NovelToon NovelToon

The Story Of Jian An

01

Suasana pasar di Indonesia pada abad ke-19 terasa hidup dengan aktivitas yang sibuk dan beragam. Pasar tradisional yang biasanya terletak di pusat kota atau dekat pelabuhan, dipenuhi dengan berbagai suara dan bau. Teriakan pedagang yang menawarkan barang dagangannya terdengar dari segala arah, saling bersaing dengan gemuruh langkah kaki orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Aroma rempah-rempah, ikan asin, sayuran segar, dan buah tropis yang baru dipetik memenuhi udara, bercampur dengan bau tanah basah dan asap dari tungku kecil yang digunakan untuk memasak makanan.

Di antara pedagang, ada yang menjajakan kain batik berwarna cerah, anyaman bambu, kerajinan tangan dari kulit, serta berbagai jenis barang dagangan dari China dan Eropa. Para pembeli, baik pria maupun wanita, mengenakan pakaian adat yang mencerminkan status sosial mereka, sementara para pedagang biasanya mengenakan pakaian sederhana namun fungsional. Beberapa pedagang juga menjual barang-barang dari luar negeri, seperti porselen, teh, dan perhiasan, yang mengundang rasa penasaran.

Kuda dan kereta kecil juga berderap di jalanan pasar, mengangkut barang-barang berat yang tidak bisa dibawa dengan tangan. Suara lonceng dari pedagang yang memanggil perhatian para pembeli semakin menambah riuhnya suasana pasar yang penuh dengan warna, suara, dan kehidupan. Meski pasar ini terkesan sederhana, ia menjadi pusat pertukaran budaya dan barang, di mana berbagai kelompok etnis dan budaya, seperti Jawa, Sunda, Tionghoa, dan Eropa, saling berinteraksi.

Di sudut-sudut tertentu, beberapa pedagang terlihat menggelar tikar atau tenda sederhana, menjual makanan tradisional yang menggugah selera, seperti nasi goreng, sate, ketoprak, atau kue-kue basah. Tak jauh dari mereka, kelompok orang mulai berkumpul untuk mendengarkan kabar terbaru, baik tentang kejadian lokal maupun kabar dari luar negeri yang dibawa oleh para pelaut.

Suasana pasar pada abad ke-19 ini memancarkan energi yang khas, mencerminkan kehidupan sosial yang penuh dengan transaksi, interaksi antarbudaya, dan juga ketegangan antara tradisi dan perubahan yang dibawa oleh kekuatan kolonialisme.

Keluarga Jian, yang telah berdagang sejak Jian An masih kecil, adalah keluarga yang sangat terpandang dan dihormati di Indonesia pada abad ke-19. Mereka dikenal sebagai saudagar kaya dan cerdas, dengan pengaruh yang besar di pasar serta komunitas sekitarnya. Sejak lama, keluarga Jian menjalankan bisnis perdagangan yang meliputi berbagai komoditas berharga, seperti rempah-rempah, kain sutra, porselen, dan barang-barang mewah lainnya yang mereka impor dari Tiongkok. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai pengusaha yang memiliki hubungan kuat dengan pihak kerajaan dan bangsawan lokal, sehingga banyak orang yang melihat keluarga Jian sejajar dengan status bangsawan.

Para anggota keluarga Jian sangat dihormati karena tidak hanya kekayaan mereka, tetapi juga integritas dan kecerdasan yang mereka tunjukkan dalam menjalankan bisnis. Mereka memiliki kedudukan yang sangat dihargai di kalangan masyarakat, baik oleh orang-orang Tionghoa yang berbisnis di Indonesia maupun oleh kalangan bangsawan Jawa yang memiliki pengaruh besar. Dalam pergaulan mereka, keluarga Jian sering diundang ke acara-acara penting di istana, pesta-pesta pernikahan bangsawan, dan pertemuan dengan tokoh-tokoh besar. Kehadiran mereka dalam setiap acara selalu menjadi sorotan, karena mereka dikenal memiliki selera tinggi dan sering memberikan hadiah yang sangat berharga.

Jian An, sebagai anak tunggal dari keluarga tersebut, tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ekspektasi tinggi. Sejak kecil, ia dididik untuk mewarisi kepemimpinan keluarga dan melanjutkan perdagangan yang telah membesarkan keluarganya. Meskipun kaya dan terhormat, keluarga Jian juga dikenal sangat menjaga tradisi dan martabat mereka, sehingga setiap langkah yang diambil harus penuh pertimbangan dan kehati-hatian.

