NovelToon NovelToon

Dendam Berlian

Lamaran yang tertunda

"Alena, maukah kamu menikah denganku?"

Sebuah pertanyaan manis yang terdengar membuat Alena terdiam. Dia menatap lelaki yang kini bersimpuh di depannya dengan sebuah kotak cincin merah marun yang dibuka lebar. Namun, ada yang salah di sana.

"Za, mana cincinnya?" tanya Alena sungkan.

"Ah, astagaaa ... Maafin aku, Len." Reza bangkit dari posisinya, merogoh saku celana dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

"Ada apa?" Alena menyadari sesuatu yang tidak beres dengan kekasihnya. Bukannya mendapat jawaban, Reza malah beranjak pergi dari sana tanpa kata.

Tak lama sebuah pesan singkat masuk ke ponsel gadis dengan rambut sebahu tersebut. Dia bingung harus berbuat apa sedangkan jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 12.45, yang artinya jam istirahat akan segera berakhir.

"Apa aku harus mengejar Reza? Tapi-" Alena membaca kembali pesan yang diterima dari Reza. "Sudahlah, nanti aja pulang kerja aku mampir ke rumahnya."

Alena memilih untuk kembali ke perusahaan tempatnya mengais rezeki setahun belakangan ini. Dia bekerja sebagai salah satu staf produksi dan terlalu banyak aturan di sana. Oleh sebab itulah, dia tak mau melanggar demi gajian lancar masuk ke rekening.

Gadis dengan kemeja batik dan celana kain tersebut berjalan cepat masuk gerbang. Sebelum memasuki area produksi, seperti biasa harus melalui cek body oleh security yang berjaga, barulah bisa masuk ke ruangannya.

"Kerjain ini secepatnya!"

Sebuah map tebal dilempar begitu saja tepat saat Alena duduk di kursi. Dia seolah tidak diizinkan untuk bernafas barang sebentar, padahal jam istirahat masih beberapa menit lagi. Hal yang sudah sering dia terima sejak dirinya dipromosikan menjadi supervisor beberapa minggu yang lalu.

Kebanyakan dari teman kerjanya merasa tidak adil karena Alena termasuk junior di sana, tapi malah mendapat jalur khusus untuk naik jabatan. Persaingan tidak sehat pun muncul setelah dua nama muncul sebagai kandidat, Alena dan Risma, salah satu senior di sana.

"Tapi ini bukan kerjaanku, Mbak," kata Alena. "Kenapa nggak minta tolong sama Mas Jamal aja?"

"Aku nggak lagi ngajak diskusi kamu, paham? Lagian bukane kamu hebat makanya dipromosikan jadi spv? Buktikan dong!"

Alena menghela napas panjang. Kalau bukan karena dia ingin cari aman demi posisinya nanti, pasti saat ini dia memilih berdebat. Bahkan, kalau perlu dia akan saling jambak demi melawan ketidakadilan itu.

"Ya udah, nanti kukerjain, Mbak," kata Alena pasrah, tapi bukan berarti mengalah. Dia menyusun rencana agar seniornya mendapat ganjaran yang pas.

Gadis dengan usia matang tersebut sengaja membawa map tadi saat menemui atasan. Tentu saja dia sudah mengerjakannya lebih dulu dan berdalih meminta saran pada atasannya.

"Kenapa kamu yang kerjain ini?" tanya Pak Damar, direktur produksi yang mempromosikan jabatan spv pada Alena.

"Oh, tadi Mbak Nana minta tolong buat kerjain soalnya kerjaan dia banyak, Pak," jawab Alena.

"Kerjaanmu sendiri udah selesai?"

"Udah, Pak," jawab Alena.

Pak Damar membaca isi map tersebut dengan seksama. "Lain kali jangan kerjain apa yang bukan job desk-mu."

"Salah ya, Pak?" tanya Alena.

"Kerjaanmu nggak salah, kamu yang salah!" Pak Damar geleng-geleng kepala. Tak ada yang memungkiri bahwa lelaki berusia 45 tahun tersebut adalah pribadi yang tegas dan penuh wibawa. Apa yang keluar dari mulutnya adalah mutlak, tak ada yang berani membantah.

"Maaf, Pak," kata Alena.

"Apa kamu sering mengerjakan kerjaan yang lain?"

"Ya."

