membayar Tomi, tapi bisa menggaji tukang masak baru?" sindir Laras sambil memutar mata dan menempelkan kertas pesanan di rak.

Sekar memutar mata sambil meraih kertas pesanan dari tangan Laras. Adiknya sudah terus-menerus mengeluh karena Sekar menolak mempekerjakan salah satu temannya dari sekolah. Sayangnya, meskipun pelayan tambahan akan sangat membantu, Sekar tidak memiliki anggaran untuk membayarnya.

Setelah melirik sekilas ke arah Dika, yang sedang mengaduk adonan yang sebelumnya dikerjakannya, dia menghela nafas dan kembali bekerja. Dia berjalan ke kompor untuk mengaduk rawonnya, lalu mulai mempersiapkan pesanan dari kertas itu.

Saat jam makan malam semakin sibuk, dia melihat ibunya datang dan langsung masuk ke ruang belakang sambil berbicara di telepon, kemungkinan besar membahas masalah pipa di sana. Dengan nafas berat, Sekar terus memasak. Kemarin, selama satu jam penuh, dia harus mendengarkan ibunya mengulang-ulang nasihat bahwa Sekar harus berusaha lebih keras untuk membuat pernikahannya dengan suaminya berhasil.

"Kak, meja tujuh mau tambah pesanan pisang goreng," kata Laras dari jendela dapur.

"Aku sedang masak, Laras," jawab Sekar kesal sambil memindahkan panci ke kompor lain. Dia mengangkat panci berisi makanan dan membawanya ke piring yang menunggu di rak. "Meja lima siap disajikan," katanya.

"Cuma ada lima meja malam ini," balas Laras. "kalau tidak ada yang datang setelah jam enam, boleh aku pulang lebih awal?"

"Laras, jangan sekarang," jawab Sekar sambil mengelap pinggiran piring dan meletakkan makanan di jendela untuk diambil.

"Lagipula tidak ada yang datang," gumam Laras sambil memutar mata, lalu mengambil piring-piring itu. Saat berjalan menjauh, dia bergumam pelan, "Ini sebabnya Damar pergi."

Komentar itu membuat Sekar tersentak. Damar adalah mantan pacarnya dari masa kuliah—satu-satunya pacarnya sampai saat itu. Semua berubah ketika ayahnya meninggal, dan dia kembali ke rumah untuk bekerja di dapur restoran keluarga. Saat itulah masalah mulai muncul, hidupnya perlahan-lahan memburuk, sampai suatu hari dia terbangun dan sudah menikah dengan Panji Raksa Pradipta. Sekar menghela nafas panjang sambil meniup poninya lagi agar tidak menghalangi wajahnya. Saat berbalik, dia melihat Dika berdiri di meja kerjanya, merapikan kulit lumpia yang akan disajikan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Sekar.

"Aku baik-baik saja. Tapi anda yakin tidak butuh bantuan lain?" jawab Dika sambil mengangkat alis, melirik keadaan dapur.

"Belum perlu untuk sekarang."

ibunya masuk ke dapur dengan dramatis, kacamata terletak di atas kepalanya, berbicara di telepon dengan nada tegas.

"Jadi, kamu ingin meninggalkan kami tanpa air di ruang belakang? Kamu sadar tidak kalau aku sedang menjalankan bisnis di sini?" Setelah jeda, dia memberi isyarat pada Sekar dan melirik Dika dengan tatapan aneh. "Dengar, aku memintamu untuk datang sekarang dan memperbaikinya, atau menantuku akan membeli perusahaanmu dan memecatmu!!" Setelah berbicara, dia menutup telepon dengan geram.

"Siapa dia?" tanya Ratna sambil menatap Dika.

"Menantu kesayangan ibu yang mempekerjakannya," jawab Sekar sambil memutar mata dan kembali bekerja.

Damar lebih lama berada di hidup mereka dan jauh lebih baik, tapi ibunya tetap menyebutnya bodoh. Panji orang yang baru masuk ke hidup mereka kurang dari enam bulan, tapi sudah dianggap sempurna. Enak sekali berada di posisi itu.

"Untuk apa?" gumam Ratna dengan nada mengejek sambil melirik Dika. "Dia bisa masak makanan Jawa?"

"Aku tidak tahu, aku tidak mewawancarainya," jawab Sekar tanpa menoleh.

Ratna menghela nafas panjang dan memandang Sekar.

"Rambutmu kusut sekali, Sudah ibu bilang lakukan perawatan rambut."

Sekar mendesah. "Aku sedang masak, Bu. Aku bahkan tidak bisa mengecilkan apinya hanya karena rambutku kusut."

Ratna memutar mata dan mulai bergumam dalam bahasa Jawa, sebelum tiba-tiba meraih tangan Sekar. "Delok,en kukumu!" serunya. "Kamu sudah ke salon untuk perawatan?"

"Belum," jawab Sekar sambil menarik tangannya.

"Kamu harus bisa menjaga penampilanmu Sekar!" tegur Ratna. "Suamimu orang penting. Kamu pikir bagaimana jadinya kalau istrinya terlihat berantakan seperti ini? Jujur saja, kamu sengaja mencoba menghancurkan restoran ini kan? Ayahmu pasti gelisah di kuburnya kalau melihat betapa egoisnya kamu. Panji sudah memberimu segalanya, tapi kamu masih tidak bisa bersyukur"

"Bu," ujar Sekar, menoleh dan menatap ibunya, "Tolong, urus saja sesuatu di ruang belakang dan biarkan aku bekerja."

Ratna mengerutkan kening, menatap putrinya dengan tajam. "Baiklah," katanya dengan nada dingin. "Jika butuh bantuan di dapur, bilang saja."

Sekar mengangguk, berbalik ke wajan di atas kompor.

"Aku tidak akan butuh bantuan ibu," gumamnya pelan sambil kembali memasak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!