***

Sejak kecil, Jian An memiliki minat yang mendalam terhadap seni dan keindahan, terutama dalam hal desain pakaian. Meskipun tumbuh dalam keluarga perdagangan yang sangat dihormati, jiwa kreatifnya selalu melimpah, dan dia mulai menyalurkan bakatnya dengan mendesain pakaian hianfu, pakaian tradisional Tiongkok yang penuh dengan ornamen dan detail yang indah. Jian An tidak hanya membuat pakaian untuk dirinya sendiri, tetapi juga mulai menciptakan koleksi pakaian yang begitu memukau, dengan gaya yang menggabungkan keanggunan klasik dan sentuhan modern.

Pakaian hianfu yang dirancang Jian An terkenal karena keunikannya. Ia tidak hanya menggunakan kain berkualitas tinggi, tetapi juga memperhatikan setiap elemen desain, mulai dari pola bordir yang rumit hingga pemilihan warna yang menciptakan kesan harmonis dan memikat. Setiap gaun yang dia buat bagaikan karya seni yang mencerminkan kekayaan budaya Tiongkok namun dengan sentuhan baru yang membuatnya terlihat segar dan menawan. Keindahan desainnya sangat disukai oleh banyak orang, terutama kaum wanita, yang terpesona dengan keanggunan dan kemewahan pakaian buatan Jian An.

Tidak lama setelah itu, permintaan akan pakaian rancangan Jian An semakin meningkat. Gadis-gadis dari berbagai penjuru mulai mengantri dengan penuh antusias untuk membeli koleksi busana yang dibuatnya. Banyak dari mereka yang datang dengan harapan dapat mengenakan pakaian yang dapat memperlihatkan kelas sosial mereka, namun juga menunjukkan keindahan dan keanggunan yang dapat memikat hati siapa saja. Jian An tidak hanya dianggap sebagai seorang perancang busana, tetapi juga sebagai simbol status dan keindahan, bahkan di kalangan bangsawan.

Dari penjualannya yang pertama kali di rumah keluarga Jian, yang awalnya hanya berupa koleksi pribadi, Jian An kini memiliki ruang khusus untuk menampilkan hasil karyanya. Sebuah butik kecil namun elegan, yang penuh dengan gaun-gaun yang memikat, menjadi tempat pertemuan para wanita dari kalangan atas yang ingin memamerkan gaun unik karya Jian An di acara-acara besar.

Sementara bisnis keluarga terus berjalan dengan kesuksesan besar, Jian An merasakan kepuasan batin yang lebih besar melalui desain-desainnya. Ia menemukan bahwa dunia mode adalah tempat di mana ia bisa sepenuhnya mengekspresikan diri, dan ia tak pernah merasa lebih hidup selain ketika melihat orang-orang mengenakan karyanya dengan bangga. Kreativitas dan kecintaannya pada seni semakin berkembang, dan meskipun status keluarganya sangat tinggi, Jian An tidak pernah meninggalkan hasratnya untuk terus menciptakan karya-karya indah yang membawa kebahagiaan dan kepercayaan diri bagi orang lain.

Meskipun Jian An sangat mencintai dunia desain dan busana, ibunya, seorang wanita yang sangat menjunjung tinggi tradisi dan kehormatan keluarga, memiliki pandangan yang sangat berbeda. Sejak kecil, Jian An telah dipersiapkan untuk menjalani hidup sesuai dengan ekspektasi keluarganya. Ibunya selalu mengajarkan bahwa tugas utama seorang wanita dari keluarga terhormat adalah menjaga nama baik keluarga dan melaksanakan peran sosialnya, termasuk menjalani perjodohan yang telah direncanakan.

Ketika Jian An semakin berkembang dan bakatnya dalam desain pakaian mulai terlihat, ibunya merasa khawatir bahwa fokus putrinya pada hal-hal tersebut bisa mengalihkan perhatian dari tugas utamanya. Perjodohan dengan Banyu Janitra, seorang bangsawan Jawa yang terhormat, telah disiapkan dengan matang sejak Jian An masih kecil. Ibunya memandang pernikahan ini sebagai kesempatan yang sangat penting untuk memperkuat posisi sosial keluarga mereka, serta menjaga hubungan baik dengan kalangan bangsawan.