"Kenapa nggak kamu semua aja yang kerjain? Lumayan kan perusahaan nggak perlu bayar gaji buta buat mereka yang malas!"

Alena menundukkan kepala. Dia tau Pak Damar sedang sangat murka sekarang.

"Jadi supervisor bukan hanya soal kepintaran seseorang, tapi juga sikap dan perilaku. Kalau kamu gampang ditindas dan dimanfaatkan, gimana kamu bisa memimpin tim?" tanya Pak Damar dengan nada datar, tapi terasa sangat tegas.

"Yang kamu pimpin nanti adalah para staf dari berbagai divisi. Aku jadi ragu kamu nggak bisa menerima jabatan ini nantinya," imbuh Pak Damar.

Alena tersenyum sinis. Bukan karena mendapat teguran keras dari Pak Damar, tapi karena salah mengambil sikap. Dia pikir dengan mengikuti alur, semua akan baik-baik saja. Ternyata itu salah besar.

"Maafkan saya, Pak. Ke depannya tidak akan terjadi lagi," kata Alena. "Terima kasih atas masukannya."

"Aku percaya pada kemampuanmu."

Alena mengangguk dan undur diri. Tak lama setelah sampai di meja kerjanya, si senior datang dan menanyakan map tadi.

"Udah selesai belum?"

"Udah," jawab Alena tanpa menoleh.

"Mana?!"

"Di meja Pak Damar."

"Ap-"

"Ah, aku lupa bilang. Pak Damar udah nungguin daritadi tuh," sela Alena dengan senyum manis.

"Kamu!"

Alena mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir si senior yang semena-mena itu. Dia benar-benar merasa puas sekarang, bisa membalas perilaku senior tak tau diri itu.

Di sana Alena memang belum begitu lama, tapi dia adalah lulusan terbaik di jurusannya. Dia mampu mengoperasikan komputer lebih baik dibanding para senior yang kebanyakan hanya berjibaku dengan satu atau dua macam pekerjaan. Kemampuannya mengolah data dengan cepat menjadi poin utama dipromosikannya jabatan tersebut.

--

Alena menaiki motornya dengan kecepatan sedang menuju rumah Reza. Dia sempat berhenti di jalan karena tiba-tiba hujan deras dan memaksanya memakai mantel.

"Ya ampun, bajuku basah gini," ujar Alena begitu tiba di teras rumah dua lantai milik keluarga Reza. Gadis itu melepas mantel dan menggantungnya di sisi dinding.

"Rezaaa!" Dipanggilnya sang kekasih yang belum juga membuka pintu meski sudah berulang kali diketuk.

"Ngapain datan ke sini?" tanya Reza sewot setelah membuka pintu.

"Aku nggak boleh masuk dulu?"

Reza melirik baju Alena yang basah dan menghela napas panjang. "Masuklah, kuambilkan baju ganti dulu."

Alena tersenyum tulus dan mengikuti langkah kaki Reza ke ruang tamu. "Om sama Tante mana? Kok sepi?"

"Mereka lagi menghadiri acara keluarga di perumahan seberang," jawab Reza. "Ke kamarku aja biar nggak bolak balik."

"Baiklah." Alena tak ada pikiran buruk sedikit pun pada Reza karena selama ini lelaki itu memang tidak pernah berbuat macam-macam selama pacaran.

"Pakailah kaosku dulu daripada kamu masuk angin," kata Reza setelah mengambil sebuah kaos hijau.

"Iya."

"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" tanya Reza.

"Kamu nggak mau keluar dulu? Aku kan mau ganti baju."

"Baiklahhhh," ujar Reza dengan berat hati.

Alena memastikan pintu terkunci sebelum mengganti bajunya. Saat itulah, dia mendengar suara notifikasi di ponsel Reza yang tergeletak di meja. Awalnya Alena mengabaikannya dan memilih segera ganti baju, tapi saat nada notifikasinya berubah menjadi panggilan telepon, Alena mendekat dan mengambil ponsel tersebut.

Kening Alena mengerut melihat nama yang muncul di layar ponsel. "Yayang? Siapa Yayang?"

Main cantik

Jari Alena sudah bersiap menggulir ikon berwarna hijau di layar, tapi suara ketukan pintu membuatnya mengurungkan niat. Dia segera merapikan baju dan membuka pintu.