Jian An yang semakin terpikat dengan dunia desain busana, menghabiskan banyak waktu di ruang kerjanya, merancang pakaian-pakaian indah yang mulai menarik perhatian banyak wanita. Namun, ibunya merasa kecewa dan marah. Baginya, pernikahan yang telah diatur untuk Jian An adalah hal yang jauh lebih penting daripada hasrat pribadi putrinya. Ia khawatir bahwa jika Jian An terus menekuni dunia mode, ia akan semakin jauh dari rencana besar yang telah disiapkan untuknya.

Suatu hari, ibunya memanggil Jian An dengan wajah tegang. "Jian An," katanya dengan suara tegas, "perhatianmu seharusnya terfokus pada perjodohanmu dengan Banyu Janitra, bukan pada hal-hal yang tidak penting seperti desain pakaian. Ini adalah jalan yang telah kita siapkan untukmu, dan ini adalah cara terbaik untuk melanjutkan kehormatan keluarga kita."

Jian An merasa terhimpit antara dua dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi, ia sangat mencintai desain pakaian dan merasa dirinya hidup setiap kali menciptakan sesuatu yang indah. Namun, di sisi lain, ia tahu betapa pentingnya untuk mematuhi kehendak ibunya, terutama dalam hal perjodohan yang telah direncanakan sejak lama. Ia merasa cemas, tertekan, dan bingung harus memilih antara mengikuti hasratnya atau memenuhi harapan keluarganya yang begitu besar.

Ibunya, yang sudah terlanjur kecewa dengan fokus Jian An pada dunia mode, semakin mendesak agar putrinya mempersiapkan diri untuk pernikahan dengan Banyu Janitra. Bagi ibunya, pernikahan itu adalah kesempatan untuk memperkuat kedudukan keluarga mereka, dan ia berharap Jian An akan menyadari pentingnya mengikuti takdir yang telah ditentukan. Namun, Jian An merasa seolah-olah terjebak dalam antara kewajiban yang ditentukan oleh keluarganya dan hasrat untuk mengejar kebebasan serta impian pribadinya.

Konflik batin ini semakin memuncak seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya keputusan besar harus diambil oleh Jian An, meski tak ada yang dapat memprediksi betapa besar konsekuensi dari pilihan yang akan ia buat.

02

Hari itu, suasana rumah keluarga Jian terasa lebih tegang dari biasanya. Ibu Jian An, yang biasanya tenang dan terkontrol, kini tampak cemas dan penuh perhatian. Segala persiapan untuk pertemuan kedua orang tua Jian An dengan keluarga Kadipaten S sudah dilakukan dengan sempurna. Rumah keluarga mereka dibersihkan dan dihias dengan elegan, mencerminkan status sosial yang tinggi. Setiap sudut rumah dipenuhi dengan wangi bunga melati yang harum, dan makanan lezat telah disiapkan untuk menyambut tamu-tamu penting.

Sementara itu, Jian An sendiri merasa cemas. Ia duduk di ruang tamu, berpakaian rapi dalam gaun hianfu yang elegan, karyanya sendiri yang paling baru. Meskipun ia merasa bangga dengan karya desainnya, hari ini ia tahu bahwa hal itu tidak penting. Yang lebih penting bagi keluarganya adalah ia harus tampil sempurna dalam pertemuan ini, menyongsong masa depan yang telah dipersiapkan untuknya, yang tidak pernah melibatkan desain pakaian atau dunia seni yang begitu dicintainya.

Ibunya, dengan wajah serius, memastikan bahwa Jian An siap untuk pertemuan itu. "Ingat, Jian An," katanya dengan lembut namun tegas, "ini adalah kesempatan yang sangat penting. Perjodohan ini adalah jalan terbaik untuk keluarga kita. Berperilakulah dengan baik dan pastikan mereka tahu bahwa kamu adalah pilihan yang tepat."

Jian An hanya mengangguk, namun hatinya terasa berat. Di luar jendela, ia bisa mendengar suara kendaraan yang mendekat. Kedua keluarga yang telah lama berhubungan melalui perdagangan dan persahabatan ini, kini bertemu untuk tujuan yang lebih besar, yaitu mengatur pernikahan antara Jian An dan Banyu Janitra, anak bangsawan dari Kadipaten S.

Ketika pintu depan dibuka, masuklah keluarga besar Kadipaten S, dipimpin oleh ayah Banyu Janitra, yang mengenakan pakaian kebesaran khas bangsawan Jawa. Mereka membawa hadiah-hadiah mewah sebagai tanda hormat dan keseriusan mereka dalam perjodohan ini. Banyu Janitra, meskipun masih muda, tampak sangat tampan dan penuh wibawa, mengenakan pakaian adat Jawa yang menunjukkan status sosialnya yang tinggi. Namun, Jian An hanya bisa meliriknya sekilas, tidak merasa ada ikatan emosional atau ketertarikan apa pun. Ia merasa asing dan canggung di tengah keluarga besar yang begitu terhormat ini.

Pertemuan dimulai dengan percakapan yang formal, diiringi dengan hidangan mewah yang disajikan oleh pelayan. Ibu Jian An berbicara dengan penuh rasa hormat kepada keluarga Kadipaten S, menjelaskan latar belakang keluarganya dan prestasi mereka dalam bisnis. Namun, di balik percakapan tersebut, Jian An bisa merasakan ketegangan yang ada. Ia tahu bahwa seluruh perhatian kini tertuju padanya—sebagai calon pasangan hidup Banyu Janitra.

Sementara itu, Banyu Janitra, meskipun tampak tenang dan sopan, sesekali melirik Jian An dengan tatapan yang tidak bisa dipahami oleh Jian An. Ia merasa cemas dan tidak nyaman, tak tahu bagaimana melanjutkan percakapan dengan pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Jian An merasa seolah-olah ia menjadi objek yang dinilai, bukan individu yang bebas memilih jalan hidupnya.

Setiap kali ibu dan ayahnya berbicara tentang masa depan mereka yang penuh harapan, Jian An merasa hatinya semakin terhimpit. Dunia desain yang penuh dengan keindahan dan kreativitas terasa semakin jauh, dan ia merasa terperangkap dalam pusaran perjodohan yang tidak ia inginkan. Namun, ia juga tahu bahwa menolak perjodohan ini berarti menentang harapan dan kehormatan keluarganya, yang telah memberikan begitu banyak untuknya.

Di tengah pertemuan yang berlangsung, ada sebuah momen yang terhenti sejenak. Jian An dan Banyu Janitra saling berpandangan, namun perasaan di antara mereka terasa kosong. Tidak ada rasa cinta atau ketertarikan yang tumbuh, hanya keheningan yang menyelimuti. Jian An tahu, meskipun ia berusaha untuk melihat ke depan, hatinya tidak berada di sini. Ia bertanya-tanya apakah ada cara lain untuk menemukan kebahagiaan, selain mengikuti jalan yang telah ditentukan oleh keluarganya.

Setelah pertemuan formal yang cukup tegang, Banyu Janitra, dengan sikap yang sopan dan penuh perhatian, mengajak Jian An untuk berjalan-jalan di kawasan sekitar rumah keluarganya yang luas. Jalanan yang tertata rapi dan dikelilingi oleh taman yang subur memberikan suasana yang sedikit lebih santai dibandingkan dengan pertemuan formal tadi. Meskipun perasaan canggung masih menyelimuti Jian An, ia menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk mengenal lebih dekat lelaki yang diharapkan akan menjadi suaminya.

"Apakah kamu sering berjalan di sini?" tanya Banyu Janitra, membuka percakapan yang lebih santai saat mereka berjalan berdampingan di jalan setapak yang dihiasi pepohonan rindang.

Jian An hanya mengangguk pelan, merasa tidak nyaman dengan percakapan yang terkesan dibuat-buat. "Iya, ini taman yang cukup luas," jawabnya, mencoba memberikan respons yang sopan meskipun hatinya merasa bimbang. Ia tak tahu harus berbicara apa lagi. Pikiran-pikirannya terbayang pada karya desainnya yang menunggu di ruang kerja, jauh dari perbincangan ini.

Banyu Janitra mengamati sekitar, terlihat menyadari keheningan yang ada. "Tempat ini tenang sekali," katanya lagi, mencoba mencairkan suasana. "Aku rasa, jika kita sudah menikah nanti, akan ada banyak waktu untuk menikmati kedamaian ini."

Jian An merasa kata-kata itu menusuk, meskipun disampaikan dengan lembut. "Kedamaian?" pikirnya dalam hati. Ia merasa tidak ada kedamaian di dalam dirinya. Ia lebih merasakan ketegangan dan kebingungannya tentang perjodohan ini.