"Aku kayak denger suara telepon," kata Reza buru-buru.

"Ya," jawab Alena singkat seraya menyerahkan ponsel Reza. "Siapa Yayang?"

"Oh, Yayang itu teman kampusku."

"Emang harus ya dikasih nama Yayang?" tanya Alena sinis.

"Kamu mikir apa sih? Namanya emang beneran Yayang, terus aku harus kasih nama apa?" tanya Reza sambil geleng-geleng kepala.

Sadar dicurigai oleh kekasihnya, Reza menghela napas panjang dan menunjukkan sebuah foto proposal dengan nama kelompok yang tertera jelas di sana.

"Nih, kamu baca baik-baik. Namanya Yayang Saputri," kata Reza diikuti senyum Alena.

"Nggak usah curigaan deh sama orang," imbuh Reza lagi.

"Iya, maaf," kata Alena. Dia sudah berusaha keluar dari kamar dengan cepat untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, tapi Reza bergerak jauh lebih cepat darinya.

"Kenapa buru-buru?" Reza mendorong Alena ke pintu hingga tak bisa bergerak.

"Nggak baik kita di kamar berduaan, Za, apalagi sekarang nggak ada orang," kata Alena.

Reza terkekeh. "Kenapa kamu tegang gitu sih?"

"Aku--"

"Tenang aja, aku nggak bakal macam-macam, Al. Tapi masak ini aja nggak boleh?" Reza mengusap bibir Alena dengan ibu jarinya.

Alena tersenyum tipis dan mengecvp pipi Reza sekilas. "Nanti yaaa...."

"Hahhh ... Kita udah pacaran lama, tapi kamu nggak pernah izinin aku buat sekedar, ahhh- tauk lahhh!" Reza menggerutu dan membiarkan Alena keluar dari kamarnya.

Alena memang menjaga diri dengan sangat hati-hati. Meski sudah berhubungan kurang lebih 3 tahun lamanya, Alena enggan melakukan di luar batas. Dia tak peduli ketika disebut kampungan karena menjaga kegadisannya di tengah pergaulan bebas yang marak terjadi sekarang.

Satu hal yang Alena pegang teguh sampai saat ini adalah pesan ibunya untuk menjaga kehormatan sebagai seorang wanita. Dia tak mau mengecewakan perjuangan ibunya yang berjuang seorang diri membesarkannya setelah sang ayah tiada.

Reza melempar ponselnya ke ranjang, tak mood lagi menelpon Yayang. Dia menyusul Alena yang sudah duduk manis di ruang tamu.

"Kamu laper nggak?" tanya Reza.

Alena menggeleng cepat. "Daripada itu, aku lebih ingin mendengar maksud pesanmu tadi."

"Soal itu ... Sebenarnya aku kepikiran sama ucapan ibumu soal hubungan kita," kata Reza.

"Kamu masih mikirin itu?"

"Yaaa, mau gimana lagi? Lagian yang dibilang ibumu benar. Kita udah cukup matang untuk menikah."

"Kamu serius?"

"Ya, tapi-"

"Tapi apa?" tanya Alena.

"Jujur aku belum siap," jawab Reza. "Kamu tau sendiri aku belum dapat kerjaan yang menjanjikan. Mana mungkin aku bawa kamu hidup susah?"

"Kamu ngomong apa sih? Lagian aku yakin kamu bakal jadi lelaki yang penuh tanggung jawab kalau kita menikah nanti," ujar Alena.

Tiba-tiba Reza bersimpuh di depan Alena, kembali melakukan hal yang siang tadi gagal total karena masalah cincin. Kali ini Reza tidak membawa apa-apa, hanya meraih tangan Alena dan mengecupnya lembut.

"Saat ini aku memang nggak punya apa-apa buat melamarmu, tapi aku harap kamu bisa sabar sampai waktu itu tiba," kata Reza.

"Kamu nggak usah sampai kayak gini, Za. Aku percaya kok sama kamu," kata Alena.

"Serius?"

"Ya"

"Kalau gitu, soal pembahasan kemarin?" tanya Reza penuh harap. "Aku pengen punya sertifikasi resmi biar bisa melamar kerja di perusahaan besar. Dengan begitu aku bisa segera melamarmu, Al."

Alena menghela napas panjang. "Emang butuh biaya berapa?"