Mereka terus berjalan, melewati kolam kecil yang dikelilingi bunga teratai. Beberapa burung kecil terbang di sekitar mereka, menambah kesan damai yang kontras dengan perasaan yang mengganggu hati Jian An. Banyu Janitra, yang tampaknya berusaha mencari topik percakapan, menyadari ketegangan yang ada, namun tetap berusaha menjaga suasana tetap ringan.

"Apakah kamu suka berkebun?" tanya Banyu Janitra, melihat beberapa tanaman hias yang tertata rapi di sepanjang jalan.

Jian An menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Hmm, sebenarnya, saya lebih suka desain... pakaian," jawabnya dengan ragu, merasa semakin sulit untuk menjawab dengan jujur tentang minatnya yang sebenarnya.

Banyu Janitra terdiam sejenak. "Desain pakaian? Itu menarik. Aku pernah mendengar tentang wanita yang bisa mendesain sendiri pakaiannya," katanya dengan nada yang lebih penasaran.

Jian An merasa sedikit lega karena Banyu Janitra mulai menunjukkan minat pada sesuatu yang lebih dekat dengan dunianya. Namun, ia juga tahu bahwa minat tersebut tidak cukup untuk mengubah kenyataan bahwa ia tetap terjebak dalam perjodohan yang tidak ia inginkan. "Saya memang mendesain pakaian, tapi lebih banyak untuk diri sendiri... dan kadang, beberapa wanita yang tertarik," jawabnya, masih berhati-hati.

Banyu Janitra tersenyum, namun tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan ketegangan yang ada. "Keren," jawabnya singkat. "Aku harap kamu bisa menunjukkan beberapa desainmu nanti. Aku ingin melihat bagaimana selera mode di tempatmu."

Jian An hanya mengangguk, merasa bahwa ia sedang bermain dalam peran yang telah ditentukan untuknya. Mereka melanjutkan langkah mereka, melewati taman yang luas, namun di dalam hati Jian An merasa semakin terjerat dalam keheningan yang tidak bisa ia pecahkan. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah ada ruang bagi dirinya untuk memilih jalannya sendiri, atau apakah takdir ini sudah tertulis dengan begitu jelas di depan matanya.

Langkah mereka semakin mendalam ke dalam taman, namun perasaan Jian An tetap terhimpit oleh beban perjodohan ini. Ia berharap bahwa suatu hari nanti, ia bisa menemukan jalan yang membebaskannya dari peran yang harus ia mainkan hari ini.

03

Pembicaraan yang datar itu berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Jian An. Ia masih merasa terasing, berusaha meredam rasa kecewa yang membuncah di dalam dirinya. Namun, bagi Banyu Janitra, percakapan itu lebih ringan. Meskipun tak ada chemistry yang mencuat, senyum tipis yang terukir di wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa sedikit lebih nyaman, seolah ada secercah harapan bahwa pertemuan itu bisa membawa hubungan yang lebih baik ke depannya. Tapi Jian An tidak merasakannya—baginya, ini hanyalah bagian dari jalan yang ia harus lewati karena kehendak orang tuanya.

Mereka berjalan kembali ke rumah dengan langkah yang lebih lambat. Jian An sesekali melirik Banyu, yang tampaknya masih berpikir tentang pertemuan tadi. Meskipun ia tidak bisa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, Jian An tahu bahwa perjodohan ini bukanlah hal yang bisa ia pilih. Semuanya sudah diputuskan, bukan hanya oleh ibu dan ayahnya, tetapi juga oleh ibu tiri Banyu, yang jelas memiliki peran besar dalam mengatur segalanya.

Ibu tiri Banyu, yang begitu menginginkan pernikahan ini segera terlaksana, tampaknya memiliki alasan yang lebih pribadi dalam memilih Jian An sebagai calon istri untuk anak lelakinya. Dari sejak pertemuan pertama, jelas terlihat bahwa ibu tiri Banyu sangat menyetujui pilihan ini. Ia sering memuji keluarga Jian yang terpandang dan kaya, serta menekankan bahwa pernikahan ini akan membawa keuntungan bagi kedua keluarga. Namun, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran Jian An tentang alasan sebenarnya ibu tiri Banyu mendorong pernikahan ini dengan begitu tergesa-gesa.

Mungkin ibu tiri Banyu melihat Jian An sebagai simbol kemewahan dan status, atau mungkin ada alasan lebih dalam lagi yang tak terungkapkan. Jian An merasa bahwa ia hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar, sebuah langkah untuk memperkuat posisi Banyu dan keluarganya di mata masyarakat. Namun, ia tak bisa mengungkapkan ketidaknyamanan itu, karena dengan begitu banyak orang yang terlibat, perasaan pribadinya terasa begitu tidak penting.