"Nggak banyak kok, cuma sekitar 10 juta," jawab Reza.

"Akan kuusahakan secepatnya," kata Alena dengan senyum manisnya.

"Kamu memang yang terbaik!" seru Reza. Dia kembali mengecvp tangan gadis yang sudah membantu biaya kuliahnya dulu. Bahkan, setelah Reza lulus, Alena juga yang membiayai biaya kursus dan banyak workshop lainnya untuk Reza.

"Aku akan terima apa pun kondisimu, semoga nanti saat kamu sukses, kita bisa segera merealisasikan pernikahan sesuai keinginan ibuku," tutur Alena.

"Ya, itu pasti."

Keduanya sempat ngobrol beberapa saat sebelum akhirnya Alena memutuskan pamit pulang. Dia masih harus membantu ibunya menyiapkan pesanan catering untuk besok pagi. Sesaat sebelum pergi, Alena melihat sesuatu yang jatuh dari saku celana Reza.

"Za, itu tadi apa?"

"Mana?"

"Tadi kayak ada yang jatuh dari sakumu deh," jawab Alena sambil berjongkok, melihat ke bawah kursi dan menemukan sebuah cincin. "Ini?"

Reza tampak panik. Dia merampas cincin tersebut dan segera menyimpannya kembali di saku.

"Sebenarnya aku tadi mau melamarmu pakai cincin ini, tapi setelah kupikir-pikir rasanya nggak pantas."

Jelas Alena bingung dengan penjelasan tersebut. "Maksudnya?"

"Cincin ini palsu, aku belum sanggup beli yang asli."

Alena tidak marah, dia malah tersenyum tulus. "Semua itu butuh persiapan, Za. Kalau memang belum mampu, nggak usah dipaksa. Toh, aku siap menunggumu sukses dulu."

"Aku memang nggak salah pilih," tukas Reza.

"Berhenti memujiku terus menerus," kata Alena. "Ya udah, aku pulang dulu."

"Iya."

Sepeninggal Alena, Reza kembali ke kamar. Dilihatnya layar ponsel menyala dengan nada panggilan telepon masih berlangsung. Cepat-cepat dia ambil benda pipih tersebut dan menjawab panggilan telepon.

["Halo?"]

["Kamu dari mana aja sih, Za?"] tanya seorang gadis di seberang sana.

["Ah, tadi lagi ada tamu di rumah, maaf yaaa,"] jawab Reza.

["Nanti jadi, kan? Aku udah pesan tempat loh!"]

Reza melirik jam dinding di kamarnya. ["Jadi dong! Aku siap-siap dulu."]

Lelaki yang kini berusia 27 tahun itu memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Rambutnya yang sedikit panjang terombang-ambing terkena kipas angin. Aroma parfum maskulin menyebar ke seisi kamar.

"Mau ke mana?" tanya Bu Titik yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Reza.

"Ibu apaan sih? Ngagetin aja deh!" Reza protes sambil mengusap dada. "Mau keluar bentar sama temen."

"Temen apa temen?"

"Temen, Buuu! Nggak percayaan banget sih sama anak sendiri," tutur Reza.

"Justru karena anak sendiri makanya nggak percaya. Saking apalnya sama kebiasaan kamu itu!" omel Bu Titik.

"Ha ha ha ... Mau ketemu Yayang, Bu."

"Kannn ...."

"Ya, gimana? Dia itu ibaratkan berlian yang harus dijaga, Bu. Aku baru tau kalau ternyata dia itu anaknya Pak Surya," terang Reza.

"Surya Adinata?" tanya Bu Titik memastikan.

"Iya! Pemilik PT Nusa Bakti."

Raut wajah Bu Titik seketika berubah sumringah. "Ini baru anak Ibu! Harusnya kamu sama Yayang aja, daripada sama anak penjual catering yang cuma jadi staf kecil itu!"

"Sabar dong, Bu. Aku harus main cantik dulu kalau mau dapetin Yayang. Nggak mungkin juga aku gas sekarang buat deketin dia dengan kondisi sekarang. Minimal aku harus punya kualifikasi mumpuni dulu kan? Orang kaya seperti mereka pasti standarnya tinggi."

"Emang rencana kamu apa?" tanya Bu Titik.