Banyu sendiri tampaknya tidak sepenuhnya menyadari betapa tergesa-gesanya pernikahan ini diatur. Meski ia mengetahui bahwa ibu tirinya memiliki pengaruh besar, ia tidak benar-benar memahami alasan di baliknya. Ia tahu bahwa perjodohan ini adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani, tetapi ia merasa ada kekosongan yang mengisi hatinya—perasaan tidak sepenuhnya siap untuk menikahi seseorang yang bahkan baru dikenalnya. Ia sering kali berpikir, apa yang sebetulnya ibu tirinya cari dengan memilih seorang gadis Tionghoa seperti Jian An?

Banyu menatap langit yang mulai gelap, berpikir tentang masa depan yang sepertinya sudah diputuskan untuknya. "Aku hanya ingin membuat semua orang bahagia," gumamnya, meskipun kata-kata itu terasa lebih sebagai penghiburan diri daripada kenyataan.

Jian An menoleh ke arahnya, merasa sebuah ikatan yang tak terucapkan di antara mereka berdua. Mereka berdua terjebak dalam keputusan yang bukan milik mereka. Namun, di tengah semuanya, Jian An tak bisa menahan rasa gelisah yang semakin menghantuinya. Ia tahu, di dalam dirinya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar apa yang dilihat oleh orang lain, sesuatu yang belum ditemukan, sesuatu yang lebih daripada sekadar ikatan pernikahan yang diatur.

Ketika mereka kembali ke rumah besar keluarga Jian, suasana malam terasa lebih sunyi. Meskipun keluarga besar Banyu masih berada di sana, Jian An merasa seperti terpisah dari semua itu. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan meskipun tidak ada yang mengungkapkan perasaan sejati mereka, hatinya terasa semakin berat.

Setelah pertemuan itu, suasana semakin tegang. Keluarga Jian An dan keluarga Banyu Janitra sepakat untuk segera melangsungkan pernikahan mereka pada malam Jenar, malam purnama di minggu pertama bulan depan. Keputusan itu diumumkan dengan cepat dan tegas, seolah-olah waktu tidak memberi mereka kesempatan untuk berpikir lebih lama. Semua serba terburu-buru, dan meskipun Jian An tidak bisa menahan perasaannya, ia tahu bahwa ini adalah hal yang sudah diputuskan. Tidak ada lagi ruang bagi keraguan atau penolakan.

Pernikahan yang direncanakan pada malam purnama itu memiliki makna simbolis yang kuat, terutama dalam budaya Jawa, di mana purnama dianggap sebagai waktu yang penuh berkah dan kemakmuran. Keluarga Banyu sangat menghargai tradisi tersebut, dan bagi mereka, pernikahan pada malam Jenar bukan hanya sebuah kebetulan, tetapi juga cara untuk memulai kehidupan baru yang penuh harapan.

Jian An merasa bingung, hatinya terperangkap di antara kewajiban yang dituntut oleh orang tuanya dan keinginannya yang lain. Ia tahu bahwa pernikahan ini tidak hanya mengubah hidupnya, tetapi juga kehidupan keluarganya. Bagaimanapun juga, pernikahan ini adalah jalan untuk menyatukan dua keluarga besar yang berpengaruh—dan Jian An menjadi pusat dari semuanya.

Di sisi lain, Banyu Janitra, meskipun merasa sedikit tertekan dengan pernikahan yang terencana ini, tidak bisa mengungkapkan ketidaknyamanannya. Ia tahu bahwa ini adalah tanggung jawabnya, dan ia mencoba menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani pernikahan ini meski ia belum sepenuhnya mengenal Jian An. Keluarganya, terutama ibu tirinya, sudah menetapkan semuanya, dan ia merasa tak banyak bisa dilakukan untuk mengubah jalan yang sudah digariskan.

Pada malam Jenar yang semakin mendekat, persiapan pernikahan pun berjalan dengan cepat. Rumah keluarga Jian An dipenuhi dengan keramaian, para pekerja sibuk menyiapkan segala hal yang dibutuhkan, dari dekorasi hingga makanan. Tenda besar dan indah dipasang di halaman rumah, sementara para undangan mulai berdatangan dari berbagai penjuru.