Sosok asing

"Aku mau ikut pelatihan dulu biar dapet sertifikasi. Kalau udah kayak gitu 'kan aku bisa lamar kerja di perusahaan orang tua Yayang dan menunjukkan kemampuanku. Aku yakin bisa menaklukkan hati mereka nanti," tutur Reza.

"Emang Alena udah setuju mau biayain kamu? Bapak sama Ibu lagi nggak ada duit sama sekali sekarang," kata Bu Titik.

"Tenang aja, Bu! Amannn! Aku cuma modal sok-sokan mau ngelamar, dia langsung luluh!"

"Kamu ini emang anak Ibu! Pinterrr!" Bu Titik malah mendukung rencana putranya.

"Reza gitu loh!" ucap lelaki tak modal itu dengan bangga.

Sementara itu, Alena sudah sampai rumah. Dia melihat ibunya sedang menghitung jumlah box yang sudah diklip untuk pesanan besok.

"Assalamualaikum, Bu." Alena mencivm tangan ibunya penuh rasa hormat.

"Waalaikumsalam, udah pulang, Nak?"

"Iya."

"Mandi dulu terus makan. Abis itu tolong anterin pesenan, ya," kata Bu Sinta.

Alena melihat jam di layar ponselnya. "Anterin ke mana, Bu?"

"Di perumahan deket sekolah kamu dulu," jawab Bu Sinta. "Itu loh di rumah Pak Sabri, langganan kita."

"Owhhh, oke!"

Alena segera bergegas agar pesanan pun cepat diantar. Dia menata box makanan di bagasi mobil, hal yang sangat sering dia lakukan, tak peduli badannya sendiri sudah lelah seharian bekerja. Satu prinsip yang dipegang teguh oleh Alena saat ini adalah jangan sampai ibunya kelelahan lebih dari dirinya sendiri.

Bu Sinta adalah satu-satunya orang yang Alena punya. Tak ada kerabat dekat yang bersedia membantu mereka di kala susah dulu, bahkan Om dan Tante yang merupakan saudara ayahnya, malah berlomba-lomba merebut harta peninggalan ayahnya. Kini, mereka hanya punya rumah itu, satu-satunya peninggalan sang ayah yang tidak dirampas.

---

"Al, Ibu mau bicara sebentar," kata Bu Sinta begitu putrinya pulang dari mengantar pesanan.

"Iya, Bu." Alena berjalan mendekat, duduk di samping ibunya.

"Ibu nggak mau basa basi lagi. Gimana hubunganmu sama Reza?" tanya Bu Sinta.

"Baik kok, Bu."

"Kamu tau bukan itu maksud Ibu, Al," kata Bu Sinta serius.

Alena menghela napas panjang. "Tadi Reza mau melamarku, Bu."

"Serius?"

"Yaaa, tapi-"

Bu Sinta yang tadinya sudah sumringah langsung tersenyum kecut. "Pasti dia beralasan karir lagi, iya 'kan?"

Alena mengangguk perlahan, membuat Bu Sinta geleng-geleng kepala.

"Mau sampai kapan, Al? Kalian udah bersama 3 tahun lamanya, dan kamu sendiri udah 25 tahun sekarang. Mau sampai kapan kamu digantung begini? Kamu ini gadis, Al," kata Bu Sinta khawatir.

"Ibu nggak usah cemas. Nanti setelah Reza dapat kerjaan yang layak, dia akan segera melamarku kok," terang Alena.

Bu Sinta tak menjawab sepatah kata pun. Dia terlalu sering mendapat jawaban seperti itu dari putrinya. Punya anak gadis bukan perkara yang mudah, terlebih usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga. Dia bisa mengabaikan gosip miring di luar sana, tapi mau sampai kapan?

Wanita paruh baya tersebut melangkah pergi menuju kamarnya. Dia sudah lelah dan tidak ada tenaga untuk berdebat dengan putrinya karena hasilnya pasti akan sama saja.

***

"Alhamdulillah ...." Alena menatap slip gaji yang diterimanya. Ada bonus tambahan yang tidak disangka-sangka sebelumnya.

"Bulan depan akan lebih dari itu kalau kamu lolos seleksi dan naik jabatan jadi spv," kata Pak Damar yang tiba-tiba saja muncul, mengagetkan Alena.

"Eh, Pak Damar!" Alena mengelus dad anya.