Jian An sering kali melangkah keluar untuk menghirup udara malam, merasa seolah-olah ia bisa menghindari kenyataan hanya dengan bersembunyi di balik kegelapan malam. Namun, setiap langkahnya membawa dia lebih dekat pada takdir yang sudah diatur untuknya. Ia tak bisa menghindari pernikahan yang akan berlangsung, namun di dalam hatinya, ia masih berharap ada jalan lain yang bisa membawa kebebasan.

Pernikahan itu bukan hanya tentang dua individu yang bersatu, tetapi juga tentang dua dunia yang berbeda dunia Jian An yang penuh dengan desain dan seni, dan dunia Banyu yang penuh dengan tradisi dan tanggung jawab. Sebuah pertarungan batin yang tak terlihat sedang terjadi dalam diri keduanya, namun pada malam Jenar nanti, semuanya akan terlihat jelas, tak peduli seberapa besar mereka berusaha menahannya.

Pada akhirnya, pernikahan ini akan menjadi titik awal dari perjalanan yang tak terduga bagi Jian An dan Banyu Janitra, dengan rahasia dan kenyataan yang akan segera terungkap di malam yang penuh cahaya bulan itu.

Pesta pernikahan di abad ke-19 Jawa berlangsung dalam kemegahan yang memukau, menciptakan suasana yang penuh dengan aura mistis dan tradisi yang kental. Di malam Jenar yang cerah, halaman rumah keluarga besar Banyu dipenuhi dengan tenda putih berornamen emas, menggantungkan kain-kain sutra yang berkilau tertimpa sinar purnama. Di sepanjang jalan menuju pelaminan, lampu-lampu minyak terpasang rapi, memberikan penerangan lembut yang menambah kemegahan suasana. Suara gamelan yang lembut mengalun, menambah kesan magis di malam yang sakral itu, sementara para tamu yang berpakaian adat Jawa duduk dengan tertib di sepanjang kursi yang sudah disusun rapi.

Tata rias pengantin membuat Jian An tampak berbeda dari biasanya. Kain batik bermotif halus yang menutupi tubuhnya bersatu dengan kebaya yang dihiasi bordiran emas yang rumit, sementara hiasan di rambutnya, terdiri dari bunga melati yang wangi dan kipas emas, menambah pesona wajah cantiknya yang dihiasi riasan tradisional. Di sampingnya, Banyu Janitra tampak gagah dengan pakaian adat khas bangsawan Jawa—beskap hitam berlapis emas dan blangkon yang terpasang rapi di kepalanya. Namun, di balik pakaian megah dan upacara yang sakral itu, ada rasa canggung di wajah mereka, perasaan yang tak bisa disembunyikan.

Seiring dengan berlangsungnya upacara pernikahan, para tamu memuji pasangan pengantin yang tampak begitu anggun di pelaminan. Juru rias dan para pendeta memimpin doa, sementara para kerabat dan saudara dari kedua keluarga mulai memberikan persembahan dalam bentuk nasi tumpeng yang dihiasi dengan lauk-pauk yang melambangkan berkah. Suara gamelan mengalun semakin merdu, sementara para tamu, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, berdiri untuk memberi penghormatan pada pasangan pengantin yang kini tengah menjalani upacara pernikahan mereka.

Tak lama setelah acara janji pernikahan selesai, para tamu menyaksikan tarian tradisional yang dilakukan oleh para penari wanita, yang mengenakan pakaian adat penuh warna dengan gerakan yang penuh kelembutan dan keselarasan. Tarian itu, yang penuh dengan makna, seolah menggambarkan perjalanan hidup baru yang akan dijalani oleh pasangan pengantin. Dalam keriuhan dan keindahan pesta itu, Jian An tak bisa menahan perasaan hampa yang mulai menyelusup dalam hatinya. Ia tahu bahwa malam ini adalah awal dari segalanya, namun di balik kemegahan dan suasana yang terkesan sempurna, ada sebuah rahasia yang bersembunyi, menanti untuk terungkap.

Meski semua tampak berjalan dengan lancar, suasana hati Jian An dan Banyu Janitra tidak secerah purnama yang menerangi malam itu. Masing-masing dari mereka membawa perasaan yang tersembunyi, perasaan yang hanya mereka mengerti. Namun, dalam pesta pernikahan yang megah ini, mereka harus mengenakan topeng yang tak bisa dilepaskan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!