"Jangan lupa saat ini kamu sedang berkompetisi mendapatkan jabatan itu," kata Pak Damar lagi.

"Iya, Pak, saya mengerti." Alena mengangguk.

Pak Damar menepuk bahu Alena dan beranjak dari sana. Tak lama setelah itu, Risma yang merupakan rival Alena datang mendekat. Meski dia termasuk senior juga di sana, sikapnya jauh lebih baik dibanding Nana yang sok berkuasa.

"Alena--"

"Ya, Mbak?"

"Ada yang mau kukatakan padamu," kata Risma.

"Soal?"

Risma tersenyum dan melihat sekitar. "Mungkin kita bisa bicara nanti sekalian makan siang."

"Baiklah. Kita ngobrol di kantin aja kalau gitu."

"Emmm, kalau gitu sampai ketemu nanti," kata Risma seraya melambaikan tangan dengan senyum ramah.

Alena melanjutkan pekerjaan setelah sebelumnya terhenti karena kedatangan slip gaji yang dinanti-nanti semua karyawan. Dia tak mau ambil pusing dengan menerka-nerka perihal Risma. Toh, nanti dia juga akan tau kalau sudah waktunya.

Tepat jam 12 siang, semua karyawan baik itu staff maupun non staff beristirahat. Alena sudah duduk di salah satu kursi bagian paling depan, menunggu kedatangan Risma sambil menyantap bekal yang dibuatkan oleh ibunya.Tak lama berselang, Risma datang dengan senyum khasnya.

"Maaf, aku makan duluan, Mbak," kata Alena.

"Nggak apa, santai aja. Itu buatan ibu kamu?"

"Emmm."

"Kelihatannya enak," tutur Risma.

"Yaaa, masakan ibuku memang yang terbaik. Mau coba?"

"Nggak usah, makasih."

"Mbak Risma nggak bawa bekal?"

"Enggak, aku nanti mau makan di luar, udah dipesenin sama Nana duluan," kata Risma diikuti anggukan Alena.

"Aku ngomong sekarang aja nggak apa? Nggak ganggu kamu makan 'kan?" tanya Risma lagi.

"Ngomong aja, Mbak, nggak apa!" sahut Alena.

Risma mengangguk dan menatap Alena dengan pandangan yang sulit diartikan. "Soal promosi jabatan itu ... aku mau-"

Risma mengatur napasnya sebelum melanjutkan kalimat. "Kamu mundur."

Sontak Alena menghentikan suapan yang hampir masuk ke mulutnya. Dia menatap Risma dengan heran. "Aku nggak salah denger?"

"Nggak. Aku serius."

"Tap--

"Al, kamu pasti mikir aku jahat, tapi percayalah ... ini demi kebaikanmu."

Alena tersenyum kecut. "Sejak kapan orang lain lebih tau tentang hidupku? Yang terbaik buatku, cuma aku yang tau, Mbak."

"Alena, kamu nggak akan ngerti kalau aku jelasin ini."

"Gimana kalau aku memilih untuk nggak ngerti aja? Mbak, ini kompetisi! Semua orang berhak menunjukkan apa yang terbaik versi dirinya. Bersainglah secara fair!" kata Alena tegas.

Risma sudah bersiap mengatakan sesuatu, tapi saat melihat ada seseorang mengawasinya dari jauh, dia menundukkan kepala. "Aku nggak bisa bicara banyak, Al. Tapi kalau memang keputusanmu udah bulat, aku hanya mau berpesan, hati-hatilah. Nggak semua orang yang terlihat jahat itu jahat, dan- yang terlihat baik pun belum tentu baik."

Alena mengernyitkan keningnya. Dia menatap kepergian Risma dengan heran. "Maksudnya apa sih? Nggak jelas banget!"

Tak mau ambil pusing, Alena melanjutkan makan siangnya yang terhenti. Dia mengabaikan suasana yang mendadak riuh di kantin tanpa mau tau ada apa, perutnya jauh lebih penting dari sekedar gosip yang sering kali beredar di sana.

"Kok tiba-tiba aku merinding, ya? Kayak ada yang merhatiin aku deh," gumam Alena seraya mengusap lehernya. Belum sempat dia melihat sekitar untuk memastikan perasaannya, ada sosok asing dengan aroma maskulin duduk tepat di sampingnya.

"Boleh aku duduk di sini?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!